Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Kelembagaan

33 2. keberlanjutan pertanian sebagai pertanyaan ekologis merujuk pada suatu sistem pertanian dimana mengurangi polusi dan fakor-faktor yang merusak keseimbangan ekologi dari sistem yang tidak berkelanjutan. Kondisi tersebut seharusnya digantikan dengan sesuatu yang menghargai kealamian fungsi-fungsi penguatan biofisik dalam jangka waktu lama. 3. keberlanjutan pertanian di bawah istilah pertanian alternatif, menempatkan keberlanjutan tersebut pada titik berat yang paling utama terkait dengan keberlanjutan tidak hanya sebagai sumber daya fisik tapi sejumlah set nilai-nilai komunitas National Research Council dalam Eicher, 1998. Masyarakat dan komunitas pedesaan memiliki ilmu-ilmu konvensional yang mendasari sistem pertanian dan sistem pengelolaan lingkungan mereka. Sehubungan dengan itu, hal ini menjadi perhatian utama dalam upaya penguatan atau merevitalisasi dari budaya dan komunitas pedesaan itu sendiri, dipandu oleh nilai-nilai gotong-royong dan kemandirian diri dan atau adanya pendekatan secara keseluruhan dan terintegrasi dari dimensi fisik dan kultural dari produksi dan konsumsi.

