KORELASI TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DAN POLA ASUH TERHADAP KEMANDIRIAN ANAK DALAM KELUARGA.

(1)

i

KORELASI TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DAN POLA ASUH TERHADAP KEMANDIRIAN ANAK DALAM KELUARGA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Emi Susanti NIM 12102241029

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv MOTTO

“Dan Tuhanmu berfirman, „Berdoalah Kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu”

(Terjemahan QS. Gofir [40]: 60)

Anak merupakan cerminan dari orang tua


(5)

v

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada ALLAH SWT, karya sederhana ini saya persembahkan untuk:

Ayahanda Solekha dan Ibunda Wailah yang sangat kusayangi, kuhormati

dan kubanggakan. Beliau yang selalu mencurahkan kasih sayang, memanjatkan do’a-do’a mulia dengan tulus ikhlas

Almamater Pendidikan Luar Sekolah FIP UNY


(6)

vi

KORELASI TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DAN POLA ASUH TERHADAP KEMANDIRIAN ANAK DALAM KELUARGA

Oleh Emi Susanti NIM 12102241029

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan orang tua dan pola asuh terhadap kemandirian anak dalam keluarga yang dilakukan di dua PAUD yaitu PAUD “Roemah Kita” dan “Indrya Paramartha” di Sleman Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan penelitian korelasi dengan pendekatan kuantitatif desain korelasional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa di PAUD “Roemah Kita” dan “Indrya Paramartha” di Sleman Yogyakarta. Subyek penelitian ini adalah siswa yang berumur 3-6 tahun dengan membagikan kuesioner ke orang tua di PAUD “Roemah Kita” dan “Indrya Paramartha” di Sleman Yogyakarta yang berjumlah 85 siswa. Instrumen yang digunakan adalah instrumen non tes. Validitas yang digunakan adalah validitas kriteria, validitas butir instrumen diuji dengan menggunakan analisis faktor, sedangkan untuk reliabilitas instrumen diuji menggunakan rumus Alpha. Untuk analisis data menggunakan chi square dan korelasi spearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan orang tua baik orang tua yang berpendidikan SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi cenderung menggunakan pola asuh demokratif. Terdapat korelasi antara tingkat pendidikan orang tua dengan pola asuh akan tetapi hubungannya lemah. Hal ini ditunjukkan pada hasil analisis korelasi spearman sig sebesar 0,035 < 0,05 dan harga koefisien korelasi sebesar 0,229 hal ini berarti bahwa sumbangan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh sebesar 22,9%. Tingkat pendidikan orang tua tidak berkorelasi dengan kemandirian anak dalam keluarga. Hal ini ditunjukkan dengan sig sebesar 0,668 > 0,05. Pola asuh demokratif juga belum mewarnai kemandirian anak. Pola asuh tidak berkorelasi dengan kemandirian anak dalam keluarga. Hal ini ditunjukkan pada hasil analisis chi square crosstabulation dan analisis korelasi spearman dengan nilai sig sebesar 0,165 > 0,05.


(7)

(8)

(9)

ix DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ...i

PERSETUJUAN ...ii

SURAT PERNYATAAN ...iii

PENGESAHAN ...iv

MOTTO ...v

PERSEMBAHAN ...vi

ABSTRAK ...vii

KATA PENGANTAR ...viii

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR TABEL ...xii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Batasan Masalah ... 11

D. Rumusan Masalah ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 11

F. Manfaat Penelitian ... 12

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Teori ... 14

1. Definisi Tingkat Pendidikan ... 14

2. Definisi Kemandirian ... 17

a. Ciri-Ciri Kemandirian Anak Usia Dini ... 21

b. Faktor-Faktor Yang Mendorong Terbentuknya Kemandirian ... 25

3. Definisi Anak Usia Dini ... 31


(10)

x

b. Karakter Perkembangan Anak Usia 3-6 Tahun ... 35

4. Definisi Pola Asuh ... 42

a. Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua ... 44

5. Definisi Keluarga ... 48

a. Peranan Keluarga ... 48

b. Fungsi Keluarga ... 49

B. Kerangka Berpikir ... 53

C. Penelitian Relevan ... 56

D. Hipotesis ... 58

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 60

B. Variabel Penelitian ... 60

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 61

D. Populasi ... 62

E. Teknik Pengumpulan Data ... 63

F. Instrumen Penelitian ... 64

G. Uji Coba Instrumen Penelitian ... 65

1. Uji Validitas ... 65

2. Uji Reliabilitas ... 66

H. Teknik Analisis Data ... 67

1. Uji Prasyarat Analisis ... 67

2. Uji Hipotesis ... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 71

B. Persyaratan Analisis ... 74

C. Pengujian Hipotesis ... 76


(11)

xi BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(12)

xii

Daftar Gambar

hal Gambar 1. Model hubungan antar variabel ... 56 Gambar 14. Ringkasan hasil penelitian ... 81


(13)

xiii Daftar Tabel

hal Tabel 1. Perkembangan tinggi dan berat badan pada anak usia 3-6 tahun (Nelaon,

W.E.et.al) ... 36

Tabel 2. Perkembangan anak usia 4-6 tahun (kombinasi antara Milestone dan Gesell dan Matruda ... 37

Tabel 3. Perbedaan karakter emosi ... 40

Tabel 4. Jumlah Peserta Didik di PAUD ... 62

Tabel 5. Skor alternatif jawaban ... 64

Tabel 6. Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien Korelasi 67 Tabel 7. Persentase Data Tingkat Pendidikan Orang Tua... 72

Tabel 8. Kecenderungan Pola Asuh ... 73

Tabel 9. Ringkasan Hasil Uji Normalitas ... 74

Tabel 10. Ringkasan Hasil Uji Linearitas ... 75

Tabel 11. Ringkasan Hasil Chi Square antara X1 dengan X2 ... 76

Tabel 12. Uji Korelasi Spearman tingkat pendidikan orang tua dan pola asuh .... 77

Tabel 13. Kecenderungan tingkat pendidikan terhadap kemandirian anak ... 78

Tabel 14 Uji korelasi spearman tingkat pendidikan orang tua dan kemandirian anak ... 79

Tabel 15. Kecenderungan pola asuh dengan kemandirian anak dalam keluarga 80 Tabel 16. Uji korelasi spearman antara pola asuh dengan kemandirian anak .... 81


(14)

xiv

Daftar Lampiran

hal

Lampiran 1. Tabel kisi-kisi instrumen ... 94

Lampiran 2. Angket penelitian ... 97

Lampiran 3. Tabulasi data pola asuh demokrasi ... 104

Lampiran 4. Tabulasi data pola asuh otoriter ... 107

Lampiran 5. Tabulasi data pola asuh permisif ... 111

Lampiran 6. Uji Reliabiitas dan Analisi Faktor Pola asuh dan kemandirian anak ... 114

Lampiran 7. Uji normalitas ... 116

Lampiran 8. Uji linearitas ... 117

Lampiran 9. Uji chi square tingkat pendidikan dengan kemandirian ... 118

Lampiran 10. Uji Chi Square Tingkat Pendidikan dengan Pola Asuh ... 119

Lampiran 11. Uji Chi Square ... 120

Lampiran 12. Tabel kecenderungan pola asuh ... 121

Lampiran 13. Uji korelasi spearman pola asuh dengan kemandirian anak ... 121

Lampiran 14. Uji korelasi spearman tingkat pendidikan dengan pola asuh ... 122

Lampiran 15. Uji korelasi spearman tingkat pendidikan orang tua dengan kemandirian anak ... 122

Lampiran 16. Tabel anak yang mandiri dan tidak mandiri dan tidak mandiri ... 123


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan buah cinta dari orang tua yang dengan adanya anak maka orang tua mempunyai keinginan dan harapan yang besar kepada anak atau buah hati untuk bisa melanjutkan dan meneruskan cita-cita dari para orang tua, sehingga anak adalah investasi masa depan bagi orang tua, anak sebagai pelanjut keturunan yang disebabkan oleh naluri (insting) makhluk manusia untuk melanjutkan keberadaan dan anak akan meneruskan atau menggantikan cita-cita dan ide-ide dari orang tua. Anak adalah orang terdekat dengan orang tua sehingga dapat mewarisi pandangan-pandangan dan ide-ide atau cita-cita orang tua. Sehingga orang tua akan melakukan suatu usaha untuk memberikan yang terbaik untuk anak dengan fasilitas yang menunjang tumbuh kembangnya anak baik secara materi atau fisik. Salah satu fasilitas tersebut adalah pendidikan, mereka akan memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya, bagi orang tua pendidikan adalah yang utama sehingga mereka memilihkan sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang favorit yang paling bagus untuk anaknya.

Menurut Fatchul Mu‟in (2013:372), “memberi makanan materi saja tentunya tidak cukup karena mereka hanya akan menjadi manusia yang hanya diatur oleh materi dan tidak dapat memahami bagaimana ide atau pandangan itu hendak diwujudkan dalam kehidupannya, biasanya orang tua semacam itu adalah mereka para pemikir dan intelektual, filsuf dan lain-lain”.


(16)

2

Para orang tua yang mempunyai pemikiran dan ide-ide untuk masa yang akan datang dan mereka mempunyai pemikiran bagaimana cara untuk mengembangkan dan merealisasikan ide tersebut sehingga bisa diturunkan kepada anak. Para orang tua tersebut adalah orang tua yang berpikir dan intelektual karena cara pandang mereka yang maju juga akan ditularkan kepada anak-anak mereka. Anak-anak dan cucu mereka juga akan mewarisinya meskipun tidak sepenuhnya atau tidak sehebat pemikiran orang tua itu.

Pada dasarnya para orang tua menginginkan anaknya tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, cerdas, terampil serta mereka mempunyai harapan-harapan yang baik untuk anak-anaknya. Setiap orang tua berkeinginan untuk mendidik anaknya secara baik dan berhasil. Sejak dari bayi anak sudah dididik dengan cara yang baik dan benar, dihindarkan dari kesalahan baik dari kesalahan dari orang tua atau keluarga ataupun dari lingkungan sekitar dimana anak tinggal.

Menurut Ahmad Tama (Medanbisnisdayli.com/2014/11/11), terkadang orang tua terlalu sibuk dengan aktivitasnya, sehingga anak kurang dapat perhatian yang lebih dari orang tua masing-masing. Karena orang tua sekarang kebanyakan hanya sibuk mencari uang biar bisa memberikan pendidikan yang terbaik pada anak. Orang tua mencoba sebisa mungkin untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka untuk memperoleh segala hal yang terbaik dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Usaha pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan para orang tua memaksakan diri untuk bekerja keras sehingga menyita banyak waktu kebersamaan antara para orang tua dan anak.


