Asesmen paparan residu fungisida azoxystrobin dalam buah melon (Cucumis melo L.) terhadap keamanan konsumen di Daerah Istimewa Yogyakarta.

(1)

INTISARI

Pengendalian penyakit antraknosa pada buah melon sering menggunakan fungisida terutama dengan bahan aktif azoxystrobin. Senyawa azoxystrobin mempunyai sifat yang membahayakan mamalia, antara lain karsinogenik dan genotoksik. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data paparan residu fungisida azoxystrobin sebagai dasar penetapan kadar aman penggunaan fungisida azoxystrobin pada buah melon di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menentukan pre harvest interval (PHI) pada aplikasi maksimal 3 x 1 ml/L dengan volume tinggi. PHI ditetapkan melalui laju disipasi dan DT50.

Tiga lahan model perlakuan terpilih dengan perbedaan geografik, cara tanam dan tekstur tanah di Siliran Kulon Progo, Wedomartani Sleman, dan Panggungharjo Bantul. Sampel diambil pada hari -1, 0, 1, 3, 5, 7, dan 14 setelah aplikasi terakhir. Sampel dipreparasi dengan metode modifikasi QuEChERS dan dideterminasi menggunakan GC ECD.

Hasil penelitian ini kadar residu fungisida azoxystrobin pada lahan penelitian Bantul dan Kulonprogo di kulit lebih besar daripada di daging buah dengan hasil signifikansi uji T thitung > ttabel dengan α 0,05 berturut-turut adalah thit 5,83 > ttabel 1,86 dan thit 4,68 > ttabel 1,81. Kondisi geografis lahan percobaan tidak berpengaruh terhadap laju disipasi residu azoxystrobin dengan hasil tidak signifikan pada uji ANOVA dengan α 0,05 > pvalue 0,03. Kadar residu azoxystrobin di dalam buah melon dapat dikatakan aman dengan kisaran PHI pada hari ke 7 yang didapatkan pada aplikasi sesuai label di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kadar di lahan Siliran, Kulon Progo sebesar 0,010 mg/kg, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,008 mg/kg dan lahan Panggungharjo Bantul sebesar 0,008 mg/kg karena berada dibawah kadar positif list 0,01 mg/kg.

Kata kunci : Cucumis melo L., azoxystrobin, laju disipasi, pre harvest interval, GC ECD


(2)

ABSTRACT

The restraint of anthracnose in melon often uses fungicide especially azoxystrobin as the active substance. Azoxystrobin has characteristics that can harm mammals, i.e carcinogenic and genotoxic. This research has aimed to collect explanation data about azoxystrobin fungicide residual as basic determining of safety level in using azoxystrobin fungicide in melon in Special Region of Yogyakarta by determining the pre harvest interval (PHI) on maximum application 3 x 1 ml/L with high volume. PHI is determined through dissipation rate and DT50.

Three areas of model treatment were chosen with differences in geographic, planting system, and land texture. These areas were located in Siliran Kulon Progo, Wedomartani Sleman, and Panggungharjo Bantul. Sampels were taken on day -1, 0, 1, 3, 5, 7, and 14 after the last application. Sampels were prepared by using QuEChERS modification method and determined by using GC ECD.

The result of this research is that the azoxystrobin level in Bantul and Kulonprogo research area in the skin is bigger than it is detected in the fruit’s flesh with the significant score of T test tcount > ttable with α 0,05 is in a row tcount 5,83 > tcount 1,86 and tcount 4,68 > ttable 1,81. Geographical condition of the trial area did not influence the dissipation rate of azoxystrobin residual with the not-significant score of ANOVA test α 0,05 > pvalue 0,03. Azoxystrobin residual level in melon can be categorized as safe with PHI on the seventh day for the level of Siliran Kulon Progo area with the amount 0,010 mg/kg and 0,008 mg/kg for Panggungharjo Bantul and Wedomartani Sleman area because it is under positive list which is 0,01 mg/kg.

Keywords : Cucumis melo L., azoxystrobin, dissipation, pre harvest interval, GC ECD


(3)

ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN

KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Rushadi Jatmiko

NIM : 118114131

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN

KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Rushadi Jatmiko

NIM : 118114131

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2016


(5)

(6)

Pengesahan Skripsi Berjudul

ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN

KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh : Rushadi Jatmiko Nim : 118114131

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Pada tanggal : . . .

Mengetahui Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Dekan

(Aris Widayanti, M.Si., Ph.D., Apt.)

Panitia Penguji Skripsi Tanda Tangan

1. Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. . . . 2. Dr. Christine Patramurti, M.Si., Apt. . . . 3. Yohanes Dwiatmaka, M.Si. . . .


(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Aku persembahkan kerja keras yang telah aku lakukan untuk . . .

Allah SWT yang telah memberikan segala anugerah-Nya,

Mama yang sangat aku sayangi dan hormati atas pengorbanannya,

Keluarga besar ku yang telah memberiku semangat dan doanya,

Kasihku Meiliana N. Wijayanti yang selalu mendampingiku,

Sahabat-sabahatku tersayang,

Almamater yang kubanggakan

.


(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”, tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiatisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 14 Mei 2015 Penulis

Rushadi Jatmiko


(9)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Rushadi Jatmiko

Nomor mahasiswa : 118114131

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA beserta perangkat yang diperlukan bila ada. Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengolah dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya ataupun royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 20 Januari 2016

Yang menyatakan,

Rushadi Jatmiko


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala perlindungan dan berkat yang telah diberikan sehingga skripsi berjudul “ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA” yang disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi (S. Farm.) dapat dikerjakan dengan baik dan lancar.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari campur tangan berbagai pihak. Kesempatan ini penulis pergunakan untuk mengungkapkan rasa terimaksih kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Prof. Dr. Sri Noegrohati, Apt. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membimbing, selalu mendampingi, dan memberikan saran selama penyusunan skripsi.

3. Ibu Dr. Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik, saran dan nasehat selama penyusunan skripsi.

4. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik, saran dan nasehat selama penyusunan skripsi.

5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt. selaku Kepala Penanggungjawab Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian ini.

6. Bapak Sanjayadi sebagai tutor yang baik untuk berdiskusi.


(11)

7. Pak Parlan, Pak Mus, dan Pak Bimo selaku laboran laboratorium Fakultas Farmasi yang telah membantu penulis dalam proses pelaksanaan penelitian di laboratorium.

8. Keluargaku tercinta dan keluarga besarku yang selalu memberi motivasi, perhatian dan doa demi kelancaran studi dan penyusunan naskah skripsi. 9. Mei sebagai teman terbaik, sahabat seperjalanan yang tak pernah usai atas

doa, kasih sayang, pengertian, perhatian, bantuan, motivasi dan waktu yang diberikan.

10. Teman-teman seperjuangan melon atas segala kerjasama, bantuan dan semangat yang selalu bergelora dalam penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

11. Teman, sahabat Mas Uzi, Mas Nanang, Essy, Arum, Sri, Devi, Yosua, Dian, Windy, dan Mala sekaligus keluargaku atas kebersamaan, kekeluargaan, keceriaan, suka duka, semangat dan motivasi yang diberikan.

12. Teman-teman KKN, Meli, Gerson, Hervy, dan Ria atas kebersamaan, kerja sama, dan dukungan yang diberikan.

13. Teman-teman FST-B 2011 dan seluruh angkatan 2011, serta seluruh teman baik di Fakultas Farmasi maupun teman-teman lain, terima kasih atas kebersamaan yang kita bangun.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.


(12)

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan sehingga penulis berharap kritik dan saran dari semua pihak. Akhir kata, penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama di bidang ilmu farmasi.

Yogyakarta, 14 Mei 2015 Penulis

Rushadi Jatmiko


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

INTISARI ... xxi

ABSTRACT ... xxii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah ... 3

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan Umum ... 6


(14)

2. Tujuan Khusus ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Iklim Tropis ... 7

B. Melon ... 10

1. Jenis tanaman Melon ... 10

2. Kandungan Melon ... 11

3. Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Melon ... 11

C. Budidaya Melon di Indonesia ... 13

D. Hama pada Perkebunan Melon ... 14

1. Ulat daun ... 14

2. Kutu Apids ... 14

3. Thirps ... 15

4. Antraknosa ... 15

E. Fungisida ... 16

1. Pengertian Fungisida ... 16

2. Kategori Fungisida... 17

3. Pengambilan Fungisida oleh Tanaman ... 19

4. Kriteria Aplikasi Fungisida yang Tepat ... 21

F. Efek Buruk Fungisida Golongan Strobilurin ... 22

G. Azoxystrobin ... 23

1. Disipasi Azoxystrobin ... 24

2. Efek Toksik Azoxystrobin ... 26

H. Analisis kelumit (Trace Analysis) ... 26


(15)

I. Penentuan Laju Disipasi Fungisida ... 28

J. Penilaian Keamanan Residu Fungisida ... 29

K. Landasan Teori ... 30

L. Hipotesis ... 32

BAB III METODE PENELITIAN... 33

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 33

1. Variable Penelitian... 33

2. Definisi Operasional ... 34

C. Bahan Penelitian ... 35

1. Bahan Utama ... 35

2. Bahan Kimia ... 36

D. Alat Penelitian ... 36

E. Tata Cara Penelitian ... 37

1. Persiapan Lahan Model Perkebunan Melon ... 37

2. Aplikasi Perlakuan Lahan Model Perkebunan Melon ... 38

3. Pengambilan Sampel Buah dari Lahan Model Perkebunan ... 39

4. Persiapan Sampel ... 39

5. Ekstraksi Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon ... 40

6. Clean up Sampel Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon dengan SPE C18 ... 41

7. Pembuatan Larutan Kurva Baku Azoxystrobin ... 41

8. Determinasi menggunakan GC-ECD ... 43


(16)

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 43

1. Penetapan Kadar Sampel ... 43

2. Penentuan Laju Disipasi ... 44

3. Penetapan Waktu Degradasi 50% (DT50) pada Sampel ... 44

4. Penentuan PHI (Pre Harvest Interval) ... 44

5. Uji Pengaruh Geografis terhadap Pola Laju Disipasi ... 45

G. Alur Penelitian ... 45

1. Persiapan dan Perlakuan Lahan Permodelan ... 45

2. Pengambilan Sampel Buah Melon... 46

3. Penetapan Kadar Residu Fungisida Azoxystrobin, Laju Disipasi, DT50, dan PHI pada Buah Melon ... 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Persiapan Lahan Model Pekebunan Melon ... 48

B. Aplikasi Perlakuan Lahan Model Perkebunan Melon ... 52

C. Pengambilan Sampel Buah dari Lahan Model Perkebunan Melon ... 53

D. Preparasi Sampel Buah Melon ... 54

E. Extraksi Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon ... 55

F. Clean up Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon dengan SPE C18 ... 58

G. Penetapan Kadar Residu Fungisida Azoxystrobin dalam Sampel Buah Melon dengan GC-ECD ... 60

1. Penentuan Kadar Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon pada Lahan Siliran, Kulon Progo... 65


(17)

2. Penentuan Kadar Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon

pada Lahan Panggungharjo, Bantul ... 67

3. Penentuan Kadar Residu Azoxystrobin dalam Buah Melon pada Lahan Wedomartani, Sleman ... 70

H. Penentuan Laju Disipasi Residu Azoxystrobin dalam Sampel Buah Melon dan Pengaruh Geografis terhadap Pola Laju Disipasi ... 72

