IDENTIFIKASI KESULITAN BELAJAR SISWA KELAS V SD NEGERI SOSROWIJAYAN KOTA YOGYAKARTA.

(1)

i

IDENTIFIKASI KESULITAN BELAJAR SISWA KELAS V SD NEGERI SOSROWIJAYAN KOTA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Anggraini Dhian Kusumabangsa NIM 11108241132

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

Maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan. ( Tejemahan QS. Al-Insyiraah : 5-6 )


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan untuk: 1. Bapak dan Ibuku tercinta. 2. Almamaterku.


(7)

vii

IDENTIFIKASI KESULITAN BELAJAR SISWA KELAS V SD NEGERI SOSROWIJAYAN KOTA YOGYAKARTA

Oleh

Anggraini Dhian Kusumabangsa NIM 11108241132

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesulitan belajar yang dialami kelas V SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta, mengetahui jenis bidang studi yang sulit dipelajari, faktor penyebab kesulitan belajar, dan sifat kesulitan belajar yang dialami siswa kelas V SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta.

Penelitian ini digolongkan sebagai penelitian kuantitatif. Subjek penelitian meliputi seluruh siswa kelas 5 di SD Negeri Sosrowijayan Kota Yogyakarta berjumlah 23 siswa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala psikologi, metode dokumentasi, wawancara, dan observasi dengan instrumen skala kesulitan belajar, penelitian pedoman wawancara, dan pedoman observasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) tingkat kesulitan belajar siswa kelas V SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta berada pada kategori sedang yang berarti siswa tersebut hanya mengalami kesulitan pada materi – materi tertentu dan dapat diatasi dengan pendalaman pada materi – materi tersebut, 2) bidang studi yang sulit dipelajari oleh siswa adalah bidang studi matematika, 3) faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar meliputi faktor-faktor internal berupa motivasi belajar, kebiasaan belajar, sikap dalam belajar, minat belajar, dan bakat. Juga faktor eksternal meliputi lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah, 4) sedangkan sifat kesulitan belajarnya adalah kesulitan belajar sementara.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Tiada kata yang paling mulia selain ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kesulitan Belajar Siswa Kelas V SD Negeri Sosrowijayan Kota Yogyakarta”. Tanpa bantuan dari berbagai pihak skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Haryanto, M.Pd. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ijin dan kemudahan administrasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi dengan lancar. 2. Drs. Suparlan, M. Pd.I. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar Fakultas

Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan sehingga karya ini dapat terselesaikan dengan baik. 3. Ibu Eva Imania Eliasa, M.Pd. dosen pembimbing skripsi I yang selalu sabar

dalam memberikan bimbingan, saran, dan motivasi sampai penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Banu Setyo Adi, M.Pd. dosen pembimbing skripsi II yang juga sabar dalam memberikan bimbingan, saran, dan motivasi sampai penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Ibu Chatarina Siti Nurhyati, S.Pd. Kepala Sekolah SD Negeri Sosrowijayan Kota Yogyakarta yang telah memberikan ijin dan bantuan untuk penelitian.


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

hal

JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR….. ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Fokus Penelitian ... 11

D. Rumusan Masalah ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN TEORI A. Karakteristik Perkembangan Siswa Sekolah Dasar ... 13

1. Perkembangan fisik ... 13

2. Perkembangan kognitif ... 14

3. Perkembangan psikososial ... 15

B. Tugas – Tugas Perkembangan Siswa Sekolah Dasar... 19

C. Pengertian Kesulitan Belajar…. ... 21

D. Gejala Kesulitan Belajar…. ... 23

E. Jenis - Jenis Kesulitan Belajar ... 28


(11)

xi

1. Faktor Eksternal ... 35

G. Kerangka Berpikir ... 38

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 42

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 42

C. Subjek ... 43

D. Definisi Operasional... 43

E. Teknik Pengumpulan Data ... 44

F. Instrumen Penelitian... 46

G. Teknik Analisis Data ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 56

1. Tingkat Kesulitan Belajar ... 56

2. Jenis Bidang Studi yang Sulit Dipelajari ... 65

3. Faktor – Faktor Penyebab Kesulitan Belajar ... 67

a) Motivasi Belajar ... 67

b) Kebiasaan Belajar ... 70

c) Sikap dalam Belajar ... 71

d) Minat Belajar ... 74

e) Bakat ... 76

f) Cacat Tubuh ... 77

g) Lingkungan Keluarga ... 77

h) Lingkungan Masyarakat ... 80

i) Lingkungan Sekolah ... 83

4. Sifat Kesulitan Belajar ... 86

B. Pembahasan ... 86

1. Tingkat Kesulitan Belajar ... 86

2. Jenis Bidang Studi yang Sulit Dipelajari ... 92

3. Faktor – Faktor Penyebab Kesulitan Belajar ... 94

a) Motivasi Belajar ... 94


(12)

xii

2) Kebiasaan Ekstrinsik ... 96

b) Kebiasaan Belajar ... 98

c) Sikap dalam Belajar ... 99

d) Minat Belajar ... 100

e) Bakat ... 102

f) Lingkungan Keluarga ... 103

g) Lingkungan Masyarakat ... 106

h) Lingkungan Sekolah ... 109

C. Sifat Kesulitan Belajar ... 113

D. Keterbatasan Penelitian ... 114

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 120


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Tipe Pola Asuh Orang Tua ... 36

Tabel 2. Kisi – Kisi Skala Kesulitan Belajar Siswa ... 47

Tabel 3. Skor Jawaban Skala Psikologi ... 48

Tabel 4. Kisi-kisi Pedoman Wawancara untuk Siswa ... 51

Tabel 5. Kisi-kisi Pedoman Wawancara untuk Guru Kelas ... 52

Tabel 6. Kisi – Kisi Pedoman Observasi Untuk Siswa ... 53

Tabel 7. Perhitungan Kategori Kesulitan Belajar ... 55

Tabel 8. Klasifikasi Kesulitan Belajar Siswa Kelas V SD Sosrowijayan ... 57

Tabel 9. Tabel Skor Indikator Kesulitan Belajar ... 58

Tabel 10.Kategori Indikator Hasil Belajar Siswa Kelas V SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta ... 59

Tabel 11.Kategori Indikator Sikap dalam Belajar Siswa Kelas V SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta ... 61

Tabel 12.Kategori Indikator Tingkah Laku dalam Belajar Siswa Kelas V SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta ... 62

Tabel 13.Kategori Indikator Emosi (Perasaan) saat Belajar Siswa Kelas V SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta ... 64


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir... 41 Gambar 2. Diagram Klasifikasi Kesulitan Belajar Siswa Kelas V SD

Sosrowijayan ... 57 Gambar 3. Diagram Indikator Kesulitan Belajar Siswa ... 58 Gambar 4. Kategori Indikator Hasil Belajar Siswa Kelas V SD N Sosrowijayan

Kota Yogyakarta ... 60 Gambar 5. Kategori Indikator Sikap dalam Belajar Siswa Kelas V

SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta ... …….61 Gambar 6. Kategori Indikator Tingkah Laku dalam Belajar Siswa Kelas V

SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta ... …….63 Gambar 7. Kategori Indikator Emosi (Perasaan) saat Belajar Siswa Kelas V

SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta ... …….64 Gambar 8. Kategori Daftar nilai ujian tengah semester 2 kelas V

SD N Sosrowijayan ... …….175 Gambar 9. Daftar nilai ulangan harian matematika semester 2 kelas V


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Skema Pengembangan Instrumen ... 124

Lampiran 2. Skala Kesulitan Belajar ... 127

Lampiran 3. Data Hasil Uji Coba Realibilitas ... 131

Lampiran 4 Uji Reabilitas Skala Kesulitan Belajar ... 132

Lampiran 5. Data Hasil Penelitian ... 133

Lampiran 6. Analisis Data Penelitian ... 135

Lampiran 7. Analisis Skor Indikator. ... 136

Lampiran 8. Pedoman Wawancara. ... 137

Lampiran 9. Hasil Wawancara ... 141

Lampiran 10. Pedoman Observasi ... 154

Lampiran 11. Hasil Observasi ... 155

Lampiran 12. Dokumentasi Nilai ... 175

Lampiran 13. Lembar Pernyataan Validasi Instrumen 1 ... 176

Lampiran 14. Lembar Pernyataan Validasi Instrumen 2 ... 177

Lampiran 15. Surat Ijin Penelitian ... 178

Lampiran 16. Surat Keterangan Penelitian ... 179


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem pendidikan di Indonesia mengenal tiga jalur pendidikan yaitu pendidikan formal, nonformal, dan informal. Masyarakat umumnya lebih mengenal jalur pendidikan formal sebagai pendidikan persekolahan. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat (Arif Rohman, 2011: 200). Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam undang – undang tersebut pada pasal 17 ayat 1 dan 2 juga dituliskan bahwa pendidikan formal terdiri atas tiga jenjang yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan pendidikan yang akan dicapai, dan kemampuan peserta didik yang akan dikembangkan (Arif Rohman, 2011: 223). Jenjang pendidikan formal yang pertama adalah pendidikan dasar. Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 pada pasal 17 ayat (1) dan (2) bahwa: “Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar


(17)

2

berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah

tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”.

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok (Slameto, 2003: 1). Kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah bersifat formal, disengaja, direncanakan, dengan bimbingan guru (Nana Syaodih Sukmadinata, 2004: 177). Begitu pula Wina Sanjaya (2005: 87) menyebutkan bahwa tugas utama siswa adalah belajar sedangkan tugas utama guru adalah mengajar. Lebih lanjut Wina Sanjaya (2005: 87) mengatakan bahwa pembelajaran berlangsung dengan adanya dua kegiatan yakni belajar yang dilakukan oleh siswa dan guru yang mengajar agar tujuan siswa yang sedang belajar tersebut dapat tercapai. Karena itulah Slameto (2003: 1) menegaskan bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik.

Ada beberapa pandangan dalam teori belajar, diantaranya adalah teori behavioristik dan teori psikologi kognitif. Teori behavioristik memandang belajar sebagai proses perubahan perilaku dalam diri seseorang. Pandangan ini selaras dengan pernyataan Gagne mengenai definisi belajar. Gagne (Ratna Wilis Dahar, 2011: 2) menyatakan bahwa belajar merupakan proses di mana suatu organisasi memiliki perubahan perilaku sebagai akibat dari pengalaman. Namun, tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Perubahan dalam aspek pertumbuhan dan kematangan


(18)

3

tidak dapat termasuk perubahan dalam pengertian belajar (Slameto. 2003: 2). Pandangan berbeda datang dari teori psikologi kognitif yang lebih menekankan arti penting proses internal mental manusia dalam kegiatan belajar (Nana Syaodih Sukmadinata, 2004: 156). Hal ini dikuatkan oleh Sugihartono (2007: 104) yang berpendapat bahwa tingkah laku manusia yang tampak, tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental. Muhibbin Syah (2003 : 103) mengemukakan

“Teori psikologi kognitif memandang bahwa belajar pada asasnya

adalah peristiwa mental. Teori ini lebih menekankan arti penting proses internal dan mental manusia dalam belajar. Hal ini disebabkan tingkah laku manusia yang tampat tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, yakni: motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan sebagainya.”

