Kelembagaan Pertanian Padi Sawah

20 komunitas, beranjak ke tingkat lokalitas dan seringkali juga berada di tingkat regional. Aktivitas pertanian sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Uphoff 1986 secara garis besar merupakan aktivitas pada sistem pertanian non-organik maupun sistem pertanian organik. Hanya terdapat beberapa perbedaan dalam implementasinya sebagaimana tabel berikut : Tabel 2. Aktivitas Pertanian pada Sistem Pertanian Non-Organik dan Organik Aktivitas Pertanian Sistem Pertanian Non Organik Sistem Pertanian Organik Prinsip Peningkatan produksi dan keuntungan melalui intensifikasi lahan Keseimbangan ekologis dan kedaulatan petani I. Aktivitas Input

A. Input Material Input dari Luar Komunitas

Lokal

B. Input Modal Lembaga permodalan penyedia

kredit TengkulakPengijon Milik sendiri dan atau milik komunitas

C. Input Secara Umum

1. Akses tanah Lahan bukan milik sendiri Lahan milik sendiri 2. Informasi Kebijakan pemerintah Pengetahuan lokal 3. Kebijakan Harga ditentukan oleh pasar Harga ditentukan dengan mekanisme fair trade

D. Input Tidak Langsung

1. Pengelolaan sumber daya alam Komunitas petani setempat dan pihak terkait Komunitas petani setempat dan pihak terkait

A. Tenaga Kerja

Petani penggarap dan tenaga kerja upahan Lebih intensif oleh petani penggarap

B. Manajemen

Penyuluh dan opinion leader Petani penggarap A. Penyimpanan Lembaga pemerintah seperti Bulog Lumbung milik komunitas B. Pengolahan Mesin Manual C. Transportasi Transportasi modern yang disediakan oleh petani pemodal besar Menggunakan sarana transportasi modern D. Pemasaran Dijual seluruhnya dan eceran ke pasar Dijual seluruhnya dan eceran Sumber : Disarikan dari berbagai sumber

