Kendala yang Dihadapi untuk Mencapai Pertanian Berkelanjutan

139

7.3 Kendala yang Dihadapi untuk Mencapai Pertanian Berkelanjutan

Dalam perkembangannya, kelembagaan-kelembagaan dalam sistem pertanian padi sehat sudah terbentuk dan didukung oleh faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan tersebut. Akan tetapi, masih terdapat berbagai kendala struktur dan kendala kultur sehingga menjadi kendalam untuk mencapai pertanian berkelanjutan baik pada dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi. Hal ini terkait oleh karena sistem pertanian padi sehat di Kampung Ciburuy masih berada dalam proses pergeseran dari sistem pertanian padi non-organik menuju sistem pertanian organik murni. Kendala struktur lebih terkait dengan masalah-masalah peran dan status yang berdampak pada penguasaan aset dan pengambilan keputusan seperi halnya tejadinya dominasi kepemimpinan dan kecenderungan monopoli usaha jual-beli beras di Kampung Ciburuy tersebut. Adapun kendala kultur lebih terkait dengan budaya, nilai, norma, sikap komunitas petani, kepatuhan kepada pemimpin, menjaga komitmen dan keharmonisan hubungan. Kendala umum yang tampak adalah bahwa komunitas petani setempat tidak memiliki aset komunitas. Sebagian besar aset produksi dikuasai oleh tokoh masyarakat setempat dan keluarganya sehingga menjadi kendala tersendiri dalam mewujudkan proses pemberdayaan komunitas. Penguasaan aset produksi ini berdampak pada proses-proses pengambilan keputusan di tingkat komunitas. Implikasi lebih lanjut, merujuk pada tipe partisipasi Arnstein 1969, partisipasi komunitas petani pun tampaknya hanya berada pada tipe partisipasi informasi dan konsultasi atau pada tingkatan tokenism. Artinya, komunitas bisa mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat tetapi tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi. Tokoh masyarakat setempat mendominasi pengambilan keputusan terlebih keputusan-keputusan yang terkait dengan pemanfaatan sejumlah aset produksi yang beliau miliki. Seperti halnya untuk membangun kerjasama mengelola beras SAE ini, atau untuk menerima program bantuan dana pengembangan kelompok tani. Semua bentuk pengelolaan pendanaan dan administrasi terkait dengan pengembangan kelompok tani berada di tangan beliau. Hal ini pun mengingat posisi Pak Haz sebagai ketua Gabungan Kelompok Tani Silih Asih yang bertanggung jawab atas pengelolaan program 140 tersebut. Hingga saat ini pun, belum ada orang atau anggota keluarga yang dapat menggantikan kepemimpinan beliau. Kendala umum lain yang tampak adalah bahwa sistem pertanian padi sehat ini tidak berperspektif gender. Hal ini dikarenakan pembagian kerja pada komunitas petani setempat cenderung bias gender. Pembagian kerja sudah menentukan mana yang umumnya dikerjakan oleh laki-laki dan mana yang umumnya dikerjakan oleh perempuan. Padahal, sistem pertanian organik pada prinsipnya ditujukan untuk memberi ruang artikulasi bagi para perempuan untuk dapat mengakses dan mengontrol sumber daya terkati dengan penerapan sistem pertanian organik tersebut. Akan tetapi, tidak demikian halnya di Kampung Ciburuy. Laki-laki memiliki beban kerja yang lebih banyak dibandingkan perempuan termasuk mengakses, mengontrol, dan mengambil keputusan terkait dengan pengelolaan lahan pertaniannya. Termasuk partisipasi dalam kegiatan kelompok tani, kegiatan koperasi, dan kegiatan penyuluhan lebih didominasi oleh laki-laki. Berbagai kendala juga terdapat teridentifikasi dari setiap bentuk kelembagaan. Pada kelembagaan koperasi kelompok tani Lisung Kiwari, kendala tampak dimana hanya ketua kelompok tani yang mengakses fungsi koperasi dan berperan dalam menjembatani anggota kelompok dengan koperasi tersebut. Beberapa anggota kelompok tani lebih memilih untuk mewakilkan peminjaman input atau modal uang kepada koperasi melalui ketua kelompok. Menurut petani tersebut, lebih mudah berurusan dengan ketua kelompok dibandingkan langsung dengan pengurus koperasi. Sebagian anggota kelompok tani yang lain, memilih tidak menjadi anggota koperasi akan tetapi tetap dapat meminjam input pertanian dan modal uang dengan menyebutkan nama ketua dan nama kelompoknya untuk dicatat oleh Kang Hk selaku pengurus koperasi. Indikasi kondisi tersebut juga tampak dari daftar anggota