Menurut teori psikologi kognitif, proses belajar akan berjalan dengan baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambung) secara tepat dan serasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa (Sugihartono, 2007: 105). Struktur kognitif tersusun dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki anak sebelumnya. Pengetahuan terbentuk melalui proses pengorganisasian pengetahuan baru dengan struktur yang telah ada setelah pengetahuan baru tersebut dapat diinterpretasikan oleh struktur yang ada tersebut (Nana Syaodih Sukmadinata, 2004: 170).

Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget. Piaget (Dwi Utami Faiza, 2008: 53) menyatakan bahwa anak usia 7 – 12 tahun (SD kelas 1 hingga SD kelas 6) berada pada tahap kongkrit operasional. Dalam tahap kongkrit operasional anak masih membutuhkan pengalaman – pengalaman yang telah ia miliki dalam prosses belajar. Pada


(19)

4

usia ini pula anak menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah – masalah yang aktual dan mampu menggunakan kemampuan mentalnya untuk memecahkan masalah yang bersifat konkret (Rita Eka Izzaty, 2008: 105-106). Lebih lanjut, Rita menjelaskan bahwa kemampuan berfikir anak berkembang dari tingkat yang sederhana dan konkret ketingkat yang lebih rumit dan abstrak. Kemampuan berfikir ini akan ditandai dengan adanya aktivitas – aktivitas mental seperti mengingat, memahami, dan memecahkan masalah.

Dilihat dari segi karakteristiknya, anak – anak usia sekolah dasar memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak – anak yang usianya lebih muda atau lebih tua. Mereka senang bermain, bergerak, bekerja kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung (Desmita, 2012: 35). Anak usia sekolah dasar membutuhkan arena di mana setiap anak dapat mengasah pengalaman yang mereka miliki menjadi kompetensi dan pengetahuan (Dwi Utami Faizah, 2008: 141). Berbagai keunikan perilaku siswa lainnya juga dapat dijumpai dalam proses pembelajaran di sekolah. Misalnya ada siswa yang sangat aktif, rajin mencatat, rajin mengerjakan tugas, sering bertanya dan sebagainya. Selain itu, ada juga siswa yang sangat pasif, tidak mengumpulkan tugas, membolos, diam saat ditanya oleh guru, dan nilai yang selalu rendah (Muhamad Irham, 2014: 260-261).

Namun, perilaku yang cenderung kurang baik tersebut tidak selayaknya dialami oleh siswa karena hal ini menunjukkan adanya hambatan atau kesulitan belajar pada siswa tersebut (Muhamad Irham, 2014: 261). H.W


(20)

5

Burton (Mulyadi, 2010: 8) mengidentifikasi bahwa seorang murid dapat diduga mengalami kesulitan belajar, jika siswa menunjukkan kegagalan tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya. Lebih lanjut, H.W Burton (Mulyadi, 2010: 8-10) mengidentifikasikan kegagalan belajar sebagai berikut: 1. Murid tidak dapat mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau penguasaan (mastery level) minimal yang telah ditetapkan guru dalam batas waktu tertentu.

2. Murid tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi sesuai dengan intelegensi atau ukuran tingkat kemampuannya.

3. Murid tidak dapat mewujudkan tugas – tugas perkembangan sesuai dengan fase perkembangan dan usianya.

4. Murid tidak dapat mencapai tingkat penguasaan (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat (prerequisit) bagi kelanjutan (continuity) pada tingkat pelajaran berikutnya.

Dari empat hal di atas, Mulyadi (2010:9) menyimpulkan bahwa seseorang dapat diduga mengalami kesulitan belajar jika yang bersangkutan tidak berhasil mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu (berdasarkan kriteria dalam tujuan instruksional atau ukuran kapasitas belajarnya) dalam batas waktu tertentu.

Kesulitan belajar seorang siswa dapat terlihat juga dari menurunnya prestasi belajarnya yang ditandai dengan rendahnya nilai ujian yang diperoleh (Muhamad Irham, 2014: 261). Menurut Blassic dan Jones (Sugihartono, 2007: 150) kesulitan belajar yang dialami siswa menunjukkan adanya


(21)

6

kesenjangan atau jarak antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademik yang dicapaioleh siswa pada kenyataannya. Lebih lanjut Blassic dan Jones menjelaskan bahwa peserta didik dikatakan mengalami kesulitan belajar jika peserta didik memiliki intelegensi normal tetapi menunjukkan satu atau beberapa kekurangan yang penting dalam proses belajar, baik dalam persepsi, ingatan, perhatian ataupun fungsi motoriknya. Kesulitan belajar yang terjadi pada seorang siswa pada umumnya disebabkan oleh faktor –faktor tertentu. Slameto (2003: 54) mengatakan terdapat dua faktor yang dapat menjadi penyebab kesulitan belajar bagi siswa yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri siswa meliputi kesehatan, intelegensi, dan minat. Faktor eksternal berasal dari lingkungan siswa meliputi lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Dengan demikian, kesulitan belajar tidak hanya dialami oleh peserta didik dengan intelegensi rendah tapi juga dipengaruhi oleh lingkungan yang kurang mendukung.

Berbagai penjelasan diatas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Costrie dkk (2012) mengenai Profil Inteligensi Pada Siswa Dengan Kesulitan Belajar di SD Gisikdrono Semarang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa dengan kesulitan belajar memiliki skor IQ yang berada pada taraf rata-rata. Besar pengaruh faktor internal pada kesulitan belajar siswa juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Amerudin (2013) mengenai Deskripsi Kesulitan Belajar Dan Faktor Penyebabnya Pada Materi Fungi Di SMA Islam Bawari Pontianak Dan


(22)

7

Upaya Perbaikannya. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa faktor yang lebih berpengaruh dalam menyebabkan kesulitan belajar siswa adalah faktor internal yang didominasi oleh kebiasaan belajar dan minat. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kesulitan belajar diantaranya adalah lingkungan keluarga dan sekolah. Dua faktor tersebut didukung oleh hasil penelitian Siti Sapuroh (2010) mengenai Analisis Kesulitan Belajar Siswa Dalam Memahami Konsep Biologi Pada Konsep Monera di MAN Serpong Tangerang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat 5 dari 30 siswa memiliki kesulitan belajar karena pengaruh yang sangat tinggi dari lingkungan keluarga. Selain itu, semua responden menyatakan bahwa lingkungan sekolah mereka juga turut menjadi penyebab kesulitan belajar mereka meskipun dengan presentase yang kecil.

Beberapa faktor penyebab kesulitan belajar yang telah disebutkan dapat mempengaruhi sifat kesulitan belajar yang dialami siswa. Kesulitan belajar dapat bersifat menetap atau mungkin hanya sementara dan berlangsung dalam kurung waktu yang lama atau sebentar (Muhamad Irham, 2014: 257). Agar kesulitan belajar yang dialami oleh siswa tidak bersifat menetap dan terjadi dalam jangka waktu yang lama, maka guru sangat dianjurkan melakukan identifikasi (upaya mengenali dengan cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut (Muhibbin Syah, 2006: 186). Dengan melakukan identifikasi guru dapat melihat ciri – ciri maupun gejala yang nampak, faktor penyebab, serta mempermudah proses pemberian bantuan selanjutnya (Tidjan, dkk.,1993: 80).


(23)

8

Atas dasar itulah, setiap guru sudah selayaknya mampu mengidentifikasi kesulitan belajar (Muhamad Irham, 2014: 277).

Abin Syamsudin (Mulyadi 2010: 19) menyatakan bahwa identifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat dilakukan dengan menghimpun, menganalisis, dan menafsirkan data hasil belajar. Dengan menghimpun dan menganalisis data hasil belajar dapat diketahui tinggi rendahnya perolehan nilai ujian atau evaluasi yang dicapai. Nilai rendah yang diperoleh siswa dalam ujian menandakan siswa belum berhasil menguasai materi atau mengalami kesulitan dalam belajarnya (Muhamad Irham, 2014: 259).

Rendahnya kompetensi akademik menjadi salah satu tanda adanya kesulitan belajar juga dialami oleh siswa SD Sosrowijayan Kota Yogyakarta. Berdasarkan data hasil Ujian Setara Ujian Nasional (USUN) 2013 yang didapatkan dari Dinas Pendidikan Provinsi D.I. Yogyakarta, SD Sosrowijayan berada pada urutan terakhir dari 168 sekolah dasar di Kota Yogyakarta dengan rata – rata 6,50. Urutan terakhir juga disandang SD ini pada USUN tahun 2014. Hal tersebut menandakan bahwa siswa SD Sosrowijayan diduga mengalami kesulitan belajar.

Pengamatan dan wawancara dengan Ibu Yuni guru kelas 4 SD Sosrowijayan, memperlihatkan bahwa proses pembelajaran di sekolahnya berjalan kurang maksimal. Ibu Yuni mengatakan bahwa letak sekolah yang berada di kawasan malioboro membuat pembelajaran kurang kondusif. Ramai wisatawan yang berada di sekitar sekolah, suara bising dari kendaraan


(24)

9

bermotor hingga pesawat terbang yang kerap terdengar menjadikan kegiatan belajar siswa sering terhambat. Lingkungan masyarakat asal siswa yang berada pada kawasan padat penduduk juga memiliki pengaruh pada kebiasaan belajar siswa. Lebih lanjut Ibu Yuni menjelaskan pula bahwa 40% siswa di sekolahnya berasal dari keluarga yang bercerai. (Wawancara, 9 Februari 2015)

Melalui pengamatan (9 Februari 2015) yang telah dilakukan di kelas 4, 5, dan 6 terhadap situasi belajar di dalam kelas, pembelajaran di kelas lima lebih tidak kondusif dibanding kelas lainnya. Terdapat tiga siswa yang gemar jalan – jalan berpindah kursi di kelas. Dari 23 siswa, hanya kurang dari sepuluh siswa saja yang memperhatikan pembelajaran sedangkan siswa lainnya bercerita dengan teman, bermain sendiri, dan melamun. Saat diberi tugas oleh guru, hanya 12 siswa benar – benar mengerjakan tugas sampai selesai. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada Ibu Lasmi guru kelas 5 SD Sosrowijayan, sebagian siswanya mengalami kesulitan belajar yang ditandai dengan prestasi akademik yang rendah. Hal ini dapat terlihat dari nilai ulangan IPA yang baru saja dilaksanakan, 20 dari 23 siswanya tidak dapat memenuhi KKM. Meski demikian, siswa SD Sosrowijayan memiliki IQ yang berada pada level rata – rata. Tidak ada yang lebih tinggi maupun berada pada level bawah. Sejauh ini, sekolah sudah memberikan tambahan pelajaran dua kali dalam seminggu bagi siswa kelas 4 dan 5. Sedangkan bagi siswa kelas 6 tambahan pelajaran dilaksanakan empat kali dalam satu minggu. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Lasmi tersebut, kesulitan


(25)

10

belajar siswa selama ini belum diidentifikasi. Sehingga beliau belum dapat memberikan bantuan belajar yang tepat pada siswanya.

