HUBUNGAN ANTARA KETERBUKAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA RIAU DI YOGYAKARTA.

(1)

i

HUBUNGAN KETERBUKAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI MAHASISWA RIAU DI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Septri Sukma Lestari NIM 11104241016

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

MOTTO

“ Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kau dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi

Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah maha mengetahui, maha teliti “


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk:

1. Kedua orang tua beserta abang dan adik laki-laki yang saya cintai 2. Almamater saya BK FIP UNY


(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA KETERBUKAAN DIRI DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA RIAU DI YOGYAKARTA

Oleh

Septri Sukma Lestari NIM 11104241016

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui: 1) keterbukaan diri mahasiswa Riau di Yogyakarta, 2) penyesuaian diri pada mahasiswa Riau di Yogyakarta, 3) hubungan antara keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Subyek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Riau yang berkuliah di Yogyakarta sebanyak 85 mahasiswa. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik cluster quota random sampling. Metode pengumpulan data menggunakan skala keterbukaan diri dan skala penyesuaian diri. Teknis analisis data yang digunakan yakni uji prasyarat yang meliputi uji normalitas dan uji linearitas. Pengujian hipotesis menggunakan korelasi product moment untuk menguji hubungan variabel dengan tingkat signifikansi hasil analisis ditentukan sebesar 5%.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut, 1) mahasiswa Riau di Yogyakarta yang memiliki keterbukaan diri dengan kategori tinggi sebanyak 7 mahasiswa (8.2%), kategori sedang sebanyak 78 mahasiswa (91.8%), dan kategori rendah tidak ada. Jadi Subjek dalam penelitian ini sebagian besar memiliki keterbukaan diri sedang sebanyak 78 mahasiswa (91.8%). 2) mahasiswa Riau di Yogyakarta yang memiliki penyesuaian diri dengan kategori tinggi tidak ada, kategori sedang sebanyak 79 mahasiswa (92.9%), dan pada kategori rendah sebanyak 6 mahasiswa (7.1%). Jadi subjek dalam penelitian ini sebagian besar memiliki penyesuaian diri sedang sebanyak 79 mahasiswa (92.9%). 3) terdapat hubungan positif dan signifikan antara keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta. Hal ini buktikan dengan dari nilai r hitung lebih besar dari r tabel (0.267<0.2108). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat keterbukaan diri mahasiswa Riau di Yogyakarta, maka semakin tinggi pula penyesuaian dirinya.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat rahmat Allah SWT, atas rahmatNya dan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan karya ini. Shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW. Skripsi yang berjudul “Hubungan antaraa Keterbukaan Diri dengan Penyesuaian Diri Mahasiswa Riau di Yogyakarta” ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan, pada Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan uluran tangan dari berbagai pihak, maka penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud. Oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menjalani dan menyelesaikan studi di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberi izin penelitian dan telah memfasilitasi kebutuhan akademik penulis selama menjalani masa studi.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah berkenan memberikan izin dalam penyusunan skripsi.

4. Bapak Sugihartono, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar meluangkan waktu, perhatian, tenaga juga pikirannya untuk membimbing penyusunan skripsi.

5. Dosen-dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP UNY atas segala ilmu dan pelajaran yang diberikan.

6. Kedua orang tuaku Amanto dan Siti Rubiah S.Pd. yang tiada batas memberikan doa, semangat, perhatian dan kasih sayangnya.

7. Abangku, Heri Sahuri dan Giri Dwi Hidayat serta adikku Rifqi Fadlu Rahman atas doa dan semangat yang diberikan.


(9)

ix

9. Teman-teman BK angkatan 2011 khususnya kelas A yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terimakasih atas kesediaannya membagi semangat,


(10)

x

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL………. i

PERSETUJUAN……… ii

PERNYATAAN………. iii

PENGESAHAN………. iv

MOTTO……….. v

PERSEMBAHAN……….. vi

ABSTRAK……….. vii

KATA PENGANTAR……… viii

DAFTAR ISI ……….. x

DAFTAR TABEL ……….. xiii

DAFTAR LAMPIRAN……… xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Identifikasi Masalah ………... 8

C. Batasan Masalah ……… …….. 8

D. Rumusan Masalah ………. 8

E. Tujuan Penelitian ………... 9

F. Manfaat Penelitian ………. 9

G. Defenisi Operasional ………. 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Keterbukaan Diri ………... 12

1. Pengertian Keterbukaan Diri ……….. 13

2. Dimensi Keterbukaan Diri ……….. 13

3. Fungsi Keterbukaan Diri ………. 18

4. Faktor yang Mempengaruhi Keterbukaan Diri ……… 20

5. Cara Mengukur Keterbukaan Diri ……… 21

B. Penyesuain Diri ……… 22


(11)

xi

2. Dimensi Penyesuaian Diri ……… 23

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri ……… 29

4. Cara Mengukur Penyesuaian Diri ………. 31

C. Mahasiswa Sebagai Dewasa Awal ……… 31

1. Pengertian Mahasiswa Sebagai Dewasa Awal ……….. 31

2. Karakteristik Mahasiswa Sebagai Dewasa Awal ……….. 33

3. Aspek Perkembangan Mahasiswa Sebagai Dewasa Awal ……… 39

4. Tugas Perkembangan Mahasiswa Sebagai Dewasa Awal………. 40

D. Hubungan antara Keterbukaan Diri dengan Penyesuaian Diri ………. 42

E. Paradigma Penelitian ………. 45

F. Hipotesis Penelitian……… 46

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ……… 47

B. Variabel Penelitian ……… 47

C. Lokasi dan Waktu Penelitian………. 48

D. Subyek Penelitian ………. 48

1. Populasi Penelitian………... 49

2. Sampel Penelitian……… 49

E. Metode Pengumpulan Data ……… 50

F. Instrumen Penelitian ……….. 51

G. Uji Validitas dan Reliabilitas ……… 60

H. Teknik Analisis Data ……… 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi dan Hasil Penelitian ……….. 69

1. Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian………. 69

2. Karakteristik Subyek ………. 70

3. Deskripsi Data Penelitian………... 75

a. Variabel Keterbukaan Diri……… 76

b. Variabel Penyesuaian Diri………. 77

4. Analisis Data………... 78


(12)

xii

b. Pengujian Hipotesis………. 79

B. Pembahasan ……… 81

1. Keterbukaan Diri Mahasiswa Riau di Yogyakarta ………. 81

2. Penyesuaian Diri Mahasiswa Riau di Yogyakarta ………. 86

3. Hubungan antara Keterbukaan Diri dengan Penyesuaian Diri Mahasiswa Riau di Yogyakarta ……… 90

C. Keterbatasan Penelitian ………. 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……… 94

B. Saran ……….. 95

DAFTAR PUSTAKA………... 96


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Distribusi Populasi Penelitian ………. 49

Tabel 2. Sampel Penelitian ……… 50

Tabel 3. Kisi-Kisi Skala Keterbukaan ……... 55

Tabel 4. Skor Alternatif Jawaban Keterbukaan Diri …... 56

Tabel 5. Kisi-kisi Skala Penyesuain Diri ……….. 59

Tabel 6. Skor Alternatif Jawaban Penyesuaian diri……….. 60

Tabel 7. Karakteristik Subyek Berdasarkan Jenis Kelamin ……….. 70

Tabel 8. Karakteristik Subyek Berdasarkan Usia ………. 70

Tabel 9. Karakteristik Subyek Berdasarkan Semester ……….. 71

Tabel 10. Karakteristik Subyek Berdasarkan Jurusan ………. 72

Tabel 11. Karakteristik Subyek Berdasarkan Daerah Asal ………. 74

Tabel 12. Hasil Analisis Deskripsi ……….. 75

Tabel 13. Distribusi Kecenderungan Variabel Keterbukaan Diri ………... 76

Tabel 14. Distribusi Kecenderungan Variabel Penyesuaian Diri ………... 77

Tabel 15. Hasil Uji Normalitas ………... 78

Tabel 16. Hasil Uji Linieritas ………. 79

Tabel 17. Hasil Analisis Korelasi Keterbukaan Diri dengan Penyesuaian Diri... 80


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian UNY ………. 99

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian Walikota ……… 100

Lampiran 3. Skala Keterbukaan Diri dan Penyesuaian Diri ……… 101

Lampiran 4. Rekapitulasi Data Skor Keterbukaan Diri ……….. 106

Lampiran 5. Rekapitulasi Data Skor Penyesuaian Diri ……….. 113

Lampiran 6. Rumus Kategorisasi ……… 120

Lampiran 7. Hasil Analisis Berdasarkan Frekuensi ……… 121

Lampiran 8. Hasil Analisis Deskriptif………. 124

Lampiran 9. Hasil Uji Normalitas ………... 125

Lampiran 10. Hasil Uji Liniearitas ……… 126


(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 pulau, masing-masing pulau memiliki pendidikan formal seperti sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Setiap pulau mempunyai instansi pendidikan formal yang berkompeten untuk mencerdaskan dan memandirikan sumber daya manusia di Indonesia. Seperti halnya kota Yogyakarta yang selama ini berpredikat sebagai kota pendidikan berkualitas dengan keberadaan instansi pendidikan formal dalam hal ini perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta yang berkualitas untuk menciptakan lulusan terbaik dalam bidang studinya.Visi kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan berkualitas, pariwisata berbasis budaya dan pusat pelayanan jasa, yang berwawasan lingkungan. Ditujukan dari hasil lulusan, proses, manajemen dan sarana prasarana serta lingkungan pendidikan yang mendukung. Dengan kondisi yang potensial di atas telah menarik minat para pelajar dan mahasiswa dari luar daerah yang datang untuk menuntut ilmu di kota Yogyakarta (Peraturan walikota Yogyakarta Nomor 17, 2007: 1).