1. Penetapan Laju Disipasi Redisu Azoxystrobin dalam Sampel Daging, Keseluruhan, dan Kulit Buah Melon ... 72

2. Penetapan Pengaruh Kondisi Geografis terhadap Laju Disipasi Residu Azoxystrobin pada Buah Melon ... 75

I. Karakterisasi Keamanan Azoxystrobin dalam Buah Melon ... 79

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN ... 89

BIOGRAFI PENULIS ... 114


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Komposisi Kimia Buah Melon/100g Bahan ... 11 Tabel II. Rincian Data Azoxystrobin ... 24 Tabel III. Klasifikasi Teknik dan Metode Analisis berdasarkan

Konsentrasi Analit dalam Sampel Menurut Namiestik (2002) .... 28 Tabel IV. Kondisi Optimum GC ... 43 Tabel V. Data Suhu, Curah Hujan, dan Kelembaban

(BMKG Yogyakarta) ... 49 Tabel VI. Data pH, Bahan Organik, Komposisi dan Kelas Teksture Tana

(Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM) ... 50 Tabel VII. Hasil Optimasi Larutan Semprot Azoxystrobin untuk Aplikasi ... 53 Tabel VIII. Kadar Residu Azoxystrobin di Lahan Siliran, Kulon Progo ... 65 Tabel IX. Hasil Uji F Standar Deviasi Slope dari Kurva Kadar Residu

Azoxystrobin pada Kulit dan Daging Buah Lahan Kulon Progo . 66 Tabel X. Hasil Uji T Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada

Kulit dan Daging Buah Lahan Kulon Progo ... 67 Tabel XI. Kadar Residu Azoxystrobin di Lahan Panggungharjo, Bantul ... 68 Tabel XII. Hasil Uji F Standar Deviasi Slope dari Kurva Kadar Residu

Azoxystrobin pada Kulit dan Daging Buah Lahan Bantul ... 69 Tabel XIII. Hasil Uji T Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada

Kulit dan Daging Buah Lahan Bantul ... 69 Tabel XIV. Kadar Residu Azoxystrobin di Lahan Wedomartani, Sleman ... 71


(19)

Tabel XV. Hasil Uji Anova Standar Deviasi Slope dari Kurva Kadar Residu Azoxystrobin pada Keseluruhan Buah Lahan Bantul, Sleman, dan Kulon Progo ... 77 Tabel XVI. Hasil Uji Least Significant Difference Slope dari Kurva Kadar

Residu Azoxystrobin pada Keseluruhan Buah di Lahan Kulon Progo, Sleman dan Bantul ... 77 Tabel XVII. Laju Disipasi dan DT50 Residu Azoxystrobin Di Dalam

Buah Melon ... 80 Tabel XVIII. PHI Penggunaan Fungisida Azoxystrobin ... 82


(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Distribusi Residu Fungisida di Lingkungan ... 20

Gambar 2. Struktur Azoxystrobin (Mastova, 2008) ... 24

Gambar 3. Skema Persiapan dan Perlakuan Buah Melon di Lahan Permodelan ... 45

Gambar 4. Skema Pengambilan Sampel Buah Melon di Lahan Permodelan ... 46

Gambar 5. Skema Penentapan Kadar, Laju Disipasi, DT50, dan PHI Residu Fungisida Azoxystrobin pada Buah Melon ... 47

Gambar 6. Pengaruh pH terhadap jumlah CO-Extraktan ... 56

Gambar 7. Kromatogram Baku Solvent ... 62

Gambar 8. Struktur Dekaklorobifenil (DCB) ... 63

Gambar 9. Overlay Kromatogram (A) Puncak DCB dan (B) Puncak Azoxystrobin pada GC-ECD ... 63

Gambar 10. Kurva Baku Kadar Azoxystrobin vs Rasio AUC Azoxystrobin / AUC DCB yang Diplotkan pada Program Power Fit ... 64

Gambar 11. Grafik Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi Lahan Kulon Progo ... 73

Gambar 12. Grafik Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi Lahan Bantul ... 74

Gambar 13. Grafik ln Kadar Residu Azoxystrobin vs Hari Terakhir Aplikasi di Lahan Sleman ... 74


(21)

Gambar 14. Kurva Pola Laju Disipasi Residu Azoxystrobin pada Buah

Melon di Lahan Bantul, Kulon Progo, dan Sleman ... 76


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman LAMPIRAN 1. Hasil Penelitian Tanah oleh Fakultas Pertanian UGM ... 90 LAMPIRAN 2. Surat Permohonan Data Kondisi Geografis pada BMKG .... 91 LAMPIRAN 3. Hasil Pengamatan Iklim di Daerah Bantul oleh

BMKG DIY ... 92 LAMPIRAN 4. Hasil Pengamatan Iklim di Daerah Sleman oleh

BMKG DIY ... 93 LAMPIRAN 5. Hasil Pengamatan Iklim di Daerah Kulonprogo oleh

BMKG DIY ... 94 LAMPIRAN 6. Hasil Pengamatan Curah Hujan di Daerah Bantul oleh

BMKG DIY ... 95 LAMPIRAN 7. Foto Buah Melon ... 96 LAMPIRAN 8. Kerusakan Lahan Buah Melon Wedomartani, Sleman

Akibat Penyakit Antraknosa ... 96 LAMPIRAN 9. Foto Lahan Sampel Perlakuan ... 97 LAMPIRAN 10. COA Amistar ... 99 LAMPIRAN 11. COA Standar Azoxystrobin ... 100 LAMPIRAN 12. Langkah Preparasi Sampel Buah Melon ... 101 LAMPIRAN 13. Contoh Data Penimbangan Sampel ... 104 LAMPIRAN 14. Kurva Baku Azoxystrobin ... 105 LAMPIRAN 15. Contoh Perhitungan Penetapan Kadar ... 106 LAMPIRAN 16. Contoh Perhitungan, Laju Disipasi, DT50 dan PHI ... 107


(23)

LAMPIRAN 17. Contoh Perhitungan Signifikansi Data dengan Uji T ... 108 LAMPIRAN 18. Label Penggunaan Formulasi Azoxystrobin Syngenta ... 111 LAMPIRAN 19. Label Penggunaan Bibit Melon Action 434® ... 112 LAMPIRAN 20. Determinasi Tanaman Melon Sampel oleh

Fakultas Farmasi, UGM ... 113


(24)

INTISARI

Pengendalian penyakit antraknosa pada buah melon sering menggunakan fungisida terutama dengan bahan aktif azoxystrobin. Senyawa azoxystrobin mempunyai sifat yang membahayakan mamalia, antara lain karsinogenik dan genotoksik. Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data paparan residu fungisida azoxystrobin sebagai dasar penetapan kadar aman penggunaan fungisida azoxystrobin pada buah melon di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menentukan pre harvest interval (PHI) pada aplikasi maksimal 3 x 1 ml/L dengan volume tinggi. PHI ditetapkan melalui laju disipasi dan DT50.

Tiga lahan model perlakuan terpilih dengan perbedaan geografik, cara tanam dan tekstur tanah di Siliran Kulon Progo, Wedomartani Sleman, dan Panggungharjo Bantul. Sampel diambil pada hari -1, 0, 1, 3, 5, 7, dan 14 setelah aplikasi terakhir. Sampel dipreparasi dengan metode modifikasi QuEChERS dan dideterminasi menggunakan GC ECD.

Hasil penelitian ini kadar residu fungisida azoxystrobin pada lahan penelitian Bantul dan Kulonprogo di kulit lebih besar daripada di daging buah dengan hasil signifikansi uji T thitung > ttabel dengan α 0,05 berturut-turut adalah thit 5,83 > ttabel 1,86 dan thit 4,68 > ttabel 1,81. Kondisi geografis lahan percobaan tidak berpengaruh terhadap laju disipasi residu azoxystrobin dengan hasil tidak signifikan pada uji ANOVA dengan α 0,05 > pvalue 0,03. Kadar residu azoxystrobin di dalam buah melon dapat dikatakan aman dengan kisaran PHI pada hari ke 7 yang didapatkan pada aplikasi sesuai label di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan kadar di lahan Siliran, Kulon Progo sebesar 0,010 mg/kg, lahan Wedomartani, Sleman sebesar 0,008 mg/kg dan lahan Panggungharjo Bantul sebesar 0,008 mg/kg karena berada dibawah kadar positif list 0,01 mg/kg.

Kata kunci : Cucumis melo L., azoxystrobin, laju disipasi, pre harvest interval, GC ECD


(25)

ABSTRACT

The restraint of anthracnose in melon often uses fungicide especially azoxystrobin as the active substance. Azoxystrobin has characteristics that can harm mammals, i.e carcinogenic and genotoxic. This research has aimed to collect explanation data about azoxystrobin fungicide residual as basic determining of safety level in using azoxystrobin fungicide in melon in Special Region of Yogyakarta by determining the pre harvest interval (PHI) on maximum application 3 x 1 ml/L with high volume. PHI is determined through dissipation rate and DT50.

Three areas of model treatment were chosen with differences in geographic, planting system, and land texture. These areas were located in Siliran Kulon Progo, Wedomartani Sleman, and Panggungharjo Bantul. Sampels were taken on day -1, 0, 1, 3, 5, 7, and 14 after the last application. Sampels were prepared by using QuEChERS modification method and determined by using GC ECD.

The result of this research is that the azoxystrobin level in Bantul and Kulonprogo research area in the skin is bigger than it is detected in the fruit’s flesh with the significant score of T test tcount > ttable with α 0,05 is in a row tcount 5,83 > tcount 1,86 and tcount 4,68 > ttable 1,81. Geographical condition of the trial area did not influence the dissipation rate of azoxystrobin residual with the not-significant score of ANOVA test α 0,05 > pvalue 0,03. Azoxystrobin residual level in melon can be categorized as safe with PHI on the seventh day for the level of Siliran Kulon Progo area with the amount 0,010 mg/kg and 0,008 mg/kg for Panggungharjo Bantul and Wedomartani Sleman area because it is under positive list which is 0,01 mg/kg.

Keywords : Cucumis melo L., azoxystrobin, dissipation, pre harvest interval, GC ECD


(26)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman semusim yang banyak dibudidayakan di Indonesia (Kristianingsih, 2010). Perkembangan agrobisnis melon di Indonesia belakangan ini menunjukan prospek usaha yang sangat menjanjikan. Dahulu usaha budidaya melon hanya berpusat di Cisarua Bogor dan Kalianda Lampung, sekarang ini persebarannya semakin meluas ke berbagai wilayah di Indonesia (Maimun, 2014).

Pada tahun 2014, produksi melon Indonesia mencapai 150,347 ton dengan luas panen 8,185 ha yang tersebar di Jawa Timur, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Lampung dan Nusa Tenggara Barat (Julianto, 2013). Saat ini Indonesia sedang digalakkan penanaman buah melon untuk menjadi produsen dan eksportir buah tropis terbesar di Asia Tenggara (Abby, 2015). Menurut studi pendahuluan, beberapa daerah di Yogyakarta telah membudidayakan melon. Penanaman melon tersebar di Kabupaten Kulon Progo bagian bawah, Bantul dan beberapa daerah Sleman bagian atas.

Melindungi tanaman dari serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam usaha memantapkan produksi pertanian. Berbagai usaha dilakukan oleh petani untuk melindungi tanaman dari gangguan OPT agar terhindar dari kerugian secara ekonomi dalam usaha taninya (DEPTAN, 1998).