2.1.5 Kelembagaan Pertanian Padi Sawah

Definisi Kelembagaan Merujuk pada Uphoff 1986, kelembagaan adalah seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan melayani tujuan yang bernilai secara kolektif. Kelembagaan tersebut didasarkan pada sektor-sektor tingkat lokalitas terbagi menjadi tiga bidang yaitu 1 sektor publik public sector, sektor 21 partisipatori participatory sector, dan sektor swasta private sector. Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan pemerintah lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir. Kelembagaan sektor partisipatori tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela. Sementara itu, kelembagaan sektor swasta, berorientasi pada upaya mencari keuntungan, yakni dalam bidang jasa, perdagangan, dan industri. Koentjaraningrat dalam Soekanto 1982 menggunakan istilah pranata sosial untuk menyatakan kelembagaan sebagai rules of the games. Pranata merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Adapun Schmid dalam Tonny 2004 mengemukakan bahwa kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam tertentu. Norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia oleh Soekanto 1982 lebih diistilahkan sebagai lembaga kemasyarakatan social institution. Suatu lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari manusia, pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu antara lain : 1. Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan. 2. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan. 3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian-sosial social control yaitu artinya sistem pengawasan daripada masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya. 22 Scott 2008 menguraikan bahwa kelembagaan adalah gabungan dari elemen regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya bersamaan dengan gabungan aktivitas dan sumber daya, menyajikan stabilitas dan makna untuk kehidupan sosial. Adanya sistem regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya merupakan bahan dasar utama dalam suatu kelembagaan. Ketiga elemen membentuk suatu kontinum yang bergerak dari kebingungan menuju ketidakbingungan, dari tekanan legal menuju penerimaan apa adanya. Sebagai suatu konsepsi yang terintegrasi, merujuk D’Andrade dalam Scott 2008 lebih lanjut mengemukakan bahwa perwujudan kelembagaan adalah untuk menjadi suatu sistem yang lebih menentukan overdetermined systems. Overdetermined yang dimaksud adalah merujuk pada sanksi sosial ditambah dengan tekanan untuk menciptakan konformitas, ditambah dengan adanya penghargaan langsung secara intrinsik, ditambah dengan nilai, dimana keseluruhannya beraksi atau bergerak bersama untuk memberikan sistem makna sehingga menjadi kekuatan yang mengarahkan. Tabel 3. menguraikan tiga elemen tiga pilar yang teridentifikasi sebagai penunjang kelembagaan. Tabel 3. Three Pillars of Institution Regulative Normative Cultural-Cognitif Basis of compliance Expedience Social obligation Taken for-grantness Shared understanding Basis of order Regulative rules Binding expectations Constitutive schema Mechanism Coersive Normative Mimetic Logic Instrumentality Appropriateness Orthodoxy Indicators Rules Laws Sanctions Certification Accreditation Common belief Shared logic of action Isomorphism Affect Fear GuiltInnocence ShameHonor CertaintyConfusion Basis of legitimacy Legally sanctioned Morally governed Comprehensible Recognizable Culturally supported Sumber : Scott, 2008 Scott 2008 lebih lanjut menjelaskan bahwa kelembagaan yang dibentuk atas pilar regulatif mengatur perilaku anggotanya dengan menitikberatkan adanya kepatuhan terhadap proses-proses regulatif yang eksplisit yakni seting peraturan 23 rule-setting, pemantauan monitoring, dan aktivitas pemberian sanksi sanctioning activities . Baik individu maupun organisasi-organisasi mengkonstruksi sistem peraturan atau menyesuaikan diri terhadap peraturan tersebut untuk memenuhi kepentingan mereka seperti melakukan hal-hal yang bersifat instrumental dan menunjukkan kepatuhan. Adanya paksaan menjadi mekanisme kontrol yang tampak dalam proses tersebut. Pemaksaan, sanksi, dan kepatuhan adalah pusat bahan dasar dari pilar regulatif ini, namun ketiganya seringkali muncul dengan adanya peraturan- peraturan, baik dalam bentuk tata kelakuan informal maupun dalam bentuk hukum dan peraturan formal. Terkait dengan keterlibatan kepemimpinan dalam penerapan regulasi ini, bila kekuatan untuk memaksa dilegitimasi atau diperkuat dengan pemberian kewenangan secara normatif maka akan mendukung dan semakin memaksakan penggunaan kekuasaan yang dimiliki. Oleh karena itu, pilar regulatif dan