(17)

3

Kesibukan orang tua menjadi penyebab utama kurangnya komunikasi di keluarga. Seharusnya orang tua dapat dan harus meluangkan waktunya untuk bercengkerama dengan anaknya, atau lebih ingin tahu tentang apa yang dilakukan anak di sekolah (Medanbisnisdayli.com/2014/11/11). Hal tersebut menyebabkan timbulnya rasa tidak bahagia karena para orang tua jarang bertemu dengan anak-anak mereka, orang tua yang jarang ada waktu untuk anak-anak pada saat di rumah dapat menimbulkan kesenjangan antara orang tua dan anak.

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang di dalamnya terdapat beberapa orang yang disebut dengan anggota keluarga yaitu terdiri dari orang tua dan anak bahkan ada juga nenek dan kakek. Keluarga terbentuk dengan adanya ikatan perkawinan. Keluarga termasuk dalam pendidikan informal karena dalam keluarga proses pendidikan akan diberikan untuk pertama kalinya kepada anak baik pendidikan karakter, bahasa, berinteraksi dengan sesama anggota keluarga.

Menurut Sarumpaet ( 1990:35), bahwa “pendidikan yang mula-mula sekali kepada anak-anak harus diutamakan, pelajaran-pelajaran yang dipelajari oleh anak itu selama tujuh tahun pertama dalam kehidupannya lebih banyak sangkut pautnya dengan pembentukan tabiatnya daripada segala perkara yang dipelajarinya pada tahun-tahun seterusnya”- Child Guidance halaman 193. E.G.White dalam bukunya R.I. Sarumpaet ( Rahasia Menjemput Anak, 1990:35), “di rumah tanggalah pendidikan anak harus dimulai, disinilah sekolah yang mula-mula, disinilah dengan orang tuanya sebagai pengajarnya, ia harus memahami pelajaran yang hendaknya menuntun dia seumur hidupnya, pelajaran tentang


(18)

4

penghargaan, penurutan, penghormatan, pengendalian diri”. Menurut Suhartin (1990:8), bahwa “pendidikan dalam keluarga merupakan dasar, seperti juga dalam membuat rumah, apabila dasar atau fondasinya kurang kuat, rumah itu akan mudah rubuh atau tidak terwujud”. Demikian halnya dalam mendidik anak apabila fondasinya kurang kuat akan berakibat fatal, apabila anak sudah besar nanti. Anak akan belajar banyak hal yang terkait dengan bahasa, interaksi bahkan karakter di dalam keluarga. Pendidikan yang dilakukan di dalam keluarga disebut dengan pendidikan keluarga yang dilakukan oleh orang tua, dibantu orang-orang dewasa yang lain yang berada atau tinggal di dalam satu rumah. Pendidikan yang dilakukan dalam keluarga itu sangat penting untuk anak sebelum memasuki dunia sekolah dan sebelum anak berada di masyarakat.

Menurut Collete Dowling, seorang psikolog mengatakan, “kebebasan dan kemandirian tidak bisa diminta dari orang lain, tapi harus dikembangkan dengan susah payah dari dalam diri sendiri. Kemandirian merupakan suatu kondisi mental yang penting (Fatchul Mu‟in, 2013:385), “dengan adanya kemandirian manusia akan merasa bahwa dirinya bertangung jawab terhadap dirinya dan memahami bahwa untuk mendapatkan sesuatu dibutuhkan proses”.

Kemandirian adalah karakter yang penting bagi anak, kemandirian akan membuat anak menjadi siap dalam melakukan semua kegiatannya sendiri sehingga ketika mereka akan melakukan kegiatan tersebut mereka melakukan tanpa bantuan orang lain, merasa percaya diri, dan kuat ketika anak sudah menginjak dewasa. Tidak adanya sikap atau karakter mandiri tersebut dipengaruhi beberapa faktor diantaranya anak tidak diajarkan karakter kemandirian dari kecil


(19)

5

oleh orang tua, anak selalu diberikan fasilitas-fasilitas yang membuat anak menjadi malas untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas di dalam keluarga, melihat perilaku orang tua di dalam keluarga tersebut sehingga anak mencontoh perilaku dari orang tua.

Menurut Charles Schaefer dalam bukunya Maria Etty yang berjudul Menyiapkan Masa Depan Anak (2003:62) mengungkapkan kesanggupan menjadi manusia mandiri sesungguhnya merupakan upaya selama bertahun-tahun. “Pemberian kebebasan yang lebih besar pada anak harus merupakan proses yang bertahap dan berkesinambungan”. Kutipan tersebut mengungkapkan bahwa untuk menanamkan kemandirian pada anak itu dilakukan melalui proses yang sangat lama dan tidak hanya cukup satu kali atau dua kali saja tetapi dilakukan secara terus menerus dan bertahap. Semakin bertambah umur anak tersebut menyebabkan perilaku ketergantungan anak akan semakin berkurang, misalnya anak yang sudah memasuki sekolah dasar (SD) sikap ketergantungan anak sudah berkurang contohnya dalam hal mandi. Anak yang sudah memasuki SD sudah bisa mandi sendiri dan tidak didampingi oleh ibunya. Contoh lainnya dalam hal makan anak SD sudah bisa makan sendiri bahkan mengambil makanan sendiri sudah tidak minta untuk diambilkan makan dan minta disuapi oleh ibunya. Hal tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan anak pada saat TK, pada masa usia TK anak masih banyak bergantung pada orang tua, baik saat mandi anak masih dimandikan oleh ibu, dan saat makan anak masih disuapi dan diambilkan makanannya.


(20)

6

Maria Etty (2003:62), mengungkapkan “untuk mempertinggi derajat kemandirian seorang anak memang membutuhkan waktu, semakin bertambahnya usia seorang anak, semakin bertambahnya pula kebebasan yang ia butuhkan, dalam hal ini orang tua perlu menyadari situasi anak: berapa usianya serta berapa tingkat kematangannya”.

Para orang tua sudah tidak pantas lagi mengatur anak yang sudah SMA misal dalam hal berpakaian seperti mengatur anak SD. Apabila hal tersebut terjadi maka akan menyebabkan anak menjadi kurang mandiri, itu hanya contoh dalam hal memakai pakaian atau berpakaian belum dalam hal yang lainnya.

Menurut Annisa Mardiana (2014), dalam skripsinya yang berjudul “Hubungan Pelaksanaan Kemandirian Anak Dalam Keluarga Dengan Pelaksanaan Kemandirian Anak Di Sekolah Kelompok A Paud Pertiwi 1 Kota Bengkulu” bahwa mengembangkan perilaku kemandirian pada anak harus dimulai dari lingkungan rumah, peran orang tua dalam mendidik anak sangat penting bagi pengembangan kemandirian anak karena orang tua sosok pribadi yang akan ditiru anak, orangtua lah yang akan menjadi model dalam menuju pembentukan karakter anak”.

Maksudnya, orang tua adalah model atau figur yang akan dicontoh oleh anak dalam hal apapun itu, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua selama di keluarga akan dilihat dan hal tersebut akan ditiru oleh anak bahkan anak akan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tuanya di rumah akan dibawa anak sampai ke sekolah atau di luar rumah.

Menurut Maria Etty (2003:63), “Demi kemandirian anak, para orang tua harus bersikap bijaksana, usahakan para orang tua jangan terlalu melindungi anak secara berlebihan karena hal itu akan membuat anak kurang bahkan tidak berani bertindak sendiri, anak cenderung akan melihat banyak hal berdasarkan kaca mata orang tuanya saja”


(21)

7

Schaefer dalam bukunya Maria Etty (Menyiapkan Masa Depan Anak, 2003:63), menyebutkan “pentingnya menggunakan hukum struktur yang berkurang dalam hal pendidikan anak”. Artinya semakin bertambah umur seorang anak, maka para orang tua sudah harus mengurangi aturan-aturan yang diwajibkan dan batasan-batasan yang harus dilakukan pada anak. Anak akan senang jika orang tua sudah tidak lagi membatasi gerak pada anak karena anak akan merasa dipercaya oleh orang tua. Anak perlu diberikan sedikit kebebasan dari orang tua mulai dari mandi sendiri, makan sendiri, tidur sendiri berpergian jauh sendiri tanpa dampingan orang tua.

Menurut seorang pakar psikoanalisa, Alfred Adler dalam bukunya Maria Etty (Menyiapkan Masa Depan Anak, 2003:63), “sebenarnya manusia lahir dengan perasaan kecil atau inferior”. Pengembangan kemandirian pada anak diawali dari dalam keluarga khususnya di rumah maka peran orang tua sangat penting dalam pendidikan dalam keluarga atau informal. Salah satu peran orang tua adalah memberikan pendidikan atau mengembangkan perilaku kemandirian anak dalam keluarga karena orang tua adalah sosok atau pribadi yang akan ditiru oleh anak. Orang tua akan dijadikan model oleh anak, sebagian besar orang tua menyuruh anak-anaknya untuk menuruti semua perintah dari orang tuanya tanpa para orang tua memberikan contoh terlebih dahulu kepada anak dan para orang tua tidak menyadari bahwa anak akan melihat semua yang dilakukan oleh orang tua dan meniru apapun hal yang dilakukan oleh orang tuanya. Penanaman kemandirian dan pengembangan kemandirian anak dalam keluarga juga didasarkan pada pola asuh dari orang tua. Pola asuh tersebut dipengaruhi oleh


(22)

8

orang tua dimana antara orang tua yang satu dengan yang lainnya akan berbeda dalam mendidik anak di keluarga karena hal ini juga dipengaruhi oleh pengetahuan orang tua terkait dengan pola asuh anak yang ditanamkan dalam keluarga orang tua tersebut.