(27)

Seperti halnya tanaman lain, buah melon juga dapat diserang berbagai penyakit. Salah satu penyakit yang sering dijumpai petani melon di Yogyakarta adalah antraknosa (Anonim d, 2015). Antraknosa merupakan salah satu jenis penyakit tanaman yang sering merepotkan petani atau pembudidaya. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan antraknosa ini terbilang sangat besar, bahkan tidak jarang penyakit antraknosa menimbulkan kegagalan panen (Kurniati, 2013).

Pengendalian penyakit antraknosa dilakukan secara kimiawi menggunakan fungisida yang berbahan aktif seperti benomil, metil tiofanat, carbendazim, difenoconazol, tebuconazol, clorotalonil, azoxystrobin dan mankozeb (Anonim a, 2015). Azoxystrobin adalah senyawa β - metakrilat yang secara struktural terkait dengan strobilurin alami, yang merupakan senyawa yang berasal dari beberapa spesies jamur (FAO report CCPR, 2008). Senyawa azoxystrobin mempunyai efek berbahaya bagi mamalia antara lain karsinogenik dan genotoksik (CAC, 2014). Codex Alimentairus pada tahun 2014 menetapkan acceptabel daily intake (ADI) of 0–0,2 mg/kgBB berdasarkan penelitian potensial karsinogenik azoxystrobin terhadap tikus dengan kadar 300 ppm NOAEL setara dengan 18,2 mg/kgBB per hari dan LOAEL 750 ppm setara dengan 34 mg/kgBB/hari.

Menurut studi pendahuluan, petani di daerah istimewa Yogyakarta sering mengunakan difenokonazol dan azoxystrobin untuk membasmi antraknosa. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul, dalam kegiatan budidaya melon mulai dari tanam sampai memasuki waktu panen mayoritas petani menggunakan pupuk kimia dan pestisida berlebihan sehingga kondisi ini merusak


(28)

kesuburan tanah (Hari, 2015). Hal ini juga tidak menutup kemungkinan residu pestisida khususnya fungisida tersebut masih mengendap di tanaman melon. Padahal, batas aman kadar maksimal residu senyawa azoxystrobin untuk buah melon belum ditentukan oleh FAO sehingga mengacu pada tetapan batas aman menurut positif list yaitu sebesar 0,01 mg/kg (The Japan Food Chemical Research Foundation, 2015).

Supaya ketersediaan melon di pasaran tetap terjaga dan aman bagi konsumen maka perlu mengetahui kadar residu fungisida azoxystrobin pada buah melon dan pola laju disipasi residu fungisida azoxystrobin pada kondisi tropis di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini untuk menentukan selang waktu antara aplikasi formulasi fungisida azoxystrobin terakhir hingga saat panen sehingga dapat mengetahui waktu panen yang tepat dengan kadar residu fungisida azoxystrobin yang rendah di bawah batas maksimum residu (BMR) di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memastikan buah melon pada saat panen aman dikonsumsi dari residu fungisida azoxystrobin dengan cara menentukan interval waktu aplikasi terakhir fungisida azoxystrobin hingga dilakukan panen yang ditentukan dalam hari/pre harvest interval (PHI) fungisida azoxystrobin berdasarkan laju disipasi residu fungisida azoxystrobin dari buah melon di Daerah Istimewa Yogyakarta.

1. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat ditentukan beberapa rumusan masalah yaitu:


(29)

a. Berapa kadar residu azoxystrobin dalam kulit, daging, dan keseluruhan buah melon dengan penggunaan kadar aplikasi 1ml/L kadar dengan volume tinggi?

b. Apakah ada perbedaan pola laju disipasi residu fungisida azoxystrobin di dalam buah melon yang dipengaruhi oleh perbedaan geografis lahan buah melon yang digunakan?

c. Kapan pre harvest interval (PHI) yang aman dari residu fungisida azoxystrobin pada buah melon setelah aplikasi fungisida azoxystrobin dengan kadar 1ml/L dengan volume tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta?

2. Keaslian Penelitian

Pada penelitian sebelumnya mengenai “Asesmen Paparan Residu Fungisida Azoxystrobin dalam Buah Melon (Cucumis melo L.) terhadap Keamanan Konsumen di Daerah Istimewa Yogyakarta” belum pernah dilakukan di Indonesia khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun ada beberapa penelitian yang dilakukan berkaitan dengan analisis kadar residu azoxystrobin. Penelitian dengan judul “Azoxystrobin and Difenoconazole – Residue Study on Melon in Italy, Spain and Southern France in 2008 and 2009” oleh Mitch Kelly (2011) berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu menggunakan 3 lahan melon yang berbeda dengan perbedaan ketinggian.

Penelitian ini membahas tentang 5 percobaan dengan tanaman melon yang dikondisikan dengan variasi penggunaan azoxystrobin di Eropa Selatan. Determinasi dari senyawa azoxystrobin di melon telah diteliti dan dievaluasi


(30)

residu yang ada. Data yang diperoleh menunjukkan residu dari azoxystrobin ditetapkan pada kadar antara 0,01 mg/kg untuk limit of quantification (LOQ) pada melon dengan perlakuan dan tidak terdeteksi kadar azoxystrobin di setiap melon yang tidak diberi perlakuan (sampel pada pasar bebas).

Penelitian tentang “Dissipation Pattern of Azoxystrobin, Difenoconazole and Iprodione Treated on Field-Grown Green Garlic” oleh Hye-Rim Kang dkk. (2011) untuk menyelidiki pola disipasi 3 pestisida, azoxystrobin, difenoconazole dan iprodione, pada bawang putih hijau setelah pestisida diaplikasikan di lapangan sebagai obat daun dengan aplikasi tunggal yang direkomendasikan dan dua kali lipat kadar yang direkomendasikan. Pada penelitian yang dilakukan tidak menggunakan perbedaan kadar bertingkat sebagai aplikasi terhadap lahan yang akan diberikan perlakuan.

Hasil dari penelitian ini adalah residu dari azoxystrobin, difenoconazole dan ioprodin di bawang hijau masing-masing ada dibawah MRL di hari ke 0 untuk azoxystrobin, hari ke 0 untuk difenoconazole, dan hari ke 5 untuk ioprodine. Kesimpulannya pestisida ini aman untuk digunakan dalam pertanian dan aman untuk konsumen.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang farmasi mengenai cara menentukan laju disipasi dan waktu aplikasi terakhir yang tepat sebelum panen (pre harvest interval) untuk fungisida azoxystrobin pada penggunaan 1ml/L kadar dengan volume tinggi buah melon (Cucumis melo L.) di Daerah


(31)

Istimewa Yogyakarta sebagai dasar evaluasi keamanan residu fungisida azoxystrobin pada buah melon (Cucumis melo L.).

b. Manfaat praktis. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai model penentuan laju disipasi residu fungisida azoxystrobin pada buah melon di Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus yaitu sebagai berikut: 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data paparan residu fungisida azoxystrobin sebagai dasar penetapan kadar aman penggunaan fungisida azoxystrobin pada buah melon di Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

a. Penelitian ini khususnya bertujuan untuk mengetahui kadar azoxystrobin dalam kulit, daging, dan keseluruhan buah melon dengan penggunaan kadar aplikasi 1ml/L kadar dengan volume tinggi.

b. Mengetahui pengaruh geografis lahan terhadap pola laju disipasi fungisida azoxystrobin di dalam buah melon.

c. Mengetahui dan menetapkan pre harvest interval (PHI) yang aman terhadap residu fungisida azoxystrobin untuk aplikasi fungisida azoxystrobin pada tanaman melon dengan penggunaan kadar aplikasi 1ml/L kadar dengan volume tinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Iklim Tropis

Indonesia terletak di dekat khatulistiwa dan memiliki iklim tropis. Dua pertiga dari Indonesia terdiri dari hutan hujan tropis yang merupakan rumah bagi sebanyak 40.000 tanaman yang berbeda dan terdapat banyak hewan langka (Skwirk, 2015).

Variabel utama iklim di Indonesia bukan suhu atau tekanan udara, tapi curah hujan. Terlintasi oleh garis khatulistiwa, Indonesia memiliki iklim tropis hampir seluruh daerah, dengan dataran pantai rata-rata 28°C, pedalaman dan daerah pegunungan rata-rata 26°C dan daerah pegunungan yang lebih tinggi 23°C. Kelembaban didaerah tersebut relatif cukup tinggi dan sejajar (Weather Online, 2015).

Kepulauan Indonesia berada di garis khatulistiwa. Hal ini berarti bahwa seluruh daerah di Indonesia terletak di iklim tropis namun ada variasi cuaca di pulau-pulau Indonesia yang berbeda. Secara umum iklim di seluruh Indonesia panas dan lembab. Kelembaban menunjukkan volume kelembaban yang tinggi di udara (Skwirk, 2015).

Meskipun sebagian besar wilayah Indonesia panas sepanjang tahun, namun tidak di beberapa daerah. Seperti halnya gunung tertinggi di Indonesia, puncak Jaya Wijaya yang memiliki tinggi hampir 5.000 meter dan bagian atas ditutupi salju sepanjang tahun (Skwirk, 2015).


(33)

Indonesia hanya memiliki musim penghujan dan kemarau. Musim hujan biasanya berlangsung dari sekitar bulan November sampai Maret. Musim ini terjadi ketika angin (dikenal sebagai angin monsoon) di arah pergeseran Indonesia dan berasal dari Samudera Hindia. Angin ini membawa hujan lebat tetapi jumlah hujan bervariasi di berbagai bagian Indonesia (Skwirk, 2015).

Musim kemarau biasanya dari akhir Mei sampai Oktober. Pada saat musin ini angin muson bertiup dari arah yang berlawanan dengan musim hujan. Angin kering dan memiliki curah hujan yang sangat sedikit. Selama musim kemarau hutan dapat mengering dan kebakaran menjadi bahaya tersendiri, mirip dengan kebakaran hutan di Australia (Skwirk, 2015).

Kondisi fisik di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat ditinjau dari kondisi geografi, iklim, geologi, gomorfologi, jenis tanah, dan hidrologi daerah. Kondisi geografi daerah menerangkan tentang posisi spasial daerah dalam kaitannya dengan daerah lain yang ada di sekitarnya, baik dalam hal luas wilayah, batas-batas wilayah, maupun batas-batas potensi sumberdaya alam kewilayahan. Penggambaran kondisi geografi daerah dilakukan baik dengan deskripsi tulisan maupun melalui presentasi peta wilayah (Pemda DIY, 2010).

Kondisi iklim suatu potensi sangat berpengaruh pada potensi daerah bersangkutan, baik dalam potensi sumberdaya alam maupun dalam potensi kebencanaan alam. Deskripsi klimatologis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang diuraikan berupa curah hujan dan suhu udara. Kedua parameter iklim ini sangat berpengaruh pada potensi pengembangan sumberdaya alam, baik dilihat sebagai potensi cadangan alamiah maupun potensi alam berkesinambungan.


(34)

Curah hujan sebagai input air ke permukaan bumi membawa akibat pada variasi potensi hidrologi daerah bersangkutan, sehingga uraian hidrologi daerah tidak boleh dipisahkan dengan kondisi klimatologisnya, terutama dengan curah hujan. Air hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan mengalami proses-proses evaporasi (kembali ke atmosfer sebagai uap air), infiltrasi (menjadi air tanah), dan genangan/limpasan (sebagai air permukaan) (Pemda DIY, 2010).

