Kelembagan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik (Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy,Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat)

(1)

KELEMBAGAAN BERKELANJUTAN DALAM

PERTANIAN ORGANIK

(STUDI KASUS KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH,

KAMPUNG CIBURUY, DESA CIBURUY, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)

HANA INDRIANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik (Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantukan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Hana Indriana NRP I3510060021


(3)

ABSTRACT

HANA INDRIANA. Sustainable Institutions In Organic Agriculture (Case Study of Paddy Peasant Community, Kampung Ciburuy, Ciburuy Village, Cigombong District, Bogor Residence, West Java Province). Under direction of FREDIAN TONNY and NURMALA K. PANDJAITAN).

Organic agriculture system has already developed and sustain until today in the middle of agricultural modernization. Its become an alternative to build sustainable agriculture and institutional support become important element to build it. Related to that, the objective of this research was to analysis how is an agriculture sustainability will be built supported by sustainable institutions in organic agriculture system. The study is a sociological research which assumed itself into constructivist paradigm, which is a qualitative exploration, with specific cases using multi-method. The research was held on October 2008 until February 2009 and located in Ciburuy Village with paddy peasant community as the unit of analysis. The result of the research shows that organic agriculture system in Ciburuy Village is healty rice agriculture system which produce SAE branded rice (Healty, Save, and Delicious). Technically, the system has not yet became pure organic agriculture which free of synthetic chemical because the using of chemical fertilizer. Nevertheles, a process and also an implementation of the system related to the principles of organic agriculture system. So that, production techniques, social relationships, and the rules that embedded in were built to build agriculture sustainability. The process of organic agriculture system is on the movement from conventional agriculture system towards pure organic agriculture system. From the people center perspective paradigm, the process of empowerment must be develop to increase community participation in developing healty rice agriculture system.

Keywords : organic agriculture system, institutions sustainability, sustainable agriculture, people center development


(4)

RINGKASAN

HANA INDRIANA. Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik (Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh FREDIAN TONNY dan NURMALA K. PANDJAITAN).

Sistem pertanian organik masih terus berkembang dan bertahan hingga saat ini di tengah gempuran modernisasi pertanian melalui revolusi hijau. Perkembangan tersebut tampak secara signifikan baik di tingkat dunia, tingkat nasional, maupun tingkat lokal yang tampak dengan semakin bertambahnya luas lahan penanaman dan juga pertumbuhan pasar produk organik tersebut. Di samping itu, semakin banyak pihak yang terlibat dalam pengembangan sistem tersebut. Sistem pertanian organik ini memiliki berbagai keunggulan dari sisi ekonomi, ekologi, dan sosial budaya sehingga menjadi salah satu alternatif pembangunan pertanian berkelanjutan. Adanya dukungan kelembagaan menjadi elemen penting untuk mewujudkannya. Sehubungan dengan itu, dalam kaitan sistem pertanian organik sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan, maka dari uraian di atas memunculkan pertanyaan utama bagaimanakah pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan melalui keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian organik ? Untuk memperoleh gambaran komprehensif mengenai sistem pertanian organik tersebut, maka rumusan permasalahan penelitian yang dikaji adalah : (1) bagaimanakah aktivitas pertanian dalam sistem pertanian organik dan siapa sajakah aktor yang terlibat dalam aktivitas tersebut ?; (2) bagaimanakah bentuk-bentuk kelembagaan yang terdapat dalam sistem pertanian organik ditinjau dari dimensi-dimensi prinsip yang membangun kelembagaan tersebut ?; dan (3) faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam pertanian organik tersebut?

Penelitian ini merupakan penelitian sosiologis dengan menekankan pada pola-pola hubungan antara pihak yang terlibat dalam sistem pertanian organik, tata aturan yang melekatinya, dan dinamika yang terjadi dalam upaya mewujudkan pertanian berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis, dengan metode kualitatif dan strategi penelitian studi kasus. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara purposif yakni pada komunitas petani padi sawah di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Adapun waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2008 hingga Februari 2009. Subyek penelitian yang dipilih adalah komunitas petani padi sawah di Kampung Ciburuy, serta pihak-pihak yang terlibat dalam berbagai kelembagaan yang terbentuk dalam sistem pertanian organik tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pertanian organik di Kampung Ciburuy adalah sistem pertanian padi sehat yang menghasilkan produk beras bermerk SAE (Sehat, Aman, Enak). Secara teknis, belum merupakan pertanian organik yang sepenuhnya bebas dari penggunaan bahan-bahn kimia sintetis oleh karena masih menggunakan pupuk kimia. Namun, sistem pertanian padi sehat pada proses dan penerapannya merujuk pada prinsip-prinsip pertanian organic. Salah satunya adalah prinsip kesehatan dimana dengan adanya hasil uji