koperasi koperasi Lisung Kiwari yang menunjukkan bahwa petani padi yang menjadi anggota koperasi hanya 30 persen dari anggota koperasi Laporan Rapat Tahunan Koperasi Lisung Kiwari Tahun 2008. Ketika penelitian berlangsung, jumlah anggota koperasi tersebut sebanyak 100 orang, jadi petani padi yang menjadi 141 anggota koperasi hanya sebanyak 30 orang. Padahal dari data anggota kelompok tani, diketahui total petani padi berjumlah 168 orang. Selain itu, dari Laporan Rapat Tahunan Koperasi Lisung Kiwari Tahun 2008, diketahui bahwa usaha beras SAE tidak menjadi unit usaha koperasi tetapi menjadi usaha Kang Hk pribadi. Hal ini dapat dipahami oleh karena sejumlah sarana dan prasarana seperti lokasi penggilingan beras, lokasi penjemuran padi, gudang pupuk, gudang alat mesin pertanian, ruang penapian beras, ruang pengemasan beras SAE, kendaraan pengangkut hasil panen, traktor, bahkan lahan tempat koperasi tersebut berada merupakan aset keluarga Kang Hk yang berarti juga aset Pak Haz. Termasuk lahan tempat saung pertemuan, ruang belajar kelompok, ruang mushola, toilet, ruang sekertariat juga berada di atas lahan keluarga Pak Haz. Menurut Kang Hk, koperasi membayar uang sewa lahan kepada Pa Haz selaku atas nama keluarga sebesar Rp 600.000,- per tahun, sedangkan Gapoktan Silih Asih yang seringkali mengadakan kegiatan di saung pertemuan dan ruang belajar membayar sewa lahan kepada Pak Haz sebesar Rp 1.000.000,- per tahun. Pada kelembagaan kelompok tani, upaya revitalisasi kelompok tani sudah diupayakan seperti dengan pemilihan kembali ketua kelompok tani dan mengadakan pertemuan inter kelompok tani secara rutin. Ketua kelompok tani sebelumnya tampak kurang aktif menggerakkan anggota kelompoknya baik untuk menyebarluaskan informasi maupun untuk hadir ke saung pertemuan. Oleh karena itu, ketua kelompok tani dipilih kembali dengan pertimbangan bahwa ketua kelompok mudah ditemui, akses terhadap informasi dari saung pertemuan, responsif terhadap informasi baru, dan bersedia memonitor perkembangan anggota kelompoknya dalam menerapkan sistem pertanian padi sehat. Ketua kelompok terpilih merupakan manajer pengendali mutu yang melakukan pertemuan secara rutin dengan penyuluh dan Pak Haz selaku tokoh masyarakat dan ketua Gapoktan. Pemilihan ketua kelompok ini tampak kurang melibatkan partisipasi para anggota kelompok. Ketua kelompok terpilih pun cenderung adalah orang-orang terdekat Pak Haz, seperti Pak Jy adalah buruh tetap Pak Haz, Pak Suk adalah pekerja pada Kang Hk, Kang Ipg adalah adik Pak Haz, Pak Jum adalah 142 buruh tetap Pak Haz yang menjadi operator bajak. Di sisi lain, pemilihan ketua kelompok tersebut pun ditujukan untuk mempermudah koordinasi kelompok tani. Kendala lain yang tampak pada kelembagaan kelompok tani adalah bahwa Sebagian besar petani belum mampu menerapkan sistem budidaya padi sehat karena masih belum mengetahui manfaat dan keuntungannya. Tidak mudah bagi petani untuk merubah kebiasan bertaninya. Pada umumnya, para anggota kelompok lebih mudah mencontoh keberhasilan cara budidaya setelah ketua kelompok mereka berhasil menerapkan cara tersebut. Untuk menerima suatu hal baru, para petani masih berprinsip percaya setelah melihat bukti nyata seeing is believing . Selain itu, hanya sebagian kecil petani yang sudah menerapkan budidaya padi sehat merujuk pada SOP yang telah disusun. Dari hasil diskusi bersama pada ketua kelompok tani dan pendataan yang telah mereka lakukan, diketahui bahwa tingkat penerapan SOP budidaya padi sehat sangat bervariasi. Oleh karena itu, masih memerlukan waktu dan proses yang cukup lama untuk mencapai sebagian besar petani padi mau dan mampu menerapkan budidaya padi sehat sesuai SOP setempat Pada kelembagaan penyuluhan, pengembangan sistem pertanian organik menjadi bagian program-program dinas pertanian sebagai representasi Departemen Pertanian selaku instansi pemerintah yang bertugas memajukan bidang pertanian di Indonesia. Secara umum, sejauh ini belum adanya kebijakan nasional yang sifatnya peraturan-perundang-undangan yang secara ketat dan focus dalam pengembangan sistem pertanian organik. Kebijakan pemerintah untuk menjalankan “Go Organic 2010” baru sebatas pemberian subsidi pupuk dan pestisida organik kepada para petani. Padahal pada prinsipnya, pertanian