Secara astronomis, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terletak antara 70 33' LS - 8 12' LS dan 110 00' BT - 110 50' BT. Komponen fisiografi yang menyusun Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 4 (empat) satuan fisiografis yaitu Satuan Pegunungan Selatan (Dataran Tinggi Karst) dengan ketinggian tempat berkisar antara 150 - 700 meter, Satuan Gunungapi Merapi dengan ketinggian tempat berkisar antara 80 - 2.911 meter, Satuan Dataran Rendah yang membentang antara Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada ketinggian 0 - 80 meter, dan Pegunungan Kulon Progo dengan ketinggian hingga 572 meter (Pemda DIY, 2010).

Curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%. Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam (Pemda DIY, 2010).


(35)

B. Melon

Tanaman melon (Cucumis melo L.) berdasarkan Prajnanta (2003) secara lengkap dilihat dari segi taksonomi tumbuhan, tanaman melon diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Kingdom : Platae

b. Divisio : Spermatophyta c. Sub-divisio : Angiospermae d. Kelas : Dikotiledoneae e. Sub-kelas : Sympetalae f. Ordo : Cucurbitales g. Famili : Cucurbitaceae h. Genus : Cucumis

i. Spesies : Cucumis melo L. 1. Jenis Tanaman Melon

Tanaman melon mempunyai banyak jenis, untuk mempermudah sistem penanaman dan pengelompokan melon, para ahli mengklasifikasikan melon dalam dua tipe, yaitu:

a. Netted-Melon adalah buah melon dengan kulit buah keras, kasar, berurat dan bergambar seperti jala (net), aroma relatif lebih harum dibanding dengan winter–melon, lebih cepat masak antara 75–90 hari, awet dan tahan lama untuk disimpan (Samadi, 2007).

b. Winter-Melon adalah buah melon dengan kulit buah halus, mengkilat dan aroma buah tidak harum, buah lambat untuk masak antara 90–120 hari, mudah


(36)

rusak dan tidak tahan lama untuk disimpan, tipe melon ini sering digunakan sebagai tanaman hias (Samadi, 2007).

2. Kandungan Melon

Melon merupakan salah satu buah yang dikonsumsi daging buahnya, baik untuk konsumsi segar atau olahan. Melon mengandung berbagai macam komposisi kimia (Wirakusumah, 2000). Kandungan gizi dari 100 g melon dapat dilihat dari tabel 1 berikut :

Tabel I. Komposisi Kimia Buah Melon/100 g Bahan Komposisi Kimia Buah

Melon/100 g Bahan Jumlah Energi (kal) 21,0 Protein (g) 0,60

Lemak (g) 0,10

Karbohidrat (g) 5,10 Kalsium (mg) 15,00 Fosfor (mg) 25,00

Serat (g) 0,30

Besi (mg) 0,50

Vitamin A (SI) 640,00 Vitamin B1 (mg) 0,03 Vitamin B2 (mg) 0,02 Vitamin C (mg) 34,00 Niacin (g) 0,80

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Melon

a. Iklim. Pada faktor ini, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi proses perkembangan melon, yaitu angin , hujan, sinar matahari, suhu yang sejuk dan kering antara 25-30°C serta kelembapan (Samadi, 2007). Tanaman melon memerlukan curah hujan antara 2.000-3.000 mm/tahun. Pertumbuhan tanaman


(37)

melon tidak banyak dipengaruhi oleh kelembaban udara, asalkan kadar air di dalam tanah cukup tersedia (Prajnanta, 2003).

Kelembaban yang diperlukan berkisar ± 65%. Kelembaban yang tinggi akan mempercepat perkembangan penyakit, jamur dan proses pemasakan. Angin yang bertiup cukup keras dapat merusak pertanaman melon dan hujan yang turun terus menerus juga akan merugikan tanaman melon (Prajnanta, 2003).

Tanaman melon membutuhkan tempat yang mendapat sinar matahari penuh sekitar 10-12 jam/hari, suhu udaranya hangat dan kelembaban udaranya relatif rendah. Selama proses perkecambahan idealnya pada suhu udara 28oC- 30oC, sedangkan pada periode pertumbuhan kisaran suhu yang ideal 25oC-30oC (Rukmana, 1994).

b. Ketinggian tempat. Tanaman melon dapat tumbuh dengan cukup baik pada ketinggian 300–900 mdpl namun, tanaman melon masih dapat berproduksi dengan baik pada ketinggian 0-100 meter dpl. Apabila ketinggian lebih dari 900 mdpl tanaman tidak berproduksi dengan optimal. Tanaman melon dapat dipanen buahnya pada umur 65-75 hari setelah pindah tanam tergantung pada varietas dan ketinggian tempat tumbuhnya. Melon yang ditanam di dataran tinggi berumur lebih panjang daripada yang ditanam didataran rendah (Samadi, 2007).

Tanaman melon membutuhkan tempat yang mendapat sinar matahari penuh sekitar 10-12 jam/hari, suhu udaranya hangat dan kelembaban udaranya relatif rendah. Selama proses perkecambahan idealnya pada suhu udara 28oC-


(38)

30oC, sedangkan pada periode pertumbuhan kisaran suhu yang ideal 25oC-30oC (Rukmana, 1994)

c. Tanah. Jenis tanah yang paling ideal untuk melon adalah tanah geluh berpasir yang lapisan olahnya dalam, tidak mudah becek (menggenang), subur, gembur, banyak mengandung bahan organik, dan pHnya antara 6,0-6,8 meskipun masih toleran pada pH antara 5,8-7,2 (Rukmana, 1994).

C. Budidaya Melon di Indonesia

Menurut asal-usulnya, konon tanaman melon berasal dari daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika. Secara khusus ada yang menyebutkan bahwa melon berasal dari lembah Persia (Syria). Tanaman ini kemudian menyebar secara luas ke Timur Tengah dan merambah ke Eropa (Denmark, Belanda, dan Jerman). Dari Eropa, Melon dibawa ke Amerika pada abad ke-14 dan ditanam secara luas di daerah Colorado, California, dan Texas. Akhirnya, tanaman melon menyebar ke segala penjuru dunia, terutama pada daerah tropis dan subtropis mulai dari Jepang, Cina, Taiwan, Korea, Australia, hingga berkembang di Indonesia (Prajnanta, 1997).

Tanaman melon (Cucumis melo L.) merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah melon banyak digemari oleh masyarakat karena buahnya yang berasa manis dan mengandung banyak air sehingga menyegarkan apabila dimakan. Tanaman melon ini juga memiliki arti penting bagi perkembangan sosial ekonomi masyarakat khususnya dalam meningkatkan pendapatan petani, karena dirasa buah melon memiliki nilai ekonomis yang lebih


(39)

tinggi, adapun arti penting yang lain adalah sebagai perbaikan gizi masyarakat dan perluasan kesempatan kerja (Kristianingsih, 2010).

Perkembangan agrobisnis melon di Indonesia belakangan ini menunjukan prospek usaha yang sangat menjanjikan. Bila dulunya usaha budidaya melon hanya berpusat di Cisarua Bogor dan Kalianda Lampung, sekarang ini persebarannya semakin meluas ke berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya saja seperti di Daerah Grobogan, Malang, Ngawi, Pacitan, Madiun, Blitar, Sukoharjo, Surakarta, Karang Anyar, Klaten, Kulon Progo Yogyakarta, Banten, dan lain sebagainya (Maimun, 2014).

D. Hama pada Perkebunan Melon

Budidaya melon di daerah tropis seperti Indonesia cukup rentan dengan serangan hama dan penyakit. Hama yang biasa menyerang budidaya melon antara lain kutu daun, lalat buah, ulat daun, thrips, tungau. Sedangkan penyakit yang menyerang antara lain antraknosa, busuk buah, busuk batang dan mosaik (Sobir dan Firmansyah, 2014).

1. Ulat Daun

Ulat daun dikenal juga dengan ulat jengkal atau ulat grayuk. Daun tanaman yang terserang tanaman ini tampak menggulung dan berlubang-lubang, akhirnya meranggas hingga tinggal daunnya. Penanggulangan ulat daun dapat dilakukan dengan cara teknis dan mekanis (Sobir dan Firmansyah, 2014).

2. Kutu Aphids

Hama ini mempunyai getah cairan yang mengandung madu dan di lihat dari kejauhan mengkilap. Hama ini menyerang tanaman melon yang ada di lahan


(40)

penanaman. Aphids muda yang menyerang melon berwarna kuning, sedangkan yang dewasa mempunyai sayap dan berwarna agak kehitaman. Gejala yang ditimbulkan dari daun tanaman menggulung dan pucuk tanaman menjadi kering akibat cairan daun yang dihisap hama (Sobir dan Firmansyah, 2014).

3. Thirps

Hama ini menyerang saat fase pembibitan sampai tanaman dewasa. Nimfa thirps berwarna kekuning-kuningan dan thirps dewasa berwarna coklat kehitaman. Thirps berkembang biak sangat cepat secara partenogenesis (mampu melahirkan keturunan meskipun tidak kawin). Serangan dilakukan di musim kemarau. Gejala: daun-daun muda atau tunas-tunas baru menjadi keriting, dan bercaknya kekuningan; tanaman keriting dan kerdil serta tidak dapat membentuk buah secara normal. Kalau gejala ini timbul harus diwaspadai karena telah tertular virus yang dibawa hama thirps (Sobir dan Firmansyah, 2014).

4. Antraknosa

Antraknosa merupakan penyakit disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp (Suryanto, 2010). Cendawan termasuk dalam Thallophita. Makhluk hidup ini tidak mempunyai pigmen klorofil sehingga hidup sebagai saprofit maupun parasite (Pracaya, 2007).

Gejala serangan cendawan Collectotrichum sp adalah adanya bercak berwarna hitam dibagian kulit buah dan bercak tersebut sedikit demi sedikit bersatu, kemudian daging buah membususk. Daun yang terserang cendawan ini akan timbul bercak tidak teratur dengan ukuran kuran lebih 5 mm. pusat bercak akan pecah sehingga menyebablan daun berlubang. Pada tangkai daun, serangan


(41)

menyebabkan daun layu dan rontok. Serangan pada batang muda menyebabkan bercak berwarna kelabu dan dapat berkembang. Serangan pada bagian bunga menyebabkan bintik-bintik kecil berwarna hitam, terutama pada keadaan cuaca lembab (Suryanto, 2010).

Penyakit antraknosa menyerang berbagai jenis tanaman. Penyakit ini sangat sulit dikendalikan, terutama jika kelembaban areal pertanaman sangat tinggi. Bagian tanaman yang terserang penyakit patek atau antraknosa pada umumnya adalah buah atau daun. Penyakit patek atau antraknosa menyerang pada bagian daun terutama pada tanaman sansevieria, anggrek, bromelia, miracle, seledri, dan melon. Penyakit ini juga sering menyerang buah, terutama pada tanaman melon, apel, cabai, tomat, mangga, kopi, pepaya, alpukat, dan sebagainya (Kurniati, 2013).

Cara menghindari serangan hama dan penyakit dengan dilakukan kultur teknis seperti rotasi tanaman, pemupukan berimbang dan menjaga sanitasi kebun. Bila hama dan penyakit telah menyerang semprot dengan pestisida yang cocok. Bisa pestisida organik atau pestisida sintetis. Lakukan penyemprotan sesuai dengan dosis anjuran (Sobir dan Firmansyah, 2014).

E. Fungisida 1. Pengertian Fungisida

Fungisida merupakan salah satu jenis dari pestisida yang mengontrol penyakit jamur dengan menghambat atau membunuh jamur penyebab penyakit. Namun, tidak semua penyakit yang disebabkan oleh jamur dapat dikendalikan menggunakan fungisida (McGrath, 2004).