Yogyakarta yang berpredikat sebagai kota pelajar menarik minat pelajar yang berdomisili dari luar kota maupun luar pulau untuk menuntut ilmu atau melanjutkan studi di perguruan tinggi di Yogyakarta. Salah satunya adalah pulau sumatera, yaitu pulau keenam terbesar di dunia yang terletak di indonesia, secara umum penduduk pulau Sumatera ini didiami oleh bangsa Melayu yang terbagi dalam beberapa suku (Wikipedia.com, 2010). Adapun salah satunya adalah


(16)

2

provinsi Riau yang banyak merantau ke pulau seberang yaitu pulau Jawa. Persebaran perantauan orang riau di Jawa mahasiswa asal Riau yang menuntut ilmu di Kota Yogyakarta menjadi yang terbanyak ke dua di luar pulau Jawa dengan menempatkan 14.221 orang yang tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta. Hasil survei yang dilakukan oleh salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta menyebutkan bahwa 87 persen pelajar memilih Yogyakarta sebagai pilihan untuk melanjutkan studi karena mutu pendidikan yang berkualitas baik di dalam kampus maupun di luar kampus (Antarariau.com, 2014).

Berdasarkan hasil survei menunjukkan banyaknya individu yang bermigrasi atau merantau ke kota Yogyakarta, oleh karena itu setiap individu membutuhkan penyesuaian diri di lingkungan baru yang berbeda dengan tempat asal individu tinggal. Lingkungan adalah suatu wadah penting untuk bersosialisasi kepada orang lain. Menurut Woodworth (dalam Gerungan, 2004: 59) pada dasarnya terdapat empat jenis hubungan antara individu dengan lingkungannya, individu dapat bertentangan dengan lingkungan, individu dapat menggunakan lingkungannya, indvidu dapat berpartisipasi dengan lingkunganya, dan individu dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Tentunya dibutuhkan interaksi antara individu dengan lingkungan baru untuk mendapatkan kenyamanan dalam beradaptasi dengan lingkungan yang baru, kenyamanan dapat diciptakan dari individu bergaul dengan individu yang lain dalam lingkungan baru tersebut. Dalam pergaulan individu sangat membutuhkan keterbukaan diri terhadap lawan bicaranya agar terjalinnya keakraban. Konsep yang lebih jelas dikemukakan oleh (Devito 2011: 64), yang mengartikan keterbukaan diri (self disclosure) sebagai salah satu tipe komunikasi dimana, informasi tentang diri yang biasa dirahasiakan


(17)

3

diberitahu kepada orang lain. Pada saat kerabat kita mulai membuka diri dan menyampaikan informasi yang diutarakan tersebut haruslah merahasiakan informasi tersebut.

Lebih lanjut menurut Baumeister dan Vohs (dalam Arif Romdhon dan Hepi Wahyuningsih 2013: 143) menjelaskan keterbukaan diri merupakan cara seseorang untuk mengekspresikan perasaannya tentang situasi, untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya tentang suatu topik, untuk mendapatkan kepastian tentang perasaannya, atau untuk mendapatkan suatu saran atau nasihat. Setiap individu memiliki cara masing-masing untuk mengungkapkan perasaannya sehingga sebagai pendengar yang baik dapat berempati serta memberikan suatu jalan keluar. Banyak permasalahan yang timbul karena kurangnya keterbukaan diri (self disclosure) sehingga menjadikan individu sulit beradaptasi dengan lingkungan

baru, maka dari itu penyesuaian diri berperan penting dalam adaptasi dengan lingkungan baru, seperti hal nya menurut (Rani Fitriani, 2008: 57) sering kali timbul permasalahan mahasiswa perantauan yang sulit dalam menyesuaikan diri, ada yang menyesuaikan diri secara cepat tetapi ada juga yang memiliki kesulitan yang disebabkan karena perbedaan sifat di SLTA-perguruan tinggi atau akademi (kurikulum, disiplin, hubungan dosen-mahasiswa) hubungan sosial, masalah ekonomi, pemilihan bidang studi–jurusan.

Mahasiswa pada umumnya berusia antara 17 sampai 20 tahun. Rentang usia tersebut menurut Sarwono (dalam Retno Puspito Sari dkk, 2006: 2) masih termasuk kategori remaja. Remaja digambarkan oleh Hurlock (dalam Retno Puspito Sari, 2006: 2) sebagai masa yang penuh masalah dan membutuhkan


(18)

4

banyak penyesuaian diri yang disebabkan karena terjadinya perubahan harapan sosial, peran, dan perilaku.

Pada dasarnya manusia itu tidak sanggup hidup sendiri pasti memerlukan orang lain, dalam kehidupan sehari-hari manusia dapat berkomunikasi dengan baik terhadap lingkungan individu tinggal. Sejalan dengan penjelasan diatas menurut Fatimah (2006: 30) mengatakan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses alamiah dan dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungannya. Setiap individu memiliki sifat alami dalam menyesuaikan diri oleh lingkungannya agar dapat bersosialisasi dan beradaptasi.

Berdasarkan hasil wawancara pada bulan Februari 2015 dari 3 narasumber yaitu: RN, ED, dan DH sebagai mahasiswa Riau yang menempuh pendidikan di salah satu universitas di Yogyakarta, berdasarkan pengakuan dari 3 narasumber, mereka masih merasakan belum dapat beradaptasi dengan lingkungan baik masyarakat sekitar dan kampus. Menurut keterangan 3 narasumber menjelaskan beberapa faktor hambatan yang mereka rasakan saat mencoba beradaptasi dengan lingkungan di Yogyakarta, seperti halnya faktor bahasa yang berbeda antara narasumber dengan masyarakat sekitar. Lebih lanjut menurut Devito (2011: 543) bahasa mencerminkan budaya, semakin besar perbedaan budaya, semakin besar perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat non-verbal. Berdasarkan wawancara pada pada tanggal 6 Februari 2016 dari narasumber DH untuk memulai sapaan oleh budaya Riau tersebut seperti “nak kemane?” serta menganggukkan kepala ke atas. Mahasiswa Riau yang terbiasa


(19)

5

dengan intonasi suara yang keras saat berbicara sehingga terlihat kasar maka lebih besar terjadinya salah paham terhadap lingkungan di Yogyakarta.

Sedangkan di Yogyakarta mayoritas lingkungan masyarakat lebih ramah menurut Suseno (dalam Aditya Putra Kurniawan dan Nida UI Hasanat, 2007: 4), orang Jawa yang tinggal di Yogyakarta sangat berhati‐hati dalam mengungkapkan dan mengartikan komunikasi non-verbal. Hal ini tak lain karena prinsip dan ciri khas kebudayaan Jawa yang lazim diterapkan dalam kehidupan sehari‐hari oleh masyarakat Jawa. Prinsip tersebut adalah prinsip rukun atau harmonis yang mengutamakan hubungan baik antar manusia, dengan mencegah berkelahi terbuka, penuh penghormatan terhadap sesama, gotong royong, tenggang rasa (tepa selira), dan bersifat ramah‐tamah penuh kelembutan. Sehingga banyak menghambat mahasiswa Riau dalam membuka diri untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di Yogyakarta.

Faktor lain diungkapkan oleh narasumber RN pada tanggal 7 Februari 2016 menjelaskan bahwa kurangnya rasa percaya diri dalam memulai komunikasi dengan lingkungan baru sehingga terkesan menarik diri. Selanjutnya narasumber merasa belum mendapatkan rasa aman saat berinteraksi secara langsung, dimana rasa aman menurut Johnson (dalam Alvin Fadilla Helmi,1995) di dapatkan individu dari perasaan nyaman dan rileks dalam berkomunikasi ketika membuka dirinya kepada orang lain dan tidak terus menerus sembunyi dibalik kebohongan.

Lebih lanjut ED menuturkan bahwa wujud partisipasi terhadap lingkungan baru untuk dapat mencoba beradaptasi dengan cara mengikuti kegiatan gotong royong yang diadakan oleh warga sekitar asrama, kegiatan ronda serta kegiatan masyarakat lainnya.


(20)

6

Beberapa permasalahan yang telah diungkapkan di atas menunjukkan mahasiswa Riau masih terbiasa dengan budaya asal sehingga untuk membuka diri di lingkungan baru mengalami kesulitan dan membutuhkan waktu untuk membiasakan diri baik dari komunikasi, tingkah laku, kebiasaan maupun budaya di kota Yogyakarta. Keterbukaan diri (self disclosure) dapat mendorong individu untuk menyesuaikan diri berdasarkan pada kontak situasional respon agar dapat beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan baru menurut Fahmy (Yuyuk Neni Yuniarti 2009: 31 ) mengemukakan bahwa ada dua dimensi penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu yaitu: a) penyesuaian diri pribadi b) penyesuaian diri sosial. Sedangkan yang terjadi dilapangan kurangnya keterbukaan diri dari mahasiswa riau yang membuat terhambatnya penyesuaian diri dengan lingkungan baru.

Seperti halnya penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kornelia Tantri Yulia (2012) menunjukan bahwa adanya beragam respon psikologis yang berbeda dialami oleh mahasiswa Dayak dalam menyesuaikan diri terhadap budaya Yogyakarta. Dalam aspek kognitif subyek telah berusaha menyesuaikan diri dengan budaya Yogyakarta serta secara individu subyek mendekatkan diri dengan warga sekitar dan berteman dengan penduduk asli Yogyakarta. Sedangkan dalam faktor afektif adanya perubahan perasaan yang dialami mahasiswa Dayak Kanayatn terhadap budaya Yogyakarta, dari yang mulanya merasa asing namun lama kelamaan merasa nyaman berada di Yogyakarta. Penyesuaian diri dalam aspek sosial dapat dilihat dari interaksi sosial bersama warga sekitar mahasiswa Dayak Kanayatn bertegur sapa dan berkomunikasi, meskipun intensintasnya


(21)

7

berbeda-beda selain itu mengikuti kegiatan bergotong royong yang diadakan oleh warga sekitar.