Menurut Sugihartono ( 2013:31), “Pola asuh adalah pola perilaku yang digunakan untuk berhubungan dengan anak-anak. Pola asuh ini terdapat tiga macam pola asuh orang tua, yaitu otoriter, permisif, dan autoritatif. Pola asuh otoriter adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orang tua kepada anak untuk mendapatkan ketaatan atau kepatuhan. Orang tua bersikap tegas, suka menghukum, dan cenderung mengekang keinginan anak. Hal ini dapat menyebabkan anak kurang inisiatif, cenderung ragu, dan mudah gugup. Oleh karena sering mendapat hukuman anak menjadi tidak disiplin dan nakal. Pola asuh permisif merupakan bentuk pengasuhan dimana orang tua memberi kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya, anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua. Sementara itu pola asuh autoritatif bercirikan adanya hak dan kewajiban orang tua dan anak adalah sama dalam arti saling melengkapi, anak dilatih untuk bertanggung jawab, dan menentukan perilakunya sendiri agar dapat berdisiplin”.

Beberapa jenis pola asuh orang tua kepada anak diterapkan oleh orang tua sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan para orang tua dan tingkat pendidikan orang tua. Salah satu faktor dalam mendidik dan memberikan pola asuh pada anak salah satunya yaitu latar belakang pendidikan orang tua. Tingkat pendidikan orang tua akan memberikan pola pikir dan orientasi


(23)

9

pendidikan yang akan diberikan kepada anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua akan mempengaruhi pola pikir mereka dalam mendidik dan memberikan pengasuhan kepada anak-anak mereka.

Bertambah usia seorang anak akan menyebabkan berkurangnya pembatasan-pembatasan terhadap diri anak. Menurut Maria Etty (2003:62), “Mendidik anak sesungguhnya menghantar mereka menjadi pribadi yang mandiri. Akan tetapi masih ada sebagian para orang tua yang tidak bisa membaca atau buta huruf, yang cenderung mendidik anak secara naluriah dan tradisional.

Pola asuh orang tua yang ditanamkan dalam keluarga sangat penting dalam membekali perilaku anak yang akan dibawa ketika anak dewasa dan memasuki dunia di mana anak tidak akan selalu didampingi oleh orang tua. Anak akan menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapinya setelah dewasa tanpa bantuan orang tua sehingga hal tersebut akan memperlihatkan perbedaan antara anak yang tidak diajarkan kemandirian dalam keluarga dengan anak yang diajarkan tentang kemandirian dalam keluarga. Pada kenyataannya di zaman modern seperti sekarang banyak orang tua yang sibuk dengan urusan ataupun pekerjaan sehingga para orang tua meninggalkan anak-anaknya di rumah dengan diberikan fasilitas yang ada di rumah seperti gadget, televisi, PSP, komputer dan lain-lain tanpa memberikan pendidikan untuk anak-anak dan menanamkan kemandirian di dalam keluarga atau di rumah. Para orang tua lebih memanjakan anak-anaknya secara berlebihan dan tidak memberikan anak tanggung jawab dengan perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut. Anak yang sudah berumur 10 tahun banyak dijumpai masih manja terhadap orang tuanya dengan


(24)

10

minta diambilkan makanan pada saat makan, minta disuapi oleh orang tua pada waktu makan, bahkan pada saat tidur masih tidur bersama orang tua. Hal ini terjadi karena anak tidak dibiasakan untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan atau kebutuhan anak secara mandiri dari sejak kecil, kebiasaan ini bisa saja akan berlanjut sampai nanti anak sudah dewasa.

Keadaan seperti di atas menunjukkan bahwa kemandirian anak dalam keluarga sangat penting dan peran orang tua dalam proses menanamkan kemandirian anak sangat dibutuhkan. Anak-anak pada saat ini masih ada yang belum memiliki kemandirian dalam melakukan kegiatan di dalam keluarga, seperti dalam hal membereskan kamar tidur, dalam hal membantu orang tua dalam merapikan dan membersihkan rumah, dalam hal makan dan mandi semua hal tersebut masih diperintah oleh orang tua padahal tersebut tanpa sadar merupakan kepentingan mereka.

Berdasarkan latar belakang di atas serta melihat permasalahan yang ada maka penulis ingin mengangkat masalah-masalah tersebut ke dalam skripsi yang berjudul “ Korelasi Tingkat Pendidikan Orang Tua Dan Pola Asuh Terhadap Kemandirian Anak Dalam Keluarga”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka dapat diidentifikasikan masalah seperti berikut :

1. Para orang tua yang hanya memperhatikan kebutuhan fisik atau materi untuk perkembangan dan kebutuhan anaknya.


(25)

11

2. Orang tua yang tidak memberikan contoh ataupun model yang baik dalam berperilaku di lingkungan keluarga.

3. Masih ada sebagian para orang tua yang buta huruf atau tidak bisa membaca sehingga mendidik anak dengan cara tradisional atau naluriah.

4. Masih ada sebagian para orang tua yang tidak mengajarkan kemandirian anak di dalam keluarga dari sejak usia dini.

C. Batasan Masalah

Mengingat keterbatasan kemampuan peneliti, maka peneliti membatasi permasalahan ini sebagai berikut:

1. Ada atau tidak hubungan antara tingkat pendidikan dengan pola asuh orang tua.

2. Ada atau tidak hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan kemandirian anak dalam keluarga.

3. Ada atau tidak hubungan antara pola asuh dengan kemandirian anak dalam keluarga.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan pola asuh orang tua?


(26)

12

2. Apakah ada hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan kemandirian anak?

3. Apakah ada hubungan antara pola asuh dengan kemandirian anak? 4. Apakah ada kecenderungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan

pola asuh orang tua?

5. Apakah ada kecenderungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan kemandirian anak dalam keluarga?

6. Apakah ada kecenderungan antara pola asuh dengan kemandirian anak dalam keluarga?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan pola asuh. 2. Mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kemandirian anak. 3. Mengetahui hubungan pola asuh denga kemandirian anak.

4. Mengetahui kecenderungan tingkat pendidikan orang tua dengan pola asuh.

5. Mengetahui kecenderungan tingkat pendidikan orang tua dengan kemandirian anak dalam keluarga.

6. Mengetahui kecenderungan pola asuh dengan kemandirian anak dalam keluarga.


(27)

13 F. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis:

1. Secara teoritis: hasil temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan teori tentang pengaruh tingkat pendidikan orang tua dan pola asuh terhadap kemandirian anak dalam keluarga. Selain itu diharapkan juga hasil penelitian ini dapat menambah referensi ilmiah.

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

a. Orang tua: untuk memberikan kesadaran kepada orang tua bahwa melatih atau menanamkan kemandirian anak di dalam keluarga sangat penting agar anak bisa memiliki perilaku kemandirian yang tinggi, baik di dalam keluarga maupun di lingkungan sosial.

b. Peneliti: untuk menambah wawasan peneliti, khususnya dibidang kemandirian anak dalam keluarga dan untuk mengetahui upaya atau usaha apa yang dilakukan oleh orang tua dalam menanamkan atau pun melatih perilaku kemandirian anak dalam keluarga.


(28)

14 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Tingkat Pendidikan a. Pengertian Tingkat

Tingkat adalah jenjang, strata atau tata urut (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996:856). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:1197), Tingkat adalah susunan yang berlapis-lapis, tinggi rendah martabat kedudukan, jabatan, kemajuan, peradaban, pangkat, derajat, kelas.

Tingkat adalah tinggi rendah martabat (kedudukan, jabatan, kemajuan, peradaban, pangkat, derajat, taraf, kelas).

b. Pengertian Pendidikan

Menurut Dwi Siswoyo (2013:45), “secara historis, pendidikan dalam arti luas telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada di muka bumi ini”. Pendidikan dilakukan pada awal manusia sudah berada di dunia atau bumi, dan penyelenggaraan pendidikan tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman dan ide-ide baru dari manusia.

Menurut George F.Kneller dalam Dwi Siswoyo (2013:47), “pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan dalam arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam artinya yang luas pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical ability) individu”.

Pendidikan dalam artian ini berlangsung terus (seumur hidup). Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses di mana masyarakat, melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lain), dengan


(29)

15

sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, dan generasi ke generasi.

Peneliti setuju dengan pendapat di atas, bahwa pendidikan itu dilaksanakan secara terus menerus atau sepanjang hayat dimulai dari dalam kandungan sampai meninggal karena pendidikan dalam hal ini kaitannya dengan menumbuh kembangkan jiwa, karakter, dan kemampuan fisik yang dalam hal ini harus dilakukan secara keberlanjutan atau secara terus menerus, dan pendidikan secara teknis yang dilakukan dalam bangku sekolah secara formal sesuai dengan sistematika dari pemerintah atau sesuai dengan peraturan yang sudah dibuat atau disepakati sebelumnya.

Menurut Ki Hajar Dewantara (1977:20), yang dinamakan pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya.

Pendidikan mengembangkan semua bakat yang sudah dipunyai anak agar lebih berkembang dan kelak bisa bermanfaat untuk kehidupan anak tersebut baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat sekitar di mana anak tersebut berada.

Selanjutnya menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,


(30)

16

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut Redja Mudyahardjo (2012:3-6), “pendidikan dalam arti luas adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup, sedangkan pendidikan dalam arti sempit adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal”.

Pendidikan di sini memiliki pengertian dalam hal sempit dan luas, yang keduanya memiliki pengertian bahwa pendidikan adalah suatu pengajaran baik dilakukan di dalam lembaga formal maupun non formal yang mana memiliki tujuan sama yaitu untuk mengarahkan agar mempunyai kemampuan dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan sosial mereka.

Menurut M.Noor Syam,dkk (1981:83), education is the process by which the individual is taught loyality and conformity by which the human mind is disciplined and developed. Pendidikan adalah proses dengan mana individu diajar bersikap setia dan taat dengan mana pikiran manusia ditera dan dibina. Pengertian pendidikan disini bahwa suatu proses di mana manusia itu diberikan suatu pengajaran sikap-sikap yang diinginkan dengan memberikan pembinaan sikap mental dengan cara dilatih terutama sikap seperti di atas nilai sikap kesetiaan dan ketaatan.

Fullan (1982:288) dalam bukunya Syukri Hamzah (2013:13), “pendidikan mempunyai arti yang sangat penting dalam proses pembentukan diri seseorang yang menyangkut aspek kognitif berupa kemampuan akademik dan kemampuan memecahkan masalah”. Pengertian pendidikan di sini yaitu proses di mana


(31)

17

manusia itu sendiri dikembangkan dari beberapa aspek baik pribadi dan sosial yang hal tersebut akan digunakan untuk kehidupannya kelak di dalam masyarakat. Dari beberapa pengertian pendidikan menurut para ahli di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah kegiatan secara sadar dalam proses belajar dan pembelajaran untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik dan menjadikan manusia menjadi manusia seutuhnya yaitu yang berkepribadian dan terjadinya perubahan yang positif dalam diri individu peserta didik yang berlangsung secara terus menerus. Jadi, tingkat pendidikan adalah jenjang atau tahapan yang sudah ditempuh oleh orang tua peserta didik, yaitu jenjang pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA, Perguruan tinggi maupun nonformal.