(42)

2. Kategori Fungisida

Fungisida dikategorikan dengan beberapa cara menurut perbedaan karakteristiknya. Karakteristik yang umum digunakan dalam pengkategorian dijelaskan sebagai berikut:

a. Mobilitas di dalam tanaman. Berdasarkan kategori ini, fungisida dibagi menjadi kontak dan sistemik. Fungisida kontak disebut dengan protectant sedangkan sistemik disebut dengan penetrant. Fungisida kontak merupakan fungisida yang tetap berada dipermukaan tanaman. Penggunaan yang terlalu banyak berpotensial toksik terhadap tanaman (phytotoxic).

Penetrant atau fungisida sistemik merupakan fungisida yang diserap dalam tanaman. Penetrant ini memiliki beberapa pergerakan setelah aplikasi, diantaranya bergerak dalam jarak yang sangat dekat dari tempat aplikasi (sistemik lokal atau translaminar), sistemik lemah yang dapat bergerak lebih jauh dibandingkan sistemik lokal, xylem-mobile systemic dan phloem-mobile systemic yang bekerja jauh lebih luas.

b. Peran dalam proteksi. Terdapat dua macam kategori fungisida yaitu preventif dan kuratif. Fungisida kontak termasuk dalam fungisida preventif yang cocok untuk pencegahan dengan aksi kontak pada permukaan tanaman, aplikasi ulang diperlukan pada fungisida kontak untuk melindungi pertumbuhan tanaman baru dan mengganti materi yang telah hilang akibat hujan, irigasi, atau terdegradasi oleh factor lingkungan seperti matahari. Fungisida sistemik mampu menembus tanaman sehingga beberapa fungisida sistemik baik untuk preventif maupun kuratif (eradicant atau kick-back).


(43)

c. Luasnya aktivitas. Berdasarkan luasnya aktivitas, fungisida terdapat dua macam kategori yaitu single-site dan multi-site. Single-site berarti hanya aktif pada satu titik dalam satu jalur metabolisme patogen atau melawan kritikal enzim tunggal atau protein yang dibutuhkan oleh jamur. Fungisida ini memiliki spesifikasi toksisitas yang tinggi, memiliki efek kecil pada sebagian besar organisme, dan memiliki sifat sistemik. Biasanya, fungisida kontak yang lebih tua memiliki aktivitas multi-site dan dengan demikian biasanya mempengaruhi banyak jamur di kelas yang berbeda.

d. Modus aksi. Fungisida membunuh jamur dengan mengganggu membran sel jamur, inaktivasi kritikal enzim atau protein, atau dengan mengganggu proses kunci seperti produksi energi atau respirasi. Dampak lainnya adalah mengganggu jalur metabolik spesifik seperti produksi sterol atau chitin. Sebagai contoh, fungisida phenylamide mengikat dan menghambat fungsi RNA polymerase dari Oomycetes, sedangkan fungisida benzimidazole menghambat formasi beta tubulin polymerase yang digunakan oleh sel selama pembelahan inti nukleus.

Pengetahuan secara tepat mengenai bagaimana fungisida mempengaruhi jamur sangat membantu dalam memilih produk. Pertama, modus aksi menentukan jamur akan dipengaruhi oleh fungisida dan dengan demikian penyakit dapat dikontrol dengan menggunakan fungisida. Kedua, fungisida dengan modus aksi yang lain dibutuhkan dalam program manajemen penyakit untuk menunda perkembangan resistensi fungisida.


(44)

e. Tipe bahan kimia. Terdapat dua kategori fugisida berdasarkan tipe bahan kimia yaitu : anorganik dan organik. Fungisida juga dapat diklasifikasikan berdasarkan komposisi kimia. Secara kimia, molekul organik memiliki atom karbon di dalam struktur kimianya sedangkan anorganik tidak punya. Banyak fungisida anorganik pertama kali dikembangan berbahan sulfur atau logam ion seperti tembaga, timah, kadnium dan merkuri. Tembaga dan sulfur masih banyak digunakan. Kebanyakan fungisida lain yang digunakan saat ini adalah fungisida organik dan terdapat karbon. Istilah "organik" yang digunakan di sini berdasarkan terminologi kimia dan berbeda dari "organik" yang digunakan untuk menggambarkan suatu sistem pertanian yang berusaha untuk menjadi holistik dan meningkatkan kesehatan agroekosistem (McGrath, M.T. 2004).

3. Pengambilan Fungisida oleh Tanaman

Penggunaan fungisida dapat dilakukan dengan cara semprot, tabur, injeksi pada batang dan lain-lain. Sebagian besar fungisida diaplikasikan dengan cara disemprot terutama pestisida dalam bentuk konsentrat teremulsikan (Kamali, 2008). Setelah penyemprotan, pestisida terdistribusi di udara, tanah, air, tumbuhan dan manusia, seperti pada gambar menurut EXTOXNET (1993) dibawah ini.


(45)

Gambar 1. Distribusi Residu Fungisida di Lingkungan

Residu fungisida yang berada di udara dan lama-kelamaan jatuh ke tanah. Untuk jenis pestisida yang tidak mudah menguap dan bersifat persisten, fungisida berada di dalam tanah dalam jangka waktu yang lama. Fungisida yang sudah berada di dalam tanah dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air penerima berupa sungai dan sumur. Fungisida yang disemprotkan pada tanaman akan meninggalkan residu. Residu terdapat pada semua bagian tumbuhan seperti batang, daun, buah, dan akar. Khusus untuk buah, residu terdapat pada permukaan atau masuk ke dalam daging buah tersebut (Kamali, 2008).

Fungisida yang berada di tanaman dapat mengalami translokasi. Translokasi atau pengambilan fungisida dalam tanaman dapat terjadi ke arah atas (akropetal), bawah (basipetal) atau lateral. Translokasi ke bagian atas tanaman berlangsung melalui pembuluh xylem, dimana arah lajunya sangat dipengaruhi oleh transpirasi tanaman. Fungisida yang terserap melalui daun berasimilasi dan cenderung berpindah ke dalam batang, yaitu melalui floem serta berakumulasi


(46)

dalam bagian yang tumbuh dari tanaman seperti akar dan ujung tanaman. Ini merupakan pola pergerakan yang normal untuk fungisida sistemik yaitu fungisida yang dapat diabsorpsi dan ditranslokasi oleh tanaman (Kamali, 2008).

4. Kriteria Aplikasi Fungisida yang Tepat

Untuk memperkecil dampak negative fungisida, terutama mengurangi residu fungisida pada hasil pertanian, maka aplikasi fungisisda harus memenuhi 6 (enam) kriteria tepat, yaitu:

a. Tepat jenis. Jenis fungisida yang digunakan efektif terhadap OPT sasaran hasil pengamatan rutin, dapat dibaca pada label kemasan.

b. Tepat mutu. Fungisida yang digunakan bermutu baik. Oleh karena itu digunakan fungisida yang telah terdaftar dan diizinkan, tidak menggunakan fungisida yang telah rusak, kadaluwarsa atau diduga palsu.

c. Tepat sasaran. Berdasarkan hasil pengamatan rutin secara tepat di identifikasi jenis OPT usahakan hanya bagian tanaman yang diaplikasikan OPT.

d. Tepat dosis dan konsentrasi. Dosis dalam liter atau kilogram fungisida per hektar luas tanaman dan konsentrasi dalam milliliter atau gram fungisida per liter cairan semprot yang digunakan sesuai petunjuk penggunaan pada label kemasan.

e. Tepat waktu aplikasi. Aplikasi fungisida dilakukan pagi atau sore hari, saat udara cerah, angin tidak terlalu kencang, dan tidak hujan. Disamping itu OPT masih stadia awal/peka, dan poplulasi atau intensitas serangnya sudah melampaui ambang pengendalian.


(47)

f. Tepat cara dan alat aplikasi. Cara aplikasi fungisida harus sesuai antara alat yang digunakan dengan jenis pestisidanya dan fase tanaman yang disemprot serta OPT sasaran (DEPTAN, 1994).

F. Efek Buruk Fungisida Golongan Strobilurin

Pestisida strobilun termasuk dalam kelompok fungisida baru dengan registrasi azoxystrobin yang diterima EPA pada tahun 1997. Kemudian diikuti trifloxystrobin pada tahun 1999 dan registrasi yang paling terbaru adalah pyraclostrobin. Ketiganya merupakan agen yang efektif terhadap beberapa patogen tanaman penting, tetapi juga memiliki beberapa sifat yang unik. Azoxystrobin, trifloxystrobin dan pyraclostrobin merupakan family pertama fungisida yang menyediakan control dari tiga tipe utama jamur patogenik tanaman dan karena afinitasnya yang kuat terhadap lilin di permukaan tanaman. Mereka mampu untuk translokasi dari atas permukaan daun sampai ke bawah menyediakan kontrol pada kedua permukaan.

Strobilun memiliki berbagai tempat aplikasi yang memungkinkan untuk digunakan tergantung pada produk. Strobilun terdaftar dapat digunakan pada buah jeruk, tanaman kecil dan pohon, turfgrass, bidang dan sayuran, dan banyak komoditas khusus. Setelah peluncuran produk fungisida ini, laporan resistensi jamur tertentu di laporkan pertama oleh negara-negara di Asia dan Eropa, dan berkembang sampai Amerika Utara. Strobilurin memiliki aksi yang spesifik (menghambat respirasi pada mitokondria yang dapat mencegah perkembangan spora dan tumbuhnya mycelial), karena hal ini menyebabkan strobilurin memiliki


(48)

resiko resistensi yang tinggi. Strobilurin dikatergorikan pada kategori 3 bahan berbahaya dan dapat menyebabkan efek akut pada oral, dermal, dan pernapasan.

Pada penelitian yang telah dilaporkan, kadar yang dapat menyebabkan toksisitas akut pada 60 kg berat badan dipaparkan sebagai berikut : konsumsi oral dari 500 sampai 5.000 mg/kg berat badan, paparan kulit dari 2.000 sampai 20.000 mg/kg berat badan, atau menghirup 2,0-20,0 mg/L. Konsumsi oral yang menyebabkan toksisitas akut akan sama dengan satu ons untuk satu kali paparan sebagai dosis yang mematikan. Mereka dianggap non-onkogenik pada tikus uji di studi toksisitas kronis. Strobilurins beracun bagi ikan dan invertebrata air. Label produk mereka memiliki pernyataan mengenai penggunaan tindakan pencegahan di sekitar air dan bidang yang menjadi perhatian yaitu air tanah. Dampak ekologi lainnya tampak diabaikan (Frederick, 2015).

G. Azoxystrobin

Azoxystrobin adalah senyawa β - metakrilat yang secara struktural terkait dengan strobilurins alami, yang merupakan senyawa yang berasal dari beberapa spesies jamur. Azoxystrobin mempunyai spektra yang luas, fungisida sistemik yang bertindak dengan menghambat transport elektron dalam jamur patogen. Senyawa ini memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit jamur yang disebabkan oleh kelompok Ascomycota, Deuteromycota, Basidiomycota, dan Oomycota (FAO report CCPR, 2008). Senyawa Azoxystrobin mempunyai efek berbahaya bagi tubuh manusia karena paling banyak distribusinya terdapat pada ginjal dan hati (European Commision, 1998). Rincian gambar dan data azoxystrobin dapat dilihat pada gambar dan tabel dibawah ini:


(49)

Gambar 2. Struktur Azoxystrobin (Mastova, 2008). Tabel II. Rincian Data Azoxystrobin

Nama ISO : Azoxystrobin

IUPAC :Methyl(E)-2-{2[6-(2-cyanophenoxy)pyrimidin-4-yloxy]phenyl}-3-methoxyacrylate

CAS No. : 131860-33-8

CIPAC No. : 571

Rumus molekuler : C22H17N3O5 Berat molekul : 403.4 g/mol

Penampakan : serbuk putih dengan bau yang khas Titik lebur : 116 ºC

Log Pow : 2.5 (20 ºC, pH 7) Kelarutan dalam air : 6 mg/L dalam aquades

Kelarutan dalam metanol : 20 g/L Kelarutan dalam asetonitril : 340 g/L Kelarutan dalam aseton : 86 g/L

Kelarutan dalam Hexan : 0.057 g/L (FAO, 2015).