Kemudian penelitian dari Ririen (2007: 8) yang berjudul Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dengan Penyesuaian Diri Menantu Perempuan Terhadap Ibu Mertua, hasil dari penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara komunikasi interpersonal dengan penyesuain diri menantu perempuan terhadap ibu mertuanya.

Berdasarkan berbagai permasalahan di atas didukung penelitian sebelumnya menjadikan dasar peneliti untuk melakukan penelitian terkait keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa riau yang menunjukkan bahwa belum ada hubungan yang jelas antara keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa riau di Yogyakarta sehingga peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Keterbukaan Diri dengan Penyesuaian Diri Mahasiswa Riau Di Yogyakarta” dengan tujuan untuk mengetahui adanya hubungan keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa riau.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan, sebagai berikut.

1. Masyarakat Yogyakarta memiliki sikap ramah sedangkan mahasiswa baru asal Riau cenderung membatasi dilingkungan baru, misalnya tidak bertegur sapa antar orang yang tidak dikenal.


(22)

8

2. Komunikasi mahasiswa Riau yang cenderung kasar berbeda dengan masyarakat Yogyakarta yang halus berdampak pada penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta.

3. Masih banyak mahasiswa Riau yang mengalami kesulitan memahami bahasa Jawa.

4. Budaya yang berbeda antara Riau dan Yogyakarta menjadi faktor penghambat mahasiswa Riau menyesuaikan diri.

5. Belum diketahui ada tidaknya hubungan keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta..

C. Batasan Masalah

Dari uraian yang telah disampaikan maka peneliti bermaksud memberikan batasan dalam penelitian ini yaitu tentang hubungan antara keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang, maka rumusan masalah yang peneliti tetapkan sebagai berikut.

1. Bagaimana keterbukaan diri mahasiswa Riau di Yogyakarta ? 2. Bagaimana penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta ?

3. Apakah terdapat hubungan antara keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta?


(23)

9

E. Tujuan Penelitian

Berdsarkan rumusan masalah yang sudah peneliti tetapkan diatas, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui.

1. Keterbukaan diri mahasiswa Riau di Yogyakarta. 2. Penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta.

3. Hubungan antara keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis diantara yakni. 1. Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu dalam memajukan bidang bimbingan dan konseling. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan menumbuh kembangkan keterbukaan diri dan penyesuaian diri berbasis multikultural.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dapat memberikan gambaran mengenai keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa Riau di Yogyakarta.

a. Bagi mahasiswa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi masukan bahwa keterbukaan diri memiliki hubungan dengan penyesuaian diri. Setelah diketahuinya hal tesebut diharapkan dapat


(24)

10

mengembangkan keterbukaan diri sehingga mampu meningkatkan penyesuaian diri.

b. Bagi Peneliti

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman kepada peneliti mengenai keterbukaan diri dengan penyesuaian diri mahasiswa Riau.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan pertimbangan bagi pengembangan penelitian lebih lanjut dalam memahami pentingnya keterbukaan diri dengan penyesuaian diri guna tercapainya keberhasilan dalam studinya.

G. Definisi Operasional

Judul penelitian ini adalah “Keterbukaan Diri dengan Penyesuaian Diri Mahasiswa Riau di Yogyakarta”. Untuk menghindari kesalahpahaman serta kekeliruan dalam penafsiran judul tersebut, maka peneliti menjelaskan arti kata atau istilah yang terdapat dalam judul berdasarkan pada pengertian umum yang berlaku. Istilah yang perlu dijelaskan peneliti yakni:

1. Keterbukaan Diri

Keterbukaan diri merupakan kemampuan individu untuk mengungkapkan informasi tentang diri individu tersebut yang bersifat deskriptif dan evaluatif seperti sikap, perilaku perasaan, keinginan yang terdapat dalam diri yang bersangkutan agar dapat di informasikan kepada orang lain agar terjalin keakraban. Keterbukaan diri akan diukur menggunakan skala keterbukaan diri yang dimensi-dimensinya terdiri dari jumlah informasi yang diungkapkan, sifat


(25)

11

dasar yang positif dan negatif, dalamnya suatu pengungkapan diri, waktu pengungkapan diri, lawan bicara. Skor tinggi menunjukkan keterbukaan diri individu memiliki keterbukaan diri yang tinggi. Sebaliknya, skor rendah menunjukkan individu memiliki keterbukaan diri yang rendah pula.

2. Penyesuaian diri

Penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk mencapai hubungan yang harmonis pada diri sendiri dan lingkungannya. Penyesuaian diri akan diukur menggunakan skala penyesuaian diri yang dimensi-dimensinya terdiri dari penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Skor tinggi menunjukkan penyesuaian diri individu memiliki penyesuaian diri yang tinggi. Sebaliknya, skor rendah menunjukkan individu memiliki penyesuaian diri yang rendah pula.


(26)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Keterbukaan Diri

1. Pengertian Keterbukaan Diri

Keterebukaan diri merupakan salah satu ketrampilan komunikasi yang penting bagi individu ketika berhubungan dan menjalin interaksi dengan individu lainnya. Menurut Morton (dalam Dayaksini 2009: 81) keterbukaan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi dalam keterbukaan diri bersifat deskriptif dan evaluatif. Deskriptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin untuk diketahui oleh orang lain, misalnya seperti pekerjaan, alamat, dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan perasaan pribadinya lebih mendalam kepada orang lain, misalnya seperti tipe orang yang disukai, hal-hal yang disukai maupun hal-hal yang tidak disukainya. Pendapat tersebut memfokuskan keterbukaan diri sebagai bagian dari menggambarkan dan menilai orang lain.

Lebih jauh, Supratiknya (1996: 61) mengartikan keterbukaan diri sebagai pengungkapan reaksi individu terhadap situasi yang dihadapinya kepada orang lain dan memberikan informasi tentang masa lalu yang kiranya bermanfaat untuk memahami reaksi individu di masa sekarang. Supraktiknya juga menambahkan bahwa informasi dalam keterbukaan diri dapat berupa topik seperti informasi perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat didalam diri orang yang bersangkutan. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa keterbukaan diri merupakan pengungkapan apa yang


(27)

13

dihadapi oleh individu dan memberikan informasi yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keterbukaan diri merupakan kemampuan individu untuk mengungkapkan informasi tentang diri individu tersebut yang bersifat deskriptif dan evaluatif seperti sikap, perilaku perasaan, keinginan yang terdapat dalam diri yang bersangkutan agar dapat di informasikan kepada orang lain agar terjalin keakraban.

2. Dimensi Keterbukaan Diri

Richard West & Lynn H. Turner (dalam Hamdan Juwaeni, 2009) mengemukakan beberapa dimensi dalam keterbukaan diri sebagai berikut. a. Keluasan (breadth)

Mengacu kepada macam topik yang didiskusikan dalam suatu hubungan. Keluasan mengacu pada banyaknya jenis informasi yang dapat diketahui oleh orang lain dalam pengembangan hubungan.

b. Waktu keluasan (breadth time)

Berhubungan dengan jumlah waktu yang dihabiskan oleh pasangan dalam berkomunikasi satu sama lainnya mengenai berbagai macam topik. Waktu yang digunakan dengan seseorang akan cenderung meningkatkan kemungkinan terjadinya keterbukaan diri. Pemilihan waktu yang tepat sangat penting untuk menentukan apakah seseorang dapat terbuka atau tidak. Dalam keterbukaan diri individu perlu memperhatikan kondisi orang lain. Bila waktunya kurang tepat yaitu kondisinya lelah serta dalam keadaan


(28)

14

sedih maka orang tersebut cenderung kurang terbuka dengan orang lain. Sedangkan waktu yang tepat yaitu bahagia atau senang maka ia cenderung untuk terbuka dengan orang lain.

c. Kedalaman (depth)

Merujuk pada tingkat keintiman yang mengarahkan diskusi mengenai suatu topik. Menurut Pearson, kedalaman keterbukaan terbagi atas dua dimensi yakni keterbukaan diri yang dangkal dan yang dalam. Keterbukaan diri yang dangkal biasanya diungkapkan kepada orang yang baru dikenal. Kepada orang tersebut biasanya diceritakan aspek-aspek geografis tentang diri misalnya nama, daerah asal dan alamat. Keterbukaan diri yang dalam, diceritakan kepada orang-orang yang memiliki keadekatan hubungan (intimacy).

Dapat disimpulkan menurut Richard West & Lynn H. Tunner (dalam Hamdan Juwaeni, 2009) ada tiga dimensi keterbukaan diri yaitu keluasaan (breadth), waktu keluasan (breadth time) dan kedalaman (depth). Dimensi ini mengacu pada keluasan pada banyaknya jenis informasi yang dapat diketahui orang lain serta berhubungan dengan waktu yang dihabiskan dalam berkomunikasi satu sama lain mengenai berbagai macam topik sehingga kedalaman keterbukaan memiliki dua macam yaitu keterbukaan diri yang dangkal dan yang dalam.

Sementara itu, Menurut Brooks & Emmert (Jalaluddin Rakhmat, 2011: 134) mengemukakan dimensi keterbukaan diri sebagai berikut.


(29)

15

Lebih mengutamakan pesan yang objektif dan didukung dengan cukup bukti, logis, dan data-data yang akurat. Orang yang terbuka mengesampingkan pesan berdasarkan motif pribadi yang selalu melihat sejauh mana proposisi itu sesuai dengan dirinya.

b. Mampu membedakan dan melihat nuansa dengan mudah.

Orang terbuka lebih dapat membedakan dan melihat suasana atau nuansa dengan mudah, sehingga dapat menyesuaikan diri dalam segala hal. Lebih memandang dunia secara universal bukan melihat dari kacamata hitam dan putih.

c. Lebih menekankan pada isi.

Bagi orang terbuka yang paling penting adalah apa yang dibicarakan bukan siapa yang berbicara. Selain itu, tidak terikat pada otoritas yang mutlak sehingga tidak cenderung cemas dalam setiap tindakan.

d. Berusaha mencari informasi dari sumber lain.