normatif dapat saling menguatkan. Kelembagaan-kelembagaan yang didukung oleh satu pilar, seiring berjalannya waktu dan perubahan lingkungan, dapat bertahan dengan adanya pilar-pilar yang lain. Sistem yang stabil dari suatu peraturan, baik informal maupun formal, dilatarbelakangi oleh adanya pengawasan dan kekuatan untuk memberikan sanksi yang diiringi dengan rasa bersalah atau tidak bersalah. Pilar ini pun menuntut adanya bentuk pengawasan yang relevan dengan kesepakatan, baik secara eksplisit dan implisit serta adanya rancangan insentif atau tunjangan yang tepat. Pilar normatif juga menjadi salah satu bahan dasar kelembagaan yang dititikberatkan pada adanya rumusan atau resep, evaluasi, dan kewajiban sosial dalam kehidupan sosial. Sistem normatif melibatkan nilai dan norma. Nilai adalah konsepsi dari pilihan bersama dengan konstruksi yang standar dimana keberadaan berbagai struktur dan perilaku dapat digabungkan dan dinilai. Sedangkan norma menspesifikasi bagaimana sesuatu harus dijalankan. Nilai dan norma menyatakan suatu makna yang sah untuk mencapai tujuan yang bernilai. Sistem normatif mendefinisikan tujuan dan juga merancang langkah-langkah yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagian nilai dan norma dapat diterapkan kepada seluruh anggota dari suatu kolektivitas, namun sebagian nilai dan norma yang lain hanya dapat diterapkan pada aktor tertentu atau posisi aktor tertentu. Hal ini 24 terkait dengan peranan yang dimiliki aktor tersebut dimana peran dapat didefinisikan sebagai konsepsi dari tujuan dan aktivitas yang tepat dan sebagai individu atau posisi sosial yang spesifik. Keyakinan ini merupakan harapan normatif yakni bagaimana aktor yang spesifik tersebut harus berperilaku, baik dalam konstruksi formal maupun informal. Sebagaimana halnya dalam perilaku berorganisasi yang dispesifikasi dengan adanya standard operating procedures sebagai literatur yang bersifat birokratis dan organisasional. Meskipun pengertian peraturan sudah meluas, tetapi juga termasuk pengetahuan budaya sebagai elemen normatif seperti kebiasaan, prosedur, konvensi, peran, keyakinan, paradigma, kode-kode, budaya-budaya, dan pengetahuan-pengetahuan, semuanya berfokus pada kewajiban sosial. Norma dapat membangkitkan kekuatan perasaan, namun berbeda dengan yang menyertai pelanggaran peraturan dan regulasi. Penyesuaian diri lebih pada evaluasi dan penghargaan dari diri sendiri. Menurut Parsons, keberadaan nilai dan norma menjadi dasar utama untuk membentuk pengaturan sosial yang stabil. Kelembagaan juga dapat didasarkan pada pilar cultural-cognitif atau pengetahuan budaya yang menitikberatkan untuk berbagi konsepsi yang mengkonstitusi keaslian dari realitas sosial dan kerangkanya, melalui pembentukan makna. Dalam paradigma kognitif, apa yang tercipta adalah juga untuk tercipta dalam representasi internal individu terhadap lingkungannya. Simbol-simbol, kata-kata, tanda-tanda, dan gerakan-gerakan tubuh membentuk makna-makan yng diatributkan untuk berbagai objek dan aktivitas. Weber menyatakan bahwa untuk memahami atau untuk menjelaskan berbagai aksi action, tidak hanya menganalisis kondisi objektif, tetapi juga interpretasi subjektif dari pada aktor terhadap aksi action tersebut. Label cultural-cognitif mengakui adanya proses interpretasi “internal” yang dibentuk oleh kerangka budaya “eksternal”. Adanya skema yang terorganisasi dan kebiasaan- kebiasaan merupakan hal yang melekat dalam bentuk budaya itu sendiri. Adapun peran-peran sosial diberikan dari interpretasi yang berbeda-beda secara budaya dibandingkan secara normatif. Peran-peran tersebut muncul sebagai pemahaman bersama yang membangun aksi-aksi tertentu dengan aktor-aktor tertentu pula. Peran-peran yang berbeda dapat dan akan berkembang pada konteks 25 yang terlokalisasi sebagai pola yang berulang. Selain itu, peningkatan dari sistem keyakinan dan kerangka budaya yang semakin meluas diadopsi oleh para aktor baik secara individu maupun organisasi-organisasi. Adapun dimensi afektif dari pilar cultural-cognitif ini mengekspresikan perasaan dari perasaan yang positif untuk merasa yakin dan percaya di satu sisi, sementara merasa tidak yakin dan disorientasi pada sisi yang lain. Konsepsi cultural-cognitif dalam kelembagaan ini menekankan adanya peranan sentral yang dimainkan oleh konstruksi mediasi sosial dan kerangka pemaknaan bersama. Soekanto 1982 lebih lanjut menguraikan bahwa lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan daripada norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Agar hubungan antar manusia di dalam sesuatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka dirumuskanlah norma-norma di masyarakat. Untuk membedakan kekuatan mengikat daripada norma-norma tersebut, maka secara sosiologis terdapat empat pengertian, yaitu : a. cara usage, menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. Norma ini mempunyai kekuatan yang sangat lemah bila dibandingkan dengan kebiasaan folkways; cara usage lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadap norma tersebut, tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, akan tetapi hanya sekedar celaan dari individu dihubunginya. b. kebiasaan folkways, mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada cara. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan perikelakuan yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Apabila seseorang tidak melakukan perbuatan tersebut, maka dianggap sebagai suatu penyimpangan. c. tata-kelakuan mores, yakni kebiasaan yang diterima sebagai norma- norma pengatur. Tata-kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Tata- kelakuan tersebut, di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya, sehingga secara langsung merupakan suatu alat agar 26 supaya anggota-anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan- perbuatannya dengan tata-kelakuan tersebut. d. adat-istiadat custom, merupakan tata-kelakuan yang kuat integrasinya dengan pola-pola perikelakuan masyarakat dan memiliki kekuatan mengikat yang semakin kuat. Anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat-isitiadat, akan mendapat sanksi yng keras dan kadang- kadang secara tidak langsung diperlakukan. Norma-norma tersebut di atas, setelah mengalami suatu proses, pada akhirnya menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan prosess pelembagaan institutionalization, yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan dimana norma kemasyarakatan tersebut dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Scott 2008, terdapat tiga alternatif mekanisme yang menggarisbawahi proses dari pelembagaan sistem sosial yakni pelembagaan berbasis pada pengembalian yang semakin meningkat institutionalization based on increasing return , pelembagaan berbasis pada peningkatan komitmen institutionalization based on increasing commitments, dan pelembagaan berbasis pada peningkatan objektifikasi institutionalization based on increasing objectification. Pusat argumentasi dari pengembalian yang semakin meningkat untuk pelembagaan adalah menggarisbawahi peran insentif sebagai pendorong munculnya motivasi dalam kehidupan sosial. Biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh cost and benefit menjadi hal penting sebagai bentuk positive feedback dalam pelembagaan yang dibangun. Adapun pelembagaan yang ditopang oleh pilar normatif berfokus pada mekanisme dari berbagai komitmen. Dalam prosesnya, melibatkan faktor penting yaitu adanya norma dan nilai norms and values , terkait dengan struktur dan prosedur yang terbentuk structures and procedures , melibatkan para individu individuals, dan terdapat aktor-aktor yang berperan secara kolektif collective actors. Penghargaan terhadap kesepakatan- kesepakatan yang dibangun honoring the contract menjadi utama dalam menjalankan proses tersebut. terdapat makna yang signifikan yakni bahwa untuk melembaga adalah menyatukan nilai dengan penerapan teknis dalam melakukan 27 sesuatu Selznick dalam Scott, 2008. Istilah komitmen itu sendiri dibangun atas dasar berbalikan resiprositas dan kepercayaan trust antara pihak-pihak yang terlibat. Mekanisme pelembagaan yang ketiga adalah pelembagaan berbasis pada peran objektifikasi dari keyakinan-keyakinan yang terbagi diantara individu terkait. Keyakinan-keyakinan objektif seringkali malekat pada rutinitas, bentuk- bentuk dan dokumen-dokumen. Selain itu, proses ini pun menekankan bahwa ide- ide-keyakinan-keyakinan, skema-skema dan asumsi-asumsi memainkan peran yang sangat kuat dalam proses pelembagaan. Sehubungan dengan itu, lembaga kemasyarakatan dapat dibedakan sebagai 1 peraturan regulative social institution dan yang sungguh-sungguh berlaku operative social institution. Lembaga kemasyarakatan dianggap sebagai peraturan apabila norma-norma tersebut membatasi serta mengatur perikelakuan orang-orang. Adapun lembaga kekeluargaan dianggap sebagai yang sungguh- sungguh berlaku, apabila norma-normanya sepenuhnya membantu pelaksanaan pola-pola kemasyarakatan. Perikelakuan perseorangan merupakan hal yang sekunder bagi lembaga kemasyarakatan yang dianggap sebagai peraturan. Proses – pelembagaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi dapat berlangsung lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya menjai