Berdasarkan uraian mengenai belajar dan hasil pengamatan di atas, penting kiranya seorang calon guru sekolah dasar memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi kesulitan belajar yang terjadi pada siswa di sekolah maupun di kelas. Dengan demikian, guru dapat memberi bantuan belajar dengan tepat sehingga siswa dapat mengejar ketertinggalan dan mencapai prestasi yang lebih baik (Muhamad Irham, 2010: 260). Oleh karena itu, peneliti tertarik

untuk mengangkat judul “Identifikasi Kesulitan Belajar Siswa Kelas V SD

Sosrowijayan”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang ada pada latar belakang masalah, peneliti mengidentifikasi beberapa masalah penelitian, antara lain :

1. Ketidakberhasilan pencapaian tujuan pendidikan dipengaruhi oleh proses belajar yang dialami siswa.

2. Sebagian besar siswa kelas 5 SD Sosrowijayan tidak dapat mencapai nilai KKM.

3. Siswa SD Sosrowijayan memiliki nilai rata – rata ujian nasional yang terendah di Kota Yogyakarta pada tahun 2013 dan 2014. 4. Siswa kelas 5 SD Sosrowijayan tidak memperhatikan pembelajaran

yang sedang berlangsung sehingga proses pembelajaran kurang kondusif.


(26)

11

5. Belum diketahui identifikasi kesulitan belajar siswa kelas V SD Sosrowijayan.

C. Rumusan Masalah

Sesuai dengan identifikasi masalah dan fokus peneitian, dapat dirumuskan permasalahan penelitian yaitu :

1. Bagaimana tingkat kesulitan belajar siswa kelas V SD Sosrowijayan?

2. Apa saja jenis, sifat, dan faktor penyebab kesulitan belajar siswa kelas V SD Sosrowijayan yang berada pada kategori kesulitan belajar tinggi?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan untuk:

1. Mengetahui tingkat kesulitan belajar siswa kelas V SD Sosrowijayan. 2. Mengetahui jenis, sifat, dan faktor penyebab kesulitan belajar siswa

kelas V SD Sosrowijayan yang berada pada kategori kesulitan belajar tinggi.

E. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah.


(27)

12

1. Secara teoretis, penelitian ini menambah khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang pendidikan dasar, khususnya tentang kesulitan belajar siswa kelas tinggi.

2. Bagi peneliti, penelitian ini dapat memberikan gambaran dan pengetahuan tentang kesulitan belajar siswa kelas tinggi.

3. Bagi guru, penelitian ini dapat meningkatkan motivasi untuk mencari solusi pembelajaran yang memudahkan siswa dalam menerima pengetahuan sehingga dapat mencapai prestasi akademik yang diinginkan.

4. Bagi sekolah, penelitian ini dapat membantu sekolah untuk menyusun program dalam rangka meningkatkan prestasi belajar peserta didik.


(28)

13 BAB II KAJIAN TEORI

A. Karakteristik Perkembangan Siswa Sekolah Dasar

Perkembangan manusia berlangsung secara berurutan atau berkesinambungan melalui periode atau masa. Menurut Santrock (Syamsu Yusuf, 2012: 9) perkembangan manusia terdiri atas tiga periode, yaitu anak (childhood), remaja (adolescence), dan dewasa (adulthood). Lebih lanjut syamsu menyatakan bahwa anak sekolah dasar berada pada periode pertengahan dan akhir anak (Syamsu Yusuf, 2012: 9). Periode ini digolongkan berdasarkan usia dimana usia rata – rata anak sekolah dasar di Indonesia adalah 6 – 12 tahun (Desmita, 2012: 35). Dimana pada masa ini anak sudah matang untuk masuk sekolah (Abu Ahmadi,1991:75). Secara umum perkembangan peserta didik dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek perkembangan, yaitu perkembangan fisik (motorik), perkembangan kognitif (intelektual) dan psikososial (Desmita, 2012: 33).

1. Perkembangan Fisik (Motorik)

Fase atau usia sekolah dasar (7-12 tahun) ditandai dengan gerak atau aktivitas motorik yang lincah (Syamsu Yusuf, 2012: 59). Hal ini disebabkan oleh keterampilan motorik yang mengalami kemajuan yang jauh lebih halus dan lebih terkoordinasi dengan baik dari masa sebelumnya (Conny R. Semiawan, 1999:49).. Rita Eka Izzaty (2008: 105) juga menegaskan bahwa kebutuhan untuk selalu bergerak sangat diperlukan oleh anak karena energi yang tertumpuk pada anak


(29)

14

memerlukan penyaluran. Oleh karena itu, anak – anak usia SD lebih senang melakukan berbagai aktivitas fisik dari pada berdiam diri Conny R. Semiawan (1999:49).

Pertumbuhan fisik anak yang cenderung stabil dan relatif seimbang juga membuat fase ini sangat ideal untuk melatih berbagai keterampilan motorik anak (Syamsu Yusuf, 2012: 59). Lebih rinci, Santrock (Desmita, 2012: 80) mengungkapkan pada usia 10 hingga 12 tahun, anak – anak mulai memperlihatkan gerakan – gerakan yang kompleks, rumit, dan cepat, yang diperlukan untuk menghasilkan karya kerajinan yang bermutu bagus atau memainkan instrumen musik tertentu.

2. Perkembangan Kognitif (Intelektual)

Pada usia sekolah dasar ( 7-12 tahun), anak berada pada tahap operasional konkret dalam berfikir. Anak mulai menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah – masalah yang aktual dan konkret (Rita Eka Izzaty, 2008: 106). Menurut Piaget (Syamsu Yusuf, 2012: 61) tahap operasional konkret ditandai dengan kemampuan (1) mengklasifikasikan benda berdasarkan kesamaan cirinya; (2) menyusun, menghubungkan, dan menghitung angka atau bilangan; (3) memecahkan masalah yang sederhana. Kemampuan berfikir anak berkembang dari tingkat yang sederhana dan konkret ketingkat yang lebih rumit dan abstrak (Rita Eka Izzaty, 2008: 106-107). Selain itu, anak juga telah dapat mereaksi rangsangan


(30)

15

intelektual, atau melaksanakan tugas – tugas belajar yang menuntut kemampuan kognitifnya seperti membaca, menulis, dan menghitung (Syamsu Yusuf, 2012: 61).

Kemampuan intelektual anak pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya (Syamsu Yusuf, 2012: 61). Anak mampu mengklasifikasikan dan mengurutkan suatu benda berdasarkan ciri – ciri suatu objek. Mereka juga dapat mengerti hubungan perubahan dan proses dari kejadian – kejadian yang lebih kompleks (Rita Eka Izzaty, 2012: 107). Pada usia 7-12 tahun, ingatan anak mencapai intensitas paling kuat dan besar. Intensitas paling kuat ada pada daya menghafal dan memorisasinya. Sedangkan kemampuan memuat jumlah materi ingatan di usia ini paling banyak jika dibandingkan dengan kemampuan di usia lainnya (Abu Ahmadi, 1991: 81).

3. Perkembangan Psikososial

Menurut teori perkembangan psikososial oleh Erikson (Dwi Utami Faizah, 2008: 61), anak usia sekolah dasar (6-12 tahun) berada pada tahap industry vs inferiority (letency stage). Erickson (Dwi Utami Faizah, 2008: 61) mengibaratkan perkembangan anak usia SD

sebagai “Masa Robinson Crusoe”.

“Mereka tertarik dengan praktik pengembaraan berpikir dan mengaitkannya dengan kehidupan sosial. mereka sangat suka melakukan berbagai eksperimen untuk memenuhi rasa


(31)

16

keingintahuan yang benar, masa industri ini dimiliki oleh semua anak dengan ciri yang sama yaitu produktif.”

Berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu anak pada masa pertengahan dan akhir anak – anak (Desmita, 2012: 224). Anak mulai dapat menyesuaikan diri dengan kelompok teman sebanya maupun lingkngan masyarakat sekitarnya (Syamsu Yusuf, 2012: 66). Ia mulai dapat merubah sikap egosentris kepada sikap kooperaif atau sosiosentris. Pada masa ini, anak tidak lagi puas bermain sendirian di rumah atau melakukan kegiatan – kegiatan dengan anggota keluarganya (Desmita, 2012: 224). Mereka menyukai permainan yang sifatnya menjelajah ketempat – tempat yang belum pernah ia kunjungi, dan juga permainan konstruktif yaitu membangun dan membentuk sesuatu sehingga membantu mengembangkan kreativitas anak (Rita Eka Izzaty, 2008: 114). Anak lebih menekankan pada pentingnya bermain bersama kelompok sebaya karena ia memiliki keinginan yang besar untuk diterima oleh kelompoknya (Desmita, 20012: 224).

Perkembanagn sosial anak tentu tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan emosinya (Rita Eka Izzaty, 2008: 113). Rita menyatakan ada delapan ciri – ciri emosi anak , yaitu:

1) Emosi anak berlangsung relatif lebih singkat (sebentar) hanya beberapa menit dan sifatnya tiba – tiba.


(32)

17

2) Emosi anak kuat atau hebat, mereka akan tampak marah sekali, takut sekali, tertawa terbahak – bahak meskipun cepat hilang.

3) Emosi anak mudah berubah, sering berganti – ganti emosi dalam waktu yang singkat.

4) Emosi anak nampak berulang – ulang, hal ini timbul karenaa anak dalam proses perkembangan kearah kedewasaan.

5) Respon emosi anak berbeda – beda dari waktu ke waktu. 6) Emosi anak dapat diketahui atau dideteksi dari gejala

tingkah lakunya.