Orang terbuka lebih dapat menerima dan mencari sumber informasi untuk dirinya dari berbagai pihak.

e. Bersifat provisional dan berusaha mencari informasi serta bersedia mengubah keyakinan jika tidak sesuai dengan keadaan.

Artinya bersikap tentatif dan berpikiran terbuka serta bersedia mendengar pandangan yang berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan.


(30)

16

f. Mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaannya.

Bersikap terbuka terhadap perbedaan diantara orang lain dan dapat hidup dalam suasana yang konsisten maupun inkonsisten. Dapat menerima informasi dan pesan sekalipun tidak sesuai dengan kepercayaan dan tidak menghindari kontradiksi. Selain itu dapat bersikap terbuka terhadap perbedaan nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku.

Dapat disimpulkan menurut Brooks & Emmert (Jalaluddin Rakhmat, 2011: 134) terdapat enam dimensi keterbukaan diri yaitu menilai pesan secara objektif dengan menggunakan data dan logika, mampu membedakan dan melihat nuansa dengan mudah, lebih menekankan pada isi, berusaha mencari informasi dari sumber lain, bersifat provisional dan berusaha mencari informasi serta bersedia mengubah keyakinan jika tidak sesuai dengan keadaan dan yang terakhir mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaannya. Dimensi ini mengutamakan pesan yang objektif sehingga dapat menyesuaikan diri dalam segala hal dan apa yang dibicarakan bukan siapa yang berbicara, bersifat provisional dalam mencari informasi dan mencari pengertian pesan yang tidak sesuai.

Menurut Pearson (Ruth Permatasari Novianna, 2012: 4) dimensi keterbukaan diri yaitu:

a. Jumlah informasi yang diungkapkan

Keterbukaan diri dan jumlah informasi berkaitan dengan seberapa banyak informasi yang diungkapkan oleh individu.


(31)

17 b. Sifat dasar yang positif dan negative

Sifat dasar yang positif dan negatif menyangkut bagaimana individu mengungkapkan diri mengenai hal-hal positif dan negative mengenai dirinya karena individu dapat memuji atau bahkan menjelek-jelekan dirinya sendiri.

c. Dalamnya suatu pengungkapan diri

Dalamnya pengungkapan diri, menyangkut seberapa banyak dan detail informasi yang diungkapkan oleh individu karena individu dapat mengungkapkan dirinya secara umum maupun secara mendetail.

d. Waktu pengungkapan diri

Waktu pengungkapan diri berhubungan dengan berapa lama waktu yang relatif lama. Selain itu, kondisi yang sepi atau ramai dapat mempengaruhi individu dalam membuka diri.

e. Lawan bicara

Lawan bicara merupakan individu yang akan dituju untuk melakukan keterbukaan diri. Biasanya orang-orang yang terdekat seperti kepada orangtua, teman, pacar, sahabat, keluarga dan guru. Selain itu jenis kelamin terhadap lawan bicara juga mempengaruhi keterbukan individu.

Dapat disimpulkan dimensi keterbukaan diri menurut Pearson (Ruth Permatasari Novianna, 2012: 4) terdapat lima dimensi yaitu jumlah informasi yang diungkapkan, sifat dasar yang positif dan negative, dalamnya suatu pengungkapan diri, waktu pengungkapan diri dan lawan bicara. Dimensi ini keterbukaan diri juga berpengaruh pada lawan bicara individu seperti jenis kelamin dan kepada siapa seorang individu berkomunikasi.


(32)

18

Berdasarkan penjelasan di atas, dimensi yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada dimensi keterbukaan diri yang dikemukakan oleh Pearson (Ruth Permatasari), karena dimensi ini telah mewakili dari beberapa dimensi sebelumnya. Dimensi keterbukaan diri memiliki lima komponen yakni jumlah informasi yang diungkapkan, sifat dasar yang positif dan negatif, dalamnya suatu pengungkapan diri, waktu pengungkapan diri dan lawan bicara. Akan tetapi dalam penelitian ini peniliti hanya berfokus pada empat aspek yakni jumlah informasi yang diungkapkan, dalamnya suatu pengungkapan diri, waktu pengungkapan diri dan lawan bicara.

3. Fungsi Keterbukaan Diri

Menurut Derlega dan Grzelak (dalam Tri Dayaksini dan Hudainah 2009: 107-108) terdapat lima fungsi keterbukaan diri, yaitu:

a. Ekspresi (expression)

Dalam kehidupan ini kadang-kadang manusia mengalami suatu kekecewaan atau kekesalan, baik itu yang menyangkut pekerjaan ataupun yang lainnya. Untuk membuang semua kekesalan ini biasanya akan merasa senang bila bercerita pada seorang teman yang sudah dipercaya. Dengan pengungkapan diri semacam ini manusia mendapat kesempatan untuk mengekspresikan perasaan kita.

b. Penjernihan diri (self-clarification)

Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan perasaan dan masalah yang sedang dihadapi kepada orang lain, manusia berharap agar dapat memperoleh penjelasan dan pemahaman orang lain akan masalah yang


(33)

19

dihadapi sehingga pikiran akan menjadi lebih jernih dan dapat melihat duduk persoalannya dengan lebih baik.

c. Keabsahan sosial (sosial validation)

Setelah selesai membicarakan masalah yang sedang dihadapi, biasanya pendengar akan memberikan tanggapan mengenai permasalahan tersebut Sehingga dengan demikian, akan mendapatkan suatu informasi yang bermanfaat tentang kebenaran akan pandangan individu, sehingga dapat memperoleh dukungan atau sebaliknya.

d. Kendali sosial (social control)

Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial, misalnya orang akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan baik tentang dirinya.

e. Perkembangan hubungan (relationship development)

Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling mempercayai merupakan saran yang paling penting dalam usaha merintis suatu hubungan sehingga akan semakin meningkatkan derajat keakraban.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi keterbukaan diri yaitu individu mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan perasaanya melihat permasalahan lebih jernih dan merasa lebih baik, sehingga individu akan memperoleh dukungan atau sebaliknya. Keterbukaan diri individu dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial.


(34)

20

Terakhir keterbukaan diri saling berbagi rasa dan informasi tentang diri individu kepada orang lain serta saling mempercayai untuk mengembangkan hubungan.

4. Faktor yang Mempengaruhi Keterbukaan Diri Self Disclouser

Magno, Cuason, dan Figueroa 2008 (Arfianti Fajar Jayanti, 2010: 24), menemukan lima faktor yang mempengaruhi terjadinya keterbukaan diri (self disclosure), kelima faktor tersebut adalah :

a. Faktor kepercayaan (beliefs)

Faktor kepercayaan merupakan faktor yang berisi pengungkapan kepercayaan pada agama, mengungkapkan faktor kepercayaan individu dengan berbagi pemikiran dan emosi yang dialami terkait dengan kepercayaannya,berbagi persepsi, dan pandangan spiritualnya.

b. Faktor hubungan (relationships)

Faktor hubungan merupakan faktor yang menggambarkan hubungan individu tersebut dengan teman atau sesama.

c. Faktor masalah pribadi (personal matters)

Faktor masalah pribadi (Personal matters) merupakan faktor yang berisikan tentang pengungkapan yang bersifat rahasia, pengungkapan sikap seseorang ataupun persoalan pribadi.

d. Faktor minat atau ketertarikan (interest)

Pada faktor minat atau ketertarikan merupakan faktor yang berisikan tentang pengungkapan terhadap selera dan minat terhadap sesuatu.


(35)

21

e. Faktor perasaan yang intim (intimate feelings)

Faktor ini berisikan pengungkapan tentang perasaan-perasaan mengenai diri sendiri, perasaan terhadap masalah yang dihadapi, perasaan cinta, kesuksesan, dan kefrustasian.

Berdasarkan uraian diatas, faktor-faktor yang mempengaruhi keterbukaan diri terdiri dari lima faktor yaitu faktor kepercayaan (beliefs), hubungan (relationships), masalah pribadi (personal matters), minat atau ketertarikan

(interest), dan perasaan yang intim (intimate feelings).

5. Cara Mengukur Keterbukaan Diri

Peneliti menggunakan skala model Likert untuk mengukur tingkat keterbukaan diri pada mahasiswa. Skala ini memiliki 4 (empat) alternative jawaban. Penggunaan skala ini bertujuan untuk mengungkap tingkat keterbukaan diri pada mahasiswa dengan mengukur perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai pengendalian diri. Skala keterbukaan diri dalam penelitian ini mengacu pada dimensi-dimensi keterbukaan diri yang disampaikan oleh Pearson (Ruth Permatasari Novianna, 2012: 4) dimensi keterbukaan diri memiliki lima komponen yakni jumlah informasi yang diungkapkan, sifat dasar yang positif dan negatif, dalamnya suatu pengungkapan diri, waktu pengungkapan diri dan lawan bicara. Dimensi-dimensi tersebut kemudian dianalisis dan dijabarkan ke dalam pertanyaan– pertanyaan sesuai dengan indikator yang terdapat dalam aspek tersebut.


(36)

22

B. Penyesuaian Diri

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (dalam Ririen 2007: 23) penyesuaian diri adalah proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku dimana individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antar tuntutan dalam diri dan tuntutan lingkungan. Seseorang yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mampu membina relasi yang harmonis seperti mampu menerima otoritas yang ada, bertanggung jawab, perhatian pada kebutuhan dan kesejahteraan lingkungannya. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa apabila individu mampu mengatasi konflik dan frustasi karena terhambatnya kebutuhan dalam diri dan lingkungan, maka individu dapat dikatakan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan demi keharmonisan.

Menurut Kartono (2000: 16) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Hal ini menjelaskan, bahwa pada dasarnya semua manusia harus mampu menyesuaikan diri demi tercapainya keselarasan diri dan lingkungan.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian penyesuaian diri, dapat diambil kesimpulan bahwa penyesuaian diri merupakan usaha individu untuk mencapai hubungan yang harmonis pada diri sendiri dan lingkungannya. Proses tersebut meliputi tingkahlaku dan tanggung jawab. Manusia dituntut menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial agar mampu dapat terus menerus


(37)

23

menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada sehingga membuat hidupnya bahagia.

