Asesmen paparan residu fungisida difenokonazol pada buah melon (Cucumis melo L.) terhadap keamanan konsumen dibawah pengaruh kondisi tropis Daerah Istimewa Yogyakarta.

(1)

ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA DIFENOKONAZOL PADA BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN DIBAWAH PENGARUH KONDISI TROPIS DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA SERLIKA ROSTIANA

118114148

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta INTISARI

Iklim tropis Indonesia yang panas dan lembab, memicu perkembangan dan penyebaran antraknosa (Colletotrichum sp.) yang menyebabkan kerusakan pada buah melon. Untuk mengontrol antraknosa, para petani menggunakan difenokonazol. Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan konsumen, kadar residu difenokonazol pada buah melon harus ditentukan. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pre-harvest interval (PHI) dengan melihat perilaku residu difenokonazol pada buah melon dibawah kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Untuk itu dipilih 3 lokasi penelitian dengan perbedaan kondisi geografis dan budidaya, yaitu Siliran Kulonprogo, Panggungharjo Bantul dan Wedomartani Sleman. Rancangan penelitian mengikuti decline study dengan aplikasi formulasi difenokonazol mengikuti anjuran maksimum yaitu 1 ml/L dengan volume 600L/ha sebanyak 3 kali.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada penetrasi residu difenokonazol dari kulit ke dalam daging buah. Secara statistik, laju disipasi tidak mempengaruhi kondisi geografi pada ketiga tempat tanam. DT50 residu difenokonazol pada kulit

buah adalah 4 hari yang mengindikasikan adanya biodegradasi dan tercuci air hujan. PHI ditetapkan pada hari 7 untuk lahan Siliran dan Sleman serta hari ke-5 untuk lahan Bantul sehingga petani disarankan panen saat hari ke-7 setelah aplikasi terakhir. Kadar residu difenokonazol pada melon saat PHI di ketiga tempat tanam jauh dibawah nilai BMR FAO/WHO sehingga aman untuk dikonsumsi.


(2)

ABSTRACT

Indonesian tropical climate, which is warm and humid, promote the development and spread of anthracnose (Colletotrichum sp.) causing significant damage in melon. To control the anthracnose, farmers used difenoconazole. For the reason, to assure the safety of the consumer, the level of difenoconazole residue in melon should be managed. The purpose of this study is determining the pre-harvest interval (PHI) through understanding the behavior of difenoconazole residue in melon under Special Region of Yogykarta condition.

The study sites were melon production center in Siliran Kulonprogo, Panggungharjo Bantul and Wedomartani Sleman with has differences in geographical conditions and cultivation. The study design follow decline study with application formulations difenoconazole follow the recommended maximum dose that is 1 ml/L on the volume 600 L/ha much as 3 times.

The data didn’t show residue penetration from peel to the flesh.

Statistically, dissipation rate on the whole fruit are no significant differences in those study site. From the dissipation rate DT50 in peel were 4 day were

indicating biodegradation and leaching. The PHI were 7th day for Siliran and Sleman also 5th day for Bantul, so the farmer should harvest at 7 day after last application. Difenoconazole residue on melon at PHI in those study sites are below the MRL FAO/WHO requirement so it is safe for consumption.


(3)

ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA DIFENOKONAZOL PADA BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN DIBAWAH PENGARUH KONDISI TROPIS DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh : Serlika Rostiana

118114148

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA DIFENOKONAZOL PADA BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN DIBAWAH PENGARUH KONDISI TROPIS DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh : Serlika Rostiana

118114148

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2016


(5)

(6)

(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Dan seandainya semua pohon yang ada dibumi dijadikan pena, dan lautan dijadikan tinta, ditambah lagi tujuh lautan sesudah itu, maka belum akan habislah kalimat-kalimat Allah yang akan dituliskan, sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Lukman: 27)

Ya Allah, terimakasih atas nikmat dan rahmat-Mu yang berlimpah ini, sebuah langkah usai sudah telah ku gapai, sebuah perjalanan panjang dan gelap telah kau berikan secercah cahaya terang, meskipun ini bukan akhir dari perjalanan namun awal dari perjuangan. Dari perjalanan ini kini aku mengerti arti sebuah kesabaran dalam penantian, sungguh berarti hikmah dari perjalanan ini. Terimakasih ya Allah tiada hentinya aku bersyukur kepada-Mu…

Ibu tersayang dan Ayah tercinta…

Tanpa kasih sayang dan doa kalian yang tulus dan ikhlas tiada keridhaan yang hadir untukku, semua nasihat dan petuahmu menjadi tuntunan jalanku. Tak pernah terlihat keluh kesah diwajahmu dalam berjuang dan berkorban untuk mengantar anakmu ini meraih cita-cita dan harapan serta impian sehingga menjadi kenyataan. Sungguh aku tak mampu menggantikan segala yang telah kau berikan yang setara dengan pengorbananmu, kini..sambutlah anakmu dan terimalah keberhasilanku ini sebagai wujud jawaban atas kepercayaan yang kau berikan serta atas kesabaran dan dukunganmu.

Kupersembahkan karya ini khusus untuk: Tuhanku, Allah SWT Ibu dan Ayah terima kasih atas doa, motivasi, semangat, kasih sayang yang tak pernah putus Suami, Anak dan Adik tercinta terima kasih atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya selama ini Semua keluarga,saudara-saudara, dan sahabat Almamaterku


(8)

(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi ini dengan judul “Asesmen Paparan Residu Fungisida Difenokonazol Pada Buah Melon (Cucumis melo L.) Terhadap Keamanan Konsumen Dibawah Pengaruh Kondisi Tropis Daerah Istimewa Yogyakarta“.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana farmasi S1 program studi Ilmu Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma. Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan penuh rasa hormat penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memotivasi, memberikan kritik dan saran dari awal hingga akhir penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Yohanes Dwiatmaka, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik serta dosen penguji yang telah memberikan dukungan, motivasi, arahan, masukan dan bimbingan.

3. Dr. Christine Patramurti, M. Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan bimbingan.


(11)

4. Aris Widayati, M.Si., Ph. D., Apt. selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

5. Agustina Setiawati, M. Sc., Apt. atas perijinannya menggunakan laboratorium.

6. Segenap dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas pengalaman dan ilmu yang telah diberikan.

7. Sanjayadi, M. Si. yang telah banyak meluangkan waktunya untuk mendampingi, membimbing, memotivasi, membantu, memberikan kritik dan saran, serta membagi pengalaman dari sejak awal penelitian hingga akhir penyusunan skripsi.

8. Teman seperjuangan skripsi: Rizky Seviana Puspitasari, Florentina Silviana Devi dan Rushadi Jatmiko atas kesabaran, kebersamaan, kerja sama, dan suka duka dari awal penelitian sampai akhir penyusunan skripsi.

9. Mas Bimo dan Pak Mus, seluruh staff laboratorium dan keamanan atas bantuan dan kerjasamanya.

10.Teman seperjuangan di laboratorium Kimia Analisis Instrumental: Mbak Yola, Wirna, Satrio, Devina, Opik, Yolanda, dan Adit atas kebersamaan dan suka dukanya.

11. Ibu, Ayah, Adik, dan seluruh anggota keluargaku tercinta yang selalu memberikan dukungan, semangat dan doa.

12.Suami tercinta yang selalu memberikan dukungan, semangat dan doa serta waktu dan bantuannya selama proses penelitian.


(12)

13.Teman-teman FST B 2011 dan seluruh angkatan 2011 atas dukungan, semangat, suka dan duka selama ini.

14.Sahabat-sahabat tercinta atas doa, dukungan dan semangatnya selama ini. 15.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik maupun saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dunia ilmu pengetahuan.

Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

INTISARI ... xx

ABSTRACT ... xxi

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan... 3

2. Keaslian Penelitian ... 3

3. Manfaat Penelitian ... 4

B. Tujuan Penelitian ... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 6

A. Pestisida ... 6


(14)

B. Fungisida ... 6

1. Peranan Fungisida dalam Pengelolaan Penyakit Tumbuhan 7 2. Fungisida Sistemik ... 7

3. Paparan dan Pengaruh Samping Fungisida ... 8

C. Difenokonazol ... 10

1. Sifat Fisika Kimia ... 11

2. Toksisitas ... 12

D. Melon (Cucumis melo L.) ... 13

1. Sejarah Perkembangan Melon... 13

2. Taksonomi Tanaman Melon ... 14

3. Sifat dan Ciri Tanaman Melon ... 14

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Melon ... 16

5. Kandungan Buah Melon ... 18

6. Cara Budidaya Melon ... 18

7. Penyakit Antraknosa Pada Tanaman Melon ... 24

E. Laju Disipasi Residu Pestisida ... 25

F. Iklim Tropis Daerah Istimewa Yogyakarta ... 29

G. Landasan Teori ... 30

H. Hipotesis ... 31

BAB III METODE PENELITIAN... 33

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 33


(15)

1. Variabel Penelitian ... 33

2. Definisi Operasional... 34

C. Bahan Penelitian... 35

D. Alat Penelitian ... 36

E. Tata Cara Penelitian ... 37

1. Penyiapan Lahan Permodelan Tanaman Melon ... 37

2. Pengecekan Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Lahan ... 38

3. Pengecekan Jenis Tanah, pH Tanah dan Kandungan Bahan Organik Tanah ... 38

4. Kalibrasi Penyemprotan ... 38

5. Aplikasi Formula Fungisida Difenokonazol Pada Tanaman Melon ... 38

6. Pengambilan Sampel Buah Melon dari Lahan Permodelan Tanaman Melon ... 39

7. Preparasi Sampel ... 40

8. Ekstraksi ... 40

9. Clean up Sampel Menggunakan SPE C18 ... 41

10.Pembuatan Larutan Kurva Baku Difenokonazol ... 42

11.Penetapan Kadar Residu Difenokonazol ... 42

F. Analisa Hasil ... 43

G. Rancangan Penelitian ... 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Penyiapan Lahan Permodelan Tanaman Melon ... 52


(16)

B. Aplikasi Formula Fungisida Difenokonazol Pada Tanaman Melon

... 55

C. Pengambilan Sampel Buah Melon dari Lahan Permodelan Tanaman Melon dan Preparasi Sampel Buah Melon ... 56

D. Penetapan Kadar Residu Difenokonazol ... 57

E. Hilangya Residu DIfenokonazol ke dalam Daging Buah Melon 67 F. Pengaruh Kondisi Geografi Terhadap Laju Disipasi Residu Difenokonazol dalam Sampel Buah Melon ... 69

G. Asesmen Paparan Residu Difenokonazol pada Buah Melon ... 72

H. Penilaian Terhadap Keamanan Konsumen ... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 80

LAMPIRAN ... 83

BIOGRAFI PENULIS ... 111


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Kandungan dan Komposisi Gizi Buah Melon tiap 100

gram Bahan ... 18 Tabel II. Kondisi Optimum Sistem Kromatografi Gas yang

Digunakan ... 43 Tabel III. Data Suhu, Curah Hujan, dan Kelembaban ... 53 Tabel IV. Data pH, Bahan Organik, Komposisi dan Kelas Tekstur

Tanah ... 53 Tabel V. Data Hasil Kalibrasi Penyemprotan ... 55 Tabel VI. Dosis Aplikasi Penyemprotan Fungisida Formulasi

Difenokonazol ... 56 Tabel VII. Kadar Residu Difenokonazol di dalam Buah Melon Lahan

Siliran Kulonprogo ... 62 Tabel VIII. Kadar Residu Difenokonazol di dalam Buah Melon Lahan

Panggungharjo Bantul ... 63 Tabel IX. Kadar Residu Difenokonazol di dalam Buah Melon Lahan