1. Disipasi Azoxystrobin

Pada lingkungan terbuka azoxystrobin cepat terdegradasi, salah satunya dikarenakan fotolisis oleh sinar matahari, dan degradasi mikrobia. Hasil dari residu ini seperti metabolitnya juga dapat terdegradasi selama berada di tanah atau


(50)

perairan. Hasil metabolit ini dimineralisasi menjadi karbondoksida. Beberapa hasil metabolit azoxystrobin telah diteliti senyawa metabolit ini sudah tidak berbahaya untuk makhluk hidup berbeda dengan senyawa utamanya azoxystrobin (Syngenta, 2005).

Dalam lingkungan perairan, paparan azoxystrobin akan dibatasi oleh sifat fisik dan kimia dari azoxystrobin. Setelah azoxystrobin berada diperairan, azoxystrobin akan hilang dengan teradsorpsi pada sedimen dan terdegradasi mikroba. Faktor-faktor ini dengan tingkat aplikasi yang rendah dalam penggunaan azoxystrobin akan menjadikan paparan pada spesies non-target di lingkungan perairan akan rendah juga. Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa azoxystrobin beracun untuk organisme air. Namun, penilaian mengenai risiko azoxystrobin menunjukkan bahwa risiko untuk organisme air dan lingkungan air toksisitasnya rendah (Syngenta, 2005).

Setelah aplikasi pada daun beberapa azoxystrobin ditemukan pada permukaan daun. Beberapa azoxystrobin juga ditemukan setelah aplikasi di tanah karena terbasuh oleh air hujan dan akan berikatan dengan bahan organic didalam tanah. Oleh karena itu pergerakan Azoxystrobin sangat terbatas (Syngenta, 2005).

Azoxystrobin di lingkungan terdegradisi dengan 2 cara yaitu terdegradasi dipermukaan tanah karena fotolisis dan mikroba. Berdasarkan beberapa penelitian di lapangan menghasilkan kesimpulan persistensi azoxystrobin di permukaan tanah tidak ada korelasi langsung dengan pH dan bahan organik dikarenakan ada fotolisis dan mikroba. Penelitian juga menyatakan indikasi laju degradasi azoxystrobin dipermukaan tanah akan meningkat ketika aktivitas mikroba juga


(51)

meningkat. Pada permukaan tanah laju degradasi azoxystrobin meningkat ketika intensitas dan lama penyinaran matahari juga meningkat (Syngenta, 2005).

2. Efek Toksik Azoxystrobin

Setelah diluncurkan di Eropa pada tahun 1996, Amistartop® diproduksi oleh Syngenta, menjadi salah satu fungisida yang ada di rangking atas kurang dari 3 tahun. Salah satu komponen aktif dalam Amistartop® adalah azoxystrobin (Tomlin, 2000). Strobilurins bertindak untuk menghambat transfer elektron dalam jalur respirasi di mitokondria, mengganggu metabolisme dan mencegah pertumbuhan jamur (Tomlin, 2000). Hasil penghambatan ini meregangkan oksidatif seluler yang disebabkan oleh elektron yang lepas dari rantai pernapasan , yang dapat didetoksifikasi oleh mitokondria superoksida dismutase mangan (MnSOD) (Kimura dkk., 2007). Azoxystrobin mempunyai dampak racun yang akut rendah dan kronis bagi manusia, burung, mamalia, dan menjadi sangat beracun bagi ikan air tawar, invertebrata air tawar, dan muara/ikan laut, dan sangat beracun pada binatang muara/vertebrata (Tomlin, 2000). Bukan hanya itu senyawa azoxystrobin mempunyai efek berbahaya bagi mamalia antara lain karsinogenik dan genotoksik (CAC, 2014).

H. Analisis Kelumit (Trace Analysis)

Analisis kelumit (trace analysis) adalah analisis (pengukuran jumlah suatu zat) yang dilakukan pada keadaan konsentrasi analit pada sampel sangat kecil dan menyebabkan kesulitan dalam memperoleh hasil yang dapat dipercaya. Umumnya dilakukan pada kisaran di bawah bagian per juta (part per million /ppm) misalnya 1 ppm =1μg/g = 0,0001% atau 1 mg/L untuk cairan. Selain


(52)

disebabkan karena rendahnya konsentrasi analit dalam matriks, ada beberapa factor yang mungkin dapat mempengaruhi kesulitan yang dirasakan oleh analis pada konsentrasi rendah, seperti kehilangan analit, kontaminasi, atau interferensi (Prichard, MacKay, Points, 1996).

Beberapa masalah yang sering terjadi dalam analisis kelumit adalah: 1. Konsentrasi analit yang akan ditentukan jauh lebih rendah dibandingkan

dengan konstituen lain yang ada dalam matriks.

2. Adanya kontaminasi dari reagen, alat, atau lingkungan laboratorium yang dapat menghasilkan false results.

3. Hilangnya analit akibat adsorpsi, degradasi, atau selama proses analisis. 4. Konstituen matriks dapat mengganggu sistem deteksi yang digunakan,

menyebabkan nilai palsu menjadi lebih tinggi, sehingga dibutuhkan pemurnian yang lebih baik dan atau detektor yang lebih selektif.

5. Hasil yang diperoleh dengan teknik instrumen yang umum digunakan kurang tepat dibandingkan dengan menggunakan prosedur klasik.

6. Secara umum, sulit untuk memastikan keandalan metode karena material referensi yang tersedia untuk berbagai aplikasi analisis kelumit cukup sedikit (Prichard, MacKay, Points, 1996).


(53)

Tabel III. Klasifikasi Teknik dan Metode Analisis Berdasarkan Konsentrasi Analit dalam Sampel Menurut Namiesnik (2002)

General name of analyte

Analyte concentration

Common term for

analytical procedure Examples

Sub-microtrace component

< 1 ppt (< 10%)

Trace analysis

Determination of doxins in sampels of various matrices

Ultra-microtrace component

< 1 ppb (< 10%)

Determination of trihalomethanes in drinking

water and human urine. Microtrace

component

< 1 ppm (< 10%)

Determination of carbon monoxide in ambient air Trace

component

< 100 ppm (< 0.01%)

Determination of methane in ambient air

Secondary Component (admixture)

<1% Semi-microanalysis Determination of carbon

dioxide in ambient air Primary

component 1-100% Macroanalysis

Determination of oxygen in waste gases

I. Penentuan Laju Disipasi Fungisida

Laju disipasi biasanya ditentukan dengan mengambil sampel pada berbagai interval waktu setelah aplikasi pestisida dalam uji yang diawasi dan dilakukan sedemikian rupa agar perawatan di lahan perlakuan sesuai dengan tujuan penggunaan pestisida. Karena ketidakpastian sampling, residu yang diukur selama decline study bervariasi dengan rata-rata nilai residu yang benar dan data ini dapat menggambarkan jalannya kurva decline. Kesadaran terhadap variabilitas yang diharapkan dari residu diperlukan. Pertimbangan penyebaran dan variabilitas dari residu membantu untuk menghindari interpretasi salah pada perbedaan kecil atau menarik kesimpulan yang pasti dari 1 nilai perhitungan yang tetap.

Hilangnya residu pestisida dari tanaman yang diperlakukan dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik, kimia, dan proses biokimia, yang jarang dapat dijelaskan dengan hubungan sederhana. Yang paling mungkin nilai pada waktu


(54)

tertentu dapat diperkirakan dengan menerapkan pada berbagai program komputer (Ambrus, 2002).

Atas dasar data residu dari uji coba lapangan yang diawasi Timme, Frehse, dan Laska mengembangkan model evaluasi dan menerapkan berbagai formula untuk linierisasi kurva penurunan residu untuk mendapatkan hubungan linear antara residu terukur (R) dan waktu (t). Dengan demikian, statistik regresi linear dapat digunakan untuk menghitung penurunan residu yang paling cocok dan keyakinan interval untuk data eksperimen. Nilai model yang digambarkan untuk merekonstruksi kurva penurunan dalam bentuk aslinya (Ambrus, 2002).

J. Penilaian Keamanan Residu Fungisida

Praktik penggunaan fungisida oleh petani pada umumnya tidak didasarkan pertimbangan ekologi dan ekonomi. Beberapa cara yang umum dilakukan oleh petani antara lain adalah penyemprotan pestisida dengan dosis tinggi, pencampuran berbagai jenis pestisida dan bahan lain, metode dan teknik penyemprotan yang belum atau tidak benar, frekuensi penyemprotan tinggi dan tidak memperhatikan waktu penyemprotan terakhir sebelum panen.

Residu fungisida adalah zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian, bahan pangan, atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan fungisida. Istilah ini mencakup senyawa turunan pestisida, seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi, dan zat pengotor yang dapat memberikan pengaruh toksikologis (DEPTAN, 2006).


(55)

Masalah residu funngisida pada hasil pertanian mendapat perhatian yang serius bagi kepentingan nasional maupun internasional, hal ini disebabkan antara lain:

1. Makin meningkatnya kesadaran konsumen tentang pengaruh negative residu fungisida pada hasil pertanian terhadap kesehatan manusia. Konsumen akan memilih hasil pertanian yang aman untuk dikonsumsi atau kalaupun ada residu, makan kadarnya masih di bawah batas toleransi.

2. Makin ketatnya persyaratan keamanan pangan yang berakibat pada meningkatnya tuntutan terhadap mutu pangan (kualitas produk).

3. Terjadinya hambatan perdagangan hasil pertanian terutama dalam ekspor masalah residu fungisisda sudah menjadi persyaratan internasional yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commisison (CAC).

4. CAC telah menetapkan maximum residue limits (MRLs) pestisida. Indonesia juga telah mengatur batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian.

Untuk mengurangi dampak negatif residu fungisida, selain dengan aplikasi 6 tepat agar penggunaan yang efektif, pestisida yang dipilih hendaknya mempunyai DT50 kecil (mudah terdegradasi di alam). Namun, informasi tentang DT50 tidak mudah diperoleh karena tidak tercantum dalam label fungisida (Kamali, 2008).

K. Landasan Teori

Indonesia terletak di dekat khatulistiwa dan memiliki iklim tropis. Salah satu tanaman yang sedang digalakan di Indonesia adalah tanaman buah melon. Tanaman buah melon mengandung banyak gizi namun dalam penanamannya


(56)

banyak pula faktor yang mempengaruhi, antara lain iklim, tanah dan ketinggian tempat. Kondisi iklim dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan curah hujan dan suhu yang cocok untuk lahan pertanian buah melon menjadikan daerah ini salah satu penghasil buah melon yang banyak di pasaran. Pada dasarnya tanaman buah melon juga rentan terhadap serangan penyakit, terutama penyakit antraknosa. Penyakit ini sangat sulit dikendalikan, terutama jika kelembaban areal pertanaman sangat tinggi. Untuk menanggulangi penyakit antraknosa, digunakan fungisida terutama azoxystrobin.