2. Dimensi Penyesuaian Diri

Menurut Sugeng Hariyadi dkk (2003: 67-69) terdapat beberapa dimensi penyesuaian diri, diantaranya adalah sebagai berikut.

a. Kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya. Karakteristik ini mengandung pengertian bahwa orang yang mempunyai penyesuaian diri yang positif adalah orang yang sanggup menerima kelemahan-kelemahan, kekukarangan-kekurangan di samping kelebihan-kelebihannya. Individu tersebut mampu menghayati kepuasan terhadap keadaan dirinya sendiri, dan membenci apalagi merusak keadaan dirinya betapapn kurang memuaskan menurut penilaiannya. Hal ini bukan berarti bersikap pasif menerima keadaan yang demikian, melainkan ada usaha aktif disertai kesanggupan mengembangkan segenap bakat, potensi, serta kemampuannya secara maksimal.

b. Kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif.

Sesuai dengan perkembangan rasional dan perasaan. Orang yang memiliki penyesuaian diri positif memiliki ketajaman dalam memandang realita, dan mampu memperlakukan kebutuhannya. Ia dalam berperilaku selalu bersikap mau belajar dari orang lain, sehingga secara terbuka pula ia mau menerima feedback dari orang lain.


(38)

24

Kemampuan yang ada pada dirinya dan kenyataan objektif di luuar dirinya. Karakteristik ini ditandai oleh kecenderungan seseorang untuk tidak menyia-nyiakan kekuatan yang ada pada dirinya dan akan melakukan hal-hal yang jauh di luar jangkauan kemampuannya. Hal ini terjadi perimbangan yang rasional antara energi yang dikeluarkan dengan hasil yang diperolehnya, sehingga timbul kepercayaan terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya.

d. Memiliki perasaan yang aman dan memadai.

Individu yang tidak lagi dihantui oleh rasa cemas ataupun ketakutan dalam hidupnya serta tidak mudah dikecewakan oleh keadaan sekitarnya. Perasaan aman mengandung arti pula bahwa orang terseut mempunyai harga diri yang mantap, tidak lagi merasa terancam dirinya oleh lingkungan dimana ia berasa, dapat menaruh kepercayaan terhadap lingkungan dan dapat menerima kenyataan terhadap keterbatasan maupun kekurangan-kekurangan dan lingkungannya.

e. Rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleran.

Karakteristik ini ditandai oleh adanya pengertian dan penerimaan keadaan diluar dirinya walaupun sebenarnya kurang sesuai dengan harapan atau keinginannya.

f. Terbuka dan sanggup menerima umpan balik.

Karakteristik ini ditandai oleh kemampuan bersikap dan berbicara atas dasar kenyataan sebenarnya, ada kemauan belajar dari keadaan sekitarnya, khususnya belajar mengenai reaksi orang lain terhadap perilakunya.


(39)

25

Hal ini tercermin dalam memelihara tata hubungan dengan orang lain, yakni tata hubungan yang hangat penuh perasaan, mempunyai pengertian yang dalam dan sikapnya wajar.

h. Mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku.

Individu diharapkan selaras dengan hak dan kewajibannya, sehingga bertindak dengan norma yang berlaku.

i. Individu mampu mematuhi dan melaksanakan norma yag berlaku. Individu mematuhi dan melaksanakan norma tanpa adanya paksaan dalam setiap perilakunya. Sikap dan perilaunya selalu didasarkan atas kesadaran akan kebutuhan norma, dan atas keinsyafan sendiri.

Dapat disimpulkan dimensi penyesuaian diri menurut Sugeng Haryadi terdapat sembilan dimensi yaitu kemampuan menerima dan memahami diri sebagaimana adanya, kemampuan menerima dan menilai kenyataan lingkungan di luar dirinya secara objektif, kemampuan bertindak sesuai dengan potensi, memiliki perasaan yang aman dan memadai, rasa hormat pada manusia dan mampu bertindak toleran, terbuka dan sanggup menerima umpan balik, memiliki kestabilan psikologis terutama kestabilan emosi, mampu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, individu mampu mematuhi dan melaksanakan norma yang berlaku. Setiap individu memiliki kemampuan masing-masing dalam menyesuaikan diri baik dalam menerima dan memahami diri, menilai kenyataan lingkungan disekitarnya, bertindak sesuai dengan potensi serta memiliki perasaan aman dan mempunyai rasa hormat terhadap manusia sehingga sanggup menerima umpan balik agar memiliki kestabilan psikologis terutama ketabilan emosi maka dari itu mampu bertindak sesuai


(40)

26

norma yang berlaku dan individu mampu melaksanakan norma yang berlaku tersebut.

Sementara itu menurut Fahmy (dalam Yuyuk Neni Yuniarti 2009: 31) mengungkapkan bahwa ada dua dimensi penyesuaian diri yaitu sebagai berikut.

a. Penyesuaian pribadi

Kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab, dongkol, kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya. Sebaliknya kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya gap antara individu dengan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungan. Gap inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya individu harus melakukan penyesuaian diri.


(41)

27

Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum.

Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang individu. Apa yang diserap atau dipelajari individu dalam proses interaksi dengan masyarakat masih belum cukup untuk menyempurnakan penyesuaian sosial yang memungkinkan individu untuk mencapai penyesuaian pribadi dan sosial dengan cukup baik. Proses berikutnya yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Setiap masyarakat biasanya memiliki aturan yang tersusun dengan sejumlah ketentuan dan norma atau nilai-nilai tertentu yang mengatur hubungan individu dengan kelompok. Dalam proses penyesuaian sosial individu


(42)

28

mulai berkenalan dengan kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan tersebut lalu mematuhinya sehingga menjadi bagian dari pembentukan jiwa sosial pada dirinya dan menjadi pola tingkah laku kelompok.

Dapat disimpulkan dimensi penyesuaian diri menurut Fahmy yaitu penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian diri sosial, dalam penyesuaian diri ini individu memiliki kemampuan untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan karena setiap individu hidup bermasyarakat dan berbagai budaya yang akan dihadapi sehingga individu mampu memahami penyesuaian tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, dimensi yang akan digunakan dalam penelitian ini mengacu pada dimensi penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Fahmy, karena dimensi ini telah mewakili dari beberapa dimensi sebelumnya. Dimensi penyesuaian diri memiliki dua komponen yaitu penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian diri sosial.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri

Menurut Schneiders (Noviakarisma Wijaya, 2007: 22) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah sebagai berikut.

a. Keadaan fisik.

Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan


(43)

29

penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri.

b. Perkembangan dan kematangan.

Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu bebeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri. c. Keadaan psikologis.

Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan interna maupun tuntutan lingkungannya. Variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis diantaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.

d. Keadaan lingkungan.

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut


(44)

30

akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. Keadaan lingkungan yang dimaksud meliputi sekolah, rumah, dan keluarga.

e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan.

Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri meliputi keadaan fisik, perkembangan dan kematangan, psikologis, lingkungan, serta religiusitas dan kebudayaan.

4. Cara Mengukur Penyesuaian diri

Peneliti menggunakan skala model Likert untuk mengukur tingkat penyesuaian diri pada mahasiswa. Skala ini memiliki 4 (empat) alternative jawaban. Penggunaan skala ini bertujuan untuk mengungkap tingkat penyesuaian diri pada mahasiswa dengan mengukur perilaku-perilaku yang dikategorikan sebagai pengendalian diri. Skala penyesuaian diri dalam penelitian ini mengacu pada dimensi-dimensi penyesuaian diri dalam penelitian


(45)

31

ini mengacu pada dimensi-dimensi penyesuaian diri yang disampaikan oleh Fahmy (1982) yaitu penyesuaian diri pribadi dan penyesuaian diri sosial.

C. Mahasiswa Sebagai Dewasa Awal

1. Pengertian Mahasiswa Sebagai Dewasa Awal

Mahasiswa adalah individu yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 696). Menurut Erikson (1999: 23) Mahasiswa adalah sekelompok individu yang telah menyelesaikan SMU dan memasuki perguruan tinggi. Mahasiswa memasuki akhir dari tahap perkembangan remaja akhir dan memasuki awal dari tahap perkembangan remaja akhir dan memasuki awal dari tahap perkembangan dewasa awal. Selanjutnya, menurut Winkel (1997: 37), mahasiswa sebagai dewasa awal sebagian besar berada pada rentang umur dari 18 sampai 24 atau 25 tahun.

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan mahasiswa merupakan individu yang telah menyelesaikan sekolah menengah umum dan meneruskan pendidikan di perguruan tinggi yang telah memasuki fase perkembangan pada tahap dewasa awal yang berada pada rentang usia 18 sampai 25 tahun.

Sementara itu Hurlock (1993: 247) mengungkapkan bahwa fase dewasa awal jika dikaitkan dengan usia mahasiswa pada fase ini menunjukkan bahwa peran, tugas, dan tanggung jawab mahasiswa bukan hanya pencapaian keberhasilan akademik, melainkan mampu menunjukkan perilaku dan pribadi untuk mengeksplorasi berbagai gaya hidup dan nilai-nilai secara cerdas dan mandiri, yang menunjukkan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan sosial yang baru sebagai dewasa awal.