Wedomartani Sleman ... 63 Tabel X. Kadar Residu Difenokonazol pada Keseluruhan Buah

Melon ... 64 Tabel XI. DT50 Residu Difenokonazol Pada Buah Melon ... 73

Tabel XII. Uji Signifikansi Slope Dua Kurva Kadar vs Hari Residu


(18)

Difenokonazol Pada Buah Melon Siliran Hasil Perpotongan ... 74 Tabel XIII. Uji Signifikansi Slope Dua Kurva Kadar vs Hari Residu

Difenokonazol Pada Buah Melon Bantul Hasil Perpotongan ... 75 Tabel XIV. Uji Signifikansi Slope Dua Kurva Kadar vs Hari Residu

Difenokonazol Pada Buah Melon Slemn Hasil Perpotongan ... 75


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Jalur Penyebaran atau Hilangnya Pestisida ... 26

Gambar 2. Penentuan Titik Potong Sebagai PHI ... 45

Gambar 3. Diagram Pengambilan Sampel Buah Melon ... 49

Gambar 4. Skema Analisis Residu Difenokonazol Pada Buah Melon . 50 Gambar 5. Sistem Penanaman Buah Melon ... 54

Gambar 6. Kurva Baku Standar Difenokonazol ... 59

Gambar 7. Struktur Diastereoisomer Difenokonazol ... 61

Gambar 8. Overlay Kromatogram... 62

Gambar 9 . Kurva Laju Disipasi Residu Difenokonazol Pada Sampel Lahan Siliran Kulonprogo ... 68

Gambar 10. Kurva Laju Disipasi Residu Difenokonazol Pada Sampel Lahan Panggungharjo Bantul ... 68

Gambar 11. Kurva Laju Disipasi Residu Difenokonazol Pada Sampel Lahan Wedomartani Sleman ... 69

Gambar 12. Kurva Disipasi Residu Difenokonazol pada Keseluruhan Buah Melon ... 70

Gambar 13. Degradasi Difenokonazol oleh Mikroorganisme secara Aerob ... 72

Gambar 14. Kurva Perpotongan Kadar vs Hari Residu Difenokonazol Pada Buah Melon Siliran ... 74 Gambar 15. Kurva Perpotongan Kadar vs Hari Residu Difenokonazol


(20)

Pada Buah Melon Bantul ... 74 Gambar 16. Kurva Perpotongan Kadar vs Hari Residu Difenokonazol Pada Buah Melon Sleman ... 75


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Sertifikat Analisis Standar dan Formulasi Difenokonazol

Donasi dari PT Syngenta ... 84 Lampiran 2. Kemasan Benih dan Determinasi Buah Melon Varietas

Action ... 85 Lampiran 3. Data Suhu dan Kelembaban Lahan Siliran Kulonprogo

dari BMKG ... 86 Lampiran 4. Data Suhu dan Kelembaban Lahan Wedomartani

Sleman dari BMKG... 87 Lampiran 5. Data Suhu dan Kelembaban Lahan Panggungharjo

Bantul dari BMKG ... 88 Lampiran 6. Data Curah Hujan dari BMKG ... 89 Lampiran 7. Data Analisis Tanah dari Pertanian UGM ... 90 Lampiran 8. Label Penggunaan Formulasi Difenokonazol Syngenta .. 91 Lampiran 9. Kalibrasi Penyemprotan dan Perhitungan Dosis

Semprot Formulasi Difenokonazol Donasi dari PT Syngenta ... 92 Lampiran 10. Kerusakan Lahan Buah Melon Wedomartani, Sleman

Akibat Penyakit Antraknosa ... 96 Lampiran 11. Cara Pemotongan Sampel Buah Melon ... 97 Lampiran 12. Contoh Penimbangan Sampel Buah Melon ... 99 Lampiran 13. Contoh Perhitungan Kadar Residu, Laju Disipasi, dan


(22)

PHI ... 100 Lampiran 14. Uji Signifikansi Kadar Residu di Kulit dengan di dalam

daging buah ... 105 Lampiran 15. Uji Signifikansi Pengaruh Kondisi Geografi Terhadap

Laju Disipasi dengan ANOVA ... 108


(23)

INTISARI

Iklim tropis Indonesia yang panas dan lembab, memicu perkembangan dan penyebaran antraknosa (Colletotrichum sp.) yang menyebabkan kerusakan pada buah melon. Untuk mengontrol antraknosa, para petani menggunakan difenokonazol. Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan konsumen, kadar residu difenokonazol pada buah melon harus ditentukan. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pre-harvest interval (PHI) dengan melihat perilaku residu difenokonazol pada buah melon dibawah kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Untuk itu dipilih 3 lokasi penelitian dengan perbedaan kondisi geografis dan budidaya, yaitu Siliran Kulonprogo, Panggungharjo Bantul dan Wedomartani Sleman. Rancangan penelitian mengikuti decline study dengan aplikasi formulasi difenokonazol mengikuti anjuran maksimum yaitu 1 ml/L volume 600L/ha sebanyak 3 kali.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada penetrasi residu difenokonazol dari kulit ke dalam daging buah. Secara statistik, laju disipasi tidak mempengaruhi kondisi geografi pada ketiga tempat tanam. DT50 residu difenokonazol pada kulit

buah adalah 4 hari yang mengindikasikan adanya biodegradasi dan tercuci air hujan. PHI ditetapkan pada hari 7 untuk lahan Siliran dan Sleman serta hari ke-5 untuk lahan Bantul sehingga petani disarankan panen saat hari ke-7 setelah aplikasi terakhir. Kadar residu difenokonazol pada melon saat PHI di ketiga tempat tanam jauh dibawah nilai BMR FAO/WHO sehingga aman untuk dikonsumsi.

Kata kunci : laju disipasi, residu, difenokonazol, PHI, BMR


(24)

ABSTRACT

Indonesian tropical climate, which is warm and humid, promote the development and spread of anthracnose (Colletotrichum sp.) causing significant damage in melon. To control the anthracnose, farmers used difenoconazole. For the reason, to assure the safety of the consumer, the level of difenoconazole residue in melon should be managed. The purpose of this study is determining the pre-harvest interval (PHI) through understanding the behavior of difenoconazole residue in melon under Special Region of Yogykarta condition.

The study sites were melon production center in Siliran Kulonprogo, Panggungharjo Bantul and Wedomartani Sleman with has differences in geographical conditions and cultivation. The study design follow decline study with application formulations difenoconazole follow the recommended maximum dose that is 1 ml/L on the volume 600 L/ha much as 3 times.

The data didn’t show residue penetration from peel to the flesh. Statistically, dissipation rate on the whole fruit are no significant differences in those study site. From the dissipation rate DT50 in peel were 4 day were indicating

biodegradation and leaching. The PHI were 7th day for Siliran and Sleman also 5th day for Bantul, so the farmer should harvest at 7 day after last application. Difenoconazole residue on melon at PHI in those study sites are bellow the MRL FAO/WHO requirement so it is safe for consumption.

Keywords : dissipation rate, residue, difenoconazole, PHI, MRL


(25)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Melon (Cucumis melo L.) merupakan salah satu produk hortikultura yang banyak disukai oleh masyarakat. Daya tarik melon terletak pada cita rasa buahnya yang manis, beraroma harum dan menyegarkan (Fitri, 2011). Saat ini Indonesia sedang digalakkan buah tropis untuk menjadi produsen dan eksportir buah tropis terbesar di Asia Tenggara. Salah satunya buah melon yang sampai saat ini telah mampu mengisi pasar di berbagai negara, khususnya negara-negara di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Asia Timur (Abby, 2015). Selain itu, permintaan konsumsi buah melon setiap tahunnya selalu meningkat sehingga memerlukan pasokan yang cukup besar dan berkesinambungan. Mengingat nilai ekonominya yang cukup tinggi maka para petani di Indonesia melakukan budidaya melon di berbagai daerah. Dibandingkan dengan buah tropis Indonesia lainnya, buah melon memiliki keunggulan karakteristik yaitu dapat ditanam disepanjang musim dengan umur yang tidak terlalu panjang sekitar 60 hari (Putra, 2015).

Karena tanaman melon berumur pendek (± 60 hari) maka gangguan disetiap tahap pertumbuhannya akan langsung berpengaruh terhadap hasil produksinya. Tanaman buah melon sering terkena serangan penyakit yang disebabkan oleh fungi Colletrotichum sp. yang biasa disebut dengan antraknosa atau penyakit patek. Nama Colletrotichum sp. dalam dunia pertanian sudah menjadi momok yang paling menakutkan terutama di daerah tropis seperti Indonesia maupun subtropis karena dalam waktu beberapa hari penyakit


(26)

antraknosa dapat menggagalkan areal pertanaman melon (Kurnianti, 2013). Salah satu cara penanggulangan serangan antraknosa adalah menggunakan fungisida sistemik seperti difenokonazol yang banyak digunakan oleh petani. Difenokonazol merupakan fungisida golongan triazol yang memiliki spketrum fungi luas dengan aksi sistemik, serta mempunyai daya preventif dan kuratif terhadap banyak patogen. Difenokonazol menghambat demetilasi selama sintesis ergosterol sehingga menghentikan perkembangan jamur.

Ketika fungisida difenokonazol disemprotkan ke tanaman melon, maka akan meninggalkan residu bagian buahnya. Secara tidak langsung residu yang ditinggalkan akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsi buah melon yang terkontaminasi fungisida difenokonazol. Untuk menjaga kesehatan konsumen, komisi internasional FAO/WHO Codex Allimentarius

Commision (CAC) telah menetapkan angka Batas Maksimum Residu (BMR)

difenokonazol pada buah melon yang masih diperbolehkan yaitu sebesar 0,7 mg/kg (CAC, 2014). Supaya ketersediaan melon dipasaran tetap terjaga terutama dipasaran internasional dan aman bagi konsumen, maka perlu mengetahui kadar residu difenokonazol pada buah melon dan pola laju disipasi fungisida difenokonazol pada kondisi tropis di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan adanya perbedaan kondisi geografi tempat tanam melon untuk menentukan selang waktu antara aplikasi formulasi fungisida difenokonazol terakhir dengan saat panen (PHI) sehingga mengetahui waktu panen yang tepat dengan kadar residu yang sangat rendah dibawah BMR.


(27)

Metode analisis yang digunakan untuk menentukan keberadaan residu fungisida difenokonazol pada kulit dan daging buah melon adalah metode analisis yang sudah divalidasi oleh Devi (2015) meliputi ekstraksi, clean-up dan determinasi dengan kromatografi gas detektor penangkap elektron (ECD). Metode analisis untuk analisis residu difenokonazol menggunakan GC-ECD sudah pernah dilakukan pada buah anggur, buah pisang, buah delima (pomegranate), dan padi dimana penelitian pada buah melon sejauh penelusuran pustaka peneliti belum dilakukan.

1. Permasalahan

a. Berapakah kadar residu fungisida difenokonazol pada kulit dan daging buah melon (Cucumis melo L.)?

b. Bagaimana pola laju disipasi residu fungisida difenokonazol terhadap perbedaan kondisi geografi tempat tanam buah melon (Cucumis melo L.) yang digunakan dan berapa hari PHI (Pre Harvest Interval) atau waktu panennya yang tepat?

c. Berdasarkan kadar residu difenokonazol pada saat PHI, apakah buah melon (Cucumis melo L.) di Daerah Istimewa Yogyakarta aman dikonsumsi?

2. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran pustaka peneliti, penelitian mengenai “Asesmen Paparan Residu Fungisida Difenokonazol Pada Buah Melon (Cucumis melo L.) Terhadap Keamanan Konsumen Dibawah Pengaruh Kondisi Tropis Daerah Istimewa Yogyakarta” belum pernah dilakukan. Penelitian mengenai disipasi


(28)

difenokonazol telah dilakukan pada beras pada tahun 2012 oleh K. Wang dkk dengan judul penelitian “Dissipation of difenoconazole in rice, paddy soil, and

paddy water under field conditions”. Selanjutnya ada penelitian menggunakan

GC-ECD mengenai ”Dissipation Behavior of Difenoconazole Residues in/on

Grapes (Vitis vinifera L.)” yang dilakukan oleh Osama I. Abdallah tahun 2014

dan “Residue Analysis of Difenoconazole in Banana and Soil” pada tahun 2012 yang dilakukan oleh HUAN Zhibo. Pada artikel EFSA (European Food Safety

Authority) yang berjudul ”Reasoned opinion on the modification of the existing

MRLs for difenoconazole in various crops” dicantumkan bahwa MRL untuk

melon berdasarkan Regulation (EC) No 1107/2009 of the European Parliament

and of the Council adalah 0,05 mg/kg sedangkan berdasarkan EFSA sebesar 0,2

mg/kg dimana penelitian dilakukan di beberapa negara subtropis di Eropa. 3. Manfaat Penelitian

a.Manfaat metodologis. Penelitian ini dapat memberikan tambahan wawasan mengenai cara menentukan laju disipasi dan Pre-Harvest Interval (PHI) residu fungisida difenokonazol pada buah melon (Cucumis melo L.) sebagai evaluasi keamanan residu fungisida difenokonazol pada buah melon (Cucumis melo L.).

b.Manfaat praktis. Penelitian ini dapat digunakan sebagai model penetapan laju disipasi residu fungisida difenokonazol pada buah melon (Cucumis melo L.) pada kondisi tropis Daerah Istimewa Yogyakarta dengan adanya berbagai perbedaan kondisi geografi tempat tanam melon.


(29)

B. Tujuan Penelitian

1. Menetapkan kadar residu fungisida difenokonazol pada kulit dan daging buah melon (Cucumis melo L.).

2. Menentukan pola laju disipasi residu fungisida difenokonazol terhadap perbedaan kondisi geografi tempat tanam buah melon (Cucumis melo L.) yang digunakan sebagai dasar penetapan waktu panen yang tepat atau PHI (Pre-harvest Interval).

3. Mengevaluasi keamanan residu fungisida difenokonazol pada buah melon (Cucumis melo L.) di Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan kadar residu difenokonazol pada saat PHI.


(30)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pestisida

Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest, yang berarti hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida diartikan sebagai pembunuh hama. Yang dimaksud hama bagi petani adalah sangat luas, yaitu tungau, tumbuhan pengganggu, penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi (jamur), bakteri dan virus, kemudian nematode (cacing yang merusak akar), siput, tikus, burung dan hewan lain yang dianggap merugikan (Sudarmo, 1991).

Menurut The United States Environmental Control Act pestisida didefinisikan sebagai berikut.

a. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah, atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematode, gulma, virus, bakteri, atau jasad renik lain yang terdapat pada hewan dan manusia.

b. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk mengatur pertumbuhan atau mengeringkan tanaman (Djojosumarto, 2008).

B. Fungisida

Fungisida adalah salah satu jenis pestisida yang dipakai untuk membunuh atau menghambat perkembangan jamur. Fungisida berasal dari dua kata dalam bahasa Latin yaitu : fungus dan caedo. Fungus atau jamaknya fungi artinya jamur,


(31)

sedangkan caedo artinya membunuh. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut menjadi fungisida (Sumardiyono, 2013).

1. Peranan Fungisida dalam Pengelolaan Penyakit Tumbuhan

Kelompok organisme yang paling banyak menjadi patogen adalah jamur (fungi), disusul oleh bakteri dan virus. Oleh karena itu, pengelolaan kimiawi penyakit tumbuhan paling banyak menggunakan fungisida dan sebagian kecil bakterisida. Penyakit menyebar dari suatu tempat ke tempat lain bersama dengan penyebaran spora, yang terjadi terutama dengan perantaraan angin, air, tanah dan serangga. Spora jamur berbobot ringan, sehingga mudah diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh dan jatuh ke permukaan tanaman atau daun. Pada tanaman yang rentan, setelah patogen bertemu dengan permukaan tanaman atau daun, maka spora akan berkecambah kemudian akan terjadi penetrasi yang diikuti dengan perkembangan patogen dalam jaringan tanaman. Fungisida yang disemprotkan pada permukaan tanaman menghambat perkecambahan spora. Spora menjadi mati dan tidak terjadi penetrasi. Apabila sudah terjadi penetrasi, perkembangan patogen dalam jaringan tanaman dapat dihambat apabila fungisida yang diaplikasikan dapat terserap oleh tanaman. Tanaman yang sudah menderita sakit dapat disembuhkan atau dikurangi intensitas kerusakannya (Sumardiyono, 2013).

2. Fungisida Sistemik

Fungisida sistemik adalah fungisida yang dapat masuk melewati kutikula dan terserap oleh tanaman, bersifat mobile (bergerak) atau ditranslokasikan dari tempat aplikasi ke bagian tanaman yang lain, atau bergerak dari akar melalui


(32)

xilem ke daun. Fungisida sistemik dapat diaplikasikan sebagai fungisida protektan atau terapeutan. Fungisida jenis ini berfungsi mencegah perkembangan penyakit sehingga dapat menyembuhkan tanaman yang sudah sakit atau menghambat perkembangan penyakit atau disebut juga fungisida kemoterapeutan. Fungisida sistemik yang baik harus memenuhi beberapa kriteria :

a. Senyawa tersebut harus bersifat fungisidal atau dapat diubah menjadi senyawa yang beracun dalam tanaman.

b. Senyawa tersebut harus mempunyai fitotoksisitas yang sangat rendah karena terserap oleh tanaman.

c. Senyawa tersebut harus dapat terserap oleh akar, daun atau biji sebelum dapat ditranslokasikan ke bagian tanaman yang lain (Sumardiyono, 2013).

Setelah perlakuan dengan fungisida ini akan terjadi penetrasi ke dalam jaringan tanaman, kemudia ditranslokasikan ke bagian tanaman yang lain. Fungisida sistemik bekerja sampai jarak yang jauh dari tempat aplikasi dan dapat menyembuhkan tanaman yang sudah sakit. Fungisida sitemik bekerja bersama dengan proses metabolism tanaman. Fungisida sistemik hanya bekerja pada satu tempat dari bagian sel jamur, sehingga disebut mempunyai cara kerja single site

action atau spesifik. Jenis-jenis fungisida sistemik diantaranya golongan oksatin,

metalaksil, benzimidazol, fosfat organik, pirimidin, triazol dan strobilurin (Sumardiyono, 2013).

3. Paparan dan Pengaruh Samping Fungisida

a. Pengaruh terhadap lingkungan. Fungisida mengandung racun yang disamping dapat mengendalikan jamur juga mempunyai pengaruh racun terhadap


(33)

lingkungan. Tiap jenis fungisida mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap lingkungan. Pengaruh terhadap lingkungan tergantung dari daya racun (toksisitas), cara dan kekerapan aplikasi, serta persistensi. Dalam praktik penyemprotan tanaman dengan fungisida, sebagian fungisida ada yang jatuh ke atas tanah sekitar tanaman. Hal ini menyebabkan tanah sekitar tanaman terpapar fungisida, sehingga dapat mempengaruhi kualitas air tanah yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Pada keadaan cuaca yang beranging kencang, sebagian bahan semprot akan memberikan drift (cipratan) ke tempat bukan sasaran yang dapat menyebabkan pencemaran lingkungan berupa kontaminasi akibat cipratan misalnya akan mencemari sekitar lahan pertanian. Kontaminasi pada lingkungan juga terjadi akibat dari pencucian alat semprot setelah aplikasi. Pencucian sprayer tidak boleh dilakukan pada saluran air irigasi, sungai kecil atau sumber air lain. Pencucian dilakukan dengan sisa dibuang jauh dari pemukiman atau tempat bermain anak-anak (Sumardiyono, 2013).

b. Pengaruh terhadap organisme tanah. Pestisida yang persisten termasuk didalamnya fungisida yang persisten, sangat berbahaya bagi tanah dan air tanah. Klasifikasi pestisida yang berbahaya di dalam tanah didasarkan atas persistensinya. Makin persisten suatu pestisida, maka semakin berbahaya. Umumnya fungisida tidak berbahaya, kecuali PCP dan golongan merkuri (Sumardiyono, 2013).

c.Pengaruh terhadap manusia. Pengaruh terhadap manusia dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Yang bersifat langsung adalah pengaruh terhadap kesehatan pekerja. Para pekerja dan pemakai fungisida tentu akan terpapar


(34)

fungisida sewaktu melakukan aplikasi. Bila fungisida yang diaplikasikan berdaya racun tinggi, akibat terhadap para pekerja menjadi sangat berbahaya. Para pekerja akan terpapar fungisida melalui udara yang terhirup karena sebagian bahan yang disemprotkan akan terbawa angin dan masuk ke dalam saluran pernafasan. Para pekerja juga rentan terpapar fungisida bila terjadi kecelakaan atau tumpahan yang mengenai tangan atau kulit. Secara tidak langsung, manusia mendapatkan kontaminasi fungisida melalui makanan yang kita makan. Manusia mengkonsumsi daging, ikan, sayur, beras, atau produk-produk pertanian yang lain. Bila produk tersebut mengandung residu pestisida maka manusialah yang akan mendapatkan residu yang paling banyak (Sumardiyono, 2013).

C. Difenokonazol

Difenokonazol merupakan fungisida berspektrum luas yang digunakan untuk berbagai penyakit pada berbagai buah, sayur, sereal dan tanaman lainnya. Fungisida difenokonazol termasuk golongan fungisida triazol yang bekerja secara sistemik dan memiliki daya preventif dan kuratif. Difenokonazol bekerja menghambat demetilasi selama sintesis ergosterol sehingga menghentikan perkembangan jamur. Difenokonazol merupakan molekul yang berpotensi dapat bergerak, tidak mudah untuk dicuci karena kelarutan dalam air rendah. Difenokonazol tidak volatil, persisten di dalam tanah dan pada lingkungan akuatik (Anonim1, 2015).

Nama umum : difenoconazole Sinonim : CGA 169374


(35)

methyl[1,3]dioxolan-2-ylmethyl]-1H-1,2,4-triazole

Rumus molekul : C19H17Cl2N3O3

Massa molekul : 406,3 Rumus struktur :

(EFSA, 2011).

1. Sifat Fisika Kimia

Bentuk fisik : putih, tidak berbau, bubuk Kristal halus

Titik lebur : 82-83 ºC

Titik didih : 100,8 ºC pada 3,7 mPa Suhu dekomposisi : 337 ºC

Kepadatan relatif : 1,39 pada 22 ºC

Tekanan uap : 3,32 × 10-8 Pa pada 25 ºC Kelarutan di dalam air : 15 mg/L pada 25 ºC Log Pow (koefisien partisi) : 4,4 pada 25 ºC

Konstanta disosiasi dalam pKa : 1,1 pada 20 ºC

Konstanta Henry’s law : 9,0 × 10-7 Pa m3 mol-1 pada 25 ºC Kelarutan dalam pelarut organik : Aseton > 500 g/L

Diklorometan > 500 g/L Etil asetat > 500 g/L


(36)

Hexan 3,0 g/L Metanol > 500 g/L Oktanol 110 g/L Toluen > 500 g/L

(EFSA, 2011). 2. Toksisitas

Pada toksisitas akut difenokonazol memiliki LD50 oral pada tikus sebesar

1453 mg/kg bb, LD50 oral pada mencit > 2000 mg/kg bb, LD50 dermal pada

kelinci > 2010 mg/kg bb dan LD50 inhalasi pada tikus > 3,3 mg/L (4 jam paparan)

(EFSA, 2011).