2.1.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Kelembagaan

Menurut Cernea 1993, dalam perspektif sosiologi, terdapat dua elemen yang dapat menjadi alat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan yakni adanya pengorganisasian sosial social organization dan teknik sosial social techniques . Pertama, pengorganisasian sosial sebagai konsep yang membantu menjelaskan mengenai aksi sosial, hubungan antar manusia, bentuk kompleks dari organisasi sosial, perencanaan kelembagaan, dan aspek budaya, motivasi, stimulus, dan nilai yang meregulasi perilaku dalam berhadapan dengan sumber daya alam. Pengorganisasian sosial merupakan bangunan sosial yang mencakup para pelaku sosial itu sendiri; kontrak sosial yang mengatur hubungan antara masyarakat lokal dengan para stakeholder; hak-hak pengelolaan sumber daya alam yang merujuk pada sistem budaya setempat, meliputi hak kepemilikan, penguasaan, atau penentuan orang yang memiliki peran sebagai “public building”; sistem otoritas dan mekanisme penguatan kepatuhan; ketiadaan batas-batas antara selang pengorganisasian produksi dari sistem berbasis keluarga menjadi 34 perusahaan besar; pertukaran jaringan tenaga kerja; termasuk nilai dan sistem kepercayaan setempat. Kedua, adanya teknik sosial yang tepat untuk mempercepat koordinasi aksi sosial, mencegah keburukan perilaku, membantu perkembangan asosiasi, keahlian dalam perencanaan sosial, dan pembangunan modal sosial. Teknik sosial sebagai alat untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan ini berada pada selang dari membangun kesadaran publik hingga berinvestasi dalam membangun modal sosial, dari konsultasi-konsultasi sederhana hingga membangun pengelolaan partisipatif, dari sistem insentif hingga kontrol kelembagaan, dari tradisi hingga merubah praktik lama dan memperkenalkan inovasi baru, dari pemberdayaan hingga membentuk kohesi sosial, dari perilaku individu yang bermotif ekonomi hingga membangun kekuatan solidaritas, kepercayaan, pengorganisasian diri dan penerimaan nilai-nilai kelompok. Alat tersebut juga dapat dikombinasikan untuk merubah pola-pola sosial alat dan mempromosikan budaya dari proteksi sumber daya alam. Community-centered approach menjadi salah satu strategi. Strategi yang bersifat sosial dan teknis serta rumusan tujuan harus diarahkan untuk membangun dan memperkuat pengaturan kelembagaan. Suatu teknik sosial tidak bisa diterapkan secara universal karena keragaan struktur kelembagaan untuk pengelolaan lingkungan pada level lokal membutuhkan lebih dari sekedar mengembalikan tradisi dan kelembagaan lama. Lebih lanjut, keberlanjutan kelembagaan itu sendiri ditentukan oleh adanya partisipasi masyarakat, tata kelola yang baik dalam sistem pemerintahan, kinerja masyarakat, kompleksitas masyarakat, dan kemerosotan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan pada masyarakat tersebut. Adapun merujuk pada Tonny 2004, tingkat keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal dapat dianalisis dari faktor-faktor internal dan eksternal sebagai faktor-faktor penentu yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal. Komunitas lokal tersebut juga mencakup komunitas petani padi sawah. Faktor-faktor eksternal yang dimaksud adalah meliputi 1 intervensi pemerintah yang berdampak positif, 2 intervensi pemerintah yang berdampak negatif, 3 Ketersediaan sarana dan prasarana umum, dan 4 jejaring kerjasama antar kelembagaan. Sedangkan faktor-faktor internal mencakup 1 kepemimpinan, 2 35 pendidikan anggota, 3 aturan tertulis, 4 aturan tidak tertulis, 5 ukuran kelembagaan, 6 usia kelembagaan, 7 kecukupan anggaran, dan 8 proses pendirian kelembagaan. Namun, secara spesifik dari hasil penelitian mengenai keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal di Daerah Aliran Sungai DAS Citanduy diketahui bahwa adanya program-program pengembangan jejaring kerjasama, intervensi positif pemerintah, kecukupan anggaran, dan aturan-aturan tertulis dapat meningkatkan keberlanjutan kelembagaan grassroots di DAS Citanduy tersebut. 2.1.3 Dari Revolusi Hijau ke Pertanian Organik : Pergeseran Paradigma Pembangunan Revolusi hijau merupakan kebijakan pembangunan yang dapat dianalogikan dengan pembahasan Korten 1984 tentang ”pembangunan yang mementingkan produksi”. Menurutnya, pendekatan pembangunan seperti itu terutama berkiblat pada kebutuhan sistem komando yang menitikberatkan pada kekuasaan formal, kurang memihak pada kelembagaan non-formal sehingga lambat menyesuaikan diri dengan jaringan yang dibentuk di sekitar masyarakat setempat. Pembangunan yang mementingkan produksi tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip sentralisasi, mobilisasi, penaklukan, eksploitasi, hubungan fungsional, nasional, ekonomi konvensional, unsustainability. Program pembangunan dengan pendekatan seperti production centered development sulit untuk melembaga dalam kehidupan masyarakat dengan ikatan tradisi yang masih kuat karena pendekatan tersebut mementingkan produksi dan berdasarkan pandangan materialistis yang sempit terhadap tujuan-tujuan masyarakat. Menurut Korten 1984, jalan keluarnya adalah melaksanakan program pembangunan dengan pendekatan ”pembangunan memihak rakyat” people centered development , yang memperhatikan inisiatif yang kreatif dari masyarakat sebagai sumber pembangunan yang utama. Lebih lanjut, pembangunan yang memihak rakyat ini didasarkan atas prinsip-prinsip desentralisasi, partisipasi, pemberdayaan, pelestarian, jejaring sosial, teritorial, keswadayaan lokal, dan sustinability. Dalam konteks pergeseran paradigma pembangunan ini, maka perubahan sistem pertanian dari non-organik yang didasarkan atas kebijakan revolusi hijau 36 menuju sistem pertanian organik tampak pada Gambar 2. Lebih lanjut, Korten and Carner 1984 menjelaskan beberapa pengertian dari prinsip-prinsip tersebut. Sentralistik merujuk pada pemusatan kebijakan pembangunan yang didominasi oleh pemerintah pusat. Melalui desentralisasi, kebijakan pembangunan diarahkan untuk lebih diinisiasi di tingkat lokal. Dengan kebijakan yang berada di tangan pemerintah pusat ini, mengarahkan seluruh masyarakat untuk menerapkan kebijakan tersebut. Proses mobilisasi ini bertolak belakang dengan partisipasi. Menurut Arnstein 1969, partisipasi adalah suatu proses bertingkat dari pendistibusian kekuasaan pada komunitas sehingga mereka memperoleh kontrol lebih besar pada hidup mereka sendiri. Menurut Arnstein 1969, terdapat 8 tingkatan yang menunjukkan tipe partisipasi dan non-partisipasi komunitas citizen dalam menentukan “produk akhir” Gambar 3. Gambar 2. Perubahan Sistem Pertanian dari Non-Organik menuju Sistem Pertanian Organik dalam Konteks Pergeseran Paradigma Pembangunan Sistem Pertanian Non-Organik Sistem Pertanian Organik Input luar Orisinil Irasional – tidak seimbang Rasional – seimbang Persoalan lingkungan di tingkat dunia Global – direspon seluruh dunia Tidak aman bagi manusia dan lingkungan Aman – sehat bagi manusia dan lingkungan Menciptakan ketergantungan Netral – tidak menciptakan ketergantungan Eksternal – sumber daya luar Internal – sumberdaya potensi lokal 37 Manipulasi dan terapi disebut juga level non-participation, dimana adanya partisipasi lebih dikarenakan adanya tekanan pemegang kekuasaan. Inisiatif pembangunan pun tidak bertujuan untuk memberdayakan komunitas tetapi membuat pemegang kekuasaan untuk “menyembuhkan” atau “mendidik” komunitas. Pada level partisipasi informing tokenism menunjukkan bahwa komunitas bisa mendapatkan informasi, sementara pada level partisipasi consultation tokenism menunjukkan bahwa adanya konsultasi menunjukkan bahwa komunitas dapat menyuarakan pendapat, akan tetapi pada kedua level tersebut tidak ada jaminan kalau pendapat komunitas akan diakomodasi. Placation sebagai level tertinggi tokenism, komunitas bisa memberikan saran kepada pemegang kekuasaan, tetapi kewenangan menentukan tetap ada pada pemegang kekuasaan. Patnership, membuat komunitas dapat bernegoisasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Pendelegasian kewenangan dan kontrol, komunitas memegang mayoritas pengambilan keputusan dan kekuasaan pengelolaan. Paradigma pembangunan yang mementingkan produksi memiliki prinsip penaklukan dimana kekuasaan, pengambilan keputusan, akses dan kontrol sumberdaya berada di tangan pemerintah pusat. Sementara paradigma pembangunan yang memihak rakyat, membantu masyarakat untuk berdaya dalam Gambar 3. Tingkatan Tipe Partisipasi dan Non-Partisipasi Komunitas 38 mengelola sumberdaya mereka. Menurut Jim Ife 1995, pemberdayaan artinya memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan kepada warga untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menentukan masa depannya sendiri dan berpartisipasi dalam dan memenuhi kehidupan komunitasnya. Demi kepentingan peningkatan produksi, eksploitasi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan tidak mempertimbangkan keberlanjutan dan kapasitas daya dukung alam sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan dan semakin cepatnya pengurangan sumberdaya alam Korten and Carmer, 1984. Padahal menurut IFOAM 2008, sumberdaya alam pun terbatas sehingga diperlukan prinsip-prinsip pengelolaan yang adil untuk menjamin kelestarian sumberdaya alam sekaligus menjamin kelangsungan hidup manusia. Di samping itu, pembangunan yang mementingkan produksi diimplementasikan melalui hubungan-hubungan fungsional seperti melalui birokrasi lembaga-lembaga pemerintah terkait merujuk pada tugas pokok dan fungsi lembaga-lembaga tersebut. Berbeda halnya dengan pembangunan yang memihak rakyat yang lebih mengutamakan terbangunnya jejaring sosial. Hubungan-hubungan yang terbentuk di antara pihak-pihak terkait baik dari elemen pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, maupun masyarakat itu sendiri merupakan mekanisme dan manifestasi dalam mencapai tujuan pembangunan Korten, 1984. Pada pembangunan yang mementingkan produksi, peningkatan produksi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam skala nasional. Implikasinya adalah proses produksi yang bersifat massal melalui industrialisasi dan penyeragaman produk. Keragaan produksi diindikasikan dengan peningkatan pendapatan secara nasional dengan mengesampingkan indikator sistem produksi yang menjamin kesehatan manusia dan kelangsungan lingkungan. Padahal merujuk pembangunan yang memihak rakyat, basis teritori menjadi penting. Menurut Korten 1984, paradigma tersebut tidak mengesampingkan produktivitas karena menjadi faktor kelangsungan hidup manusia. Namun, keragaan produksi tersebut didasarkan atas kebutuhan setiap masyarakat yang relatif berbeda-beda menurut ketersediaan sumberdaya lokal yang dimilikinya. Keswadayaan lokal menjadi sistem ekonomi yang dapat mendorong terakumulasinya aset komunitas. Aset bersama tersebut 39 digunakan untuk menjamin kelangsungan sistem produksi yang dapat memenuhi kebutuhan komunitas dengan mempertimbangkan indikator kesehatan dan keberlanjutan sistem ekologi setempat. Keberlanjutan tersebut merupakan salah satu prinsip penting dalam pembangunan yang memihak rakyat.