(46)

32

Pendapat tersebut sangat tepat dengan pendapat sebelumnya bahwa pada fase dewasa awal yang dikaitkan dengan usia mahasiswa ini menunjukkan adanya tanggung jawab baru bukan hanya pencapaian keberhasilan akademik melainkan mampu menunjukkan perilaku dan pribadi serta mengeksplorasi gaya hidup dan nilai-nilai secara cerdas dan mandiri serta menunjukkan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan sosial yang baru sebagai orang dewasa.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkann bahwa mahasiswa sebagai dewasa awal merupakan individu yang telah menyelesaikan sekolah menengah umum dan meneruskan pendidikan di perguruan tinggi yang telah memasuki fase perkembangan pada tahap dewasa awal yang berada pada rentang usia 18 sampai 25 tahun yang telah memiliki tanggung jawab sebagai mahasiswa bukan hanya pencapaian keberhasilan akademik, melainkan mampu menunjukkan perilaku dan priadi untuk mengeksplorasi berbagai gaya dan nilai-nilai secara cerdas dan mandiri serta menunjukkan penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan sosial yang baru sebagai orang dewasa.


(47)

33

2. Karakteristik Mahasiswa Sebagai Dewasa Awal

Menurut Hurlock (1980: 247-252) karakteristik masa dewasa awal ialah sebagai berikut.

a. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Pengaturan

Masa pengaturan disini maksudnya ialah masa individu menemukan dan menentukan pola hidup yang diyakini dapat memenuhi kebutuhannya. Ia akan mengembangkan pola-pola perilaku sikap da nilai-nilai yang cenderung akan menjadi kekhasan selama sisa hidupnya. Masa pengaturan ini meliputi pemilihan pasangan hidup dan pemilihan jenis pekerjaan.

b. Masa Dewasa Awal sebagai Usia Reproduktif

Pada masa ini merupakan masa yang tepat reproduksi. Dewasa dini dapat memulai kehidupan berumah tangga dan meneruskan keturunan. Masa reproduksi ini dipengaruhi oleh karir. Hal ini dapat dijelaskan dengan fenomena orang yang belum menikah hingga menyelesaikan pendidikan atau telah memulai kehidupan karirnya, tidah akan menjadi orang tua sebelum ia mampu berkeluarga. Begitu juga wanita yang ingin berkarir setelah menikah akan menunda untuk mempunyai anak. Bagi yang cepat mempunyai anak pada awal masa dewasa dini kemungkinan seluruh masa dewasa dini merupakan masa reproduksi.

c. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Bermasalah

Dalam tahun-tahun awal masa dewasa banyak masalah baru yang harus dihadapi. Rata-rata pada awal masa dewasa disibukkan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri dalam


(48)

34

berbagai aspek utama kehidupan orang dewasa. Banyak alasan mengapa penyesuaian diri terhadap masalah-masalah pada masa dewasa begitu sulit. Alasan-alasan tersebut diantaranya kurangnya persiapan untuk menghadapi jenis-jenis masalah yang perlu diatasi, mencoba menguasai dua atau lebih keterampilan secara serempak, dan yang mungkin terberat ialah orang-orang muda tidak memperoleh bantuan dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah mereka; tidak seperti sewaktu mereka dianggap belum dewasa.

d. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Ketegangan Emosional

Ketegangan emosional dimaksudkan sebagai keresahan emosional yang dialami dewasa dini karena bingung dalam proses memahami peran, pola-pola kehidupan serta tanggung jawab baru yang ditemuinya. Mereka dalam upaya penyelesaian itu. Kekhawatiran-kekhawatiran utama biasanya berpusat pada masalah pekerjaan, perkawinan, dan peran orang tua. Keresahan orang-orang muda tergantung pada penyesuaian diri yang harus dihadapi saat itu dan berhasil tidaknya. Apabila seseorang merasa tidak mampu mengatasi masalah-masalah utama dalam kehidupan mereka, mereka sering sedemikian terganggu secara emosional, sehingga mereka memikirkan atau mencoba untuk bunuh diri.

e. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Keterasingan Sosial

Keterasingan diidentifikasikan dengan adanya semangatbersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karir dengan demikian keramahtamahan masa remaja diganti dengan persaingan dalam masyarakat dewasa. Mereka juga harus mencurahkan sebagian besar tenaga mereka untuk pekerjaan mereka.


(49)

35

Mereka hanya dapat menyisihkan sedikit waktu untuk bersosilisasi dan membina hubungan yang akrab. Akibatnya, mereka menjadi egosentris dan menambah kesepian mereka.

f. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Komitmen

Sewaktu menjadi dewasa, orang-orang muda mengalami perubahan tanggungjawab dari seorang pelajar yang sepenuhnya bergantung pada orang tua menjadi orang dewasa mandiri, maka mereka menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen baru. Meskipun pola-pola hidup, tanggung jawab dan komitmen-komitmen baru ini mengkin akan berubah juga, pola-pola ini menjadi landasan yang akan membentuk pola hidup, tanggung jawab dan komitmen-komitmen di kemudian hari.

g. Masa Dewasa Awal Sering Merupakan Masa Ketergantungan

Status dewasa yang dikategorikan mulai usia 18 tahun memberikan kebebasan untuk mandiri. Meskipun begitu banyak orang-orang muda yang masih agak bergantung atau bahkan sangat tergantung pada orang-orang lain selama jangka waktu yang berbeda-beda. Ketergantungan ini mungkin pada orang tua, lembaga pendidikan yang memebrikan beasiswa sebagian atau penuh.

Ada orang yang membenci ketergantungan ini walaupun mereka menyadari bahwa hal itu perlu agar mereka memperoleh pendidikan yang dibutuhkan bagi pekerjaan pilihan mereka. Tapi banyak juga yang merasa hal itu wajar dan mereka merasa tidak perlu patuh pada mereka yang telah membiayai pendidikan mereka. Mereka mengharapkan da menuntut


(50)

36

otonomi yang sama dengan teman-teman seusia mereka yang secara mandiri membiayai diri sendiri.

Ada juga orang-orang muda yang meskipun memberontak terhadap ketergantungan akibat pendidikan yang panjang menjadi begitu terbiasa pada ketergantungan ini sehingga mereka meragukan kemampuan mereka untuk mandiri secara ekonomi.

h. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Perubahan Nilai

Banyak nilai masa kanak-kanak dan remaja berubah karena pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dengan orang-orang yang berbeda usia dan karena nilai-nilai itu kini dilihat dari kaca mata orang dewasa. Hal tersebut terlihat dari perubahan pandangan tentang sekolah dari kewajiban menjadi kebtuhan untuk keperluan pencapaian karir, berperilaku berdasarkan nilai yang berlaku di lingkungan agar diterima dalam kelompok sosial, dan perubahan sikap dari egosentris menjadi sosial.

i. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Penyesuaian Diri dengan Cara Hidup Baru

Penyesuaian diri dengan cara hidup baru ini berkaitan dengan berubahnya gaya hidup yang menonjol berkaitan dengan kehidupan perkawinan dan peran orang tua. Menyesuaikan diri pada suatu gaya hidup yang baru memang selalu sulit. Terlebih bagi yang di masa kanak-kanak dan remajanya tidak menerima persiapan yang berkaitan dengan atau menerima persiapan yag tidak cocok dengan gaya hidup masa dewasa dini.


(51)

37

j. Masa Dewasa Awal sebagai Masa Kreatif

Bentuk kreatifitas yang muncul pada masa dewasa dini tergantung pada minat dan kemampuan individual, kesempatan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya. Ada yang menyalurkan kreatifitas melalui hobi, adapula yang melalui pekerjaan. Walaupun minat pada kegiatan-kegiatan yang kreatif ini sudah mulai sejak usia duapuluh tahunan puncak kreativitas baru tercapai pada usia setengah baya. Hal ini disebabkan kreativitas pada awal masa dewasa sering terhalang perkembangannya dan tidak mendapat dukungan yang positif. Oleh sebab itu pada awal masa dewasa, orang muda tidak saja harus menemukan dimana letak minat tetapi mereka juga harus mengembangkan daya kreativitas ini.

Sehingga pendapat Hurlock menyebutkan karakteristik masa dewasa awal ialah masa pengaturan, usia reprodukti, masa bermasalah, masa ketegangan emosional, keterasingan sosial, masa komitmen, masa ketergantungan, masa perubahan nilai, penyesuaian diri dengan cara hidup baru, dan masa kreatif. Karakteristik-karakteristik tersebut menegaskan perbedaan tentang karakteristik di masa sebelumnya.

Lebih lanjut disampaikan oleh Rita Eka Izzaty, dkk (2008: 156) bahwa dewasa awal memiliki beberapa ciri khas antara lain:

a. Usia reproduktif, masa kesuburan sehingga siap menjadi ayah/ibu dalam mengasuh/mendidik anak.


(52)

38

b. Usia memantapkan letak kedudukan, mantap dalam pola-pola hidup. Misalnya dunia kerja, perkawinan, dan memainkan perannya sebagai orang tua.

c. Usia banyak masalah, artinya persoalan yang dialami pada masa lalu mungkin berlanjut, serta adanya masalah baru.

d. Usia tegang dalam emosi, dewasa dini mengalami ketegangan emosi yang berhubungan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi. Misalnya jabatan, karir, perkawinan, keuangan, hubungan sosial, teman, kenalan.

Berdasarkan penjelasan diatas menurut Rita Eka Izzaty, dkk bahwa dewasa awal sebagai usia reproduktif, usia memantapkan letak kedudukan, usia banyak masalah, usia tegang dalam emosi. Karakteristik-karakteristik tersebut menunjukkan adanya perubahan dari masa sebelumnya. Perubahan-perubahan karakteristik meliputi aspek biologis dan psikologis.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal merupakan individu mencapai kematangan biologis dan psikologis. Pada tahap ini individu mulai menerima tanggung jawab sendiri atas hal-hal yang dilakukan, karena perubahan tanggung jawab tersebut kemudian pada masa ini individu mengalami banyak masalah, masa tegang dalam emosi. Pengaturan diri atas perubahan nilai dan penyesuaian dengan cara hidup baru muncul sebagai ciri khas dari tahap perkembangan dewasa awal.