Pada toksisitas jangka pendek difenokonazol, pada tikus terjadi efek penurunan berat badan dan jantung, penurunan nafsu makan dan minum, liver (pada dosis tinggi setelah paparan secara oral), liver dan tiroid setalah paparan secara dermal. Pada mencit terjadi efek penurunan berat badan, penurunan berat indung telur, liver (pembesaran dan peningkatan berat, vakuolisasi dan koagulasi nekrosis) dan pada anjing terjadi penurunan berat badan, liver (berat meningkat dan perubahan secara klinis), pembentukan katarak (pada dosis tinggi). NOAEL oral pada rat 20 mg/kgbb/d (90 hari), mouse : 34 mg/kgbb/d (90 hari), anjing : 31 mg/kgbb/d (28 minggu) sedangkan NOAEL dermal pada rat adalah 100 mg/kgbb/d (28 hari). Difenokonazol mungkin menjadi genotoksik secara in vivo (EFSA, 2011).

Pada toksisitas jangka panjang pada Rat terjadi efek penurunan berat badan, liver (berat relatif meningkat, hepatosit hipertropi) dan pada mouse terjadi


(37)

penurunan berat badan, liver (berat meningkat, perubahan histopatologi termasuk nekrosis, hipertropi, perubahan lemak dan stasis empedu). Karsinogenisitas difenokonazol ditunjukkan adanya adenoma/karsinoma liver pada mice, hanya pada dosis tinggi, namun difenokonazol dianggap tidak menimbulkan resiko karsinogenik pada manusia (EFSA, 2011).

Pada toksisitas reproduksi difenokonazol secara parental dapat menurunkan berat badan, pada keturunan yang dihasilkan dapat menurunkan berat badan melalui laktasi dan tidak ada efek samping pada reproduksi. NOAEL parental adalah 16,8 mg/kgbb/d, NOAEL reproduksi adalah 189 mg/kgbb/d dan

NOAEL keturunan adalah 16,8 mg/kgbb/d (EFSA, 2011).

Toksisitas difenokonazol terhadap perkembangan terjadi efek variasi skeletal (rat) dan peningkatan jumlah resorpsi (rat,rabbit), pada maternal terjadi efek penurunan berat badan dan nafsu makan (rat, kelinci), aborsi dan kematian.

NOAEL maternal pada rat adalah 15,6 mg/kg bb/d, pada kelinci 25 mg/kgbb/d

serta NOAEL perkembangan pada rat 15,6 mg/kg bb/d dan pada kelinci 25 mg/kgbb/d (EFSA, 2011).

D. Melon (Cucumis melo L.) 1. Sejarah Perkembangan Melon

Melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman buah termasuk famili Curcubitaceae, banyak yang menyebutkan buah melon berasal dari Lembah Panas Persia atau daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika. Dan tanaman ini akhirnya tersebar luas ke Timur Tengah dan ke Eropa. Pada abad ke-14 melon dibawa ke Amerika oleh Colombus


(38)

dan akhuirnya ditanam luas di Colorado, California, dan Texas. Akhirnya melon tersebar keseluruh penjuru dunia terutama di daerah tropis dan subtropis termasuk Indonesia (Kemenristek, 2015).

2. Taksonomi Tanaman Melon

Tanaman melon termasuk jenis tanaman labu. Tanaman lain yang masih satu keluarga dengan melon di antaranya semangka, blewah, mentimun, dan waluh. Secara taksonomi tanaman melon dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Klas : Dikotiledoneae Subklas : Sympetalae Ordo : Curcubitales Famili : Curcubitaceae Genus : Cucumis

Spesies : Cucumis melo L. (Redaksi Agromedia, 2007). 3. Sifat dan Ciri Tanaman Melon

a.Bentuk Tanaman. Tanaman melon tumbuh menjalar di atas permukaan tanah atau seringkali dirambatkan pada turus bambu. Apabila tanaman dibiarkan tumbuh, maka akan membentuk banyak cabang yang muncul dari ketiak daun. Dari cabang-cabang terebut akan muncul bunga yang akhirnya akan menjadi buah setelah terjadi persilangan antara bunga jantan dan bunga bentina. Tanaman melon dapat mencapai ketinggian lebih dari 2 m, sehingga dengan demikian perlu


(39)

dilakukan pemangkasan. Susunan daun berselang-seling dengan daun yang ada di atasnya (Samadi, 2007).

b.Akar. Sistem perakaran pada tanaman melon menyebar tetapi tidak dalam. Cabang akar dan rambut-rambut akar menyebar ke segala arah sampai dengan kedalaman 15-30 cm (Samadi, 2007).

c.Batang. Batang tanaman melon berbentuk segilima dengan sudut-sudut yang sedikit membulat. Pertumbuhan batang tidak lurus. Batang berstruktur lunak, berbulu, dan berwarna hijau muda. Pada batang utama muncul cabang-cabang baru yang berkembang ke arah samping (Samadi, 2007).

d.Daun. Daun melon memiliki bentuk agak bulat, bersudut lima, dengan tepi daun bergerigi (tidak rata) dan permukaan yang berbulu. Daun memiliki diameter 10-16 cm. Susunan daun berselang-seling antara daun yang di bawah dengan daun yang tumbuh di atasnya. Pada setiap ketiak daun tumbuh sulur yang berfungsi sebagai alat untuk menjelar. Panjang tangkai daun berkisar antara 10-17 cm (Samadi, 2007).

e.Bunga. Bunga melon berbentuk lonceng, berwarna kuning cerah, mirip bunga tanaman semangka, memiliki kelopak daun sebanyak 5 buah dan kebanyakan bersifat uniseksual monoesius. Lebah sangat berperan dalam proses penyerbukannya, sehingga bantuan manusia sudah tidak diperlukan lagi. Bunga-bunga ini muncul hampir pada setiap ketiak tangkai daun. Dalam waktu beberapa hari, bunga-bunga tersebut akan layu dan gugur, kecuali bunga betina yang telah dibuahi. Bunga yang telah dibuahi akan bertahan dan berkembang hingga menjadi buah (Samadi, 2007).


(40)

f. Buah. Buah melon sangat beragam dalam hal ukuran, bentuk buah, rasa, aroma, dan kenampakan permukaan kulit buahnya. Hal ini sangat tergantung pada varietasnya. Tanaman melon dapat dipanen buahnya pada umur 65-75 hari setelah pindah tanam, tergantung pada varietas dan ketinggian tempat tumbuhnya. Melon yang ditanam di dataran tinggi berumur lebih panjang daripada yang ditanam di dataran rendah. Daging buah melon memiliki warna yang bervariasi tergantung pada varietasnya. Ada yang memiliki warna daging buah hijau muda, putih susu, kuning muda, jingga dan lain-lain (Samadi, 2007).

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Melon a. Iklim

1) Angin yang bertiup cukup keras dapat merusak pertanaman melon, dapat mematahkan tangkai daun, tangkai buah dan batang tanaman. 2) Hujan yang terus menerus akan menggugurkan calon buah yang

sudah terbentuk dan dapat pula menjadikan kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi pathogen. Saat tanaman melon menjelang panen, akan mengurangi kadar gula dalam buah.

3) Tanaman melon memelukan penyinaran matahari penuh selama pertumbuhannya.

4) Tanaman melon memerlukan suhu yang sejuk dan kering untuk pertumbuhannya. Suhu pertumbuhan untuk tanaman melon antara 25 – 30 °C. Tanaman melon tidak dapat tumbuh apabila kurang dari 18 °C.


(41)

5) Kelembaban udara secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman melon. Dalam kelembaban yang tinggi tanaman melon mudah diserang penyakit (Kemenristek, 2015).

b. Media Tanam

1) Tanah yang baik untuk budidaya tanaman melon ialah tanah liat berpasir yang banyak mengandung bahan organik untuk memudahkan akar tanaman melon berkembang. Tanaman melon tidak menyukai tanah yang terlalu basah.

2) Tanaman melon akan tumbuh baik apabila pH-nya 5,8 – 7,2.

3) Tanaman melon pada dasarnya membutuhkan air yang cukup banyak. Tetapi, sebaiknya air itu berasal dari irigasi, bukan dari air hujan (Kemenristek, 2015).

c. Ketinggian Tempat. Tanaman melon dapat tumbuh dengan cukup baik pada ketinggian 300–900 meter dpl. Apabila ketinggian lebih dari 900 meter dpl tanaman tidak berproduksi dengan optimal (Kemenristek, 2015).


(42)

5. Kandungan Buah Melon

Kandungan gizi buah melon dapat dilihat pada Tabel I.

Tabel I. Kandungan dan Komposisi Gizi Buah Melon tiap 100 gram Bahan (Roe, 2013)

Komposisi Gizi Banyaknya (Jumlah)

Energi 29 kcal.

Protein 0,50 gram

Lemak 0,10 gram

Karbohidrat 6,8 gram

Serat 0,70 gram

Abu 0,70 gram

Kalsium 6 mg

Fosfor 6 mg

Kalium 180,00 mg

Zat besi 0,18 mg

Natrium 11 mg

Thiamin 0,07 mg

Riboflavin 0,01 mg

Vitamin B6 0,07 mg

Vitamin C 8,0 mg

Niacin 0,40 mg

Air 91,0 gram

6. Cara Budidaya Melon

a. Pembibitan. Melon termasuk tanaman yang tidak terlalu menuntut media semai yang khusus untuk pembibitannya. Benih disemai di polybag dan akan tumbuh menjadi calon bibit dan harus mendapatkan pemeliharaan yang baik agar menjadi bibit melon yang sehat dan kekar. Bibit dipersemaian di siram setiap pagi hari mulai dari kecambah belum muncul sampai bibit muncul kepermukaan tanah.


(43)

Saat menyemprot untuk penyiraman jangan terlalu kuat karena akan mengikis tanah media dan melemparkan benih atau kecambah keluar dari polibag. Apabila daun sejati keluar, penyiraman bibit baru dapat dilakukan embrat atau gembor. Saat cuaca panas, tanah pada polybag kering dan penyiraman perlu diulangi pada sore hari, jangan menyiram bibit tanaman pada siang hari karena akan menyebabkan air dan zat-zat makanan tidak dapat terserap akibatnya bibit menjadi kurus, kering dan layu (Kemenristek, 2015). Bibit melon dipindahkan ke lapangan apabila sudah berdaun 4–5 helai atau tanaman melon telah berusia 10– 12 hari. Cara pemindahan tidak berbeda dengan cara pemindahan tanaman lainnya, yaitu kantong plastik polibag dibuang secara hati-hati lalu bibit berikut tanahnya ditanam pada bedengan yang sudah dilubangi sebelumnya, bedenganpun jangan sampai kekurangan air (Kemenristek, 2015).

b. Persiapan Pengolahan Media Tanam. Sebelum bibit melon dipindahkan ke lapangan maka perlu dilakukan pengukuran pH tanah, analisis tanah, penetapan waktu/jadwal tanam, penetapan luas areal penanaman, dan pengaturan volume produksi. Penetapan waktu tanam berkaitan dengan perkiraan waktu panen suatu varietas melon yang ditanam dan waktu panen varietas melon lainnya. Penetapan luas penanaman berkaitan erat dengan pemilikan modal, luas lahan yang tersedia, musim dan permintaan pasar. Tanaman melon yang diusahakan di lahan terbuka di musim hujan akan rusak terserang penyakit karena terguyur hujan terus-menerus. Maka penanaman melon di musim hujan lebih diarahkan dengan sistem hidroponik (Kemenristek, 2015).