organik bukan hanya sebatas mengganti pupuk dan pestisida kimia dengan pupuk dan pestisida alami atau organik. Pertanian organik lebih ditujukan untuk mewujudkan sistem pertanian yang merujuk pada prinsip health, ecology, fairness dan care. Sistem pertanian organik lebih diupayakan untuk mendorong kedaulatan, pemberdayaan, partisipasi, dan keswadayaan petani. Sehubungan dengan itu, pemerintah diharapkan dapat mendukung upaya-upaya revitalisasi kelompok tani. Sebagaimana halnya dalam pengembangan sistem pertanian padi sehat di Kampung Ciburuy, revitalisasi kelompok tani diwujudkan dengan adanya 143 program manajer pengendali mutu. Di samping penggalangan dana swadaya dari kelompok-kelompok tani, pemerintah diharapkan dapat memberi bantuan dana untuk mendukung program ini. Lebih lanjut, pemerintah diharapkan lebih berperan dalam pemberian subsidi bagi para petani oleh karena pada tahap awal menerapkan sistem pertanian organik tersebut, para petani relatif mengalami kerugian. Pada tahap awal, sistem ini dapat menurunkan produktivitas oleh karena ekosistem beradaptasi dengan input baru yang bersifat organik. Dalam masa pemulihan, lahan terus beradaptasi untuk meningkatkan kadar bahan organik dalam tanah. baru setelah stabil, dengan masa tanam berulang kali, sistem pertanian organik ini dapat memberikan keuntungan baik secara ekonomi maupun secara ekologi. Di samping itu, pemerintah pun lebih diharapkan untuk membantu perluasan pemasaran produk organik, membantu sertifikasi produk namun dengan standar yang mempertimbangkan keragaman aspek lokalitas. Pemerintah pun dapat menentukan harga dasar yang lebih tinggi untuk gabah yang dibudidayakan dengan sistem pertanian organik. Pada kelembagaan produksi, kendala yang dihadapi adalah belum mampunya komunitas petani setempat untuk menghasilkan 100 padi yang dibudidayakan dengan teknik dan prinsip organic karena masih belum bisa lepas dari penggunaan pupuk kimia urea, TSP, phonska. Selain itu, kualitas air yang mengairi lahan sawah belum teruji bebas polusiracun kimia dan lahan penanaman padi pun tidak terisolasi dari polusi bahan kimia yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Oleh karena itulah, para petani setempat tidak menyatakan sistem pertanian padi sehat sebagai sistem pertanian organik. Lebih lanjut, cara-cara berproduksi tidak didasarkan pada tata aturan komunal dan hampir tidak ada budaya tradisional yang dilakukan oleh para petani terkait dengan budidaya padi mereka. Ini terkait oleh karena semakin menguatnya komitmen-komitmen yang dibangun menjadi basis kepatuhan para petani dalam menjalankan mekanisme kelembagaan produksi maupun kelembagaan lain. Hal ini pun tidak terlepas dari semakin menguatnya rasionalitas petani seiring dengan nilai-nilai komersialisme yang sangat dominan mewarnai sistem budidaya padi sehat. Sehubungan dengan hal itu, dikembali ditekankan bahwa pada dasarnya 144 sistem pertanian organik tidak ditujukan untuk kembali pada sistem pertanian tradisional. Back to nature yang diharapkan adalah kembalinya sistem pertanian pada prinsip-prinsip yang diusung oleh sistem pertanian organic sehingga dapat mewujudkan pertanian berkelanjutan. Pada kelembagaan pasca panen, kendala yang tampak adalah Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari terkadang kurang menjamin kualitas beras yang dijual. Beras yang sudah dipacking terkadang banyak kutu. Hal ini juga terkait dengan lokasi pengemasan yang kurang terjamin kebersihannya. Pihak LPS terkadang menerima keluhan dari konsumen terkait dengan kondisi ini, dan beras yang sudah dipihak LPS pun terpaksa di retur dikembalikan kepada pihak koperasi. Kondisi ini menyebabkan kerugian bagi kedua pihak baik dari biaya, waktu, dan melemahkan komitmen serta kepercayaan antara koperasi-pihak LPS- maupun konsumen. Pada kelembagaan distribusi, beberapa kendala yang tampak adalah harga pembelian gabah ke petani tetap mengikuti harga pasar. Beras yang dibeli oleh koperasi dengan harga yang lebih tinggi dari beras yang bukan padi sehat ditentukan oleh kadar air dalam beras dan kualitas gabah yang dihasilkan. Harga penjualan pun relatif ditetapkan atas dasar kesepakatan antara Kang HK dan petani. Sehubungan dengan itu, adanya jaminan pasar pun tampaknya belum