(53)

39

3. Aspek Perkembangan Mahasiswa Sebagai Dewasa Awal

Menurut Santrock (2014: 91), aspek-aspek perkembangan yang dihadapi usia mahasiswa sebagai fase usia dewasa awal yaitu sebagai berikut.

a. Perkembangan fisik, pada dewasa awal adalah puncak perkembangan fisik dan juga penurunan perkembangan individu secara fisik.

b. Perkembangan seksualitas, terjadi sikap dan perilaku seksual secara heteroseksual dan homoseksual.

c. Perkembangan kognitif, menggambarkan efisiensi dalam memperoleh informasi yang baru, berubah dari mencari pengetahuan menuju menerapkan pengetahuan itu.

d. Perkembangan karir, suatu individu ketika memulai dunia kerja yang baru harus menyesuaikan diri dengan peran yang baru dan memenuhi tuntutan karir.

e. Perkembangan sosio-emosional, menggambarkan hubungan sosial individu dengan lingkungannya yang terdiri dari tiga fase yaitu fase pertama menjadi dewasa awal dan hidup mandiri, fase kedua pasangan baru yang membentuk keluarga baru, dan fase ketiga menjadi keluarga sebagai orang tua dan memiliki anak.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang dihadapi pada masa dewasa awal ialah perkebangan fisik, seksualitas, kognitif, karir, dan sosio-emosional.


(54)

40

4. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Mahasiswa sebagai seorang dewasa awal menurut Havighurst (1961: 259) memiliki tugas-tugas perkembangan dewasa awal sebagai berikut.

a. Mulai bekerja

Dalam menghadapi tugas perkembangan ini, pria dewasa awal sering menunda mencari calon pasangan hidup sebelum memperoleh pekerjaan. Namun bagi wanita dewasa awal cenderung belum aktif menghadapi tuntutan pekerjaan.

b. Memilih pasangan hidup

Pada masa ini calon pasangan mempersiapkan diri untuk memilih dan menemukan yang cocok, selaras dengan kepribadian masing-masing dan juga menyesuaikan dengan kondisi dan latar belakang kehidupan kedua calon keluarga masing-masing, keputusan memilih hingga menentukan pasangan hidup adalah tanggung jawab baik bagi pihak laki-laki maupun perempuan dengan pertimbangan dari pihak orang tua, keluarga dan bantuan pihak-pihak lain yang dipandang mampu.

1) Belajar hidup dengan pasangan nikah 2) Memulai hidup berkeluarga

3) Mengelola rumah tangga

Kehidupan keluarga dibangun dengan kesiapan keseluruhan baik dari fisik maupun mental yang bergantung pada kesiapan dan keberhasilan dalam mengelola rumah tangga sesuai peran, tugas, dan tanggung jawab masing-masing.


(55)

41

4) Bertanggung jawab sebagai warga Negara

Individu dewasa awal sebaiknya mulai menunjukkan rasa tanggung jawab bagi kesejahteraan dalam keluarga, tetangga. Kelompok masyarakat, sebagai warga Negara maupun organisasi politik.

5) Menemukan kelompok sosial yang serasi

Pernikahan menunjukkan tujuan dan langkah awal menemukan kelompok sosial yang serasi. Bersama-sama sebagai pasangan mencari teman baru, orang-orang seumuran mereka dan dengan orang dimana mereka dapat mengembangkan suatu kehidupan sosial jenis baru.

Penjelasan tugas perkembangan diatas bahwa tugas perkembangan mahasiswa sebagai dewasa awal meliputi mulai bekerja karena pria sering menunda mencari calon pasangan hidup sebelum memperoleh pekerjaan sedangkan wanita cenderung belum aktif menghadapi tuntutan pekerjaan, selanjutnya memilih pasangan hidup yang cocok dan selaras sehingga mampu belajar hidup dengan pasangan dan mulai hidup berkeluarga dengan kesiapan keseluruhan baik dari mental maupun fisik dalam mengelola rumah tangga sesuai tanggung jawab sebagai warga negara dan menemukan kelompok sosial yang serasi dan dapat menngembangkan kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan dewasa awal yaitu: 1) mulai bekerja, 2) memilih pasangan hidup, 3) belajar hidup dengan pasangan nikah, 4) memulai hidup berkeluarga, 5) mengelola rumah tangga, 6) bertanggung jawab sebagai warga negara, serta 7) menemukan kelompok sosial yang serasi.


(56)

42

D. Hubungan antara Keterbukaan Diri (Self Disclouser) dengan Penyesuaian

Diri

Pada masa perkembangan, mahasiswa yang bersekolah di perguruan tinggi termasuk dalam kategori masa dewasa dini, apabila dlihat dari umurnya yang berkisar antara 18 sampai 25 tahun. Pada masa dewasa dini terdapat berbagai macam penyesuaian dan konflik yang terjadi, hal ini disebabkan karena masa dewasa dini merupakan masa peralihan individu dari masa remaja ke masa dewasa terhadap pola-pola kehidupan baru serta harapan sosial. Tentu dalam proses ini seorang individu dituntut untuk melakukan berbagai penyesuaian terkait dengan masa pengaturan, usia reproduktif, masa bermasalah, masa ketegangan emosi, masa keterasingan sosial, masa komitmen, masa ketergantungan, masa perubahan nilai, masa penyensuaian diri dengan cara hidup baru dan masa kreatif.

Selain itu pada masa dewasa dini tersebut membutuhkan orang lain agar dapat tetap berkomunikasi, apabila seorang individu berada di suatu lingkungan baru maka individu tersebut harus mampu bersosialisasi atau berbaur satu sama lain. Oleh sebab itu sebelum terjadi komunikasi maka individu tersebut harus membuka diri agar dapat berinteraksi sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan baru. Banyak hal yang akan timbul akibat dari kurangnya keterbukaan diri dan penyesuaian diri, seperti fenomena yang terjadi pada mahasiswa Riau di Yogyakarta yaitu masih terbiasa dengan budaya asal sehingga untuk membuka diri di lingkungan baru mengalami kesulitan dan membutuhkan waktu untuk membiasakan diri baik dari komunikasi, tingkah laku, kebiasaan maupun budaya di kota Yogyakarta.


(57)

43

Menurut Burhan Bungin (2006: 266) di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, hubungan antar pribadi memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan masyarakat, terutama ketika hubungan antar pribadi itu mampu memberi dorongan kepada orang tertentu yang berhubungan dengan perasaan, pemahaman informasi, dukungan, dan berbagai bentuk komunikasi yang memengaruhi citra diri orang serta membantu orang untuk memahami harapan-harapan orang lain. Adapun salah satunya proses keterbukaan diri (self disclosure) adalah kemampuan individu untuk mengungkapkan informasi tentang diri sendiri yang bersifat deskriptif dan evaluatif kepada orang lain agar terjalin keakraban. Keterbukaan diri merupakan kebutuhan seseorang sebagai jalan keluar atas tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Selain itu Muhammad Budyatna dan Leila Mona Ganiem (2011: 40) sebagaimana orang berinteraksi dalam hubungan, mereka akan terlibat ada tingkat tertentu pada pengungkapan terhadap satu sama lain dan mereka juga akan memberikan sejumlah umpan balik terhadap satu sama lain. Hal tersebut menjelaskan bahwa, antara keterbukaan diri (self disclosure) dan penyesuaian diri memiliki hubungan yang saling berkesinambungan, salah satu hal yang mempengaruhi keterbukaan diri (self disclosure) adalah resiporitas yaitu apabila individu membuka diri maka individu lainnya juga akan membuka diri begitu sebaliknya, maka dari itu dapat terjadi interaksi dan dapat menyesuaikan diri.

Seperti halnya penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kornelia Tantri Yulia (2012) menunjukan bahwa adanya beragam respon psikologis yang berbeda dialami oleh mahasiswa Dayak dalam menyesuaikan diri terhadap budaya Yogyakarta. Dalam aspek kognitif subyek telah berusaha menyesuaikan diri


(58)

44

dengan budaya Yogyakarta serta secara individu subyek mendekatkan diri dengan warga sekitar dan berteman dengan penduduk asli Yogyakarta. Sedangkan dalam faktor afektif adanya perubahan perasaan yang dialami mahasiswa dayak kanayatn terhadap budaya Yogyakarta, dari yang mulanya merasa asing namun lama kelamaan merasa nyaman berada di Yogyakarta.

Selanjutnya penelitian Ginau (Anissa Rahmadhaningrum, 2013: 8) menyebutkan bahwa keterbukaan diri sangat penting dalam hubungan sosial dengan orang lain. Individu yang mampu dalam keterbukaan diri akan dapat mengungkapkan diri secara tepat, terbukti mampu menyesuaikan diri, lebih percaya diri sendiri, lebih kompeten, dapat diandalkan, lebih mampu bersikap positif, percaya terhadap orang lain, lebih objektif dan terbuka. Sebaliknya individu yang kurang mampu dalam keterbukaan diri terbukti tidak mampu menyesuaikan diri, kurang percaya diri, timbul perasaan takut, cemas, merasa rendah diri dan tertutup.

Berkaitan dengan kemungkinan adanya hubungan antara keterbukaan diri (self disclosure) dengan penyesuaian diri, maka dapat dikatakan bahwa apabila individu memiliki keterbukaan diri yang baik maka penyesuaian diri yang dimiliki individu akan baik pula. Jika semakin tinggi tingkat keterbukaan diri (self disclosure), maka penyesuaian diri individu semakin tinggi.


(59)

45

E. Paradigma Penelitian

Berdasarkan pada kajian teori dan kerangka berfikir yang telah dikemukakan, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara variabel bebas yaitu keterbukaan diri (self disclosure) dan variabel terikat yaitu penyesuaian diri. Hubungan tersebut dapat digambarkan dengan paradigma (Sugiyono, 2008: 66) sebagai berikut: Gambar 1. Paradigma Penelitian

X

(Keterbukaan diri)

Y

(Penyesuaian diri)

X = Variabel Bebas Y = Variabel Terikat  = Arah Hubungan


(60)

46

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan kerangka pikir yang telah diuraikan, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: “Terdapat hubungan signifikan dan positif antara keterbukaan diri (self disclosure) dengan penyesuaian diri pada mahasiswa Riau di Yogyakarta. Hal ini berarti apabila tingkat keterbukaan diri (self disclosure) tinggi maka semakin tinggi penyesuaian diri pada mahasiswa Riau di

Yogyakarta dan jika semakin rendah keterbukaan diri (self disclosure) maka semakin rendah penyesuaian diri.