2. Kemandirian

a. Pengertian Kemandirian

Menurut Akhmad Muhaimin Azzeti (2013:72), menyatakan hal yang sangat penting dalam tugas dan tanggung jawab pendidikan adalah mengembangkan kemampuan anak didik agar bisa belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Inilah karakter yang mesti dibangun apabila menghendaki generasi yang mandiri sehingga lebih mudah dalam menggapai keberhasilan, baik bagi kehidupannya sendiri maupun dalam lingkup bangsa. Sungguh, karakter bisa belajar secara mandiri seperti ini sangat dibutuhkan, apalagi persaingan kehidupan di masa mendatang semakin ketat. Hanya orang-orang berkarakter mandirilah yang akan memperoleh keberhasilan.


(32)

18

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mandiri diartikan sebagai keadaan yang dapat menjadikan individu berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang lain. Mandiri di sini anak bisa berdiri sendiri artinya anak bisa melakukan semua aktivitas atau kegiatan yang berkaitan untuk dirinya dilakukan secara individu atau sendiri tanpa anak bergantung pada orang lain baik teman, orang tua ataupun guru di sekolah.

Menurut Akhmad Muhaimin Azzeti (2013: 91-92), menjelaskan bahwa karakter yang perlu dikembangkan pada diri anak adalah kemampuan untuk mandiri. Karakter bisa mandiri adalah kemampuan seseorang yang tidak mudah tergantung kepada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapinya. Orang yang mempunyai karakter mandiri tidak mudah menyerah ketika menghadapi pekerjaan yang sulit, apalagi segera minta bantuan kepada orang lain. Kemampuan untuk bisa mandiri ini sangat penting untuk dikembangkan pada diri anak didik. Apalagi, dalam menghadapi zaman dengan persoalan hidup yang akan lebih pelik dan persaingan terjadi di segala lini kehidupan dibandingkan pada masa terdahulu.

Menurut Novan Ardy W (2013:25) kemandirian anak usia dini adalah karakter yang dapat menjadikan anak yang berusia 0-6 tahun dapat berdiri sendiri, tidak bergantung dengan orang lain, khususnya orang tua. Menurut Alex Sobur (1986:78) mengatakan bahwa kemandirian dapat tumbuh jika orang tua mengarahkan anak-anaknya untuk dapat melakukan tugas dan kegiatannya sendiri atau berkelompok. Menurut Desmita (2012:185) kemandirian atau otonomi adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan


(33)

19

sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan.

Penulis setuju dengan pendapat di atas bahwa selaku orang tua apabila ingin anaknya memiliki sikap mandiri perlu membimbing dan mengarahkan anak-anaknya dalam melakukan aktivitas anak sehari-hari baik kegiatan individu maupun yang berkaitan dengan kegiatan kelompok.

Penjelasan Musthafa dan Syamsu dalam Novan Ardy (2013:29), dapat ditarik kesimpulan bahwa kemandirian yang akan dibentuk orang tua ataupun guru pada anak usia dini adalah kemandirian yang menjadikan anak usia dini:

a. Memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan. b. Berani memutuskan sesuatu atas pilihannya sendiri.

c. Bertanggung jawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya.

d. Memiliki rasa percaya diri. e. Mampu mengarahkan diri. f. Mampu mengembangkan diri.

g. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. h. Berani mengambil resiko atas pilihannya.

Upaya mendorong anak usia dini menuju ke kemandiriannya, orang tua dan guru perlu memberikan berbagai pilihan dan bila dimungkinkan sekaligus memberikan gambaran kemungkinan konsekuensi yang menyertai pilihan yang diambilnya. Dalam konteks lingkungan keluarga di rumah, orang tua diharapkan dapat lebih telaten dan sabar dengan cara memberikan berbagai pilihan dan membicarakannya secara seksama dengan anak-anak setiap kali mereka dihadapkan pada pembuatan keputusan-keputusan penting. Sementara itu, di lingkungan Taman Kanak-Kanak (TK), kemampuan anak usia dini perlu didengar dan diakomodasi oleh guru TK. Karakter mandiri yang dimiliki oleh anak usia


(34)

20

dini akan sangat bermanfaat bagi mereka dalam melakukan prosedur-prosedur keterampilan dan bergaul dengan orang lain.

Kemandirian anak usia dini dalam melakukan prosedur-prosedur keterampilan merupakan kemampuan untuk melakukan aktivitas sederhana sehari-hari, seperti makan tanpa harus disuapi, mampu memakai baju, mampu memakai kaos kaki, bisa buang air kecil/air besar sendiri, mampu memakai celana sendiri, dan dapat memilih bekal yang harus dibawa saat belajar di sekolah serta dapat merapikan mainannya sendiri. Sementara kemandirian anak usia dini dalam bergaul terwujud pada kemampuan mereka dalam memilih teman, keberanian mereka belajar di kelas tanpa ditemani orang tua, dan mau berbagi bekal/jajan kepada temannya saat bermain.

Menurut Robert Havighurst (1972) dalam bukunya Desmita (2012:186), membedakan kemandirian atas tiga bentuk kemandirian, yaitu:

a) Kemandirian emosi, yaitu kemampuan mengontrol emosi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi pada orang lain.

b) Kemandirian ekonomi, yaitu kemampuan mengatur ekonomi sendiri dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang lain.

c) Kemandirian intelektual, yaitu kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.

d) Kemandirian sosial, yaitu kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung pada aksi orang lain.

Dari beberapa pengertian dari ahli tentang kemandirian, disini dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah suatu sikap yang melakukan semua aktivitas atau kegiatannya dilakukan oleh diri sendiri baik dalam hal aktivitas di rumah ataupun


(35)

21

di sekolah dan dalam hal memilih apapun yang berkaitan untuk dirinya sendiri tanpa bantuan orang tua dan orang lain pada anak berusia 0-6 tahun.

b. Ciri-ciri Kemandirian Anak Usia Dini

Dalam konsep pendidikan nasional, kemandirian merupakan core value pendidikan nasional. Kemandirian akan mengantarkan anak memiliki kepercayaan diri dan motivasi intrinsik yang tinggi.

Menurut Kartono (2013:32), Kemandirian terdiri dari beberapa aspek, sebagai berikut:

a) Emosi yang ditunjukkan dengan kemampuan anak mengontrol dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua.

b) Ekonomi yang ditunjukkan dengan kemampuan anak mengatur dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi dari orang tua.

c) Intelektual yang ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, sosial yang ditunjukkan dengan kemampuan anak untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung dengan orang lain.

Dari ketiga aspek tersebut, bisa dikatakan bahwa kemandirian di sini bagaimana anak bisa menghadapi masalah yang dihadapinya dan bagaimana cara untuk menemukan solusinya.

Sementara itu, Kantor Kependudukan dan Lingkungan Hidup mengeluarkan rumusan mengenai komponen utama kemandirian dalam Novan Ardy ( 2013:32-33), antara lain:

(a) Bebas artinya bertindak atas kehendaknya sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.

(b) Berinisiatif artinya mampu berpikir dan bertindak secara rasional, kreatif, dan penuh inisiatif.


(36)

22

(d) Mampu mengendalikan diri dari dalam (internal locus of control).

(e) Memiliki kemantapan diri ( self esteem, self confidence). Berdasarkan aspek dan komponen kemandirian di atas, ciri-ciri kemandirian anak usia dini menurut Novan Ardy (2013:32-33) adalah sebagai berikut:

(1) Memiliki kepercayaan kepada diri sendiri.

Anak yang memiliki rasa percaya diri memiliki keberanian untuk melakukan sesuatu dan menentukan pilihan sesuai dengan kehendaknya sendiri dan bertanggung jawab terhadap konsekuensi yang dapat ditimbulkan karena pilihannya. Kepercayaan diri ini sangat terkait dengan kemandirian anak. (2) Memiliki motivasi instrinsik yang tinggi.

Motivasi instrinsik merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri untuk melakukan suatu perilaku maupun perbuatan. Motivasi instrinsik ini pada umumnya lebih kuat dan abadi dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik walaupun kedua jenis motivasi tersebut bisa juga berkurang dan bertambah. Motivasi yang datang dari dalam akan mampu menggerakkan anak untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya.

(3) Mampu dan berani menentukan pilihannya sendiri.

Anak yang berkarakter mandiri memiliki kemampuan dan keberanian dalam menentukan pilihannya sendiri. Contohnya, seperti memilih makanan yang akan dimakan, memilih baju yang


(37)

23

akan dipakai, dan dapat memilih mainan yang akan digunakan untuk bermain, serta dapat memilih mana sandal untuk kaki kanan dan mana sandal untuk kaki kiri.

(4) Kreatif dan inovatif.

Kreatif dan inovatif pada anak usia dini merupakan salah satu ciri anak yang memiliki karakter mandiri, seperti dalam melakukan sesuatu atas kehendak sendiri tanpa disuruh oleh orang lain, tidak bergantung terhadap orang lain dalam melakukan sesuatu, menyukai dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru.

(5) Bertanggung jawab menerima konsekuensi yang menyertai pilihannya.

Pada saat anak usia dini mengambil keputusan atau pilihan, tentu ada konsekuensi yang melekat pada pilihannya. Anak yang mandiri akan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya apapun yang terjadi. Tentu saja bagi anak usia dini tanggung jawab tersebut dilakukan dalam taraf yang wajar. Misalnya, tidak menangis ketika salah mengambil alat mainan, lalu dengan senang hati menggantinya dengan alat mainan lain yang diinginkannya.

(6) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Lingkungan KB maupun TK merupakan lingkungan yang baru bagi anak usia dini. Sering sekali kita menemukan dengan mudah


(38)

24

anak yang menangis ketika pertama kali masuk KB maupun TK. Bahkan, kebanyakan anak ditunggu oleh orang tuanya ketika sedang belajar di kelas. Bagi anak yang memiliki karakter mandiri, dia akan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan dapat belajar walaupun tidak ditunggui orang tuanya.

(7) Tidak bergantung pada orang lain.