Azoxystrobin memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit jamur yang disebabkan oleh kelompok Ascomycota, Deuteromycota, Basidiomycota dan Oomycota. Senyawa Azoxystrobin mempunyai efek berbahaya bagi mamalia karena paling banyak distribusinya terdapat pada ginjal dan hati. Azoxystrobin juga bersifat karsinogenik dan genotoksik. Azoxystrobin yang diaplikasikan dapat meninggalkan residu yang menempel pada kulit buah melon yang seperti jala pada waktu yang lama kemudian terpenetrasi ke dalam daging buah. Aplikasi fungisida azoxystrobin harus memenuhi kriteria aplikasi agar meminimalisir dampak negatif fungisida. Kadar residu fungisida azoxystrobin yang sangat kecil dapat ditetapkan dengan metode trace analysis.

Hilangnya residu fungisida azoxystrobin pada buah melon dapat digambarkan dengan laju disipasi yaitu nilai slope dari kurva ln kadar vs hari setelah aplikasi terakhir dengan sistem study decline. Setelah diketahui laju disipasi maka dapat ditentukan waktu degradasi 50% (DT50) dalam hari dan PHI


(57)

yang baik untuk panen (pre harvest interval) untuk mendapatkan hasil panen buah melon yang aman untuk dikonsumsi sesuai dengan CAC.

L. Hipotesis

1. Kadar residu fungisida azoxystrobin dalam kulit buah melon lebih besar dibandingkan dengan daging buah melon.

2. Kondisi geografis mempengaruhi pola laju disipasi residu fungisida azoxystrobin pada buah melon.

3. Pada PHI yang ditetapkan dari pengolahan data, buah melon di Daerah Istimewa Yogyakarta aman dikonsumsi dari residu fungisida azoxystrobin.


(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni sederhana dengan rancangan penelitian acak lengkap pola satu arah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel penelitian dari penelitian ini adalah:

1. Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kadar aplikasi fungisida azoxystrobin dan kondisi geografis pada model penelitian.

b. Variabel Tergantung. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kadar residu azoxystrobin pada kulit, keseluruhan dan daging buah melon, laju disipasi, DT50, dan PHI residu fungisida azoxystrobin pada model penelitian.

c. Variabel Pengacau Terkendali. Variabel pengacau yang dapat dikendalikan dalam penelitian ini antara lain jenis bibit dari tanaman melon, frekuensi penyemprotan fungisida lain, cara penyemprotan fungisida, dan karakteristik bahan uji yang digunakan berupa buah melon yang diambil di model penelitian.

d. Variabel Pengacau Tidak Terkendali. Variabel pengacau yang tidak dapat dikendalikan peneliti adalah kondisi geografis (curah hujan, kelembapan,


(59)

intensitas cahaya, dan kecepatan angin) dan kondisi tanah pada model penelitian.

2. Definisi Operasional

a. Asesmen adalah pengkajian yang dilakukan terhadap pola laju disipasi residu fungisida azoxystrobin pada buah melon (Cucumis melo L.) untuk menetapkan batas keamanan terhadap konsumen

b. Paparan residu fungisida azoxystrobin adalah residu fungisida azoxystrobin yang terdapat pada buah melon

c. Residu fungisida azoxystrobin adalah fungisida azoxystrobin yang tertinggal pada buah melon yang dikarenakan adanya aplikasi fungisida azoxystobin dinyatakan dalam satuan mg/kg

d. Kadar residu azoxystrobin pada kulit buah adalah kadar residu pada sampel bagian kulit buah yang berbentuk kasar, berjaring dan keras dengan ketebalan ± 0,5 cm, dinyatakan dengan satuan mg/kg.

e. Kadar residu azoxystrobin pada daging buah adalah kadar residu pada sampel bagian daging buah yang berwarna hijau muda atau hijau keputihan, dinyatakan dengan satuan mg/kg.

f. Kadar residu azoxystrobin pada keseluruhan buah adalah kadar residu dari keseluruhan sampel yang terdiri dari bagian kulit dan daging buah, dinyatakan dengan satuan mg/kg.

g. Laju disipasi adalah proses hilangnya senyawa residu fungisida azoxystrobin pada buah melon yang disebabkan karena degradasi, akumulasi atau peluruhan ke medium lainnya dilihat dari penurunan kadar


(60)

residu fungisida azoxystrobin pada kulit dan daging buah melon pada sebelum aplikasi fungisida dan hari ke 0, 1, 3, 5, 7, 14 setelah aplikasi fungisida

h. DT50 adalah waktu dalam hari dimana 50 % dari residu azoxystrobin terdegradasi pada aplikasinya di lahan perkebunan melon.

i. PHI adalah interval waktu aplikasi terakhir fungisida azoxystrobin hingga dilakukan panen yang ditentukan dalam hari, dimana hari tersebut dapat digunakan untuk memastikan buah melon pada saat panen aman dikonsumsi dari residu azoxystrobin.

j. Keamanan konsumen adalah kadar residu fungisida azoxystrobin dalam buah melon yang dapat diterima sebagai batas aman di bawah kadar acuan positive list sebesar 0,01 mg/kg

k. Buah melon di Yogyakarta adalah buah melon yang ditanam pada bulan Januari sampai dengan April di kabupaten Sleman, Bantul, dan Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

C. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Bahan Utama

a. Buah melon dari lahan Siliran, Wates, Kulon Progo; Panggungharjo, Sewon, Bantul; dan Wedomartani, Kalasan, Sleman hasil panen sebagai model uji.

b. Bahan uji yang digunakan adalah larutan aplikasi fungisida azoxystrobin yang didapat dari donasi PT. Syngenta.


(61)

2. Bahan Kimia

Standar Azoxystrobin donasi dari PT. Syngenta, standar DCB (Dekaklorobifenil) sebagai standar internal (E. Sigma-Aldrich) CAS number 2051-24-3 , Acetonitril (gradient grade for liquid chromatography, E. Merck) no katalog 1.00030.4000, Metanol (for analysis, E. Merck) no katalog 1.06009.2500, n-Hexan (for analysis, E. Merck) no katalog 1.04367.2500, aquadest (Laboratorium Analisis Instrumental Farmasi USD), aquabidest (Laboratorium Analisis Instrumental Farmasi USD), Magnesium sulfate (for analysis, E.Merck) no katalog 1.05886.1000, Sodium chloride (for analysis, E. Merck) no katalog

1.06404.5000, tri-Sodium citrate dehydrate (for analysis, E. Merck) no katalog 1.06448.1000, Sodium citrate dibasic sesquihydrate (for analysis, E. Sigma-Aldrich) no produk 71635, dan N2 UHP (PT. Samator).

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kromatografi gas HP 5890 series II dengan dilengkapi detektor ECD 63Ni dan kolom kapiler non polar (5%-phenyl)-methylpolysiloxane, 12–50 m, i.d 0,20–0,32 mm, d.f. 0,11–0,52 µm, neraca analitik (OHAUS Carat Series PAJ 1003, max 60/120 g, min 0,001 g, d = 0,01/0,1 mg, e = 1 mg), kolom SPE C18 6 mL dengan ukuran 400 mg, homogeniser sample (blender), vortex, hot plate, termometer, sentrifuse, botol plastik sentrifugasi 15 mL BIOLOGIX®, ultrasonifikasi, syringe, mikropipet, pisau, sarung tangan, seperangkat komputer dengan CBM-102 (Shimadzu), perangkat lunak Shimadzu Labsolutions: GC Solution versi 2.30.00SU4),


(62)

perangkat lunak Powerfit v.6.05, sarung tangan, masker, tangki semprot 6 liter (sprayer) dan alat-alat gelas yang lazim digunakan di laboratorium analisis.

E. Tata Cara Penelitian

Tata cara penelitian yang digunakan pada penelitian ini dijelaskan pada keterangan dibawah:

1. Persiapan Lahan Model Perkebunan Melon

Penelitian ini dimulai dengan menyiapkan model perlakuan untuk penetapan kadar residu fungisida azoxystrobin pada buah melon. Model perkebunan melon dipilih dari 3 perkebunan melon di Daerah Istimewa Yogyakarta. Model perkebunan melon yang dipilih harus memiliki kriteria inklusi sebagai berikut :

a. Lahan menggunakan melon dengan bibit merk Action sp.

b. Lahan tidak menggunakan fungisida atau pestisida yang lain dengan zat aktif azoxystrobin

c. Perbedaan setiap lahan pada sistem tanam, kondisi geografis, dan tekstur tanah.

Pengecekan kondisi geografis lahan seperti curah hujan, kelembapan dan suhu. Pengecekan dilakukan oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) Daerah Istimewa Yogyakarta selama proses perlakuan lahan berlangsung. Pengecekan karakteristik tanah. Pengecekan karakteristik tanah dilakukan oleh Fakultas Pertanian Jurusan Tanah Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Determinasi tanaman buah melon yang digunakan adalah Cucumis melo L. dilakukan oleh Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada Yogyakarta.


(63)

2. Aplikasi Perlakuan Lahan Model Perkebunan Melon

a. Perlakuan tanaman. Sampel melon ditanam dengan bibit merk Action® pada 3 lahan yang digunakan sebagai model penelitian. Perlakuan terhadap tanaman sesuai dengan kebiasaan petani menanam melon dari penyemaian bibit, pengolahan tanah, pemupukan, penyemprotan obat-obat, dan pengairan. Jumlah sampel yang digunakan setiap lahannya adalah 100 tanaman melon, dan larutan fungisida azoxystrobin yang digunakan didapat dari donasi PT. Syngenta. Kelompok kontrol menggunakan tanaman melon pada lahan yang sama diluar sampel 100 tanaman melon perlakuan.

b. Kalibrasi penyemprotan. Kalibrasi penyemprotan dimulai dengan mengukur luas lahan. Pengukuran luas lahan dilakukan dengan pengukuran manual menggunakan meteran dan didapat hasil jarak antar tanaman melon dan jarak antar baris masing-masing secara berturut-turut adalah 40 cm dan 2 meter (lokasi Siliran, Kulonprogo), 40 cm dan 30 cm (lokasi Ngemplak, Sleman), 40 cm dan 40 cm (lokasi Panggungharjo, Bantul). Luas tanaman melon bagian kelompok perlakuan berbeda-beda setiap lahan yaitu masing-masing 20 meter x 30 meter (lokasi Siliran, Kulonprogo), 22,75 meter x 1 meter (lokasi Panggungharjo, Bantul) dan 14,0 meter x 1,9 meter (lokasi Ngemplak, Sleman). Kalibrasi penyemprotan dilakukan sebelum aplikasi fungisida azoxystrobin menggunakan air yang dimasukkan ke dalam tangki penyemprot pestisida dengan volume yang diketahui. Tangki yang sudah diisi air diaplikasikan dengan berjalan seperti biasa hingga seluruh tanaman diaplikasi sama rata. Mencatat waktu saat mulai menyemprot sampai selesai. Air yang masih tersisa di dalam tangki dikeluarkan


(64)

lalu menghitung volumenya. Selisih volume awal air dengan volume air sisa penyemprotan adalah volume larutan semprot yang akan diaplikasikan.

c. Aplikasi lahan. Perlakuan penyemprotan fungisida azoxystrobin dilakukan sebanyak 3 kali dengan cara penyemprotan sesuai dengan Indonesian Good Agrycultural Practice (IndoGAP). Dimulai dari munculnya bakal buah dengan kondisi sempurna (bunga pada ujung bakal buah sudah mulai rontok, 10 hari setelah perlakuan pertama, dan ketika buah melon sudah mencapai kematangan 75% (sebagai tanda panen). Kadar larutan azoxystrobin 200 mg/L dengan aturan pakai 1 ml/L larutan semprot untuk 600 L/ha. Perhitungan kadar ditentungan dengan luas lahan dan hasil kalibrasi yang telah dilakukan. Penyemprotan fungisida dilakukan pada pagi hari maksimal pukul 08.00 WIB ketika lokasi lahan tidak berangin.