(44)

c. Pembukaan Lahan. Untuk penanaman melon lahan dilakukan pembajakan. Untuk pencangkulan dan penggarukan, keadaan tanahnya harus cukup kering karena kita bisa mudah membentuk tanah yang semula berbongkah-bongkah dan cukup liat, tanah yang beremah-remah dan cukup sarang (mudah diserap air). Dengan tanah tersebut akan menguntungkan tanaman. Selain perakarannya mudah menembus tanah, juga akan mudah bernapas (Kemenristek, 2015).

d. Pembentukan Bedengan. Selama 5–7 hari lahan dibiarkan kering setelah dibajak (atau dibalik). Proses ini akan membuat tanah menjadi lengket dan berbongkah sehabis dibajak menjadi agak hancur karena mengalami proses pengeringan matahari dan penganginan. Selama proses tersebut beberapa senyawa kimia yang beracun dan merugikan tanaman dan akan hilang perlahan-lahan. Setelah kering, bongkahan tanah dibuat petakan dengan tali rafia untuk membentuk bedengan dengan ukuran panjang bedengan maksimum 12–15 m; tinggi bedengan 30–50 cm; lebar bedengan 100–110 cm; dan lebar parit 55–65 cm. Bedengan dibentuk dengan cara mencangkuli bongkahan tanah menjadi struktur tanah yang remah/gembur. Bila telah bentuk bedengan terlihat, baik itu bedengan kasar/setengah jadi bedengan tersebut dikeringanginkan lagi selama seminggu agar terjadi proses oksidasi/penguapan dari unsur-unsur beracun ada hingga menghilang tuntas. Dengan panjang maksimum 15 m tersebut akan memudahkan perawatan tanaman dan mempercepat pembuangan air, terutama di musim hujan. Tinggi bedengan dibuat sesuai dengan musim dan kondisi tanah. Pada musim hujan tinggi bedengan 50 cm agar perakaran tanaman tidak terendam air jika hujan deras. Dan pada musim kemarau tinggi bedengan cukup 30 cm,


(45)

karena untuk memudahkan perawatan pada saat bedengan digenangi. Parit dibuat dengan lebar 55–65 cm adalah untuk memudahkan perawatan pada saat penyemprotan, pemasangan ajir, maupun penalian (Kemenristek, 2015).

e. Pemasangan Mulsa Plastik Hitam-Perak (PHP). Mulsa PHP yang terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan berwarna perak di bagian atas dan warna hitam dibagian bawah dengan berbagai keuntungan. Warna perak pada mulsa akan memantulkan cahaya matahari sehingga proses fotosintesis menjadi lebih optimal, kondisi pertanaman tidak terlalu lembab, mengurangi serangan penyakit, dan mengusir serangga-serangga penggangu tanaman. Sedangkan warna hitam pada mulsa akan menyerap panas sehingga suhu di perakaran tanaman menjadi hangat, akibatnya perkembangan akar akan optimal. Selain itu warna hitam juga mencegah sinar matahari menembus ke dalam tanah sehingga benih-benih gulma tidak akan tumbuh (kecuali teki dan anak pisang). Pemasangan mulsa sebaiknya dilakukan pada saat panas matahari terik agar mulsa dapat memuai sehingga menutup bedengan dengan tepat. Teknis pemasangannya cukup oleh 2 orang untuk satu bedengan. Setelah selesai pemasangan, bedengan-bedengan dibiarkan tertutup mulsa PHP selama 3 – 5 hari sebelum dibuat lubang tanam. Tujuan agar pupuk kimia yang diberikan dapat berubah menjadi bentuk tersedia sehingga dapat diserap tanaman (Kemenristek, 2015).

f. Teknik Penanaman. Untuk membuat lubang tanam dengan menggunakan pelat pemanas atau memanfaatkan bekas kaleng susu kental. Plat pemanas yang berupa potongan besi dengan diameter 10 cm, dibuat sedemikian rupa hingga panas yang ditimbulkan dari arang yang dibakar mampu melubangi mulsa PHP


(46)

dengan cepat. Model penanaman dapat berupa dua baris berhadap-hadapan membentuk segi empat dua baris berhadap-hadapan membentuk segi tiga. Bibit yang telah di semai ± 3 minggu dipindahkan ke dalam wadah besar beserta medianya. Akar tanaman diusahakan tidak sampai rusak saat menyobek polibag kecil. Cetakan tanah yang telah berisi bibit melon, diletakkan pada lubang yang telah ditugal dan diusahakan agar tidak pecah/hancur karena bisa mengakibatkan kerusakan akar dan tanaman akan layu jika hari panas (Kemenristek, 2015).

g. Pemeliharaan Tanaman. Pemupukan diberikan sebanyak 3 kali, yaitu 20 hari setelah ditanam, tanaman berusia 40 hari (ketika akan melakukan penjarangan buah) dan pada saat tanaman berusia 60 hari (saat menginjak proses pematangan). Untuk memudahkan dalam pemupukan, dibuat data mengenai rangkaian pemupukan sejak awal. Tanaman melon menghendaki udara yang kering untuk pertumbuhannya, tetapi tanah harus lembab. Pengairan harus dilakukan jika hari tidak hujan. Pengairan dilakukan pada sore atau malam hari. Tanaman di siram sejak masa pertumbuhan tanaman, sampai tanaman akan dipetik buahnya. Saat menyiram jangan sampai air siraman membasahi daun dan air dari tanah jangan terkena daun dan buahnya. Tujuannya adalah supaya tanaman tidak dijangkiti penyakit yang berasal dari percikan tersebut, kalau daun basah kuyup akan mengundang jamur sangat besar. Penyiraman dilakukan pagi-pagi sekali atau malam hari. Oleh karena itu ada pengairan di sekitar kebun besar sekali manfaatnya (Kemenristek, 2015).

h. Pemeliharaan Lain. Ajir atau tongkat dari kayu atau bilahan bambu, untuk rambatan dapat dipasang setelah selesai membuat pembubunan dan selesai


(47)

mensterilkan kebun. Atau dapat juga ajir dipasang sesudah bibit ditanam, dan bibit sudah mengeluarkan sulur-sulurnya kira-kira tingginya adalah 50 cm. Ajir harus terbuat dari bahan yang kuat sehingga mampu menahan beban buah dengan bobot kira-kira 2–3 kg. Tempat ditancapkannya ajir dengan jarak kira-kira 25 cm dari pinggir gulu dan baik kanan maupun kiri. Supaya ajir lebih kokoh lagi, kita bisa menambahkan bambu panjang yang diletakkan di bagian pucuk segitiga antara bambu atau kayu yang menyilang, mengikuti barisan ajir-ajir di belakangnya. Pemangkasan yang dilakukan pada tanaman melon bertujuan untuk memelihara cabang sesuai dengan yang dikehendaki. Tinggi tanaman dibuat rata-rata antara titik ke-20 sampai ke-25 (bagian ruas, cabang atau buku dari tanaman tersebut). Pemangkasan dilakukan kalau udara cerah dan kering, supaya bekas luka tidak diserang jamur. Waktu pemangkasan dilakukan setiap 10 hari sekali, yang paling awal dipangkas adalah cabang yang dekat dengan tanah dan sisakan dua helai daun, kemudian cabang-cabang yang tumbuh lalu dipangkas dengan menyisakan 2 helai daun. Pemangkasan dihentikan, jika ketinggian tanamannya sudah mencapai pada cabang ke-20 atau 25 (Kemenristek, 2015,).

i. Panen. Tanda/ciri penampilan tanaman siap panen adalah ukuran buah sesuai dengan ukuran normal, serat jala pada kulit buah sangat nyata/kasar, dan warna kulit hijau kekuningan, umur Panen ± 3 bulan setelah tanam, waktu Pemanenan yang baik adalah pada pagi hari. Cara panen adalah potong tangkai buah melon dengan pisau, sisakan minimal 2 cm untuk memperpanjang masa simpan buah, tangkai dipotong berbentuk huruf “T” maksudnya agar tangkai buah utuh dan kedua sisi atasnya merupakan tangkai daun yang telah dipotong


(48)

daunnya, pemanenan dilakukan secara bertahap, dengan mengutamakan buah yang benar-benar telah siap dipanen (Kemenristek, 2015).

7. Penyakit Antraknosa Pada Tanaman Melon

Tanaman melon merupakan tanaman yang rentan terhadap berbagai serangan penyakit dan hal ini akan berakibat pada hasil buah yang diproduksi (Nuryanto, 2007). Jenis penyakit yang sering muncul pada tanaman melon adalah penyakit jamur atau cendawan dan kekeringan (Anonim, 2014). Tanaman melon memang membutuhkan kelembaban udara yang tinggi pada awal fase pertumbuhannya yaitu dari perkecambahan benih. Pada fase dewasa, tanaman memerlukan kelembaban udara lebih rendah disbanding pada fase pertumbuhan awal. Sementara kelembaban yang tinggi dan kualitas sirkulasi udara yang buruk dapat mengakibatkan tanaman mudah terserang penyakit, karena dengan kelembaban yang tinggi maka orgaisme penyebab penyakit seperti cendawan atau jamur dapat tumbuh dan mempengaruhi kondisi tanaman (Nuryanto, 2007).

Penyakit patek atau antraknosa merupakan salah satu jenis penyakit tanaman yang sering merepotkan petani atau pembudidaya. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan patek atau antraknosa ini terbilang sangat besar, bahkan tidak jarang penyakit ini menimbulkan kegagalan panen. Penyakit ini sangat sulit dikendalikan terutama jika kelembaban areal pertanaman sangat tinggi.

Penyakit patek atau antraknosa disebakan oleh serangan cendawan. Penyakit ini terutama menyerang pada saat kelembaban udara tinggi dan suhu rendah. Penyebaran spora dan miselium cendawan penyebab antraknosa sangat


(49)

cepat. Serangan sangat hebat terjadi pada saat kelembaban di atas 95% dan suhu udara dibawah 32 °C. Jenis cendawan yang paling sering menyebabkan timbulnya penyakit antraknosa adalah Colletrotichum sp. Nama cendawan Colletrotichum

sp menjadi momok yang paling menakutkan terutama di daerah subtropis dan

daerah tropis seperti Indonesia. Penyakit ini terutama sering menyerang tanaman melon (Kurnianti, 2013).

Penyakit antraknosa menyerang semua bagian tanaman yang ditandai dengan adanya bercak agak bulat berwarna cokelat muda, lalu berubah menjadi cokelat tua sampai kehitaman. Gejala lain adalah bercak bulat memanjang berwarna kuning atau cokelat. Buah yang terserang akan nampak bercak agak bulat dan berlekuk berwarna cokelat tua, disini cendawan akan membentuk massa spora berwarna merah jambu. Pengendalian secara kimiawi menggunakan fungisida sitemik dengan bahan aktif yang bisa digunakan adalah difenokonazol (Oktara, 2014).

E. Laju Disipasi Residu Pestisida

Seperti halnya pestisida yang lain, fungisida juga meninggalkan residu pada berbagai komoditas pertanian, lingkungan dan manusia. Residu adalah sisa pestisida yang masih terdapat di lingkungan, produk tanaman atau bahan lain setelah mengalami degradasi. Adanya residu akan berpengaruh terhadap lingkungan dan kesehatan. Untuk menjaga kesehatan masyarakat, oleh pemerintah ditetapkan angka MRLs (Maximum Residue Limits) yaitu batas maksimum residu yang masih diperbolehkan pada komoditas pertanian (Sumardiyono, 2013).