(61)

47

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif yakni metode penelitian yang berlandas paada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2013: 23). Metode yang digunakan pada penelitian kuantitatif ini yaitu korelasional. Menurut Suharsimi Arikunto (2005: 247) penelitian korelasional merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua atau berapa variabel. Selanjutnya, Sukardi (2013: 166), mendefenisikan penelitian korelasi adalah suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data guna menentukan, ada tidaknya hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih.

Penelitian korelasional ini bertujuan untuk menguji atau mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas (independent variable) yang pada penelitian ini yakni keterbukaan diri dan variabel terikat (dependent variable) yakni penyesuaian diri.

B. Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (2008: 61), variabel merupakan suatu atribut/sifat/nilai dari orang, obyek/kegiatan yang mempunyai variasi tertentu dan ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari serta kemudian ditarik kesimpulannya.


(62)

48

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa variabel merupakan suatu fenomena dalam bentuk obyek yang memiliki variasi seperti kualitas, kuantitas, mutu dan standar ditetapkan oleh peniliti untuk dipelajari serta ditarik kesimpulannya.

Variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan disebut variabel stimulus, prediktor, bebas atau independent variable (X), sedangkan variabel output, kreteria, terikat, atau dependent variable (Y) (Sugiyono, 2008: 61). Dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu:

Variabel bebas : Keterbukaan Diri (X) Variabel terikat : Penyesuaian Diri (Y)

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Asrama Putra Riau yang beralamat di Jalan Bintaran tengah Nomor 02 Yogyakarta dan Asrama Putri Riau beralamat di Jalan Wolter Monginsidi Nomor 10 RT 037/10. Pertimbangan peneliti dalam menentukan tempat pelaksanaan penelitian karena terdapat masalah yang melatar belakangi tujuan penelitian. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari 2016.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian menurut Amirin (dalam Muhammad Idrus, 2007: 120) ialah seseorang atau sesuatu yang mengenainya ingin diperoleh keterangan. Menurut Muhammad Idrus (2007: 121) subjek penelitian adalah individu, benda atau organisme yang dijadikan sumber informasi yang dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian. Jadi subjek penelitian adalah seseorang atau sesuatu yang mengenainya ingin diperoleh keterangan atau sumber informasi yang


(63)

49

dibutuhkan dalam pengumpulan data penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Riau di Yogyakarta.

1. Populasi Penelitian

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 173) menyebutkan bahwa populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Jadi penelitian ini, populasinya seluruh mahasiswa Riau di Yogyakarta. Jumlah seluruh mahasiswa Riau di Yogyakarta adalah 848 mahasiswa. Berikut ini ialah distribusi jumlah populasi penelitian.

Tabel 1. Distribusi Populasi Penelitian

No Kota/ Kabupaten Jumlah Mahasiswa

1. Dumai 83

2. Pekanbaru 75

3. Kampar 60

4. Indragiri Hilir 50

5. Indragiri Hulu 60

6. Rokan Hulu 50

7. Rokan Hilir 50

8. Palalawan 60

9. Bengkalis 50

10. Siak 60

11. Meranti 50

12. Kuantan Singingi 200

Jumlah 848 Mahasiswa

(Sumber: Pengelola Asrama masing-masing provinsi Riau 2015)

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Penelitian ini termasuk penelitian sampel, karena peneliti hanya akan mengambil dari sebagian dari populasi. Peneliti akan menggunakan teknik penentuan sampel cluster quota random sampling. Cluster sampling di gunakan untuk menentukan


(64)

50

2015: 65). Obyek yang diteliti berasal dari 12 kabupaten/kota. Quota random sampling adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang

mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan (Sugiyono. 2015: 66). Terdapat 5 kabupaten/kota yang dipilih secara acak. Maka dari itu dari 5 kabupaten/kota tersebut masing-masing kabupaten/kota terdapat kuota 17 mahasiswa yang dipilih secara acak. Adapun data seluruh subyek penelitian sebagai berikut.

Tabel 2. Sampel Penelitian

No Kabupaten/Kota Jumlah Mahasiswa

1. Bengkalis 17

2. Dumai 17

3. Kuantan Singingi 17

4. Pekanbaru 17

5. Siak 17

Jumlah 85 Mahasiswa

Terdapat 85 mahasiswa Riau dari 5 kota/kabupaten dengan jumlah kuota masing-masing 17 mahasiswa pada masing-masing kota/kabupaten tersebut dan diambil secara acak dari keseluruhan populasi.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan (Sugiyono, 2007: 224). Jenis-jenis metode pengumpulan data yaitu metode tes, metode kuesioner (quetionnaires), metode wawancara (interview), metode observasi, metode skala bertingkat (rating scale) dan metode dokumentasi (Suharsimi Arikunto, 2010: 193-202).


(1)

122

Jurusan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Agama 1 1,2 1,2 1,2

Agri Bisnis 1 1,2 1,2 2,4

Akuntansi 4 4,7 4,7 7,1

Ekonomi 4 4,7 4,7 11,8

Farmasi 3 3,5 3,5 15,3

Fisika 2 2,4 2,4 17,6

GK 1 1,2 1,2 18,8

Hukum 5 5,9 5,9 24,7

Ilmu Hukum 4 4,7 4,7 29,4

Ilmu Kepelarawatan 1 1,2 1,2 30,6

Ilmu Komunikasi 2 2,4 2,4 32,9

Kedokteran 1 1,2 1,2 34,1

Kimia 1 1,2 1,2 35,3

Komunikasi 1 1,2 1,2 36,5

Manajemen 5 5,9 5,9 42,4

Manajemen Ekonomi 1 1,2 1,2 43,5

Matematika 1 1,2 1,2 44,7

Nautika 1 1,2 1,2 45,9

Olahraga 1 1,2 1,2 47,1

Pend. Fisika 1 1,2 1,2 48,2

Pend. FK 2 2,4 2,4 50,6

Pend. Olahraga 1 1,2 1,2 51,8

Pertanian 1 1,2 1,2 52,9

Peternakan 1 1,2 1,2 54,1

PGMI 1 1,2 1,2 55,3

PGSD 1 1,2 1,2 56,5

PKK 1 1,2 1,2 57,6

Psikologi 3 3,5 3,5 61,2

Sains 1 1,2 1,2 62,4

Seni Murni 1 1,2 1,2 63,5

Sistem Informasi 4 4,7 4,7 68,2

Teknik 1 1,2 1,2 69,4


(2)

123

Teknik Geologi 1 1,2 1,2 72,9

Teknik Industri 2 2,4 2,4 75,3

Teknik Informatika 10 11,8 11,8 87,1

Teknik Kimia 1 1,2 1,2 88,2

Teknik Lingkungan 1 1,2 1,2 89,4

Teknik Mesin 2 2,4 2,4 91,8

Teknik Nuklir 1 1,2 1,2 92,9

Teknik Penerbangan 1 1,2 1,2 94,1

Teknik Pertanian 1 1,2 1,2 95,3

Teknik Planologi 1 1,2 1,2 96,5

Teknik Sipil 3 3,5 3,5 100,0

Total 85 100,0 100,0

Semester

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1,00 12 14,1 14,1 14,1

3,00 16 18,8 18,8 32,9

5,00 25 29,4 29,4 62,4

7,00 21 24,7 24,7 87,1

9,00 6 7,1 7,1 94,1

11,00 3 3,5 3,5 97,6

13,00 2 2,4 2,4 100,0

Total 85 100,0 100,0

Daerah_Asal

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Bengkalis 17 20,0 20,0 20,0

Dumai 17 20,0 20,0 40,0

Kuansing 17 20,0 20,0 60,0

Pekanbaru 17 20,0 20,0 80,0

Siak 17 20,0 20,0 100,0


(3)

124

Lampiran 8. Hasil Analisis Deskriptif

Analisis Descriptives

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Penyesuaian_diri 85 76,00 127,00 108,0118 11,62151 Keterbukaan_diri 85 59,00 91,00 70,0588 6,06385 Valid N (listwise) 85


(4)

125

Lampiran 9. Hasil Uji Normalitas

HASIL UJI NORMALITAS

NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Penyesuaian_diri Keterbukaan_diri

N 85 85

Normal Parametersa,b Mean 108,0118 70,0588

Std. Deviation 11,62151 6,06385 Most Extreme Differences Absolute ,070 ,092

Positive ,051 ,092

Negative -,070 -,056

Test Statistic ,070 ,092

Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d ,074c

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

c. Lilliefors Significance Correction.


(5)

126

Lampiran 10. Hasil Uji Linearitas

HASIL UJI LINEARITAS

Means

Case Processing Summary

Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

Penyesuaian_diri *

Keterbukaan_diri 85 100,0% 0 0,0% 85 100,0%

ANOVA Table

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

Penyesuaian_diri * Keterbukaan_diri

Between Groups

(Combined) 4053,517 23 176,240 1,474 ,116

Linearity 806,130 1 806,130 6,744 ,012

Deviation from

Linearity 3247,387 22 147,608 1,235 ,254

Within Groups 7291,471 61 119,532

Total 11344,988 84

Measures of Association

R R Squared Eta Eta Squared

Penyesuaian_diri *


(6)

127

Lampiran 11. Hasil Uji Hipotesis

HASIL UJI HIPOTESIS

Correlations

Correlations

Penyesuaian_diri Keterbukaan_diri

Penyesuaian_diri Pearson Correlation 1 ,267

Sig. (2-tailed) ,014

N 85 85

Keterbukaan_diri Pearson Correlation ,267 1

Sig. (2-tailed) ,014