Anak yang memiliki karakter mandiri selalu ingin mencoba sendiri dalam melakukan segala sesuatu, tidak bergantung kepada orang lain dan dia tahu kapan waktunya meminta bantuan orang lain. Setelah anak berusaha melakukannya sendiri tetapi tidak mampu untuk mendapatkannya, barulah dia akan meminta bantuan orang lain. Contohnya, seperti pada saat anak mengambil mainan yang jauh dari jangkauannya.

Penulis setuju dengan pendapat Novan Ardy Wiyani dalam bukunya Bina Karakter Anak bahwa anak yang memiliki sikap kemandirian harus berdasarkan atau mempunyai beberapa dari ciri-ciri kemandirian seperti di atas tersebut, semuanya harus dimiliki oleh seorang anak jika dikatakan sebagai anak yang mempunyai sikap mandiri.

Dari beberapa pendapat ahli di atas mengenai ciri-ciri kemandirian anak dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kemandirian anak usia dini adalah sebagai berikut:


(39)

25 (a) Kemampuan Fisik (b) Percaya Diri (c) Bertanggung jawab (d) Disiplin

(e) Pandai Bergaul

(f) Mengendalikan Emosi.

c. Faktor-Faktor Yang Mendorong Terbentuknya Kemandirian Anak Usia Dini

Menurut Novan (2013:35-41) Kemandirian merupakan salah satu karakter atau kepribadian seorang manusia yang tidak dapat berdiri sendiri. Kemandirian terkait dengan karakter percaya diri dan berani, anak yang percaya diri dan berani akan mudah dalam memilih dan mengambil keputusan dan bersedia menerima konsekuensinya yang telah dipilih. Karenanya, kepercayaan diri pada anak-anak perlu ditumbuh kembangkan sehingga terbentuk karakter kemandirian pada diri anak.

Pada anak mencapai usia dua sampai tiga tahun, tugas utama perkembangan anak adalah untuk mengembangkan kemandirian. Kebutuhan untuk mengembangkan kemandirian yang tidak terpenuhi pada usia sekitar dua sampai tiga tahun akan menimbulkan terhambatnya perkembangan kemandirian yang maksimal. Sementara itu, kemandirian baru akan tercapai secara penuh pada akhir masa remaja. Akan tetapi, kemandirian tersebut tidak akan pernah tercapai atau hanya akan tercapai sebagian jika perkembangan pada masa awal anak tidak


(40)

26

diberi dasar yang baik. Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba, melainkan perlu diajarkan kepada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak akan tahu bagaimana mereka harus membantu dirinya sendiri.

Anak-anak yang tidak dilatih untuk mandiri sejak dini mereka akan menjadi individu yang akan bergantung pada orang lain sampai dewasa nanti. Apabila kemampuan-kemampuan yang seharusnya sudah diajarkan kepada anak pada usia tertentu akan tetapi tidak diajarkan ataupun tidak dilatihkan kepada anak maka anak tersebut bisa dibilang belum mandiri.

Ada dua faktor yang mempengaruhi kemandirian anak yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar anak atau individu seperti lingkungan, sosial, karakter, stimulasi, pola asuh, cinta kasih sayang, kualitas informasi anak dan orang tua, pendidikan orang tua dan status pekerjaan ibu. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang muncul dari dalam diri individu atau anak seperti emosi dan intelektual. Berikut adalah deskripsi dari faktor-faktor yang mendorong timbulnya kemandirian anak.

1. Faktor Internal

Faktor internal ini terdiri dari dua kondisi, yaitu kondisi fisiologis dan kondisi psikologis.

a. Kondisi fisiologis

Kondisi fisiologis yang berpengaruh antara lain keadaan tubuh, kesehatan jasmani, dan jenis kelamin. Pada umumnya, anak yang sakit lebih bersikap tergantung pada orang yang tidak sakit. Lamanya anak sakit pada masa bayi menjadikan orang tua sangat memerhatikannya.


(41)

27

Jenis kelamin anak juga berpengaruh terhadap kemandiriannya. Pada anak perempuan terdapat dorongan untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, tetapi dengan statusnya sebagai anak perempuan, mereka agresif dan ekspensif, akibatnya anak perempuan berada lebih lama dalam ketergantungan daripada anak laki-laki.

b. Kondisi psikologis

Meskipun kecerdasan atau kemampuan berpikir seorang anak dapat diubah atau dikembangkan melalui lingkungan, sebagian ahli berpendapat bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap keberhasilan lingkungan dalam mengembangkan kecerdasan seorang anak. Pandangan yang demikian dalam perspektif ilmu pendidikan dikenal dengan paradigma nativisme. Sementara mereka yang berpandangan kecerdasan atau kemampuan berpikir seorang anak dipengaruhi oleh lingkungannya.

Lepas dari perbedaan pendapat di atas, bahwa kecerdasan atau kemampuan kognitif berpengaruh terhadap pencapaian kemandirian seorang anak. Hal ini disebabkan kemampuan bertindak dan mengambil keputusan yang dilakukan oleh seorang anak hanya mungkin dimiliki oleh anak yang mampu berpikir dengan seksama tentang tindakannya. 2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ini meliputi lingkungan, rasa cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak, pola asuh orang tua dalam keluarga, dan faktor pengalaman dalam kehidupan.


(42)

28 a. Lingkungan

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam pembentukan kemandirian anak usia dini. Lingkungan yang baik dapat menjadikan cepat tercapainya kemandirian anak. Kondisi lingkungan keluarga ini sangat berpengaruh dalam kemandirian anak. Pemberian stimulasi yang terarah dan teratur di lingkungan keluarga, akan lebih mempercepat kemandirian anak dibanding dengan anak yang kurang mendapat stimulasi.

b. Rasa cinta dan kasih sayang

Rasa cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak hendaknya diberikan sewajarnya karena hal itu dapat mempengaruhi mutu kemandirian anak. Bila rasa cinta dan kasih sayang diberikan berlebihan, akan menjadikan anak kurang mandiri. Menurut Novan Ardy (2013:39), jika interaksi antara anak dan orang tua berjalan dengan lancar dan baik. Interaksi yang baik tersebut dapat membuat anak menjadi mandiri. Orang tua akan memberikan informasi yang baik jika orang tua tersebut mempunyai pendidikan karena dengan pendidikan yang baik, orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang mendidik anak agar anak menjadi mandiri.

Penulis setuju dengan pendapat tersebut, bahwa apabila orang tua yang berpendidikan bisa menghasilkan anak yang mandiri, karena dari orang tua yang berpendidikan tersebut orang tua bisa belajar, mau belajar,


(43)

29

peduli dengan anak sehingga anak bisa memberikan kasih sayang sesuai porsi yang tidak berlebihan.

Pemberian rasa cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak juga dipengaruhi oleh status pekerjaan orang tua. Menurut Novan Ardy (2013:39). Apabila orang tua, khususnya ibu bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah, akibatnya ibu tidak bisa melihat perkembangan anaknya, apakah anaknya sudah bisa mandiri atau belum. Sementara itu, ibu yang tidak bekerja bisa melihat langsung perkembangan kemandirian anaknya dan bisa mendidiknya secara langsung.

c. Pola asuh orang tua dalam keluarga

Lingkungan keluarga berperan penting dalam pembentukan karakter kemandirian. Pembentukan karakter kemandirian tersebut tidak lepas dari peran orang tua dan pengasuhan yang baik yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Bila seorang anak sejak kecil dilatih untuk mandiri, ketika harus keluar dari asuhan orang tua untuk hidup mandiri, ia tidak akan merasa takut.

Pola asuh ayah dan ibu mempunyai peran nyata dalam membentuk karakter mandiri anak usia dini. Toleransi yang berlebihan, begitu pun dengan pemeliharaan yang berlebihan dari orang tua yang terlalu keras kepada anak dapat menghambat pencapaian kemandiriannya. Karena rasa kasih sayang dan rasa khawatir, seorang ibu tidak berani melepaskan anaknya untuk berdiri sendiri, menjadikan anak tersebut harus selalu dibantu, si anak akan selalu terikat pada ibu.


(44)

30

Pada akhirnya, karena dimanjakan anak menjadi tidak dapat menyesuaikan diri dan perkembangan wataknya mengarah pada keragu-raguan. Sementara disisi lain, sikap ayah yang keras juga dapat menjadikan anak kehilangan rasa percaya diri. Namun, pemanjaan dari ayah yang berlebihan juga dapat menjadikan anak kurang berani menghadapi masyarakat luas.

d. Pengalaman dalam kehidupan

Pengalaman dalam kehidupan anak meliputi pengalaman di lingkungan sekolah dan masyarakat. Lingkungan sekolah berpengaruh terhadap pembentukan kemandirian anak, baik melalui hubungan dengan teman maupun dengan guru.

Interaksi anak dengan teman sebaya di lingkungan sekitar juga berpengaruh terhadap kemandiriannya, begitu juga pengaruh teman sebaya di sekolah. Dalam perkembangan sosial, anak mulai memisahkan diri dari orang tuanya dan mengarah kepada teman sebaya. Maka pada saat itu, anak telah memulai perjuangan memperoleh kebebasan, dengan demikian melalui hubungan dengan teman sebaya, anak akan belajar berpikir mandiri.

Faktor budaya dan kelas sosial juga dapat mempengaruhi kemandirian anak usia dini. Seorang anak dalam ruang lingkup tempat tinggalnya mengalami tekanan untuk mengembangkan suatu pola kepribadian tertentu yang sesuai dengan standar yang telah ditentukan oleh budayanya. Kemudian kelas sosial, termasuk kelas ekonomi dan kelas


(45)

31

pendidikan juga mempengaruhi ketergantungan anak pada orang tua. Pengaruh kelas sosial terhadap pembentukan kemandirian terlihat dari golongan priyayi dan nonpriyayi yang sejak berusia 12 tahun lebih mandiri dari anak-anak dalam keluarga priyayi (Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Menurut Mar‟atun Shalihah (2010:80-82), beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk menanamkan kemandirian pada anak, membuatnya tidak suka bergantung dan bisa mengambil keputusan sendiri antara lain:

a. Beri kesempatan anak belajar memilih, bantuan bisa diberikan sebagai alternatif.

b. Menghargai hasil kerja anak dan sabar pada prosesnya. c. Jangan banyak tanya hanya karena ingin dianggap

perhatian. 3. Pengertian Anak

a. Anak Usia Dini

Menurut Muhammad Fadhillah (2014:44), “dalam pandangan agama (Islam), anak merupakan amanah atau titipan Allah Swt yang harus dijaga, dirawat, dan dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh setiap orang tua. Sejak lahir anak telah diberikan berbagai potensi yang dapat dikembangkan sebagai penunjang kehidupannya di masa depan. Bila potensi-potensi ini tidak diperhatikan, nantinya anak akan mengalami hambatan-hambatan dalam pertumbuhan maupun perkembangannya”.