7) Emosi anak mengalami perubahan dalam kekuatannya. 8) Pengungkapan dalam ungkapan – ungkapan emosional,

mereka selalu memperlihatkan keinginan yang kuat terhadap apa yang mereka inginkan.

Dengan pergaulan yang semakin luas dengan teman sebaya dan teman sekolah anak mulai mengembangkan emosinya (Rita Eka Izzaty, 2008: 111). Anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar dan berlebihan tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh karena itu, ia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya (Syamsu Yusuf, 2012: 63).


(33)

18

Ketiga aspek perkembangan anak tersebut tentu akan memberi pengaruh terhadap tahapan dan proses belajarnya. Perkembangan aspek intelektual anak pada tahap ini memungkinkan diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir dan daya nalarnya. Keterampilan berfikirnya sudah mampu digunakan untuk mempelajari hal – hal yang bersifat abstrak sehingga anak dapat mengaitkan konsep – konsep dan istilah yang ia ketahui. Rasa ingin tahu dan kreativitas anak yang sangat besar harus dapat difasilitasi dengan baik agar dapat mendukung keberhasilan belajarnya.

Rasa ingin tahu dan daya kreativitas yang bagus itu membuat anak menyukai kegiatan bermain yang sifatnya menjelajah dan konstruktif yaitu membangun atau membuat sesuatu yang menuntuk daya kreativitasnya. Kematangan perkembangan motorik anak memungkinkannya untuk menerima pelajaran keterampilan seperti kegiatan olahraga, melukis, menari, dan lain sebagainya.

Dunia persekolahan yang telah menjadi bagian dari kehidupannya saat ini juga membuat pergulannya semakin luas. Anak mulai berinteraksi dengan teman sekolah, teman bermain, dan masyarakat di sekitarnya yang juga mempengaruhi perkembangan sosial anak. Hal ini membuat sifat egoisentris anak mulai berkurang sehingga mereka mulai dapat bekerjasama dengan orang lain, menyukai kehidupan berkelompok, dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Selain itu, anak dapat memilih cara yang baik dalam mengekspresikan emosi kepada orang lain. Saat ini, keadaan emosi anak masih sangat mempengaruhi keberhasilan belajarnya.


(34)

19

B. Tugas – Tugas Perkembangan Siswa Sekolah Dasar

Robert J. Havighurst (Abu Ahmadi, 1991: 34) mengemukanan bahwa setiap fase kehidupan seseorang itu ditandai oleh adanya tugas – tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Tugas perkembangan ini berkaitan erat dengat perubahan kematangan, persekolahan, pekerjaan, pengalaman beragama, dan hal lainnya sebagai prasyarat untuk pemenuhan kebahagiaan hidupnya (Syamsu Yusuf, 2012: 14). Seperti yang telah dijelaskan, bahwa siswa sekolah dasar berada pada ada periode perkembangan pertengahan dan akhir anak. Pada periode ini anak sudah banyak bergaul dengan orang – orang di luar rumahnya, sehingga diharapkan dia dapat menguasai dan menyelesaikan tugas – tugas perkembangannya agar diterima dengan baik oleh lingkungannya (Rita Eka Izzaty, 2008: 103). Nana Syaodih Sukmadinata (2004: 123) memaparkan beberapa tugas perkembangan pada masa kanak – kanak akhir adalah :

a. Belajar keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan.

b. Pengembangan sikap yang menyeluruh terhadap diri sendiri sebagai individu yang sedang berkembang.

c. Belajar bergaul dengan teman sebaya.

d. Belajar melakukan peranan sosial sesuai dengan jenis kelaminnya. e. Belajar menguasai keterampilan – keterampilan intelektual dasar,

yaitu membaca, menulis, dan menghitung.

f. Pengembangan konsep – konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari – hari.


(35)

20

g. Pengembangan moral, nilai, dan hati nurani. h. Memiliki kemerdekaan pribadi.

i. Pengembangan sikap terhadap lembaga dan kelompok sosial.

Jika periode sebelumnya lingkungan keluarga sangat menentukan keberhasilan dalam menyelesaikan tugas perkembangan pada periode ini tidak hanya lingkungan keluarga, tapi juga lingkungan sekolah dan teman sebaya akan mempengaruhi penyelesaian tugas perkembangannya (Rita Eka Izzaty, 2008: 104).

Selain beberapa tugas perkembangan anak pada periode pertengahan dan akhir yang telah disebutkan, Dwi Utami Faizah (2008: 61) juga menambahkan tugas perkembangan anak di usia 6 – 12 tahun.

“Tugas yang dipikul anak pada tahap ini adalah kapasitas menghadapi masa industri, dan menghindarkan mereka dari rasa rendah diri yang berlebihan. Anak mesti mampu mengikuti berbagai aturan dan mendedikasikan diri mereka pada kehidupan bersekolah agar dapat meraih berbagai kecakapan sosial (kompeten) seperti yang dibutuhkan

masyarakat mereka.”

Lebih lanjut Havighurst (Syamsu Yusuf, 2012: 14) menekankan bahwa bila tugas perkembangan tidak dapat dipenuhi anak dapat menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu tersebut, menimbulkan penolakan dari masyarakat, dan kesulitan – kesulitan dalam menuntaskan tugas – tugas perkembangan berikutnya.

Dalam setiap tahapan masa perkembangan bukan hanya untuk memperhatikan kemampuan anak yang sedang berkembang, namun juga tugas yang harus dicapai oleh anak. Pencapaian tugas – tugas perkembangan anak pada suatu tahap akan mempengaruhi penyelesaian tugas perkembangan


(36)

21

pada tahap berikutnya. Terpenuhinya tugas perkembangan anak akan membantu kelancaran proses belajar anak dan pencapaian prestasinya.

C. Pengertian Kesulitan Belajar

Pada umumnya “kesulitan” merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya hambatan – hambatan dalam kegiatan mencapai suatu tujuan, sehingga memerlukan usaha yang lebih berat lagi untuk dapat mengatasinya (Tidjan, 1993: 78). Kesulitan belajar dapat diartikan sebagai kondisi dalam suatu proses belajar yang ditandai adanya hambatan – hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar (Mulyadi, 2010: 6). Menurut Warkitri dkk. (Sugihartono, 2007: 151) kesulitan belajar mempunyai bentuk - bentuk seperti :

1. Learning Disorder (Kekacauan Belajar). Suatu keadaan dimana proses belajar anak terganggu karena timbulnya respon yang bertentangan.

2. Learning Disability (Ketidakmampuan Belajar). Suatu gejala dimana anak tidak mampu belajar atau selalu menghindari kegiatan belajar dengan berbagai sebab sehingga hasil belajar yang dicapai berada di bawah potensi intelektualnya.

3. Learning Disfunctions (Ketidakfungsian Belajar). Menunjukkan gejala proses belajar yang tidak dapat berfungsi dengan baik meskipun anak tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat indera ataupun gangguan psikologis lain.


(37)

22

4. Under Achiever (Pencapaian Rendah). Kesulitan belajar yang terjadi pada anak yang memiliki potensi intelektual tergolong di atas normal tetapi prestasi belajar yang dicapai tergolong rendah.

5. Slow Learner (Lambat Belajar). Kesulitan belajar yang disebabkan anak sangat lambat dalam proses belajarnya sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan anak yang lain.

Muhibbin Syah (2006 : 182) menambahkan bahwa kesulitan belajar juga terjadi pada siswa yang memiliki intelegensi normal tetapi tidak dapat mencapai kinerja akademik sesuai dengan harapan atau kemampuan intelegensinya karena faktor – faktor tertentu. Kesulitan belajar tersebut dapat berwujud sebagai suatu kekurangan dalam satu atau lebih bidang akademik, baik dalam mata pelajaran yang spesifik seperti membaca, menulis, mengeja, matematika; atau dalam berbagai keterampilan yang bersifat lebih umum seperti mendengarkan, berbicara, dan berpikir.

Beberapa pengertian mengenai kesulitan belajar yang telah dipaparkan, tidak semua bentuk kesulitan belajar tersebut terjadi di suatu sekolah. Secara umum, dapat ditarik kesimpulan bahwa kesulitan belajar adalah ketidakmampuan siswa dengan intelegensi normal untuk mencapai prestasi akademik yang diharapkan karena berbagai faktor yang menghambat proses belajarnya.


(38)

23 D. Gejala Kesulitan Belajar

Kesulitan belajar pada dasarnya dapat diidentifikasi dari suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis manifestasi tingkah laku baik secara langsung ataupun tidak langsung (Mulyadi, 2010: 7). Blassic dan Jones (Muhamad Irham, 2014: 261) mengemukakan karakteristik anak yang mengalami kesulitan belajar dapat ditunjukkan dari beberapa karakteristiknya berupa behavioral (kebiasaan sehari – hari), cara bicara dan bahasa, serta kemampuan intelektual dan prestasi belajar yang ia capai. Kesulitan belajar yang dihadapi oleh peserta didik dapat berwujud dalam berbagai macam gejala, baik gejala kognitif, afektif, maupun psikomotorik (Sugihartono, 2007: 153). Selain itu, Sumadi Suryobroto (Sugihartono, 2007: 153) mengemukakan empat indikator terjadinya kesulitan belajar pada siswa, yaitu:

1. Grade level, apabila anak tidak naik kelas hingga dua kali.

2. Age level, apabila kelas yang diduduki anak tidak sesuai dengan usianya yang bukan disebabkan oleh keterlambatan usia saat masuk sekolah.

3. Intelligensi level, apabila tingkat intelektual siswa tidak sesuai dengan prestasi belajarnya (lebih rendah dari harapan).

4. General level. Apabila siswa memiliki prestasi yang rendah atau sangat rendah pada mata pelajaran tertentu tetapi secara umum dapat mencapai prestasi yang diharapkan.


(39)

24

Mulyadi (2010: 8) mengemukakan bahwa siswa yang memiliki kesulitan belajar dapat diketahui melalui beberapa ciri – ciri yang ditunjukkan siswa tersebut. Beberapa ciri – ciri tersebut adalah :

1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata – rata nilai yang dicapai oleh kelompokknya atau di bawah potensi yang ia miliki.

2. Hasil yang dicapai siswa tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan siswa.

3. Lambat dalam melakukan tugas – tugas kegiatan belajar.

4. Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti acuh tak acuh, menentang, berpura – pura, dusta dan sebagainya.

5. Menujukkan tingkah laku yang kurang wajar seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam dan di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak tertib, dan lain sebagainya.

6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar seperti pemurung, mudah tersinggunga, pemarah, dan tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal saat mendapat nilai yang rendah, dan lain sebagainya.