(50)

Di Indonesia masalah residu fungisida juga telah mendapatkan perhatian yang cukup besar dari masyarakat. Hal ini terkait dengan meningkatnya produk ekspor maupun impor beberapa komoditas hortikultura. Oleh karena itu, data analisis residu berbagai komoditas tetap diperlukan untuk memenuhi syarat sertifikasi bahan ekspor. Ekspor komoditas hasil pertanian yang mengandung residu fungisida di atas MRL ada kemungkinan akan ditolak oleh negara pengimpor yang mempunyai persyaratan yang ketat (Sumardiyono, 2013).

Residu dapat hilang atau terurai dan faktor-faktor yang mempengaruhi hilangnya residu di lingkungan adalah penguapan, pencucian, penyerapan (terabsorpsi), mengalami reaksi, degradasi, titik-titik semprot yang terbawa oleh angin (spray drift), dan run off.

Gambar 1. Jalur Penyebaran atau Hilangnya Pestisida (Anonim2, 2015)

Adsorpsi adalah pengikatan pestisida oleh partikel tanah. Jumlah pestisida yang teradsorpsi dengan tanah bergantung pada jenis pestisida, jenis tanah, kelembaban, pH tanah, dan tekstur tanah. Pestisida sangat teradsorpsi dengan tanah liat atau kandungan bahan oraganik yang tinggi. Pestisida tidak cukup kuat teradsorpsi pada tanah berpasir (Anonim2, 2015).


(51)

Penguapan adalah proses padatan atau cairan berubah menjadi gas yang dapat bergerak jauh dari tempat aplikasi. Penguapan pestisida paling mudah terjadi pada tanah berpasir dan tanah yang basah. Cuaca yang panas, kering atau berangin dan droplet semprot yang kecil dapat meningkatkan terjadinya penguapan (Anonim2, 2015).

Spray drift adalah gerakan droplet-droplet (titik-titik) semprot menjauhi

tempat aplikasi oleh udara/angin. Spray drift dipengaruhi oleh :

a. Ukuran droplet/tetesan semprot, semakin kecil ukuran tetesan maka akan lebih mudah terbawa udara.

b. Kecepatan angin, semakin kuat angin maka petisida yang disemprotkan akan mudah terbawa oleh angin.

c. Jarak antara nozel dengan tanaman target atau tanah, semakin jauh jarak maka angin semakin mempengaruhi semprotan (Anonim2, 2015).

Adanya titik-titik semprot yang terbawa oleh angin dapat mengkontaminasi tanaman didekatnya atau tanaman yang siap panen. Selain itu, titik semprot yang terbawa angin dapat mencemari air kolam, sungai, selokan, ikan atau tanaman dan hewan akuatik lainnya. Pastisida yang mengalami spray

drift yang berlebihan akan mengurangi aplikasinya ke tanaman target dan

mengurangi efektivitas pestisida (Anonim2, 2015).

Pencucian adalah perpindahan pestisida oleh air ke dalam tanah. Faktor-faktor yang mempengaruhi apakah pestisida tercuci ke tanah adalah interaksi pestisida dengan air hujan. Pencucian akan meningkat ketika :


(52)

b. Tanah berpasir

c. Terjadi hujan tidak lama setelah penyemprotan

d. Pestisida tidak terikat kuat dengan tanah (Anonim2, 2015).

Karakterisasi tanah sangat penting terhadap perpindahan pestisida. Tanah liat memiliki kapasitas yang tinggi untuk mengadsorpsi banyak bahan kimia seperti pestisida. Tanah berpasir memiliki kapasitas yang jauh lebih rendah untuk menyerap pestisida. Bahan organik di dalam tanah juga dapat menyerap pestisida. Pestisida akan cenderung berpindah pada volume air hujan yang besar dengan interval yang lebih sering (Anonim2, 2015).

Penyerapan (absorpsi) adalah masuknya pestisida dan bahan kimia lainnya ke dalam jaringan tanaman atau mikroorganisme. Sedangkan degradasi adalah proses perusakan pestisida setelah aplikasi. Pestisida dapat terpecah karena mikroba, reaksi kimia, dan cahaya atau fotodegradasi. Proses ini dapat berlangsung dimana saja pada jam, hari bahkan tahun tergantung pada kondisi lingkungan dan karakteristik kimia dari pestisida. Pestisida yang pecah dengan cepat umumnya tudak bertahan pada lingkungan atau tanaman. Proses degradasi dapat terjadi karena :

a. Mikrobia, adalah pemecehan pestisida oleh mikroorganisme seperti fungi, bakteri dan protozoa. Degradasi oleh mikrobia dapat meningkat ketika suhu hangat, pH menguntungkan, kondisi yang lembab dan kesuburan tanah baik yang berarti banyaknya bahan organik (Gardner, 2015).


(53)

b. Kimiawi, adalah pemecahan pestisida oleh reaksi kimia di dalam tanah. Tingkat dan jenis reaksi kimia yang terjadi dipengaruhi oleh ikatan pestisida dengan tanah, suhu tanah dan pH tanah.

c. Fotodegradasi, adalah pemecahan pestisida oleh sinar matahari. Semua pestisida rentan terhadap fotodegradasi sampai batas tertentu. Tingkat pemecahan dipengaruhi oleh intensitas dan spectrum sinar matahari, lama penyinaran, dan sifat pestisida (Anonim2, 2015).

Konsentrasi residu pestisida yang dapat dianggap aman yakni bila telah 95% terdisipasi dari dosis awal yang diaplikasikan. Suatu pestisida perlu ditetapkan dalam hal ini nilai DT50, yaitu waktu yang dibutuhkan suatu pestisida

untuk mengalami proses disipasi sehingga kadarnya menjadi separo dari kadar awal yang diaplikasikan. Nilai DT50 ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam

penilaian keamanan residu pestisida. Standar keamanan untuk setiap residu pestisida dalam setiap komoditi pertanian disebut dengan batas maksimum residu (BMR, Maximum Residue Limits, MRLs) (Noegrohati, 2008).

F. Iklim Tropis Daerah Istimewa Yogyakarta

Wilayah DIY berada di sekitar garis khatulistiwa tepatnya pada posisi 7º.33’- 8º.12’ LS, sehingga termasuk daerah yang beriklim tropis atau memiliki dua musim dalam setahun yakni musim penghujan dan kemarau. Secara umum, karakteristik cuaca di wilayah DIY bertemperatur tinggi atau memiliki suhu udara yang panas dengan suhu rata-rata 25 ºC sampai 32 ºC serta memiliki kelembaban udara dan curah hujan yang cukup tinggi. Di tempat-tempat yang lebih tinggi suhunya lebih dingin (BPS DIY, 2014).


(54)

Iklim tropis yang bercirikan temperatur dan kelembaban tinggi, kaya sinar matahari, dan memiliki dua musim berseling, yaitu musim kemarau (kering) dan penghujan (basah), mempunyai pengaruh yang besar terhadap persistensi pestisida di lingkungan. Secara umum, iklim tropis memungkinkan proses degradasi, baik degradasi kimiawi maupun degradasi mikrobial berlangsung lebih cepat, sehingga persistensi pestisida di daerah tropis relatif lebih pendek dibandingkan daerah beriklim sedang (Tortensson, 1985).

G. Landasan Teori

Fungisida adalah salah satu jenis pestisida yang digunakan untuk untuk membunuh atau mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan (jamur atau fungi). Difenokonazol merupakan salah satu fungisida yang bekerja secara sistemik yang banyak digunakan oleh petani untuk menghentikan perkembangan jamur penyebab berbagai penyakit pada berbagai buah, sayur, sereal dan tanaman lainnya.

Buah melon merupakan salah satu buah tropis yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena buahnya yang segar dan rasanya manis. Pada pertumbuhannya, tanaman buah melon mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh cendawan atau jamur pada kelembaban tinggi seperti kondisi tropis di Indonesia. Salah satu penyakit yang menyerang tanaman melon yang disebabkan oleh cendawan atau jamur adalah antraknosa yang disebabkan cendawan

Colletrotichum s. Cara pengendalian antraknosa yang sering digunakan oleh para


(55)

Fungisida difenokonazol dapat meninggalkan residu pada tanaman melon termasuk pada bagian buahnya setelah diaplikasikan. Residu dapat hilang karena proses pencucian oleh air hujan, penguapan, terdegradasi bahkan terabsorpsi atau terdistribusi ke dalam daging buah melon. Secara tidak langsung residu difenokonazol yang ditinggalkan akan berpengaruh terhadap kesehataan manusia yang mengkonsumsi buah melon yang terkontaminasi.

Difenokonzol yang diaplikasikan akan menempel pada kulit buah kemudian berpenetrasi ke dalam daging buah. Hilangnya residu fungisida difenokonazol pada buah melon dapat digambarkan dengan laju disipasi yaitu nilai slope pada kurva hari vs kadar residu difenokonazol serta waktu degradasi (DT50) dalam hari. Wilayah DIY termasuk daerah beriklim tropis memungkinkan

terjadinya proses degradasi residu difenokonazol dan dibandingkan dengan daerah beriklim sub tropis laju disipasi residu difenokonazol pada kondisi tropis di DIY akan berlangsung lebih cepat. Untuk menjaga keamanan bagi manusia yang mengkonsumsi buah melon perlu ditetapkan kadarnya pada buah melon saat waktu panen (PHI) dan tidak melebihi BMR FAO/WHO residu difenokonazol pada buah melon yang sudah ditetapkan yaitu 0,7 mg/kg.

H. Hipotesis

1. Kadar difenokonazol dalam kulit buah melon lebih besar dari pada di dalam daging buah melon.

2. Kondisi geografi tempat tanam buah melon berpengaruh pada laju disipasi residu fungisida difenokonazol pada buah melon.


(56)

3. Berdasarkan kadar pada saat PHI yang ditetapkan, buah melon di Daerah Istimewa Yogyakarta aman dikonsumsi.


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental murni sederhana karena terdapat perlakuan pada subjek uji yaitu tanaman buah melon. Rancangan penelitian ini merupakan pola lengkap satu arah. Lengkap berarti terdapat dua kelompok subyek uji dalam penelitian ini yaitu adanya kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pola satu arah artinya penelitian ini hanya meneliti pengaruh satu variabel bebas saja yaitu besarnya kadar dan pola laju disipasi residu difenokonazol pada buah melon pada kondisi geografi tempat tanam melon yang berbeda.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian

j. Variabel Bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kadar fungisida difenokonazol yang disemprotkan pada model tanaman melon dan kondisi geografi tempat tanam melon.

k.Variabel Tergantung. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar dan pola laju disipasi residu fungisida difenokonazol pada kulit dan daging buah melon (Cucumis melo L.) dengan kondisi geografi tempat tanam yang berbeda.


(58)

l. Variabel Pengacau Terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah jenis benih tanaman melon yang digunakan, penyemprotan pestisida lain oleh petani, cara penyemprotan fungisida difenokonazol.

m. Variabel Pengacau Tak Terkendali. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah cuaca tempat tanam melon.

2. Definisi Operasional

a. Residu fungisida adalah sisa fungisida yang masih terdapat di tanaman buah melon setelah mengalami degradasi, dinyatakan dengan satuan mg/kg.

b. Residu fungisida yang dianalisis adalah difenokonazol yang merupakan fungisida golongan triazol.

c. Kadar residu difenokonazol pada kulit buah adalah kadar residu pada sampel bagian kulit buah yang berbentuk kasar, berjaring dan keras dengan ketebalan ± 0,5 cm, dinyatakan dengan satuan mg/kg.

d. Kadar residu difenokonazol pada daging buah adalah kadar residu pada sampel bagian daging buah yang berwarna hijau muda atau hijau keputihan, dinyatakan dengan satuan mg/kg.

e. Kadar residu difenokonazol pada keseluruhan buah adalah kadar residu gabungan sampel bagian kulit dan daging buah, dinyatakan dengan satuan mg/kg.

f. Disipasi adalah proses hilangnya senyawa residu fungisida difenokonazol pada buah melon yang disebabkan karena degradasi, absorbsi atau peluruhan ke medium lainnya.