berdampak pada peningkatan pendapatan petani penggarap. Namun, adanya jaminan pasar tersebut memberi kemudahan bagi para petani untuk segera menggulirkan kembali hasil penjualan panen menjadi modal pada musim tanam berikutnya. Ditinjau dari margin keuntungan, memang perlu dicermati biaya dan manafaat yang diperoleh masing-masing pihak. Di tingkat petani, gabah dijual kepada koperasi dengan harga Rp 2100,- per kilogram. Di tingkat koperasi, harga beras sebelum dikemas dijual kepada LPS dengan harga Rp 30.000,- per 5 kilogram atau Rp 6.000,- per kilogram. Di tingkat LPS, beras setelah dipacking dan diberi label dijual kepada distributor dengan harga Rp 39.000,- per 5 kilogram atau Rp 7.800,- per kilogram. Di tingkat distributor, beras dijual kepada konsumen dengan harga Rp 42.000,- per 5 kilogram atau Rp 8.400,- per kilogram. 145 Sekilas margin keuntungan dari transaksi jual-beli beras ini tampaknya paling besar diperoleh koperasi dengan margin Rp 3900,- per kilogram, sementara keuntungan di pihak LPS hanya sebesar Rp 1.800,- dan pihak distributor memperoleh keuntungan sebesar Rp 600.- per kilogram. Sayangnya, margin keuntungan di tingkat koperasi bukan menjadi bagian keuntungan anggota untuk menjadi bagian perhitungan sisa hasil usaha koperasi. Terlepas dari hal itu, pada saat dikonfirmasikan kepada petani setempat, pada dasarnya mereka mengetahui bahwa margin keuntungan yang lebih besar berada di tingkat koperasi. Akan tetapi, pihak koperasi menjelaskan bahwa keuntungan tersebut memang lebih besar namun tidak segera diperoleh dalam waktu singkat. Pihak koperasi harus menunggu beras laku terjual atau didistribusikan oleh pihak LPS, baru kemudian pihak koperasi memperoleh pembayaran dari transaksi jual-beli tersebut. Selain itu pun, biaya pasca panen lebih banyak dikeluarkan oleh pihak koperasi seperti biaya penggilingan, penapian, pengepakan, dan penyimpanan menjadi bagian resiko pihak koperasi. Lebih lanjut, Kang HK menjelaskan bahwa para petani meskipun dengan harga jual gabah yang lebih rendah dari harga jual beras, namun transaksi dilakukan secara tunai dan langsung. Para petani tidak perlu menunggu pembayaran dari transaksi jual-beli beras sampai gabahnya menjadi beras dan laku terjual hingga konsumen. Merujuk penjelasan kedua pihak ini, dengan mempertimbangkan biaya dan resiko yang harus dikeluarkan oleh para pihak maka pihak-pihak yang terkait pun memandang margin keuntungan yang diperoleh masing-masing relatif adil. Namun, pada dasarnya peningkatan pendapatan bagi para petani tetap perlu diupayakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kendala lain yang tampak adalah bahwa beras SAE dengan kualitas terbaik yang sudah ditapi dan dikemas tidak dikonsumsi oleh warga sekitar tapi untuk konsumen di luar komunitas. Hal ini diindikasikan dimana dari 7 warung yang menjual beras, hanya 1 warung yang menjual beras dari penggilingan setempat tempat penggilingan beras SAE. Kondisi ini ini menunjukkan bahwa beras dengan kualitas baik tersebut bukan untuk dikonsumsi masyarakat setempat. Beras sehat tersebut ditujukan untuk memenuhi “kesehatan” konsumen yang pada umumnya di luar masyarakat Kampung Ciburuy. Hal ini cukup disayangkan oleh 146 karena sistem pertanian padi sehat belum sepenuhnya menerapkan prinsip kepedulian pada masyarakat terdekat disekitarnya untuk dapat mengkonsumsi beras dengan kualitas yang lebih baik. Di sisi lain, kondisi ini pun terkait dengan tingkat daya beli masyarakat yang relatif rendah terlebih harga beras SAE di tingkat konsumen mencapai dua kali lipat harga beras pada umumnya. Dari hasil diskusi dengan para petani, hanya keluarga petani saja yang dapat mengkonsumsi beras SAE tersebut oleh karena hasil panen padinya disimpan sebagian untuk cadangan pangan keluarga. Di samping kendala-kendala di atas, oleh karena adanya kendala faktor alam, koperasi terkadang tidak dapat memenuhi target penyediaan beras sebagaimana yang telah disepakati. Di sisi lain, oleh karena kendala keuangan, pihak LPS terkadang tidak dapat memenuhi target pembayaran pada waktu yang telah ditetapkan bersama. Sejauh ini kondisi tersebut dapat diantisipasi dengan membangun rasa saling pengertian diantara kedua pihak.

7.4 Pencapaian Dimensi-Dimensi Pertanian Berkelanjutan