Ciri – ciri atau gejala tersebut dapat diamati oleh guru dalam proses pembelajaran dan menunjukkan adanya hambatan yang dialami oleh peserta didik.


(40)

25

Sementara itu, H.W. Burton (Mulyadi, 2010: 8-9) mengidentifikasikan seorang siswa dapat diduga mengalami kesulitan belajar, jika siswa menunjukkan kegagalan – kegagalan tertentu dalam mencapai tujuan – tujuan belajarnya. Kegagalan belajar yan dimaksud yaitu :

5. Siswa dikatakan gagal, apabila ia tidak dapat mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau penguasaan (mastery level) minimal yang telah ditetapkan guru dalam batas waktu tertentu.

6. Siswa dikatakan gagal, apabila ia tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi sesuai dengan intelegensi atau ukuran tingkat kemampuannya.

7. Siswa dikatakan gagal, apabila ia tidak dapat mewujudkan tugas – tugas perkembangan sesuai dengan fase perkembangan dan usianya. 8. Siswa dikatakan gagal, apabila ia tidak dapat mencapai tingkat

penguasaan (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat (prerequisit) bagi kelanjutan (continuity) pada tingkat pelajaran berikutnya.

Berdasarkan empat hal diatas, Depdiknas menentukan patokan kesulitan belajar seperti di bawah ini:

1. Tingkat Pencapaian tujuan

Dalam dunia pendidikan terdapat tujuan pendidikan yang menjadi dasar dibuatnya tujuan institusional lembaga – lembaga pendidikan. Tujuan institusional ini kemudian akan dijabarkan menjadi tujuan kurikuler dalam rencana pembelajaran. Tujuan


(41)

26

kurikuler ini masih dirinci lagi dengan dibuatnya tujuan instruktusional yaitu perubahan sikap dan tingkah laku yang diharapkan setelah siswa mengikuti program pembelajaran.

Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila ia dapat mencapai tujuan – tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan siswa yang mendapatkan hambatan dan tidak dapat mencapai tujuan – tujuan yang telah ditetapkan diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Untuk mengetahui hal tersebut, tujuan pembelajaran hendaknya sudah dirumuskan secara jelas dan operasional sebelum proses belajar dimulai. Tingkatan pencapaian tujuan tersebut dapat kita ukur dengan menganalisis prestasi atau hasil belajar yang diperoleh siswa. Secara statistik berdasarkan distribusi normal seseorang dikatakan berhasil jika dapat menguasai sekurang – kurangnya 60% dari tujuan yang harus dicapai. Menurut Sugihartono (2007: 152) setiap peserta didik akan dapat mencapai tujuan belajarnya apabila diberi waktu yang cukup untuk belajar 2. Perbandingan Antara Potensi dan Prestasi

Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa tergantung dari tingkat potensinya (kemampuan) baik yang berupa bakat maupun kecerdasan. Anak yang memiliki potensi tinggi cenderung dapat memperoleh prestasi yang lebih tinggi pula, sebaliknya anak yang mempunyai potensi rendah akan mendapat prestasi yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dan prestasi yang


(42)

27

dicapai, dapat diperkirakan sejauh mana anak mewujudkan potensinya. Siswa yang mendapatkan kesulitan belajar adalah siswa yang memiliki perbedaan besar antara potensi dengan prestasi.

3. Kedudukan dalam Kelompok

Kedudukan seseorang dalam kelompoknya dapat menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajar. secara statistik, siswa diperkirakan mengalami kesulitan belajar jika menduduki urutan paling bawah dalam kelompoknya atau memiliki nilai di bawah nilai rata – rata kelompoknya.

4. Tingkah Laku yang Nampak

Hasil belajar yang dicapai oleh siswa akan nampak dalam tingkah lakunya. Siswa yang tidak berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola tingkah laku yang menyimpang. Misalnya: menunjukkan sikap acuh tak acuh, melalaikan tugas, menentang, membolos, menyendiri, dusta, kurang motivasi serta gangguan emosionalnya.

Berdasarkan berbagai gejala kesulitan belajar dari para ahli yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa kesulitan belajar dapat diidentifikasi melalui berbagai gejala yaitu, (1) siswa menunjukkan hasil belajar yang rendah atau tidak sebanding dengan usahanya; (2) menjukkan sikap yang kurang wajar seperti acuh, menentang, berbohong, dan lain sebagainya; (3) menunjukkan tingkah laku yang kurang wajar seperti


(43)

28

membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan PR, tidak tertib, mengganggu di dalam dan di luar kelas, tidak mau mencatat, dan lain sebagainya; (4) menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar seperti pemurung, mudah tersinggung, pemarah, dan tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal saat mendapat nilai yang rendah, dan lain sebagainya.

E. Jenis Kesulitan Belajar

Bentuk kesulitan belajar apapun tentu akan menghambat proses belajar yang dilakukan siswa yang dapat berdampak pada aspek – aspek kehidupan lyang lain (Muhamad Irham, 20014: 258). Mulyono Abdurrahman (2003: 11) mengklasifikasikan kesulitan belajar dalam dua kelompok, yaitu:

1. Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities). Kesulitan belajar kelompok ini mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial.

2. Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities). Kesulitan belajar kelompok ini menunjuk pada adanya kegagalan – kegagalan pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan – kegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca, menulis, dan/atau matematika.


(44)

29

Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono (Muhamad Irham, 2014: 258) terdapat beberapa macam kesulitan belajar pada siswa sebagai berikut :

1. Dilihat dari jenis kesulitannya, kesulitan belajar dikelompokkan menjadi kesulitan belajar ringan, kesulitan belajar sedang, dan kesulitan belajar yang berat.

2. Dilihat dari jenis bidang studi yang dipelajarinya, kesulitan belajar pada siswa dapat berupa kesulitan belajar pada sebagian kecil maupun sebagian besar bidang studi.

3. Dilihat dari sifat kesulitan belajarnya, kesulitan belajar pada siswa dapat berupa kesulitan belajar yang sifatnya menetap atau permanen dan kesulitan belajar yang sifatnya hanya sementara.

4. Dilihat dari faktor kesulitan belajarnya, kesulitan belajar pada siswa dapat berupa kesulitan belajar karena faktor intelegensia dan kesulitan belajar karena faktor non intelegensi.

F. Faktor – Faktor Penyebab Kesulitan Belajar

Pencapaian prestasi belajar pada siswa sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berperan dalam belajar (Sugihartono, 2007: 155). Muhamad Irham (2014: 264) menambahkan bahwa apabila faktor – faktor tersebut dapat terpenuhi dan diperhatikan dengan baik, akan dapat menunjang prestasi belajar siswa. Sebaliknya jika tidak terpenuhi dan diperhatikan akan menimbulkan masalah dan hambatan bagi proses pembelajaran. Secara garis


(45)

30

besar, Muhibbin Syah (2006: 183) mengelompokkan faktor – faktor yang menyebabkan kesulitan belajar bagi siswa menjadi dua macam, yaitu:

1. Faktor internal siswa, yakni hal – hal atau keadaan – keadaan yng muncul dari dalam diri siswa sendiri.

2. Faktor eksternal siswa, yakni hal – hal atau keadaan – keadaan yang datang dari luar diri siswa.

Kedua faktor tersebut meliputi aneka ragam hal atau keadaan yang antara lain tersebut di bawah ini.

1. Faktor Internal

Mulyono Abdurrahman (2003: 13) berpendapat bahwa penyebab utama faktor internal kesulitan belajar adalah kemungkinan adanya disfungsi neurologis yang disebabkan oleh beberapa hal, seperti (1) faktor genetik, (2) luka pada otak karena trauma fisik atau kekurangan oksigen, (3) biokimia yang hilang, (4) biokimia yang merusak otak, (5) pencemaran lingkungan, (6) gizi yang buruk, dan (7) pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak. Berbagai penyebab tersebut dapat menimbulkan gangguan dengan taraf ringan hingga berat.

Pendapat lain dikemukakan oleh Muhamad Irham (2014: 265). Menurut Muhamad Irham faktor – faktor internal yang menjadi penyebab kesulitan belajar pada siswa ada dua, yaitu:

a. Faktor fisiologis, misalnya kondisi siswa yang sedang sakit, kurang sehat. Kondisi jasmani yang kurang sehat seperti


(46)

31

siswa yang sering batuk, pilek, demam, atau sakit kepala dapat mengakibatkan tidak bergairah belajar (M. Dalyono, 2009: 55). Hal lainnya adalah kelemahan atau cacat tubuh. Keadaan tubuh yang cacat akan mengganggu proses belajar karena ia membutuhkan alat bantu khusus untuk mengurangi pengaruh kecacatannya (Slameto, 2013:55).

b. Faktor psikologis, meliputi beberapa hal, yaitu tingkat intelegensia yang pada umumnya rendah ,bakat yang rendah, motivasi yang rendah, kondisi kesehatan mental yang kurang baik, tipe khusus siswa dalam belajar, serta minat belajar yang kecil. M. Dalyono (2009: 57) berpendapat bahwa minat belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah, begitu juga sebaliknya. Dalam hal bakat, Slameto (2009 : 58) mengatakan bahwa hasil belajar seseorang akan lebih baik bila yang dipelajarinya sesuai dengan bakat yang dimiliki karena senang dalam belajar dan akan lebih giat lagi dalam belajar.

Jika Muhammad Irham memandang faktor internal penyebab kesulitan belajar dari kondisi fisiologi dan psikologi siswa, Muhibbin Syah mengelompokkan faktor internal penyebab kesulitan belajar berdasarkan sifatnya. Menurut Muhibbin Syah (2006: 183) faktor internal penyebab kesulitan belajar meliputi gangguan atau ketidakmampuan psiko-fisik siswa, yang bersifat:


(47)

32

1) kognitif (ranah cipta), seperti rendahnya kapasitas intelektual / intelegensi siswa;

2) afektif (ranah rasa), antara lain labilnya emosi dan sikap; 3) psikomotor (ranah karsa) seperti terganggunya alat – alat

indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).

Untuk lebih lengkapnya, Dimyati dan Mudjiono (Sugihartono, 2007: 156) menjabarkan faktor internal yang mempengaruhi proses belajar sebagai berikut :

1) Sikap dalam belajar

Sikap merupakan suatu kecenderungan dalam diri individu untuk memberi respon dan berbuat (Noehi Nasution, 1992: 84). Noehi Nasution ( 1992: 18 ) menambahkan bahwa sikap terdiri dari tiga aspek yaitu aspek kogntif, afektif, dan konasi.

a) aspek kognitif, berkenaan dengan dengan informasi, pengetahuan yang dimiliki seseorang dan sistematisasi proses belajar dalam diri sendiri.

b) aspek afektif berkenaan dengan perasaan dan emosi yang dirasakan seseorang.

c) aspek konatif berkaitan dengan kemauan seseorang yang menentukan perbuatan yang akan dia lakukan.