institutionalized dalam masyarakat, akan tetapi menjadi internalized. Maksudnya adalah suatu taraf perkembangan di mana para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin berperikelakuan sejalan dengan perikelakuan yang memang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan perkataan lain, norma-norma tadi telah mendarahdaging internalized. Kelembagaan-kelembagaan pertanian sebagai lembaga kemasyarakatan yang ditujukan untuk memenuhui kebutuhan akan mata pencaharian dapat diidentifikasi dari tulisan Kano 1980, Ropke 1986, Hayami dan Kikuchi 1987, Suhirmanto 2003, dan Radandima 2003 yakni kelembagaan hubungan- hubungan kerja pertanian yang meliputi bentuk hubungan kerja sistem gotong royong, sistem upah harian dan sistem upah borongan, dan biaya upah mencangkul, sewa ternak, bajak dan sewa traktor; kelembagaan penguasaan lahan yang meliputi struktur kepemilikan tanah, cara pengusahaan tanah, pola 28 penyakapan, tingkat keeratan hubungan pemiliki-penyakap, serta arah dan cara peralihan hak milik atas tanah; kelembagaan panen, kelembagaan sewa lahan, kelembagaan sewa lahan, kelembagaan bagi hasil, kelembagaan bagi hasil bibit, kelembagaan pinjaman modal, kelembagaan tebasan, kelembagaan diversifikasi, kelembagaan sistem pengairan. Kelembagaan-kelembagaan tersebut muncul dan berubah seiring dengan perkembangan sistem pertanian dari tradisional menjadi sistem pertanian modern atau konvensional. Selain itu, dinamika kelembagaan tersebut juga terbentuk dengan masuknya teknologi seperti halnya teknologi irigasi. Namun, faktor lain yang utama mempengaruhi dinamika kelembagaan pertanian tersebut adalah kebijakan revolusi hijau sebagai implementasi dari modernisasi pertanian. Sehubungan dengan itu, seiring dengan adanya perubahan sistem pertanian maka berubah pula kelembagaan pertanian pada masyarakat setempat. Demikian pula halnya dengan terjadinya perubahan dari sistem pertanian modern atau konvensional menjadi sistem pertanian organik. Beberapa Hasil Penelitian Kelembagaan Pertanian Padi Sawah Merujuk pada Suhirmanto 2003 dan Radandima 2003, diketahui bahwa introduksi pertanian modern telah menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan-kelembagaan pertanian. Hasil penelitian Suhirmanto 2003 menunjukkan bahwa, berubahnya sistem pertanian dari sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern berdampak pada melemahnya kelembagaan tradisi baik pada bidang kegiatan produksi maupun non-produksi. Selain itu, juga menyebabkan tidak berfungsinya kelembagaan formal seperti kelompok tani dan koperasi unit desa. Akan tetapi, di sisi lain perubahan tersebut juga membentuk kelembagaan-kelembagaan baru yaitu : 1 sewa lahan, 2 bagi hasil, 3 bagi hasil bibit, 4 pinjaman modal, 5 tebasan, 6 diversifikasi pertanian, 8 sistem tenaga upah. Adapun dari hasil penelitian Radandima 2003, diketahi bahwa pertanian modern melalui adanya pembangunan irigasi menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan penguasaan lahan dan kelembagaan hubungan kerja pertanian. Hayami dan Kikuchi 1987 menguraikan analisis kelembagaan yang secara khusus diartikan sebagai hubungan kontrak antara petani dan buruh tani yang 29 dikembangkan dalam satuan usahatani keluarga rumahtangga petani. Hubungan “bapak-anak buah” antara petani dan buruh tani itu digambarkan sebagai kompleks beragam kaitan pasaran dengan saling mengenal pribadi dimana syarat ekonomi dan efisiensi dapat terjamin. Kano 1980 menguraikan sejarah perekonomian masyarakat pedesaan di Jawa dengan menyajikan tinjauan kritis Collier terhadap konsep Geertz mengenai involusi pertanian. Collier dalam Kano 1980 menyampaikan pandangan bahwa introduksi pertanian modern melalui penerapan dan perluasan program Bimas, khususnya dengan penggunaan jenis-jenis bibit unggul, telah meningkatkan pemakaian tenaga kerja dan produktivitas sawah. Ropke 1986 menguraikan inovasi pertanian melalui kebijakan revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada hak-hak panen dalam budidaya padi. Berkembangnya teknologi pupuk dan benih telah menyebakan perubahan pada institusi panen yaitu dari hak panen dengan sistem terbuka menjadi lebih eksklusif dengan sistem kontraktual. Hak panen yang lebih terbatas diberikan kepada pekerja yang menandatangani kontrak, untuk melakukan kegiatan “tanpa bayaran” seperti memindahkan tanaman padi yang masih muda, membersihkan gulma, dan lain-lain. Berbagai bentuk perubahan kelembagaan sebagai dampak munculnya introduksi pertanian modern pada padi sawah sebagaimana yang diuraikan oleh para ahli di atas dapat dilihat dalam Tabel 4.

2.1.6 Pertanian Berkelanjutan