(59)

g. Laju disipasi dilihat dari penurunan kadar residu fungisida difenokonazol pada kulit, daging dan keseluruhan buah melon pada hari ke 0, 1, 3, 5, 7, 14 setelah aplikasi terakhir fungisida difenokonazol, dinyatakan dengan satuan per hari.

h. H-1 adalah satu hari sebelum aplikasi terakhir fungisida difenokonazol. i. H0, H+1, H+3, H+5, H+7 dan H+14 adalah hari ke-0, 1, 3, 5, 7, dan 14

setelah aplikasi terakhir fungisida difenokonazol.

j. BMR (Batas Maksimum Residu) adalah batas maksimum kandungan residu fungisida difenokonazol yang boleh terdapat pada buah melon, dinyatakan dengan satuan (mg/kg).

k. Pre-Harvest Interval (PHI) adalah jumlah hari yang harus dilewati residu

fungisida difenokonazol antara aplikasi teakhir fungisida sampai pada saat panen.

C. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah formulasi difenokonazol donasi dari PT Syngenta (Registration Number 01020120052228), standar difenokonazol donasi dari PT Syngenta dengan kemurnian 96,3 % (Registration Number 119446-68-3), standar dekaklorobifenil (DCB) (analytical

standard E. Sigma-Aldrich) CAS Number 2051-24-3, methanol (for analysis, E.

Merck, Katalog Number 1.06009.2500), acetonitril (gradient grade for liquid

chromatography, E. Merck, Katalog Number 1.00030.4000), n-Hexan ((for

analysis, E. Merck, Katalog Number 1.04367.2500), aquadest dan aquabidest


(60)

Sulfat (MgSO4) (for analysis, E. Merck, Katalog Number 1.05886.1000), Natrium

klorida (NaCl) (for analysis, E. Merck, Katalog Number 1.06404.5000), Na3citr

(for analysis, E. Merck, Katalog Number 1.06448.1000), Na2Hcitr (for analysis,

E. Sigma-Aldrich, Katalog Number 71635), gas nitrogen UHP dengan kemurnian

99,999% (PT. SAMATOR), SPE C18 400 mg, sampel buah melon dari tanaman

buah melon (Cucumis melo L.) varietas Action (sudah dideterminasi oleh Bagian Biologi Farmasi UGM pada Surat Keterangan No. BF/474 Ident/Det/XII/2015 atas nama Serlika Rostiana) yang berasal dari 3 lahan yaitu dusun Siliran kabupaten Kulonprogo, dusun Pelemsewu kabupaten Bantul dan dusun Wedomartani kabupaten Sleman.

D. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, masker, sarung tangan latex, tangki alat semptro 6 Liter (sprayer), kromatografi gas HP 5890 Series II dilengkapi dengan detektor ECD 63Ni dan kolom kapiler non polar (5%-phenyl)-methylpolysiloxane, kolom SPE C18 6 ml ukuran 400 mg, neraca

analitik (OHAUS Carat Series PAJ 1003, max 60/120 g, min 0,001 g), blender,botol centrifuge BIOLOGIX® 15 ml, vortex, thermometer, centrifuge, hot

plate, stopwatch, ultrasonifikasi dan vakum, mikropipet, glass fin, syringe, dan


(61)

E. Tata Cara Penelitian 1. Penyiapan Lahan Permodelan Tanaman Melon

Tanaman buah melon yang digunakan berasal dari 3 lokasi lahan pertanian melon di area provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki kelembaban, curah hujan, ketinggian tempat, jenis tanah, kandungan bahan organik tanah dan pH tanah yang berbeda. Adapun lokasi lahan pertanian melon yang digunakan untuk permodelan antara lain lokasi pertama terletak di dusun Siliran Kecamatan Wates Kabupaten Kulonprogo, lokasi kedua terletak di dusun Pelemsewu Kelurahan Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul dan lokasi ketiga terletak di dusun Demangan Lama Kelurahan Wedomartani Kecamatan Ngemplak Kabupaten Sleman.

Seluruh tanaman melon pada masing-masing lahan ditanam dan diolah seperti biasa petani mengolahnya dan diberikan pestisida, pupuk maupun obat oleh petani seperti biasa tanpa mengandung bahan aktif difenokonazol. Bibit melon yang dipakai adalah jenis Action. Jarak antar tanaman melon dan jarak antar baris masing-masing secara berturut-turut adalah 40 cm dan 2 meter (lokasi Siliran, Kulonprogo), 40 cm dan 30 cm (lokasi Ngemplak, Sleman), 40 cm dan 40 cm (lokasi Panggungharjo, Bantul). Luas tanaman melon bagian kelompok perlakuan berbeda-beda setiap lahan yaitu masing-masing 20 meter x 30 meter (lokasi Siliran, Kulonprogo), 22,75 meter x 1 meter (lokasi Panggungharjo, Bantul) dan 14,0 meter x 1,9 meter (lokasi Ngemplak, Sleman). Jumlah tanaman melon yang diberi perlakuan penyemprotan fungisida formulasi difenokonazol donasi dari PT Syngenta masing-masing lahan ada 100 tanaman melon sehingga


(62)

luas bagian kelompok perlakuan setiap lahan berbeda-beda sedangkan sisa tanaman melon yang lain sebagai kelompok kontrol tanpa penyemprotan fungisida formulasi difenokonazol donasi dari PT Syngenta.

2. Pengecekan Curah Hujan, Suhu dan Kelembaban Lahan

Dilakukan oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Daerah Istimewa Yogyakarta selama proses penanaman.

3. Pengecekan Jenis Tanah, pH Tanah dan Kandungan Bahan Organik Tanah

Dilakukan oleh Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

4. Kalibrasi Penyemprotan

Kalibrasi penyemprotan dilakukan menggunakan air yang dimasukkan ke dalam tangki penyemprot pestisida dengan volume yang diketahui. Setelah tangki terisi air kemudian berjalan biasa sambil menyemprotkan ke area plot tanaman melon yang akan diberi perlakuan formula difenokonazol. Mencatat waktu saat mulai menyemprot sampai selesai yaitu ketika seluruh area plot tanaman melon yang akan diberi perlakuan terbasahi oleh air hasil penyemprotan. Air yang masih tersisa di dalam tangki dikeluarkan lalu menghitung volumenya. Selisih volume awal air dengan volume air sisa penyemprotan adalah volume larutan semprot yang akan diaplikasikan.

5. Aplikasi Formula Fungisida Difenokonazol Pada Tanaman Melon

Cara penyemprotan formula difenokonazol dilakukan mengikuti good


(63)

volume larutan semprot yang digunakan sebanyak hasil kalibrasi dan waktu penyemprotan supaya seluruh tanaman melon terbasahi. Masing-masing lahan pada kelompok perlakuan memiliki luas yang berbeda-beda sehingga dosis semprot yang digunakan berbeda-beda sesuai perhitungan dosis aplikasi maksimum menurut label yaitu 1 ��� dengan volume cairan semprot 600 L/ha. Formula fungisida difenokonazol disemprotkan sebanyak 3 kali, penyemprotan pertama ketika bunga pada tanaman melon rontok dan mulai muncul bakal buah, penyemprotan kedua 10 hari setalah penyemprotan pertama serta penyemprotan ketiga dilakukan saat buah melon siap panen dengan kematangan mencapai 75%. Penyemprotan fungisida dilakukan pada pagi hari maksimal pukul 08.00 ketika cuaca tidak berangin.

6. Pengambilan Sampel Buah Melon dari Lahan Permodelan Tanaman Melon

Sampel buah melon diambil sebanyak masing-masing 5 buah dari petakan secara acak terstratifikasi 1 hari sebelum penyemprotan ketiga dan setelah penyemprotan ketiga yaitu pada hari ke 0, 1, 3, 5, 7 dan 14. Sebagai kontrol diambil sabanyak 5 sampel buah melon dari petakan yang letaknya paling jauh dari petakan sampel perlakuan secara acak terstratifikasi. Sampel diambil menggunakan gunting bersih dan sarung tangan, terlebih dahulu sampel dibersihkan dengan sikat halus kemudian dikemas dalam plastik bersih. Sampel yang diperoleh dibawa ke laboratorium dan segera dilakukan proses preparasi berdasarkan metode analisis yang sudah dilakukan validasi oleh Devi (2015).


(64)

7. Preparasi Sampel

Sampel buah melon masing-masing terlebih dahulu dilakukan penimbangan berat 1 buah melon tanpa ada pencucian sebelumnya. Setelah ditimbang dilakukan proses pemotongan dimana sampel buah melon dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu seluruh (whole), kulit (peel) dan daging (flesh) dengan metode quartering caranya satu buah melon dipotong menjadi dua bagian lalu dari setengah buah melon tersebut dipotong lagi menjadi dua bagian dimana bagian yang satu sebagai sampel whole yang ditimbang beratnya dan bagian yang satu lagi dipisahkan antara kulit dan daging buahnya lalu masing-masing dilakukan penimbangan berat kulit buah melon dan berat daging buah melon. Sehingga satiap buah melon diambil seperempat bagian untuk sampel kulit dan daging lalu seperempat bagian untuk sampel keseluruhan buah (whole). 8. Ekstraksi

Setelah sampel buah melon dipotong-potong berdasarkan kelompok bagiannya, sampel buah melon dilakukan homogenisasi dengan cara diblender tanpa penambahan air. Kelompok bagian keseluruhan, kulit dan daging buah masing-masing dilakukan 3 kali replikasi dari mulai penimbangan. Jumlah sampel yang ditimbang sebanyak 5 gram yang langsung dimasukkan ke dalam tabung

sentrifuge lalu ditambahkan 2 gram MgSO4; 0,5 gram NaCl; 0,5 gram Na3sitrat

dan 0,25 gram Na2HCitr dan asetonitril sebanyak 5 ml. Setelah itu digojog dengan

tangan selama 1 menit lalu divortex selama 2 manit kemudian disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Supernatan hasil sentrifugasi diambil semuanya, ditampung ke dalam flakon bersih. Kemudian dilakukan reekstraksi


(65)

dengan cara menambahkan 5 ml asetonitril ke dalam tabung sentrifuge yang sudah diambil supernatannya lalu digojog kembali dengan tangan selama 1 menit, divortex selama 2 manit setelah itu dilakukan sentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Supernatan hasil reekstraksi diambil semuanya dan ditampung ke dalam flakon yang berisi supernatan hasil ekstraksi pertama. Selanjutnya dikeringkan menggunakan nitrogen sehingga memperoleh ekstrak kering. Sampel ekstrak kering sebelum dilakukan clean up ditambahkan 500 µl

aquabidest kemudian dilakukan degasing.