(48)

33 2) Motivasi belajar

a) Motivasi intrinsik, adalah motivasi yang berasal dari diri sendiri tanpa rangsangan atau bantuan orang lain (Noehi Nasution, 1992: 9). Adanya motivasi intrinsik dapat terlihat dengan adanya keterlibatan siswa dalam belajar, adanya perasaan dan keterlibatan afektif siswa dalam belajar, adanya upaya siswa untuk senantiasa memelihara atau menjaga motivasi belajarnya (Sugihartono, 2007: 78). Menurut Conny R. Semiawan (1999: 294) motivasi intrinsik memiiki sumbangan yang besar bagi terciptanya kegiatan belajar mengajar yang efektif dan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, hasi belajar siswa pada umumnya meningkat jika motivasi belajar dari dalam dirnya juga bertambah (Noehi Nasution, 1992: 9).

b) Motivasi ekstrinsik, adalah motivasi yang timbul karena rangsangaan dari luar ( Noehi Nasution, 1992: 9 ). Noehi Nasution ( 1992: 9 ) menambahkan bahwa rangsangan dari luar itu dapat berupa nilai, takut akan hukuman, dan lain sebagainya. Motivasi ekstrinsik tidak dapat memaksimalkan proses belajar siswa karena saat takut atau tertekan, kapasitas syaraf untuk berfikir rasional mengecil. Otak hanya beroprasi pada tingkat


(49)

34

bertahan sehingga otak tidak dapat mengakses secara maksimal.

3) Kebiasaan belajar

Kebiasaan belajar dapat mempengaruhi pencapaian hasil belajar seseorang. Kebiasaan belajar yang tidak memperhatikan teknik dan faktor fisiologis, psikologis, dan ilmu kesehatan, akan memperoleh hasil yang kurang memuaskan (M. Dalyono, 2009: 57). Misalnnya anak yang biasa belajar dengan mendengarkan music atau menonton televisi dengan berbagai alasan. Tentu saja kebiasaan seperti ini kurang baik karena otak akan lebih maksimal bekerja bila tidak mendapat gangguan. Kebiasaan belajar siswa juga mempengaruhi tipe belajarnya. M. Dalyono (2009 :237) menyebutkan terdapat tiga kelompok tipe belajar, yaitu : a) tipe visual, akan cepat mempelajari bahan – bahan yang

disajikan secara tertulis, bagan, grafik, gambar,

b) tipe auditif, mudah mempelajari bahan yang disajikan dalam bentuk suara,

c) tipe motorik, mudah mempelajari bahan yang berupa gerakan.


(50)

35 4) Cita – cita siswa.

Hal – hal tersebut adalah faktor penyebab kesulitan belajar yang berasal dari dalam diri siswa sendiri dan memberikan pengaruh pada prestasi belajar siswa

2. Faktor Eksternal

Muhamad Irham (2014: 265) membagi faktor eksternal penyebab kesulitan belajar berdasarkan sifatnya, yaitu:

a. Faktor – faktor nonsosial

Faktor nonsosial yang menyebabkan kesulitan belajar pada siswa dapat berupa peralatan belajar atau media belajar yang kurang baikatau bahkan kurang lengkap, kondisi ruang belajar atau gedung yang kurang layak, kurikulum yang sangat sulit dijabarkan oleh guru dan dikuasai oleh siswa, waktu pelaksanaan proses pembelajaran yang kurang disiplin, dan sebagainya.

b. Faktor – faktor sosial

Faktor sosial yang menyebabkan kesulitan pada siswa misalnya faktor keluarga, faktor sekolah, teman bermain, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas.

Secara lebih rinci, Muhibbin Syah (2006: 183) menerangkan faktor – faktor eksternal yang bersifat sosial penyebab timbulnya kesulitan belajar siswa sebagai berikut :


(51)

36

1) Lingkungan keluarga. Conny R. Semiawan (1997: 200) mengatakan bahwa dalam hal belajar, peran keluarga lebih banyak bersifat memberikan dukungan baik dalam hal fasilitas maupun penciptaan suasana belajar yang kondusif. Pola asuh dan kualitas hubungan antara anak dan orang tua adalah dua hal yang sangat berpengaruh dalam kegiatan belajar siswa di rumah. Menururt Conny R Semiawan ( 1992: 208), terdapat tiga jenis pola asuh yang biasa diterapkan oleh orang tua yaitu :

Tabel 1. Tipe Pola Asuh Oang Tua

Tipe Perilaku orang tua Karakteristik Anak

Otoriter

Permisif

Otoritatif

Kontrol yang ketat, menuntut, dan penilaian yang kritis terhadap perilaku anak. sedikit dialog secara verbal, kurang hangat, dan kurang terjalin secara emosional.

Tidak mengontrol, tidak menuntut, hangat, sedikit menerapkan hukuman, penggunaan nalar.

Mengontrol, menuntut, rasional, berdialog secara verbal, disiplin.

Menarik diri dari pergaulan, tidak puas dan tidak pecaya pada orang lain.

Kurang harga diri, kurang dapat mengendalikan diri, kecenderungan dalam bereksplorasi yang tidak terkontrol. Mandiri, bertanggung jawab, memiliki kendali diri, eksploratif yang terkontrol, percaya diri.

2) Lingkungan perkampungan / masyarakat. Semakin bertambah usia, anak akan lebih banyak menggunakan waktu diluar rumah


(52)

37

bersama teman sebayanya (Hartup , 1999 :163). Karena itu, teman sebaya di lingkungan masyarakatnya memiliki pengaruh yang besar baik dalam hal positif maupun negatif (Rita Eka Izzaty, 2007: 115). Selain pergaulan dengan teman sebaya, media informasi juga menjadi salah satu hal yang dapat mempengaruhi perilaku anak khususnya televisi (Conny R. Semiawan, 1999: 237). Program televisi dapat memberi pengaruh baik terhadap siswa khususnya dapat menambah wawasan dan pengetahuan anak (Conny R. Semiawan, 1999:238). Namun, apabila tidak mendapat kontrol yang baik dari orang tua akan memberi daptak yang kurang baik., Program – program hiburan yang disukai siswa dapat menimbulkan sikap kekaguman pada tokoh – tokoh dalam program tersebut. Hal itu akan membuat semangat dan minat belajar anak akan menurun (Slameto, 2013: 70).

3) Lingkungan sekolah. M. Dalyono (2009: 59) menyatakan keberhasilan belajar anak yang rendah dapat dipengaruhi oleh beberapa hal di lingkungan sekolah seperti metode mengajar dan kualitas guru, fasilitas sekolah, keadaan ruangan, jumlah murid dalam satu kelas, pelaksanaan tata tertib sekolah, dan tingkat kedisiplinan. M. Dalyono (2009: 59) menjelaskan, bila sekolah yang kurang memperhatikan kedisiplinan dan tidak menjalankan tata tertib dengan baik dapat menyebabkan


(53)

38

siswanya kurang mematuhi perintah guru. Hal ini akan berakibat mereka tidak mau belajar dengan sungguh – sungguh di sekolah maupun di rumah. Sugihartono (2007: 157) juga menambahkan bahwa kebijakan penilaian dan kurikulum sekolah juga dapat menjadi faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa. Akan tetapi, guru sering menuntut standar pembelajaran di atas kemampuan siswa tanpa mengukur kemampuan siswa. Hal ini menyebabkan hanya sebagian kecil siswa saja yang dapat berhasil dengan baik (M. Dalyono, 2007:243).

Faktor – faktor yang sering menjadi penyebab kesulitan belajar pada siswa di sekolah – sekolah dasar diantaranya adalah:

1. Faktor internal. Sikap dalam belajar, motivasi, konsentrasi siswa, menyimpan perolehan hasil belajar, menggali hasil belajar yang tersimpan, rasa percaya diri siswa, intelegensi dan keberhasilan belajar, kebiasaan belajar, dan cita – cita siswa.

2. Faktor Eksternal. Lingkungan sekolah, lingkungan rumah (masyarakat), dan lingkungan keluarga.

G. Kerangka Berpikir

Sekolah Dasar merupakan salah satu lembaga penyelenggara pendidikan pada jenjang pendidikan dasar. Sekolah dasar merupakan


(54)

39

pendidikan pertama bagi anak yang menempuh jalur pendidikan formal. Di sekolah dasar anak mulai berlatih dan meningkatkan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung sebagai keterampilan dasar yang akan mereka butuhkan dalam menempuh jenjang pendidikan selanjutnya. Semua keterampilan tersebut harus dikembangkan melalui berbagai kegiatan di sekolah sehingga anak dapat berkembang dengan baik dan meraih prestasi yang diharapkan.

Salah satu kegiatan pokok dilaksanakan di sekolah adalah belajar. Kegiatan belajar siswa sekolah dasar tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa pada jenjang lainnya. Siswa sekolah dasar rata – rata berusia 7 – 12 tahun, pada usia ini anak sedang dalam masa peralihan antara masa anak - anak menuju masa remaja. Pada tahap ini, siswa masih membawa karakteristik masa anak – anak mereka yang senang bermain, bergerak, bekerja kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung. Sehingga anak usia sekolah dasar membutuhkan arena di mana setiap anak dapat mengasah pengalaman yang mereka miliki menjadi kompetensi dan pengetahuan. Begitulah kegiatan belajar yang seharusnya dilakukan oleh siswa sekolah dasar.

Kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah dasar bersifat formal, disengaja, dan direncanakan dengan bimbingan dari guru. Kegiatan pembelajaran di sekolah pasti memiliki tujuan mengenai keterampilan atau kemampuan apa saja yang harus dicapai oleh siswa. Tujuan pembelajaran


(55)

40

itulah yang menjadi pedoman guru dalam merencanakan kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelasnya, sehingga dapat membantu siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran banyak bergantung pada proses belajar yang dialami oleh anak sebagai peserta didik. Namun, pada kenyataan yang kita jumpai tidak semua peserta didik mampu menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan padanya. Kondisi tersebut seharusnya tidak dialami oleh siswa karena hal ini menunjukkan adanya hambatan atau kesulitan belajar pada siswa tersebut.

Kesulitan belajar adalah suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan antara prestasi akademik yang diharapkan dengan prestasi akademik yang dicapai oleh siswa karena faktor – faktor tetentu yang menghambat proses belajarnya. Kesulitan belajar pada siswa dapat diidentifikasi melalui hasil belajar yang diperolehnya. Siswa yang mengalami kesulitan belajar memiliki nilai yang rendah atau di bawah norma yang telah ditetapkan. Selain hasil belajar, ciri –ciri siswa yang mengalami kesulitan belajar juga dapat kita lihat dari sikap, emosi, dan tingkah laku kurang wajar yang ditunjukkan.

