Perkembangan Sistem Pertanian Padi Sawah di Pedesaan Jawa

9

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Perkembangan Sistem Pertanian Padi Sawah di Pedesaan Jawa

Sebelum tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhirmanto 2003 yakni 1 usahatani tidak menggunakan fasilitas modal dari luar keluarga, 2 pekerjaan di sektor pertanian menjadi satu-satunya mata pencaharian, 3 cara produksi tradisional dengan digunakannya input yang berasal dari lokal lingkungan sekitar, dan 4 penggunaan tenaga kerja tradisi dan menggunakan tenaga kerja keluarga, dan sebagainya. Sejak tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem pertanian modern sebagai implementasi dari kebijakan revolusi hijau. Salah satunya mengenai kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan utama yang telah mengantarkan teknologi di daerah pedesaan, paket BIMAS, INMAS, INSUS, SupraINSUS dan sebagainya. Sampai tahun 1987 sudah jelas bahwa kebijakan tersebut dapat meningkatkan produksi padi, bahkan mencapai swasembada beras setelah tahun 1984. Namun, dari tulisan-tulisan dalam Bechtold 1988 menjadi representasi bahwa modernisasi dan mekanisasi pertanian di Indonesia nyata-nyata telah menyebabkan ketergantungan desa-desa pertanian pada pemerintah pusat. Sistem ekonomi kapitalis yang diusung melalui program-program BIMASINMAS telah merombak seluruh sendi perekonomian mulai dari struktur kelembagaan ekonomi, sosial, budaya bahkan politik desa setempat. Merujuk pada tulisan Sajogyo 1982, diketahui bahwa modernisasi pertanian di pedesaan Jawa justru tidak menciptakan pembangunan bagi masyarakat. Perkembangan ekonomi pedesaan di Jawa, wilayah utama padi sawah yang telah memasuki “revolusi hijau”, menunjukkan beberapa hal yaitu 1 perubahan dalam kelembagaan penguasaan tanah yang telah menyebabkan terjadinya diferensiasi kelas petani; 2 munculnya sistem pengupahan dan 10 teknologi unggul yang bias pada pemilik tanah dan penggarap; 3 terjadinya perluasan kepemilikan tanah yang memperkecil peluang tenaga kerja; 4 terjadinya peningkatan penyerapan tenaga kerja; 5 terjadinya perkembangan teknologi mekanisasi di Jawa yakni pemakaian bibit unggul padi dan pupuk pabrik yang mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja di desa; 6 adanya penyerapan tenaga kerja luar pertanian di desa 7 berkembangnya kelembagaan perkreditan pertanian di desa, akan tetapi porsi nilai kredit pertanian menurun oleh karena beralih ke bidang-bidang dagang, industri, dan jasa; 8 adanya perubahan gaya hidup rumah tangga desa yang lebih konsumtif sehingga merubah pola pengeluaran rumah tangga desa dan pemilikan modal bukan-tanah, dan 9 meningkatnya sumber pendapatan dari usaha luar pertanian khususnya untuk golongan miskin dan tidak memiliki tanah. Pembangunan pertanian yang didasarkan pada kebijakan revolusi hijau cenderung tidak menunjukkan adanya suatu keberlanjutan baik secara sosial, ekonomi, maupun ekologi. Sehubungan dengan itu, pada pertengahan tahun 1980, konsep keberlanjutan telah mendapat perhatian yang lebih besar sebagai kritik atas pendekatan industrial pada proses pembangunan pertanian. Dalam perkembangnya, sistem pertanian organik juga muncul sebagai salah satu istilah dari pembangunan berkelanjutan tersebut Salikin, 2003. Sistem pertanian organik muncul sebagai kritik atas sistem pertanian modern atau revolusi hijau. Menilik sisi historis pertanian di seluruh pelosok dunia, sebelum sistem pertanian modern tersebut berkembang, banyak sistem pertanian tradisional yang berlangsung dan bertahan selama berabad-abad dalam hal kemampuannya untuk mempertahankan tingkat produksi yang stabil dan berterus-terus. Namun demikian, sistem tersebut terpaksa mengalami perubahan yang begitu cepat dengan berkembangnya berbagai mekanisme penerapan kebijakan revolusi hijau. Adapun pertanian organik yang dilakukan oleh petani-petani di Indonesia mulai berkembang di tahun 1999 dengan diinisiasi oleh berbagai bentuk pendampingan dari lembaga-lembaga swadaya LSM masyarakat. Masyarakat petani di beberapa pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa sudah merubah sistem pertanian mereka dari sistem pertanian modern menjadi sistem pertanian organik Wangsit, 2003; Kartini, 2005. Pertanian organik ini pada mulanya 11 berfokus pada perubahan sistem produksi pertanian dari sistem pertanian konvensional merujuk pada kebijakan revolusi hijau atau sistem pertanian modern merujuk pada modernisasi pertanian. Pada tahun 2001, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian juga telah melakukan serangkaian tahapan sosialisasi mengenai pertanian organik kepada masyarakat 1 . Untuk memajukan pertanian organik, Departemen Pertanian menempatkan perencanaan dan implementasi pertanian organik sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam program pembangunan pertanian di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik melalui adanya sinergi aktivitas dan pelaku usaha yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dari slogan “Go Organic 2010 ” yaitu menjadikan “Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik utama dunia”. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2010 Di tingkat kabupaten, sebagai contoh program pengembangan pertanian organik di Kabupaten Bogor merupakan bagian dari program Ketahanan Pangan yang dirumuskan dalam rencana strategis Dinas Pertanian Kabupaten Bogor tahun 2004-2005. Program pengembangan pertanian organik yang diimplementasikan di Kabupaten Bogor ditujukan pada kelompok tani di desa-desa yang menjadi sentra agribisnis Lampiran 2. Program pengembangan pertanian organik ini dimulai pada tahun 2006, meskipun secara umum pertanian organik di Kabupaten Bogor sudah berkembang sekitar tahun 2000. Sehubungan dengan itu, program ini belum secara spesifik diuraikan dalam rencana strategis Dinas Pertanian Kabupaten Bogor sebagai bagian dari rumusan program ketahanan pangan.

2.1.2 Sistem Pertanian Organik