9. Clean up Sampel Menggunakan SPE C18

a. Pengkondisian kolom SPE C18. Sebelum SPE C18 digunakan terlebih

dahulu dilakukan pengkondisian dengan cara memasukkan 5 ml methanol ditunggu sampai semuanya keluar dari SPE C18 dan kering. Setelah kering

dilanjutkan memasukkan 5 ml aquabidest ke dalam SPE C18 dan ditunggu sampai

keluar dari SPE C18 tetapi jangan sampai kering.

b. Loading Sampel. Sampel yang sudah didegasing, sebelum SPE C18

mengering dimasukkan ke dalam kolom SPE C18 dan eluat yang dihasilkan

dibuang dan jangan sampai kolom SPE C18 mengering.

c. Pencucian Sampel. Menambahkan 5 ml aquabidest ke dalam sampel kemudian dimasukkan ke dalam SPE C18 dan eluat yang dihasilkan dibung dan

kolom SPE C18 ditunggu sampai agak mengering.

d. Elusi. Elusi dilakukan dengan cara menambahkan 3 ml methanol ke dalam sampel lalu dimasukkan ke kolom SPE C18 dan eluat yang dihasilkan ditampung


(66)

10. Pembuatan Larutan Kurva Baku Difenokonazol

a. Pembuatan larutan stok difenokonazol (larutan induk). Sebanyak kurang lebih 52,6 mg baku difenokonazol ditimbang dengan seksama kemudian dilarutkan dengan 1 ml heksan sehingga didapatkan baku difenokonazol dengan konsentrasi 52,6 mg/ml.

b. Pembuatan larutan intermediet difenokonazol 1 (Stok A). Sebanyak 40 µl larutan induk difenokonazol dilarutkan ke dalam 1000 µl heksan sehingga didapatkan konsentrasi baku difenokonazol sebesar 0,526 µg/µl.

c. Pembuatan larutan intermediet difenokonazol 2 (Stok D). Sebanyak 10 µl stok A diambil dengan menggunakan syringe dilarutkan ke dalam 1000 µl heµksan sehingga diperoleh larutan intermedie difenokonazol 2 dengan konsentrasi 0.526 x 10-2 µg/µl.

d. Pembuatan seri larutan kurva baku difenokonazol. Baku difenokonazol dari stok D diambil volume 1 µl, 2 µl, 3 µl, 4 µl, 5 µl, 7 µl, 10 µl, 15 µl, dan 20 µl, masing-masing ditambahkan 2 µl DCB lalu diencerkan dengan heksan hingga volume 200 µl. Masing-masing larutan baku diinjeksikan ke dalam kromatografi gas sebanyak 2 µl. Dalam tahap ini diperoleh hubungan antara kadar difenokonazol dengan rasio luas puncak difenokonazol terhadap DCB.

11. Penetapan Kadar Residu Difenokonazol

Ekstrak kering hasil clean up ditambahkan DCB sebanyak 2 µl lalu dilarutkan menggunakan hexan sebanyak 200 µ l. Sebanyak 2 µl diinjeksikan kedalam kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron pada kondisi


(67)

sistem kromatografi gas yang optimum. Adapun kondisi kromatografi gas detektor penangkap elektron yang digunakan yaitu:

Tabel II. Kondisi Optimum Sistem Kromatografi Gas yang Digunakan (Sanjayadi, 2014)

Parameter Kondisi optimum

1. Injektor (split)

Suhu injektor 230 °C Volume injeksi 2 µl 2. Oven

Panjang kolom 25 meter

Fase diam 5%-phenyl-methylpolysiloxane Temperatur Terprogram 100 °C (3 menit)

30 °C/menit, 245 °C (30 menit) 30 °C /menit, 260 °C (15 menit) 3. Detektor

Detektor ECD63Ni Suhu detektor 295 °C 4. Gas

Gas N2 UHP

Laju alir gas 1ml/menit

F. Analisa Hasil

1. Penentuan Kadar Residu Fungisida Difenokonazol

Untuk menentukan kadar residu difenokonazol pada sampel buah melon dilakukan dengan cara setelah didapatkan luas puncak DCB dan luas area dua puncak difenokonazol pada kromatogram, ditentukan jumlah luas puncak difenokonazol kemudian menentukan rasio luas puncak difenokonazol dengan luas puncak DCB. Rasio yang diperoleh diintrapolasikan ke dalam persamaan


(68)

regresi linier kurva baku yang sudah diperoleh. Kadar residu difenokonazol dihitung dengan menggunakan persamaan:

y = Bx + A

dimana y merupakan rasio luas puncak analit dengan DCB dan x adalah kadar analit yang diperoleh.

2. Penentun Laju Disipasi Residu Fungisida Difenokonazol

Laju disipasi residu fungisida difenokonazol merupakan slope hubungan antara hari vs ln kadar (mg/kg) residu fungisida difenokonazol.

3. Penentuan Waktu-Degradasi (DT50)

DT50 merupakan waktu yang diperlukan residu fungisida difenokonazol

untuk 50% terdegradasi/terdisipasi. DT50 merupakan parameter penting penanda

kecepatan degradasi. Adapun persamaan yang digunakan untuk menghitung DT50

adalah :

��50 = ln 2

� =

0,693

Keterangan : k = laju disipasi (Abdallah, 2014). 4. Penentuan Pre-Harvest Interval (PHI)

Penentuan PHI dilakukan dengan cara menentukan titik potong pada kurva kadar vs hari setelah aplikasi terakhir antara proses disipasi mulai paling cepat menuju proses disipasi yang lambat atau bentuk kurva mulai mendatar. Setelah titik potong ditemukan kemudian menentukan persamaan y = bx + a yang dihasilkan dari kedua kurva hasil perpotongan dengan menggunakan program

powerfit (Universiteit Utrecht faculteit scheikunde). Kemudian slope antara kedua


(1)

a1 6.15385E-005 9.64866E-005 -2.06322E-004 3.29399E-004 Variance Y, S^2 = 1.210256410E-006

Covariance matrix of Coefficients: 4.34451E-007 -4.65483E-008 -4.65483E-008 9.30966E-009 Correlation Coefficient: 0.30382

x value at y = 0: -5.833 Std.Dev.: 18.487 Range: -5.7E+001 < x0 < 4.5E+001

2. Uji Signifikansi slope

�ℎ����� = �1 2 �22

�ℎ����� = 0,001542 2 0,00009652

�ℎ����� = 0,000000009310,00000237

�ℎ����� = 254,56

Degrees of freedom = n1-1, n2-1

= 6-1, 6-1 = 5,5

Ftabel = 5,05

Apabila Fhitung>Ftabel maka standar deviasi berbeda signifikan maka

persamaan uji t yang digunakan adalah :

� = |�1−�2| ��12

�1+�2�22

� = |−0,00394−0,00006| �0,0015422

6 +0

,00009652 6


(2)

� = 0,004

�0,000002376 +0,000000009316

� = 0,004

�3,95×10−7+1,552×10−9

� = 0,004 �3,965×10−7

� = 0,004 6,297×10−4

� = 6,325

����������������= ��12+�22� �14 �12(�1−1)+

�24 �22(�2−1) ����������������= 180

�= 0,05

������ = 1,9732

thitung>ttabel maka slope berbeda signifikan artinya kadar residu difenokonazol


(3)

Lampiran 15. Uji Signifikansi Pengaruh Kondisi Geografi Terhadap Laju Disipasi dengan ANOVA

1. Analisis polynomial slope kurva laju disipasi masing-masing lahan dengan

software power fit

- Slope lahan Siliran :

Polynomial Degree is: 1 , based on 6 data points (#1 to #6) POLYNOMIAL is: F(x) = -3.40521 - 0.11859 x

higher degree is no significant improvement: F(1,3,95.0%) = 10.127 > F_obs = 0.269

Coefficients, Standard Deviations and 95.0% Confidence Limits are: Coefficient Std.Dev. Min.Limit Max.Limit

a0 -3.40521E+000 1.33757E-001 -3.77653E+000 -3.03388E+000 a1 -1.18592E-001 1.95800E-002 -1.72949E-001 -6.42354E-002 Variance Y, S^2 = 4.983880641E-002

Covariance matrix of Coefficients: 1.78909E-002 -1.91688E-003 -1.91688E-003 3.83375E-004 Correlation Coefficient: -0.94957

x value at y = 0: 28.714 Std.Dev.: 5.619 Range: 4.4E+001 < x0 < -1.3E+001

- Slope lahan Bantul:

Polynomial Degree is: 1 , based on 5 data points (#1 to #5) POLYNOMIAL is: F(x) = -4.62461 - 0.16187 x

higher degree is no significant improvement: F(1,2,95.0%) = 18.514 > F_obs = 7.017

Coefficients, Standard Deviations and 95.0% Confidence Limits are: Coefficient Std.Dev. Min.Limit Max.Limit


(4)

a1 -1.61872E-001 1.27454E-001 -5.67483E-001 2.43739E-001 Variance Y, S^2 = 5.328207541E-001

Covariance matrix of Coefficients: 2.72908E-001 -5.19825E-002 -5.19825E-002 1.62445E-002 Correlation Coefficient: -0.59132

x value at y = 0: -28.570 Std.Dev.: 25.096 Range: -1.1E+002 < x0 < 5.1E+001

- Slope lahan Sleman :

Polynomial Degree is: 1 , based on 6 data points (#1 to #6) POLYNOMIAL is: F(x) = -3.72928 - 0.17838 x

higher degree is no significant improvement: F(1,3,95.0%) = 10.127 > F_obs = 0.006

Coefficients, Standard Deviations and 95.0% Confidence Limits are: Coefficient Std.Dev. Min.Limit Max.Limit

a0 -3.72928E+000 3.16003E-001 -4.60655E+000 -2.85201E+000 a1 -1.78377E-001 4.62581E-002 -3.06796E-001 -4.99577E-002 Variance Y, S^2 = 2.781755910E-001

Covariance matrix of Coefficients: 9.98579E-002 -1.06991E-002 -1.06991E-002 2.13981E-003 Correlation Coefficient: -0.88770

x value at y = 0: 20.907 Std.Dev.: 6.826 Range: 4.0E+001 < x0 < -2.0E+000

2. Uji Signifikansi slope dengan ANOVA

a. Variansi ����� lahan Siliran = 0,01952 = 0,0003802 Variansi ����� lahan Bantul = 0,12742 = 0,01623 Variansi ����� lahan Sleman = 0,04632 = 0,002144


(5)

b. ���ℎ�� − ���������������=0,0003802+0,01623+03 ,002144

���ℎ�� − ���������������=0,01875 3

���ℎ�� − ���������������= 0,00625 c. ������� − ���������������=

(−0,118+0,153)2+(−0,162+0,153)2+(−0,178+0,153)2

3−1

������� − ���������������= (0,035)2+(−0,009)2+(−0,025)2

2

������� − ���������������= 0,000965 d. One-sided F test = 0,000965

0,00625 = 0,1544 e. Ftabel (3, 15) = 3,682

Fhitung< Ftabel artinya slope tidak berbeda signifikan sehingga kondisi


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul “Asesmen Paparan Residu Fungisida Difenokonazol Pada Buah Melon (Cucumis melo L.) Terhadap Keamanan Konsumen Dibawah Pengaruh Kondisi Tropis Daerah Istimewa Yogyakarta” ini memiliki nama lengkap Serlika Rostiana. Penulis dilahirkan di Gunungkidul pada tanggal 27 September 1993 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Abdul Halim Aliap dan Tuminah. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis yaitu TK Islam Tunas Melati Yogyakarta (1997-1999). Sekolah Dasar (SD) Wojo III Bantul (1999-2005), Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah 4 Yogyakarta (2005-2008), Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kasihan Tirtonirmolo Bantul (2008-2011) dan pada tahun 2011 melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan antara lain sebagai volunteer pada longmarch memperingati hari HIV/AIDS dunia oleh JMKI 2012, Panitia Pharmacope 2013 sebagai keamanan, Panitia Pengambilan Sumpah/Janji Apoteker Baru Angkatan XXIV 2013 sebagai penerima tamu, Panitia Pelepasan Wisuda Fakultas Farmasi 2013 sebagai koordinator konsumsi, dan Panitia dalam Komisi Pemilihan Umum Gubernur BEMF & Ketua DPMF Farmasi Periode 2014-2015 sebagai koordinator konsumsi pada tahun 2013.