Kesulitan belajar pada siswa terjadi bukan hanya karena faktor intelegensi yang rendah. Kesulitan belajar pada siswa banyak terjadi pada siswa yang memiliki intelegensi normal namun dipengaruhi berbagai faktor yang menghambat proses belajarnya. Faktor – faktor tersebut ada yang berasal dari dalam diri siswa (internal), dan ada juga faktor yang berasal dari luar diri siswa (eksternal). Faktor – faktor yang termasuk dalam faktor


(56)

41

internal adalah: (1) intelegensi, (2) motivasi belajar, (3) kebiasaan belajar, (4) Sikap dalam belajar, (5) minat belajar, (6) bakat, dan (7) cacat tubuh. Sedangkan faktor eksternal penyebab kesulitan belajar berasal dari: (1) lingkungan sekolah, (2) lingkungan masyarakat, dan (3) lingkungan keluarga. Faktor eksternal dan internal tersebut dapat juga saling mempengaruhi satu sama lain sehingga hambatan siswa dalam belajar semakin besar dan mempengaruhi tingkat kesulitan belajar yang dialami siswa.

Oleh karena itu, agar kesulitan belajar siswa dapat segera teratasi dengan baik guru sangat dianjurkan untuk melakukan identifikasi (mengenali dengan cermat) kesulitan belajar yang terjadi pada siswa. Melalui identifikasi kesulitan belajar yang dilakukan guru dapat melihat gejala yang tampak, faktor – faktor yang mempengaruhinya, dan tingkat kesulitan belajar yang dialami siswa. Hal tersebut dapat mempermudah proses pemilihan pemberian bantuan belajar yang harus diberikan. Sehingga, bantuan belajar yang diberikan kepada siswa dapat berjalan lebih efektif dan memberikan hasil yang maksimal.

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir

Sekolah dasar merupakan pendidikan pertama bagi anak yang menempuh jalur pendidikan formal dan menjadi dasar pendidikan selanjutnya.

Tidak semua peserta didik mampu menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan padanya karena faktor – faktor tetentu.

Guru harus melakukan identifikasi (mengenali dengan cermat) kesulitan belajar yang terjadi pada siswa agar kesulitan belajar siswa dapat segera teratasi dengan baik .


(57)

42 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menemukan keterangan mengenai apa yang ingin kita ketahui (Deni Darmawan, 2014: 37). Margono dalam Deni Darmawan (2014: 37) menyebutkan penelitian kuantitatif dapat dilaksanakan dengan penelitian deskriptif, penelitian hubungan/korelasi, penelitian kuasi-eksperimental, dan penelitian eksperimental. Adapun dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif (descriptive research) ditujukan untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau fenomena-fenomena apa adanya (Nana Syaodih Sukmadinata, 2013: 18). Deskriptif kuantitatif dalam penelitian ini menggambarkan tingkat kesulitan belajar, jenis bidang studi yang sulit dipelajari, sifat kesulitan belajar, dan faktor penyebab kesulitan belajar yang dialami oleh siswa kelas V SD N Sosrowijayan Kota Yogyakarta.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juni 2015 di SD Negeri Sosrowijayan Yogyakarta , khususnya di kelas 5. Sekolah tersebut terletak di Jalan Sosrowijayan Kota Yogyakarta.


(58)

43 C. Subjek

Sehubungan dengan wilayah sumber data yang disajikan, penelitian ini termasuk dalam penelitian populasi. Penelitian populasi dilakukan dengan meneliti seluruh elemen yang ada dalam wilayah penelitian (Suharsimi Arikunto, 2010: 173). Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V di SD Negeri Sosrowijayan Kota Yogyakarta yang berjumlah 23 siswa.

D. Definisi Operasional

Untuk memperoleh kesamaan penafsiran terhadap masalah yang akan dipecahkan, maka perlu diberikan penjelasan mengenai variabel yang digunakan sesuai dengan judul penelitian sebagai berikut:

1. Kesulitan belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesulitan belajar pada siswa yang tidak dapat mencapai hasil belajar sesuai dengan harapan serta menunjukkan sikap, tingkah laku, dan emosi yang tidak wajar dalam belajar karena faktor – faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar. Pengukuran tingat kesulitan belajar didasari dengan beberapa indikator yaitu hasil belajar yang rendah, menunjukkan sikap yang kurang wajar, menunjukkan tingkah laku yang kurang wajar, menunjukkan emosi yang kurang wajar. Jenis kesulitan belajar yang dimaksud meliputi kesulitan belajar matematika, IPA, IPS, PKn, Bahasa, dan lain – lain. Sifat kesulitan belajar adalah menetap atau sementara. Faktor – faktor penyebab kesulitan belajar yang dimaksud adalah motivasi belajar,


(59)

44

kebiasaan belajar, Sikap dalam belajar, minat belajar, bakat, cacat tubuh, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, dan lingkungan keluarga.

E. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan yaitu mixed methods, maka ada dua jenis data yang dikumpulkan. Data kuantitatif akan diperoleh melalui angket (kuisioner) yang dibagiakan kepada siswa. Sedangkan data kualitatif akan diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi. Rincian teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :

1. Skala Psikologi

Penelitian ini mengunakan skala psikologi untuk pengumpulan data. Skala psikologi merupakan alat ukur untuk mengungkapkan atribut non-kognitif, khususnya yang disajikan dalam format tulis ( Saefuddin Azwar; 2014: 6-8). Lebih lanjut dikatakan bahwa data yang diungkapkan oleh skala psikologi adalah deskripsi mengenai aspek kepribadian individu, motivasi, dan sikap terhadap sesuatu. Sehingga dalam penelitian ini akan disusun skala kesulitan belajar.

2. Wawancara (Interview)

Wawancara (Interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari responden (Suharsimi Arikunto, 2006: 155). Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam mirip dengan percakapan informal, bersifat luwes, susunan pertanyaan – petanyaannya


(60)

45

dapat diubah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi pada saat wawancara dilaksanakan (Deddy Mulyana, 2004: 181). Sebelum melakukan wawancara, pewawancara telah menyiapkan pedoman agar wawancara tidak keluar dari konteks. Teknik ini digunakan sebagai pendukung untuk mengungkap jenis, sifat, dan faktor penyebab kesulitan belajar siswa kelas V SD Sosrowijayan yang berada pada kategori kesulitan belajar tinggi.

3. Observasi

Observasi digunakan peneliti bila peneitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala – gejala alam, dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono, 2012: 196). Jenis observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi nonpartisipan terstruktur dimana peneliti hanya berperan sebagai pengamat. Observasi terstruktur dilakukan bila peneliti mengetahui secara pasti tentang apa yang diamati, kapan, dan dimana tempatnya (Sugiyono, 2012: 197). Teknik juga ini digunakan sebagai pendukung untuk mengungkap jenis, sifat, dan faktor penyebab kesulitan belajar siswa kelas V SD Sosrowijayan yang berada pada kategori kesulitan belajar tinggi.

4. Dokumentasi

Jenis dokumen yang akan digunakan dalam penelitian dipilih sesuai dengan tujuan dan fokus masalah yang akan diteliti (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005: 222). Teknik dokumentasi dalam penelitian ini


(61)

46

digunakan untuk melengkapi data mengenai jenis kesulitan belajar siswa yang diperoleh dari tes hasil belajar dan rapor.

F. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengumpul data yang mengembangkan angket serta melakukan wawancara terhadap subjek penelitian. Instrumen penelitian yang dikembangkan oleh peneliti kemudian dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Instrumen yang akan digunakan peneliti adalah :

1. Skala Kesulitan Belajar

Untuk mengukur tingkat kesulitan belajar siswa digunakan skala kesulitan belajar. Menurut Suharsimi arikunto (2006 : 166) untuk menyusun instrumen dapat ditempuh beberapa langkah, yaitu: a) perencanaan, b) penulisan butir soal, c) penyuntingan, d) uji coba, e) penganalisaan hasil, dan f) mengadakan revisi.

a. Perencanaan

Sebelum menyusun pernyataan yang digunakan dalam skala, peneliti lebih dahulu membuat kisi – kisi yang akan digunakan sebagai pedoman dalam menulis butir soal. Adapun kisi – kisi yang dibuat, disesuaikan dengan teori yang dipaparkan oleh Mulyadi (2010: 8) mengenai ciri – ciri siswa yang mengalami kesulitan belajar, yaitu: 1) hasil belajar yang rendah, 2) sikap yang kurang


(62)

47

wajar, 3) menujukkan tingkah laku yang kurang wajar, 4) gejala emosional yang kurang wajar.

Tabel 2. Kisi – Kisi Skala Kesulitan Belajar Siswa

No. Indikator Sub Indikator Pernyataan () (-)

1. Hasil

belajar

Hasil Belajar yang rendah 11,7 2,20 Lambat dalam belajar 15,32 24,3 2. Sikap Tidak ada usaha belajar 31, 19 16, 8

Keterlibatan dalam belajar 27,12 25, 26

3. Tingkah laku

Tidak tertib dalam pembelajaran

29, 30 5, 9 Tidak tertib dalam

mengerjakan tugas

13, 22 18,4

4. Emosi

Tidak menyukai pelajaran 6, 21 1, 23 Hubungan yang kurang

baik dengan teman

14, 25 10, 17

Jumlah 16 16

b. Penyuntingan

Tahap penyuntingan adalah proses yang meliputi kegiatan penyusunan item pernyataan sesuai dengan kisi-kisi skala kesulitan belajar siswa. Selain itu, peneliti melengkapi instrumen dengan pengantar dan petunjuk pengisian yang menjelaskan bagaimana cara menjawab pertanyaan atau merespon pernyataan.

Dalam penelitian ini, model skala yang mempunyai gradasi jawaban dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata – kata seperti sangat sesuai, sesuai, tidak sesuai, dan sangat tidak sesuai. Jawaban tersebut dapat diberi skor untuk keperluan analisis kuantitatif, seperti yang terdapat pada tabel berikut.