Setiap anak memiliki potensi sendiri-sendiri dan unik, hal ini tergantung dari orang tuanya yang dititipi amanah oleh Tuhan dengan cara merawat, mendidik dan mengembangkan potensi yang ada pada diri anak sesuai dengan bakat dan minat yang anak tersebut miliki dari kecil.


(46)

32

Dalam pasal 28 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 ayat 1, disebutkan bahwa yang termasuk anak usia dini adalah anak yang masuk dalam rentang usia 0-6 tahun.

Bredekamp dalam Lilif Mualifatu (2014:47), membagi anak usia dini menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok bayi hingga 2 tahun, kelompok 3 hingga 5 tahun, dan kelompok 6 hingga 8 tahun. Berdasarkan keunikan dan perkembangannya anak usia dini terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu masa bayi lahir sampai 12 bulan, masa batita (toddler) usia 1-3 tahun, masa prasekolah usia 3-6 tahun, dan masa kelas awal 6-8 tahun.

Muhammad Fadhillah mengatakan (2014:47), “bahwa anak usia dini adalah kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, dalam arti memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar, intelegensi dan kecerdasan spiritual, bahasa, komunikasi yang khusus sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak”. Setiap anak memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang unik dan berbeda antara anak yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan anak dari lahir sudah membawa keunikan tersendiri dalam hal bakat ataupun kemampuan lain halnya dengan sikap yang ini bisa saja dari keturunan dan bisa dibentuk dari lingkungan dimana anak tinggal dan pola asuh dari orang tua anak tersebut.

Menurut Wiwien Dinar Prastiti (2008:55), “bahwa adapun usia setelah lebih dari 6 tahun sering disebut sebagai usia sekolah dimana anak sudah berkembang fisiknya sehingga membentuk tubuh yang proporsional, mampu berjalan, meloncat, berlari, mampu menggunakan bahasa verbal, mampu memahami emosi yang dirasakan oleh orang lain berdasarkan bahasa tubuh yang ditunjukan, oleh karena itu batasan pengertian anak usia dini adalah 0-6 tahun”.


(47)

33

Anak pada usia 6 tahun anak sudah mampu melakukan kegiatan atau aktivitas yang lebih berat baik dari motorik halus, kasar, bahasa, agama, komunikasi. Anak sudah melakukan kegiatan tersebut dengan baik dan benar sesuai dengan umur 6 tahun tersebut, anak sudah bisa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Menurut Slamet Suyanto (2005:1), anak usia dini dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak usia di atasnya sehingga pendidikannya dipandang perlu untuk dikhususkan.

Menurut Iva Noorlaila (2010:17), bahwa usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar sepanjang rentang pertumbuhan dan perkembangan kehidupan manusia.

Menurut Mulyasa (2012:1) anak usia dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan.

Kesimpulan dari pengertian anak usia dini menurut para ahli, penulis menyimpulkan bahwa anak usia dini adalah kelompok anak titipan atau amanah yang diberikan oleh Tuhan yang sudah diberikan bakat atau potensi secara alami sejak lahir yang unik dan berbeda yang mana orang tua wajib merawat, mendidik, mengasihi dan menyayangi dalam mengembangkan potensi baik motorik, intelegensi, kecerdasan spiritual, emosional, bahasa dan komunikasi sesuai dengan umurnya yaitu 0-6 tahun.


(48)

34 b. Golden Age

Menurut Wiwien Dinar Prastiwi (2008:72), “bahwa usia dini pada anak disebut sebagai usia emas atau golden age, masa-masa tersebut masa kritis dimana seseorang anak membutuhkan rangsangan-rangsangan yang tepat untuk mencapai kematangan yang sempurna”. Pada usia dini anak dapat menerima stimulu-stimulus dari orang tua, guru, dan orang-orang yang tinggal disekitar lingkungan anak tersebut tinggal, anak pada usia tersebut bisa dengan cepat meniru ataupun menghafal apapun yang dia lihat dan dengar dari tingkah laku ataupun kebiasan orang-orang yang berada didekat anak. Apabila pada masa seperti ini anak tidak mendapatkan stimulus yang tepat dari belajar dan berlatih maka anak akan mengalami masa-masa kesulitan pada perkembangan berikutnya.

Penulis setuju dengan pendapat di atas apabila pada perkembangan awal anak sudah diberikan stimulus oleh orang tua ataupun orang yang tinggal di sekeliling anak dengan baik dan benar, orang-orang di sekitarnya memberikan contoh dalam berperilaku dan bersikap yang baik maka anak akan meniru dan meneladani apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekililingnya dan hal ini bisa dikembangkan oleh orang tua sesuai dengan harapan dari orang tua tersebut.

Menurut Muhammad Fadhillah (2013:48) “ bahwa golden age adalah masa-masa keemasan seorang anak, yaitu masa ketika anak mempunyai banyak potensi yang sangat baik untuk dikembangkan, pada tahap inilah waktu yang sangat tepat untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan, karakter yang diinginkan yang nantinya akan dapat membentuk kepribadian”.

Karena pada masa inilah anak masih murni dan belum terpengaruh dari lingkungan luar sehingga hal ini mempermudahkan orang tua untuk mengajari hal-hal yang baik dan benar kepada anak terkait perbuatan dan sikap, karena anak


(49)

35

masih belum terbebani dengan masalah yang serius layaknya orang dewasa sehingga anak dengan mudah bisa menyerap apapun yang diberikan oleh orang tua ataupun guru.

Menurut Gardner (1998) sebagaimana dalam bukunya Muhammad Fadhilah (2014:48), menyebutkan bahwa anak usia dini memegang peranan yang sangat penting karena perkembangan otak manusia mengalami lompatan dan berkembang sangat pesat, yaitu mencapai 80%, ketika dilahirkan ke dunia anak manusia telah mencapai perkembangan otak 25%, sampai usia 4 tahun perkembangannya mencapai 50% dan sampai 8 tahun mencapai 80% selebihnya berkembang sampai usia 18 tahun.

Atas dasar inilah, penting kiranya untuk mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki oleh anak, jangan sampai sebagai orang tua tidak mengetahui potensi yang ada dalam diri anaknya dan tidak mematikan perkembangan dari potensi yang dimiliki oleh anak.

Pengertian mengenai the golden age tersebut bisa disimpulkan bahwa the golden age adalah masa dimana anak usia dini memiliki masa untuk perkembangan, pembinaan, pembimbingan, pembentukan karakter ataupun segenap potensi yang dimiliki oleh anak sesuai dengan harapan.

c. Karakter perkembangan anak usia 3-6 tahun a) Perkembangan fisik

Postur tubuh anak yang berusia 3 tahun biasanya lebih langsing dan panjang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun ukuran kepala masih relatif besar, proporsi tubuh mendekati proporsi orang dewasa. Ukuran berat dan tinggi badan mengikuti pola pada tabel 1.


(50)

36

Tabel 1. Perkembangan tinggi dan berat badan pada anak usia 3-6 tahun (Nelaon, W.E.et.al)

Anak laki-laki Anak perempuan

Berat badan (pon)

Tinggi tubuh (inci)

Usia Berat badan (pon)

Tinggi tubuh (inci)

32,2 37,9 3 tahun 31,8 37,7

34,36 39,3 3,5 tahun 33,9 39,2

36,4 40,7 4 tahun 36,2 40,6

38,4 42,0 4,5 tahun 38,5 42,0

40,5 42,8 5 tahun 40,5 42,9

45,6 45,0 5,5 tahun 44,0 44,4

48,3 46,3 6 tahun 46,5 45,6

Sumber : Wiwien Dinar Prastiti (2008 : 80-81)

Dalam tabel 1 menggambarkan bahwa perkembangan tinggi dan berat badan anak pada usia 3-6 tahun, yang mana dari bertambahnya usia maka berat badan seorang anak juga akan bertambah berat dan bertambah tinggi, antara anak laki-laki dan perempuan mempunyai berat badan yang berbeda lebih berat dan tinggi anak laki-laki dibandingkan anak perempuan.

Selain berat badan dan tinggi, terjadi perkembangan yang pesat pada sistem syaraf, otot, dan kerangka tubuh. Tulang-tulang menjadi semakin padat dan keras. Asupan makan sangat berpengaruh pada proses pematangan pada tulang. Penelitian yang pernah dilakukan menunjukan bahwa anak yang mengalami kekurangan gizi ternyata perkembangan tulangnya terhambat dan memiliki lingkar kepala yang lebih kecil dibanding ukuran normal. Semua gigi susu telah tumbuh sehingga anak mulai dapat merobek dan menggigit makanan atau benda-benda lainnya. Gigi geligi akan terus tumbuh, apabila anak yang berusia 5 tahun masih suka menghisap ibu jari maka akan berpengaruh terhadap gigi dan dimungkinkan mengalami gangguan emosional.


(51)

37 b) Perkembangan perilaku

Perkembangan perilaku pada anak yang berusia diatas 3 tahun, dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan anak usia 4-6 tahun (kombinasi antara Milestone dengan Gesell dan Matruda)

Usia Perkembangan motorik Perilaku adaptif Kemapuan berbahasa Perilaku sosial-pribadi 4 tahun Mampu

melompat dengan su kaki, mampu menangkap bola, mampu berjalan mengikuti garis Mampu membangun jembatan dari 5 kubus, mampu menggambar orang Mampu menggunakan kata sambung, memahami preposisi dalam kalimat, perbedan dengan bahasa orang dewasa terletak pada gayanya bukan struktur kalimatnya Mampu membasuh dan menyeka wajah, dapat diperintah, mampu bermain bersama.

tahun Mampu melompat lompat dengan menggunakan satu kaki bergantian Mampu menghitung sampai 10 Mampu berbicara tanpa nada kekanak-kanakan, mampu bertanya mengapa? Mengenakan baju sendiri, menanyakan arti kata.