3. Pengambilan Sampel Buah dari Lahan Model Perkebunan Melon

Bahan uji yang digunakan adalah melon yang masih segar dipetik dari 3 model perkebunan di daerah kabupaten Bantul, Kulon Progo dan Sleman. Sampel sebanyak 5 buah diambil dengan metode pengambilan acak terstratifikasi. Pengambilan sampel dilakukan pada hari ke -1, 0, 1, 3, 5, 7, dan 14 setelah penyemprotan terakhir fungisida azoxystrobin.

4. Persiapan Sampel

Sampel sebanyak 5 buah melon utuh dikumpulkan. Sampel tidak dilakukan pencucian dan langsung ditimbang setiap buahnya. Setiap buah dibagi 4 bagian (proses quartering) lalu diambil setiap buah seperempat bagian sebagai sampel yang akan dihomogenkan. Ada 3 kelompok perlakuan preparasi sampel yaitu :


(65)

a. Seperempat bagian dari setiap buah melon diambil kulit buah saja sebagai sampel bagian kulit buah melon lalu dihomogenkan (sampel kulit/peel).

b. Seperempat bagian dari setiap buah melon diambil daging buah saja sebagai sampel bagian daging buah melon lalu dihomogenkan (sampel daging/flesh). c. Seperempat bagian dari setiap buah melon langsung dihomogenkan (sampel

keseluruhan/whole).

5. Ekstraksi Residu Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon

Sebanyak 5 g sampel dari setiap kelompok sampel yang telah dihomogenkan diambil dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge 25 ml. Ditambahkan 2 g MgSO4; 0,5 g NaCl; 0,5 g Na3sitrat.2H2O dan 0,25 g Na2Hsitrat.1,5H2O. Campuran yang berada di dalam tabung sentrifuge ditambahkan 5 ml asetonitril. Tabung sentrifuge digojog selama 1 menit lalu divortex selama 2 menit.

Tabung sentrifuge kemudian disentrifuge dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Supernatan yang terbentuk diambil seluruhnya kemudian dipindahkan dalam flakon, dikeringkan dengan waterbath dan dibantu dengan gas nitrogen. Supernatan hasil sentrifuge diambil semuanya, ditampung ke dalam flakon bersih. Kemudian dilakukan reekstraksi dengan cara menambahkan 5 ml asetonitril ke dalam tabung sentrifuge yang sudah diambil supernatannya lalu digojog kembali dengan tangan selama 1 menit, divortex selama 2 manit setelah itu dilakukan sentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Supernatan hasil reekstraksi diambil semuanya dan ditampung ke dalam flakon yang berisi supernatan hasil ekstraksi pertama.


(66)

Selanjutnya dikeringkan menggunakan nitrogen sehingga memperoleh ekstrak kering. Hasil ekstraksi di dalam flakon yang sudah kering ditambahkan 0,5 ml aquabidest kemudian didegasing selama 5 menit.

6. Clean up Sampel Azoxystrobin dari Matrik Buah Melon dengan SPE C18 a. Pengkondisian dan loading sampel SPE C18. Pengkondisian dilakukan dengan memasukkan 5 ml metanol ke dalam SPE C18 hingga seluruhnya keluar dari SPE C18 dan dilanjutkan dengan memasukkan 5 ml aquabidest ke dalam SPE C18. Sebelum aquabidest keluar seluruhnya dari SPE C18, larutan hasil degasing dimasukkan ke dalam SPE C18.

b. Pencucian. Pencucian dilakukan dengan menambahkan 5 ml aquabidest ke dalam flakon sedikit demi sedikit untuk mencuci flakon yang telah digunakan. Setiap penambahan aquabidest hasil cucian kemudian dimasukkan ke dalam SPE C18 hingga keseluruhan aquabidest masuk ke dalam SPE C18.

c. Elusi. Penambahan 3 ml metanol dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam flakon yang telah dicuci dengan aquabidest. Setiap metanol yang dimasukkan dalam flakon dipindahkan ke dalam SPE C18 hingga metanol seluruhnya dipindah kedalam SPE C18 dan hasilnya ditampung dengan flakon baru. Hasil keseluruhan elusi metanol dikeringkan dengan waterbath dan dengan bantuan gas nitrogen.

7. Pembuatan Larutan Kurva Baku Azoxystrobin

a. Pembuatan larutan stok azoxystrobin (larutan induk). Sebanyak kurang lebih 11,4 mg baku azoxystrobin ditimbang dengan seksama kemudian


(67)

dilarutkan dengan 1 mL heksan sehingga didapatkan baku azoxystrobin dengan konsentrasi 11,4 mg/ml.

b. Pembuatan larutan intermediet azoxystrobin 1 (Stok A). Sebanyak 40 µL larutan induk azoxystrobin dilarutkan ke dalam 1000 µL heksan sehingga didapatkan konsentrasi baku azoxystrobin sebesar 0,456 µg/µL.

c. Pembuatan larutan intermediet azoxystrobin 2 (Stok D). Sebanyak 10 µL stok A diambil dengan menggunakan syringe dilarutkan ke dalam 1000 µL heksan sehingga diperoleh larutan intermediet azoxystrobin 2 dengan konsentrasi 0.456 x 10-2 µg/µl.

d. Pembuatan seri larutan kurva baku azoxystrobin. Baku azoxystrobin dari stok D diambil volume 1 µL, 2 µL, 3 µL, 4 µL, 5 µL, 7 µL, 10 µL, 15 µL, dan 20 µL, masing-masing ditambahkan 2 µL DCB lalu diencerkan dengan heksan hingga volume 200 µL. Masing-masing larutan baku diinjeksikan ke dalam kromatografi gas sebanyak 2 µL. Dalam tahap ini diperoleh hubungan antara kadar azoxystrobin dengan rasio luas puncak azoxystrobin terhadap DCB.

e. Pembuatan larutan kurva baku adisi A. Baku azoxystrobin dari stok D diambil volume 1 µL, 2 µL, 3 µL, 5 µL, 7 µL, 10 µL, 13 µL, 16 µL dan 20 µL, kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam flakon yang sudah berisi ekstrak kering matriks melon yang sebelumnya ditambahkan 2 µL DCB lalu diencerkan hingga volume 200 µL dengan pelarut heksan. Masing-masing diinjeksikan ke dalam kromatografi gas sebanyak 2 µL. Dalam tahap ini diperoleh hubungan antara kadar azoxystrobin dengan rasio luas puncak azoxystrobin terhadap DCB.


(68)

8. Determinasi Menggunakan GC-ECD.

Flakon hasil pengeringan hasil clean up SPE C18 ditambahkan 0,2 ml heksan. Larutan diinjeksi ke dalam kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron pada kondisi sistem kromatografi teroptimasi. Hasil optimasi oleh Puspitasari (2015) didapat kondisi optimum yaitu :

Tabel IV. Kondisi Optimum GC

Parameter Kondisi optimum

Injector (split)

Suhu injector 230 °C

Volume injeksi 2 µL Oven Panjang kolom 12-50 cm

Fase diam 5%-phenyl-methylpolysiloxane

Temperature Terprogram 100°C (3 menit), 30°C/menit, 245°C (30 menit), 30°C/menit, 260°C (30 menit)

Detektor Detektor ECD63Ni Suhu detektor 295 °C Gas Gas N2 UHP

Flowrate gas 1ml/menit

F. Tata Cara Analisis Data

Tata cara analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Penentapan Kadar Sampel

Kadar residu fungisida azoxystrobin didapat dari analisis hasil yang dilakukan dengan rasio perbandingan luas puncak azoxystrobin dalam sampel dengan luas puncak standar adisi yang di plotkan dalam kurva baku. Data antara rasio area sampel terhadap rasio area standar diintrapolasikan ke dalam persamaan


(1)

Plot dari kurva ln kadar residu azoxystrobin vs waktu setelah aplikasi terakhir pada buah melon di lahan Bantul dengan Power Fit.

Polynomial Degree is: 1 , based on 5 data points (#1 to #5) POLYNOMIAL is: F(x) = -4.10661 - 0.22912 x

Coefficients, Standard Deviations and 95.0% Confidence Limits are: Coefficient Std.Dev. Min.Limit Max.Limit

a0 -4.10661E+000 6.17569E-001 -6.07197E+000 -2.14125E+000 a1 -2.29122E-001 1.50671E-001 -7.08620E-001 2.50377E-001 Correlation Coefficient: -0.65976


(2)

Penentuan uji signifikansi dengan uji T. �ℎ��= �12

�22 �ℎ��=

0,02332

0,15072 �ℎ��= 0,0239 F hit dibandingkan dengan F tabel (n1,n2)

Alfa F hitung F table Kesimpulan 0,05 0,0239 5,19 Tidak signifikan

�2 =((�1−1)�12+ (�2−1)�22) (�1 +�2−2) �

2 =((6−1)0,02332+ (5−1)0,15072) (6 + 5−2)

�2 = 0,010390874 � = 0,101935635 �ℎ��= |�1− �2|

��11+12

�ℎ��= |−0,2512−(−0,2291)| 0,1019�16+15

�ℎ��= 0,3577

�� = �1 +�2−2 �� = 6 + 5−2 �� = 9

T hit dibandingkan dengan T tabel (α,DF)

Alfa T hitung T table Kesimpulan 0,05 0,36 1,81 Tidak signifikan


(3)

(4)

(5)

LAMPIRAN 20. Determinasi Tanaman Melon Sampel oleh Fakultas Farmasi, UGM


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul “ASESMEN PAPARAN RESIDU FUNGISIDA AZOXYSTROBIN DALAM BUAH MELON (Cucumis melo L.) TERHADAP KEAMANAN KONSUMEN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA” dengan nama lengkap Rushadi Jatmiko, merupakan anak tunggal dari pasangan Joko Priyono dan Wahyu Rujiati. Penulis lahir di Yogyakarta, 1 Januari 1992. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis yaitu TK Pamardisiwi (1996-1998), tingkat Sekolah Dasar di SDN Glagah 1 (1998-2004), tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMPN 9 Yogyakarta (2004-2007), tingkat Sekolah Menengah Atas di STM Pembangunan Yogyakarta Jurusan Analisis Kimia (2007-2011). Penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Semasa menempuh pendidikan sarjana, penulis aktif dalam kegiatan kepanitiaan, seperti kegiatan Desa Mitra 2013 sebagai ketua, ketua umum kegiatan Komunitas Sadar Sehat Jaringan Mahasiswa Kesehatan Indonesia Yogyakarta, Tiga Hari Temu Mahasiswa Farmasi sebagai pendamping kelompok, kegiatan PPnEC sebagai anggota pubdekdok, kegiatan Donor Darah JMKI sebagai koordinator pubdekdok, menjadi fasilitator pada kegiatan Kelas Inspirasi Yogyakarta 2015 serta terlibat dalam kepengurusan BEMF Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta periode 2012/2013 sebagai divisi pengabdian masyarakat. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Botani Farmasi pada tahun 2013.