(63)

48

Tabel 3. Skor Jawaban Skala Psikologi

Jawaban Skor Konversi

+ -

Sangat sesuai 4 1 Sangat mengalami kesulitan

Sesuai 3 2 Mengalami kesulitan belajar

Tidak sesuai 2 3 Kurang mengalami kesulitan belajar Sangat tidak sesuai 1 4 Tidak mengalami kesulitan belajar

c. Uji Coba Instrumen

Suharsimi Arikunto (2006: 165-166) menyebutkan tujuan uji coba instrumen adalah:

1) untuk mengetahui apakah kalimat-kalimat dalam instrumen cukup dapat dipahami oleh responden,

2) untuk mengetahui berapa waktu yang akan dibutuhkan oleh responden untuk mengisi instrumen,

3) untuk mengetahui tanggapan responden dan orang-orang lain berhubungan dengan pelaksanaan penelitian, dan

4) untuk mengetahui apakah ada hal-hal lain yang perlu dipersiapkan sebelum penelitian.

Pada instrumen yang berbentuk skala, pengujian keabsahan data dilakukan dengan menguji validitas dan realibilitasnya. Validitas dan reliabilitas merupakan persyaratan penting sebuah instrumen yang baik (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005: 228). 1) Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat – tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Validitas yang diuji dalam penelitian ini adalah validitas


(64)

49

konstruksi (construct validity) yang terpenuhi jika instrument dapat mengukur gejala sesuai dengan yang didefinisikan. Validitas konstruk ini (construct validity) dapat diuji dengan menggunakan pendapat dari ahli atau judgment expert (Sugiyono, 2007: 176). Validasi dalam penelitian ini, dilakukan dengan mengkonsultasikan instrumen yang telah dikembangkan oleh peneliti kepada dosen di jurusan BK UNY selaku ahli materi yaitu Ibu Isti Yuni Purwanti, M. Pd. dan Ibu Eva Imania Eliasa, M.Pd..

Berdasarkan konsultasi yang dilakukan dengan Ibu Isti Yuni Purwanti, M. Pd., peneliti disarankan untuk mengganti beberapa kata yang masih abstrak dengan kata yang lebih konkrit agar mudah dimengerti oleh siswa kelas V. Sedangkan Ibu Eva Imania Eliasa, M. Pd., menyarankan untuk mengganti beberapa pernyataan agar lebih sesuai dengan indikator yang ada dan menambah satu indikator pada aspek sikap.

2) Reliabilitas

Suatu instrumen memiliki tingkat reliabilitas yang memadahi, bila instrumen yang digunakan untuk mengukur suatu aspek dalam beberapa kali akan memiliki hasil yang sama atau relatif sama (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005: 230). Realibilitas instrumen dalam penelitian ini dapat


(65)

50

diketahui dengan melakukan uji coba sebelum digunakan terhadap objek penelitian. Instumen diujicobakan pada 15 siswa kelas V SD Netral D yang menurut peneliti memiliki karakteristik yang sesuai dengan subjek penelitian.

Data hasil uji coba lalu digunakan untuk mencari koefisien alpha dari cronbach menggunakan rumus alpha cronbach dengan bantuan SPSS 16. Pengambilan keputusan uji reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan dasar sebagai berikut:

a) Jika suatu variabel koefisien reliabilitasnya > 0,6 maka variabel tersebut dikatakan reliabel.

b) Jika suatu variabel koefisien reliabilitasnya < 0,6 maka variabel tersebut dikatakan tidak reliabel (Sofyan Siregar, 2014: 90).

Dari perhitungan hasil uji coba, diketahui bahwa instrument yang digunakan untuk menukur variabel kesulitan belajar siswa sebesar 0.614 yang menunjukkan bahwa lebih besar dari 0.60 sehingga instrument penelitian tersebut reliabel dan layak digunakan dalam penelitian.

2. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara disusun agar proses wawancara tidak keluar / menyimpang dari fokus penelitian. pedoman wawancara yang dibuat adalah pedoman wawancara untuk siswa kelas V dan Guru Kelas V.


(66)

51

a. Pedoman wawancara untuk siswa kelas V bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai kesulitan belajar yang mereka alami. Berikut pedoman wawancara untuk siswa kelas V.

Tabel 4. Kisi – Kisi Pedoman Wawancara Untuk Siswa

Aspek Komponen Indikator

Bidang studi Materi pelajaran

Bidang studi yang sulit untuk dipelajari. Faktor internal kesulitan belajar Motivasi belajar

Dorongan berangkat di sekolah

Tujuan belajar di sekolah Kebiasaan

belajar

Jadwal belajar di rumah

Tipe belajar siswa Sikap dalam

belajar

Tidak peduli pada materi yang disampaikan guru

Tidak menjaga ketertiban di kelas.

Minat belajar

Mudah merasa bosan saat belajar

Kesesuaian minat dengan materi pelajaran

Bakat Kesesuaian bakat dengan materi pelajaran.

Cacat tubuh (kondisi fisik)

Mudah sakit hingga tidak masuk sekolah.

Alat indra tidak mengganggu proses belajar Faktor eksternal kesulitan belajar Lingkungan sekolah

Teman mendukung proses belajar

Lingkungan sekolah yang nyaman untuk belajar

Kegiatan belajar di kelas

Lingkungan masyarakat

Lingkungan rumah yang nyaman

Pergaulan dengan teman sebaya

Interaksi dengan media Informasi

Lingkungan keluarga

Pola asuh orang tua

Kualitas hubungan dengan keluarga

Pendampingan dan perhatian keluarga dalam belajar


(67)

52

b. Pedoman Wawancara untuk guru kelas V bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah. Berikut adalah pedoman wawancara untuk guru kelas V.

Tabel 5. Kisi – Kisi Pedoman Wawancara Untuk Guru Kelas

Aspek Komponen Indikator

Bidang Studi

Materi pelajaran Bidang studi yang sulit diajarkan

Kemampuan siswa Kesesuaian materi,

kemampuan siswa, dan KKM Faktor

Internal kesulitan

belajar

Motivasi belajar Hal yang membuat siswa senang belajar.

Kebiasaan belajar Tipe belajar yang dimiliki siswa

Faktor internal kesulitan

belajar

Sikap dalam belajar Tanggapan siswa terhadap tugas yang diberikan guru Minat belajar Keterlibatan siswa dalam

pembelajaran.

Bakat Kesesuaian bakat siswa

dengan materi pelajaran Cacat tubuh

(kondisi fisik)

Kondisi kesehatan siswa

Gangguan alat indra atau cacat yang menghambat proses belajar Faktor Eksternal kesulitan belajar Lingkungan sekolah

Kondisi ruang kelas yang ideal

Gangguan dari lingkungan sekolah dalam KBM Lingkungan

masyarakat

Kondisi Lingkungan masyarakat

Lingkungan keluarga

Latar belakang keluarga siswa

Guru

Kesiapan

Mempersiapkan bahan ajar, metode, dan media sebelum mengajar

Kecakapan

mengatasi masalah

Mengidentifikasi siswa berkesulitan belajar

Memberi bantuan belajar pada siswa berkesulitan belajar


(68)

53 Hubungan guru dengan siswa

Kedekatan hubungan guru dengan siswa.

Kedisiplinan

Guru dan siswa hadir tepat waktu.

Cara mengatasi siswa yang tidak disiplin waktu dan tidak tertib saat KBM

Metode pembelajaran.

Variasi metode pembelajaran

Metode yang paling sesuai untuk siswa

alat peraga / media pembelajaran.

Ketersediaan alat peraga / media di sekolah

3. Pedoman observasi

Pedoman observasi digunakan peneliti untuk memberikan panduan selama proses observasi sehingga tidak menyimpang dari fokus penelitian. Pedoman observasi dalam penelitian ini digunakan selama kegiatan belajar mengajar di dalam kelas dan kegiatan lain di luar jam pelajaran.

Tabel 6. Kisi – Kisi Pedoman Observasi Untuk Siswa

Aspek Komponen Indikator

Kognitif Hasil Belajar Kemampuan

menyelesaikan tugas

Kemampuan memahami materi

Kemampuan berkonsentrasi

Afektif

Motivasi belajar

Perhatian dalam proses pembelajaran

Kemauan bertanya pada guru

Usaha dalam belajar Motivasi belajar

Kebiasaan belajar

Catatan pelajaran

Kebiasaan menandai bagian penting pada buku pelajaran


(69)

54

belajar dan mengerjakan tugas

Kepatuhan pada tata tertib saat belajar di dalam kelas

Minat belajar

Kehadiran di kelas dan di sekolah

Persiapan sebelum belajar

Tidak mudah bosan dengan pelajaran Psikomotorik Cacat Tubuh

(kondisi fisik)

Kemampuan panca indera dan anggota tubuh lainnya

4. Dokumentasi

Dokumen yang dihimpun dalam penelitian ini adalah dokumen nilai – nilai hasil belajar (evaluasi) yang diperoleh siswa selama semester 2.

G. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis. Teknis analisis data yang akan dilakukan tentu disesuaikan dengan jenis data yang diperoleh. Data hasil skala kesulitan belajar dianalisis untuk mengetahui Mengetahui tingkat kesulitan belajar siswa kelas V SD Sosrowijayan. Dalam mengalisis data skala kesulitan belajar, akan digunakan teknik statistik deskriptif kuantitatif. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data, baik data bilangan maupun non bilangan yang disusun dalam tabel yang menggambarkan persoalan penelitian.

Statistik deskriptif hanya akan menganalisis dan menggambarkan populasi yang diteliti melalui perhitungan mean, median, modus, dan standar deviasi dengan bantuan program SPSS 16. Kemudian, perhitungan tersebut


(70)

55

digunakan untuk membuat kategori penggolongan data. Saefuddin Azwar (2014: 149) menjelaskan bahwa penggolongan data dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi dengan rumus sebagai berikut:

Tabel 7. Perhitungan Kategori Kesulitan Belajar

No. Rumus Kategori

1. X < ( µ - 1,0 × ) Rendah 2. ( µ - 1,0 × ) ≤ X < (µ + 1,0 × ) Sedang

3. ( µ + 1,0 × ) ≤ X Tinggi

Keterangan X = Nilai / skor µ = Mean

= Standar deviasi

Sedangkan data hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi digunakan untuk mendukung hasil skala kesulitan belajar: mengetahui jenis, sifat, dan faktor penyebab kesulitan belajar siswa kelas V SD Sosrowijayan.


(1)

175 Lampiran 12. Dokumentasi Nilai

Gambar 8. Daftar nilai ujian tengah semester 2 kelas V SD N Sosrowijayan

Gambar 5. Daftar nilai ulangan harian matematika semester 2 kelas V SD N Sosrowijayan


(2)

176 Lampiran 13. Pernyataan Validasi Instrumen 1


(3)

177 Lampiran 14. Pernyataan Validasi Instrumen 2


(4)

178 Lampiran 15. Surat Izin Penelitian


(5)

179 Lampiran 16. Surat Keterangan Penelitian


(6)

180 Lampiran 17. Surat Ijin Penelitian