Sumber : Wiwien Dinar Prastiti (2008 : 82-86) c) Perkembangan Kognitif

Ketika anak usia 3 tahun, terjadi perkembangan kognitif yang tidak terduga. Semakin dipelajari semakin disadari bahwa anak mengalami perkembangan kognitif yang pesat hanya dalam waktu yang relatif singkat.


(52)

38

Menurut Piaget dalam Wiwien (2008:85), memasuki usia 2 tahun fungsi kognisi anak memasuki tahap praoperasional yang ditandai oleh kemampuan untuk menggunakan simbol sebagai pengganti objek, peristiwa, ataupun orang, anak mampu berpikir kembali ke belakang dan memberikan antisipasinya di waktu yang akan datang. Pada perkembangan ini anak sudah bisa memiliki konsep, berpikir, mengingat, menalar dan mengambil keputusan. Sebagi contohnya, seorang anak melihat guru yang sedang mengajar, maka anak akan memainkan sekolah-sekolahan dan anak menjadi gurunya.

d) Perkembangan kepribadian

Menurut Wiwien Pratisti (2008:85), anak yang berusia 3-4 tahun berada pada masa Oedipus complex , yakni sindrom yang ditandai oleh keinginan anak untuk menggantikan orang tua yang berjenis kelamin sama untuk memperoleh perhatian dan kasih sayang dari orang tua yang sejenis kelamin berbeda.

Misalnya anak laki-laki dia akan berusaha menggantikan perhatian seorang ayahnya supaya dia bisa memperoleh perhatian dari ibunya.

Sekitar usia 5-6 tahun, tumbuh superego yang berfungsi untuk menekan id agar tidak muncul ke dalam perilaku, superego pada masa ini bersifat sangat kaku. Anak perempuan yang berasal dari keluarga yang sangat menghargai kebersihan akan menjadi pribadi yang kompulsif sehingga mendorong anak untuk berganti baju enam kali sehari karena tidak suka kotor. Karena hal ini anak belajar di rumah ketika orang tuanya mengajari suatu hal perilaku atau pun sikap yang berulang-ulang kepada anaknya maka anak akan menjadi terbiasa dan dibawa dimana pun anak berada.


(53)

39

Maka hal dari itu pembentukan kepribadian seorang individu tergantung atau dipengaruhi oleh peran orang tua dan lingkungan sosial dimana anak tinggal.

Menurut Elizabeth, perkembangan fisik sangat penting untuk dipelajari karena baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilaku anak sehari-hari (Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (2009:29). Perkembangan fisik itu akan mempengaruhi perkembangan yang lainnya juga, apabila fisik seorang anak tidak sehat hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan yang lainnya seperti perkembangan kognitifnya, karena fisik yang tidak sehat dan sesuai dengan perkembangannya maka anak tidak bisa melakukan aktifitas atau kegiatan sehari-hari anak, seperti sekolah, bermain atau pun bersosialisasi, tidak bisa menerima stimulus dari orang tua atau pun orang lain tidak bisa berpikir.

Menurut Beaty dalam Lilif Mualifatu ( 2014:59), kemampuan motorik kasar seorang anak paling tidak dapat dilihat melalui empat aspek, yaitu 1) berjalan atau walking, dengan indikator berjalan naik turun tangga dengan menggunakan kedua kaki, berdiri pada satu kaki 2) berlari atau running, dengan indikator menunjukkan kekuatan dan kecepatan berlari, berbelok ke kanan kiri tanpa kesulitan dan mampu berhenti dengan mudah, 3) melompat atau jumping, dengan indikator mampu melompat ke depan ke belakang dan ke samping. 4) memanjat atau climbing dengan indikator memanjat naik turun tangga dan memanjat pepohonan.

Perkembangan fisik motorik itu berkaitan dengan tinggi, berat badan dan kemampuan anak dalam melakukan kecepatan, kelincahan dan kekuatan seorang anak dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dimana anak tersebut berada. Perkembangan kognitif menurut Jean Piaget pada anak berusia 2-7 tahun yang disebut masa praoperasional, pada masa ini seorang anak sudah memiliki kemampuan menggunakan simbol yang mewakili suatu konsep. Perkembangan


(54)

40

emosi menurut Muhammad Fadhillah (2014:64), masa perkembangan emosi ini akan muncul ketika anak berinteraksi pada lingkungannya.

Karena saat berinteraksi dengan lingkungan, anak akan melakukan sosialisasi dengan orang-orang baru, baik dengan teman sebaya ataupun dengan anak yang umurnya lebih tua. Melalui interaksi dengan lingkungan seperti bermain dengan teman-temannya, akan terlihat emosi yang dimilikinya sebagai contoh apabila anak tidak mendapatkan mainan seperti temannya dia akan marah kemudian menangis, akan tetapi apabila anak mendapatkan permainan yang dia inginkan seperti punya temannya maka anak akan senang, tersenyum bahkan tertawa. Karakteristik emosi anak dalam tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Perbedaan Karakteristik Emosi

Emosi yang stabil (sehat) Emosi yang tidak stabil ( tidak sehat)

1. Menunujukan wajah yang ceria

2. Mau bergaul dengan teman secara baik

3. Bergairah dalam belajar 4. Dapat berkonsentrasi

dalam belajar

5. Bersikap respek atau menghargai terhadap diri sendiri dan orang lain

1. Menunjukkan wajah yang murung

2. Mudah tersinggung

3. Tidak mau bergaul dengan orang lain

4. Suka marah-marah 5. Suka mengganggu teman 6. Tidak percaya diri

Sumber : Muhammad Fadhillah (2014:65)

Perkembangan moral menurut piaget dalam Muhammad Fadhillah (2014:69), “pada awalnya pengenalan nilai dan pola tindakan masih bersifat paksaan, dan anak belum mengetahui maknanya”. Anak masih dipaksa dalam perkenalan nilai dan pola tindakan, karena pada masa usia dini anak belum tahu dan paham mengenai moral perbuatan yang baik dan tidak, sehingga anak harus dipaksa untuk menerimanya dengan diberikan hukuman atau imbalan apabila


(55)

41

anak melakukan tindakan yang salah, akan tetapi anak akan mengerti perbuatan yang salah dan benar pada saat anak sudah bertambah usianya dengan berkembanganya kecerdasan dan pemahaman anak.

Berkaitan dengan perkembangan moral, Lawrence Kohlberg yang dikutip oleh Santrock dalam bukunya Lilif Mualifatu K (2014:69), “tahap prakonvesional untuk usia 2-8 tahun, pada tahap ini anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan atau hadiah dan hukuman eksternal, anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat, dan apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah”.

Pada usia 2-8 tahun anak belum mengetahui perbuatan yang salah dan benar, mereka tahu dengan cara meraka dituntut oleh orang tua ataupun orang yang lebih tua agar mereka mematuhi hal tersebut apabila tidak patuh maka akan diberikan hukuman, dari hal tersebut anak belajar sesuatu yang baik dan salah yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

Beberapa pendapat ahli di atas terkait karakter anak usia 3-6 tahun dapat disimpulkan dalam hal karakteristik perkembangan fisik motorik, anak berusia 3-6 tahun mengalami kenaikan berat badan dan tinggi dari tiap bertambah usianya. Pada perkembangan motorik anak sudah mampu melakukan berbagai gerakan seperti melompat, berjalan, berlari dan memanjat dengan benar dan baik. Pada perkembangan kognitif anak sudah bisa berpikir, menghapal apapun yang dia liyat dengan mempraktekannya saat bermain. Pada perkembangan bahasa anak bisa bertanya kata yang dianggap belum pernah didengar dengan menanyakan kenapa dan mengapa. Pada sosial perilaku, anak sudah bisa membasuh wajahnya sendiri, sudah bisa diperintah, sudah bisa memakai baju sendiri, dan makan sendiri tanpa bantuan orang lain.


(56)

42 4. Tinjauan Pola Asuh

a. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh merupakan bagian dari proses pemeliharaan anak dengan menggunakan teknik dan metode yang menitik beratkan pada kasih sayang dan ketulusan cinta yang mendalam dari orang tua. Pola asuh tidak akan lepas dari adanya keluarga, dalam lingkungan keluarga ada beberapa karakteristik yang menunjukkan bahwa apakah keluarga itu harmonis atau tidak, akan berpengaruh pada pola asuh yang diterapkan oleh keluarga tersebut. Karakteristik tersebut di antaranya kehidupan beragama yang baik dalam keluarga, mempunyai waktu untuk berkumpul bersama keluarga, mempunyai self of belonging (rasa memiliki) terhadap keluarga tersebut dari masing-masing anggota keluarga dan apabila terjadi masalah dalam keluarga maka dapat diselesaikan secara positif dan konstruktif.

Menurut Monks dkk (2011) dalam Mohammad Takdir Ilahi (2013: 134), “pola asuh adalah cara orang tua yaitu ayah, ibu dalam memberikan kasih sayang dan cara mengasuh yang mempunyai pengaruh yang besar bagaimana anak melihat dirinya dan lingkungannya”.

Penelitian menunjukan bahwa pola asuh orang tua adalah penting dalam upaya menyediakan suatu model perilaku yang lebih lengkap bagi anak. Peran orang tua dalam mengasuh anak bukan saja penting untuk menjaga perkembangan jiwa anak dari hal-hal yang negatif, melainkan juga untuk membentuk karakter dan kepribadiannya agar menjadi insan spiritual yang selalu taat menjalankan perintah agama.


(57)

43

Pengasuhan (parenting) memerlukan sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar (menurut John W Santrock, 2007:163). Pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua itu membutuhkan kemampuan untuk memahami orang lain dan menuntut emosi yang besar, karena pengasuhan itu terkait mengasihi, membimbing, mendengarkan, menasehati dan hal itu semua membutuhkan emosi yang kuat antara orang tua dan anak. Ketika anak-anak tumbuh dan berkembang maka usianya pun semakin bertambah maka pengasuhannya berbeda antara anak yang masih kanak-kanak dan anak yang sudah memasuki usia remaja.