2.2 Kerangka Pemikiran

Pembangunan pertanian industrial merupakan sebuah implementasi dari adanya modernisasi pertanian. Banyak ahli mengemukakan bahwa pertanian modern melalui kebijakan revolusi hijau tersebut menyebabkan berbagai dampak negatif termasuk terjadinya perubahan dalam bentuk-bentuk kelembagaan pertanian khususnya pada budidaya padi sawah. Oleh karena itu, untuk mengatasi dampak negatif yang muncul tersebut berkembanglah isu pertanian berkelanjutan yang salah satu bentuknya adalah sistem pertanian organik. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat sehubungan dengan sistem pertanian organik, diperlukan suatu mekanisme pengaturan yakni dengan adanya peran dan fungsi kelembagaan pertanian. Kelembagaan pertanian organik yang dimaksud menyangkut seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya tertentu. Kelembagaan tersebut ditopang oleh gabungan dari elemen regulative, normative, dan cultural-cognitive bersamaan dengan gabungan aktivitas dan sumber daya hingga menyajikan stabilitas dan makna untuk kehidupan sosial. Pilar regulatif mengatur perilaku anggotanya dengan menitikberatkan adanya kepatuhan terhadap proses-proses regulatif yang eksplisit yakni seting peraturan rule-setting, pemantauan monitoring, dan aktivitas pemberian sanksi sanctioning activities. Pilar normatif menitikberatkan pada adanya rumusan atau resep, evaluasi, dan kewajiban sosial dalam kehidupan sosial. Adapun pilar cultural-cognitif menitikberatkan adanya proses berbagi konsepsi yang