Orang tua yang baik menyesuaikan diri terhadap perubahan perkembangan anak tersebut (Macoby, 1984) dalam John W Santorck (2007:164). Orang tua yang baik harus menyesuaikan diri terhadap perubahan perkembangan anaknya, ketika anak masih usia 3 tahun jangan disamakan pola asuhnya dengan anak usia 12 tahun, karena anak sudah mengalami perubahan baik dalam segi fisik, psikis dan gaya dalam berteman atau dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Gaya Baumrind penelitian Diana Baumrind (1971) dalam John W Santrock (2007:166), sangat berpengaruh, ia percaya bahwa orang tua tidak boleh menghukum atau menjauh. Orang tua tidak boleh menghukum anak dan menjauh dalam hal ini hanya akan membuat anak menjadi jauh dari orang tua dan merasa takut terhadap orang tua, karena sikap orang tua yang menghukum dan menjauh apabila anak melakukan kesalahan ataupun anak melakukan hal yang tidak sesuai harapan orang tua.


(58)

44

Menurut Mohamad Takdir Illahi ( 2013: 135), menerangkan bahwa “pola asuh adalah suatu sikap yang dilakukan oleh orang tua yaitu ayah, ibu dalam berinteraksi dengan anaknya, bagaimana cara ayah dan ibu memberikan disiplin, hadiah, hukuman, pemberian perhatian, dan tanggapan-tanggapan lain berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak”.

Menurut M. Noor (2012:134), Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain), dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup seleras dengan lingkungannya.

Pengertian pola asuh dari beberapa ahli diatas bisa disimpulkan bahwa pola asuh adalah suatu cara atau metode sikap yang dilakukan oleh orang tua dalam melakukan hubungan dengan anaknya yang berkaitan dengan membimbing, mengasihi, menasehati, mendengarkan apapun yang terkait dengan pembentukan pribadi anak.

b. Jenis-jenis Pola Asuh Orang Tua

Metode asuh yang digunakan oleh orang tua kepada anak menjadi faktor utama yang menentukan potensi dan karakter seorang anak. Jenis-jenis pola asuh orang tua ini masing-masing memiliki karakteristik dan ciri khas yang berbeda.

Hurlock (1990) dalam Mohammad Takdir Ilahi (2013:136) membedakan pola asuh orang tua menjadi tiga antara lain pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, dan pola asuh permisif. Pola asuh ada tiga jenis otoriter yaitu pola asuh yang kaku, orang tua yang menentukan semuanya buat anak. Pola asuh demokrasi yaitu orang tua memberikan kebebasan kepada anak tetapi anak diberikan tanggung jawab terhadap apa pun yang mereka lakukan dan pilih, pola


(59)

45

asuh permisif yaitu pola asuh yang orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak.

Menurut Diana Baumrind (1971) dalam bukunya John W Santrock (2007:167), menjelaskan empat jenis gaya pengasuhan:

a) Pengasuhan Otoritarian

Gaya yang membatasi dan menghukum, dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter mungkin juga sering memukul anak, memaksakan kehendak atau aturan secara kaku tanpa diberikan pemahaman terlebih dahulu kepada anak, dan menunjukkan amarah kepada anak.

b) Pengasuhan Otoritatif

Mendorong anak untuk mandiri namun masih menetapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua yang otoritatif menunjukan kesenangan dan dukungan sebagai respons terhadap perilaku konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa, mandiri dan sesuai dengan usianya. Anak yang memiliki orang tua autoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan mandiri, dan berorientasi pada prestasi, mereka cenderung untuk mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stres dengan baik.


(60)

46 c) Pengasuhan yang mengabaikan

Gaya dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak yang memiliki orang tua yang mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari pada mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosialnya. Banyak diantaranya memiliki pengendalian diri yang buruk dan tidak mandiri. Mereka sering kali memiliki harga diri yang rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga. Dalam masa remaja mereka mungkin menunjukkan sikap nakal dan membolos. d) Pengasuhan yang menuruti

Gaya pengasuhan dimana, orang tua sangat terlihat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan apa yang ia inginkan. Hasilnya anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya (peer).

Pola asuh otoriter mencerminkan sikap orang tua yang bertindak keras dan cenderung diskriminatif. Hal ini ditandai dengan tekanan anak untuk patuh kepada semua perintah dan keinginan orang tua, anak sering dihukum, apabila


(61)

47

anak berhasil atau berprestasi jarang diberi pujian dan hadiah. Pola asuh demikian, mencerminkan ketidakdewasaan orang tua dalam merawat anak tanpa mempertimbangkan hak-hak yang melekat pada anak. Akibatnya, anak semakin tertekan dan tidak bisa leluasa menentukan masa depannya sendiri.

Pola asuh otoriter menunjukan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya ditandai melalui sikap yang tidak hangat dan kaku. Intinya, anak kurang diberi kasih sayang, sementara orang tua lebih suka memaksa kehendak, kontrol yang sangat ketat dan anak sering diberi hukuman juga sebaliknya jarang mendapat pujian. Pola asuh yang otoriter memang tidak bisa memberikan jaminan atas terciptanya generasi yang paripurna dan menjadi harapan bangsa, ini karena pola asuh yang demikian, tidak memberikan pendidikan karakter dan penanaman moral yang baik kepada anak.

Sikap orang tua dalam pola asuh permisif biasanya memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berperilaku sesuai dengan apa yang diinginkan. Akibatnya, anak tumbuh menjadi seseorang yang berperilaku agresif dan antisosial karena sejak awal ia tidak diajari untuk patuh pada peraturan sosial. Anak tidak pernah diberikan hukuman ketika melanggar peraturan yang telah ditetapkan orang tua. Sebab, orang tua denga pola asuh permisif menganggap anak mampu berpikir sendiri dan ia sendirilah yang merasakan akibatnya. Selain itu, keacuhan orang tua mengembangkan emosi yang tidak stabil pada anak. Anak akan bersifat mementingkan diri sendiri dan kurang menghargai orang lain ( Bernadib dalam Ancok dkk., 1988) dalam Mohammad Takdir Ilahi (2013:138).


(62)

48

Menurut M. Noor (2012:134), pola asuh otoriter mempunyai ciri orang tua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orang tua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Sementara pola asuh permisif mempunyai ciri orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat. Pola asuh permisif mempunyai ciri dominasi pada anak, sikap longgar atau kebebasan dari orang tua, tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orang tua, kontrol dan perhatian orang tua sangat kurang.

5. Tinjauan Keluarga a. Pengertian Keluarga

Keluarga adalah suatu sistem, suatu kesatuan yang dibentuk oleh bagian-bagian yang saling berhubungan dan berinteraksi, menurut John W Santrock (2007: 157). Didalam keluarga terdapat beberapa anggota keluarga yang saling berinteraksi satu sama lain dan saling berhubungan antar anggota keluarga dalam hal berbicara, memerintah antar anggota yang lain, menasehati antar anggota yang lain.

Menurut Soejono Seokanto (2004:22), “keluarga batih terdiri dari suami/ayah, istri/ibu dan anak-anak yang belum menikah, lazimnya dikatakan bahwa keluarga batih merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam masyarakat”.

Keluarga dalam artian ini yaitu keluarga inti yang hanya terdiri dari orang tua dan anak, semua anak-anaknya yang belum menikah masih tinggal satu rumah dengan orang tua.


(63)

49

Memurut William J.Goode (1995:9), menyatakan bahwa “keluarga merupakan alat atau perantara masyarakat yang lebih luas, kegagalannya untuk berbuat seperti ini, akan menyebabkan tujuan masyarakat yang lebih besar tidak akan tercapai secara tepat guna”.

Menurut James M. Henslin (2007:116), keluarga terdiri atas orang-orang yang menganggap bahwa mereka mempunyai hubungan darah, pernikahan atau adopsi.

Kesimpulan dari beberapa pengertian tentang keluarga di atas, keluarga adalah suatu unit terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang didalamnya terdapat interaksi satu sama lain baik dalam hal menasehati, memerintah, mematuhi, menghargai, menghormati antar anggota keluarga atau di mana lembaga utama untuk belajar norma-norma sebelum ke masyarakat dan didalamnya juga terdapat sosialisasi dalam lingkup kecil sebelum ke masyarakat yang lebih luas.

b. Peranan Keluarga

Peranan-peranan keluarga menurut Soerjono Soekanto (2004:23), keluarga batih memiliki peranan-peranan sebagai berikut:

1. Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, di mana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.

2. Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya.

3. Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.

4. Keluarga batih merupakan wadah di mana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses di mana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat.


(1)

121 Tabel kecenderungan pola asuh

tingkat pendidikan gaya asuh kecenderungan

otoriter Permisif demokratif

SD 5308.8 4676,92 5646,15 Demokratif

SMP 6527,2 6022,2 6568,8 Demokratif

SMA 6872,8 6169,5 7045,7 demokratif

PT 6368,5 6488 7440,5 demokratif

Uji korelasi spearman pola asuh dengan kemandirian anak

Correlations

pola asuh kemandirian anak

Spearman's rho

pola asuh

Correlation Coefficient 1,000 ,152

Sig. (2-tailed) . ,165

N 85 85

kemandirian anak

Correlation Coefficient ,152 1,000

Sig. (2-tailed) ,165 .


(2)

122

Uji korelasi tingkat pendidikan orang tua dengan pola asuh

Correlations tingkat pendidikan pola asuh Spearman's rho tingkat pendidikan

Correlation Coefficient 1,000 ,229*

Sig. (2-tailed) . ,035

N 85 85

pola asuh

Correlation Coefficient ,229* 1,000

Sig. (2-tailed) ,035 .

N 85 85

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Uji korelasi tingkat pendidikan orang tua dengan kemandirian anak

Correlations tingkat pendidikan kemandirian anak Spearman's rho tingkat pendidikan

Correlation Coefficient 1,000 ,047

Sig. (2-tailed) . ,668

N 85 85

kemandirian anak

Correlation Coefficient ,047 1,000

Sig. (2-tailed) ,668 .


(3)

123

Tabel Anak yang mandiri dan tidak mandiri dan latar belakang pendidikan orang tua

Keterangan :

BM : Belum Muncul

MB : Muncul dengan Bantuan

MSH : Muncul Sesuai Harapan

MLB : Muncul Lebih Baik Nama Anak Latar belakang pendidikan orang tua Indikator Kemamp uan fisik Percaya diri Bertanggung

jawab Disiplin

Pandai bergaul mandi ri Tidak / kurang mandiri

Kaysa S1 BM MLB MSH BM MB √

Ria SMP MB MLB MSH MB MB √

Danish SMA MLB MLB MLB MLB MLB √

Danur S2 MLB MLB MLB MSH MLB √

Candra SD MSH MLB MLB MSH MLB √

Tian SMA MSH MLB MSH MLB MSH √


(4)

(5)

(6)