(5)

laboratorium menunjukkan bahwa beras SAE adalah produk yang bebas pestisida. Sehubungan dengan itu, cara produksi, hubungan-hubungan sosial yang terbentuk, dan tata aturan yang dibangun diarahkan guna mencapai pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian padi sehat tersebut melibatkan berbagai pelaku yaitu komunitas petani padi sawah di Kampung Ciburuy, tokoh masyarakat setempat, Koperasi Kelompok Tani “Lisung Kiwari”, instansi pemerintah khususnya dijembatani oleh penyuluh setempat, Lembaga Pertanian Sehat, perusahaan, para distributor, agen dan konsumen Beras SAE.

Pola-pola hubungan yang dibentuk oleh para pelaku dalam sistem pertanian padi sehat membentuk kelembagaan-kelembagaan dalam pengaturan input, kelembagaan dalam pengaturan produksi, dan kelembagaan dalam pengaturan output. Dengan semakin menguatnya rasionalitas ekonomi, kelembagaan-kelembagaan yang terbentuk cenderung lebih ditopang oleh pilar normatif dan regulatif. Terdapat dua elemen yang menjadi alat untuk mencapai kelembagaan yang berkelanjutan yaitu pengorganisasian sosial dan teknik sosial Bekerjanya elemen pengorganisasian sosial dan teknik sosial dalam membangun keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian padi sehat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kepemimpinan, adanya aturan tertulis, aturan tidak tertulis, proses pendirian kelembagaan, dan partisipasi komunitas. Adapun faktor eksternal mencakup adanya tata kelola yang baik dalam sistem pemerintahan, jejaring kerjasama antar kelembagaan, dan ketersediaan sarana dan prasarana umum.

Sistem pertanian padi sehat di Kampung Ciburuy pada prosesnya berada pada pergeseran dari sistem pertanian konvensional menuju pada sistem pertanian organik. Terkait dengan hal itu, cara produksi, hubungan-hubungan sosial, dan tata aturan yang melekatinya terus diupayakan untuk memenuhi prinsip-prinsip sistem pertanian organik. Hal ini ditujukan untuk mencapai pertanian berkelanjutan. Dari hasil analisis lebih lanjut, diketahui bahwa upaya mewujudkan pertanian berkelanjutan masih menemui berbagai kendala pada setiap dimensinya. Faktor struktur, kultur, dan aksi bersama dari komunitas setempat berdampak pada pencapaian keberhasilan pada setiap dimensi pertanian berkelanjutan baik dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial. Dari perspektif paradigma pembangunan berpusat pada rakyat, maka proses pemberdayaan yang bersifat positive-sum perlu terus dikembangkan agar partisipasi komunitas dalam menerapkan sistem pertanian padi sehat tersebut semakin meningkat.

Kata kunci : sistem pertanian organik, kelembagaan, pertanian berkelanjutan, pembangunan berpusat pada rakyat


(6)

@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi-lindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

KELEMBAGAAN BERKELANJUTAN DALAM

PERTANIAN ORGANIK

(STUDI KASUS KOMUNITAS PETANI PADI SAWAH, KAMPUNG CIBURUY, DESA CIBURUY, KECAMATAN CIGOMBONG,

KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)

HANA INDRIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

Judul Tesis : Kelembagan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik

(Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Nama : Hana Indriana

NRP : I351060021

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir. Fredian Tonny, MS Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS DEA Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, MSc. Agr Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rahmat dan karuniaNya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Kelembagaan Berkelanjutan dalam Pertanian Organik (Studi Kasus Komunitas Petani Padi Sawah, Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2008 sampai dengan Februari 2009. Adapun penyusunan tesis ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perkembangan sistem pertanian organik di tengah semakin gencarnya modernisasi pertanian melalui revolusi hijau. Sistem pertanian organik menjadi salah satu alternatif untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian organik tidak hanya mencakup cara produksi, aktivitas dan para pelaku yang terlibat, akan tetapi juga meliputi kelembagaan-kelembagaan yang terbentuk didalamnya. Keberlanjutan kelembagaan tersebut menjadi faktor penting dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan sehingga menjadi uraian analisis yang dikemukakan dalam karya tulis ini.

Selama masa penyelesaian tesis ini, tentunya tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Fredian Tonny, M.S dan Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS. DEA selaku Komisi Pembimbing, atas kesabarannya memberikan arahan dan motivasi untuk menyempurnakan tesis ini; kepada Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, M.S yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada saat ujian tesis; kepada Mamah Yati Karyati dan Papah Agus Hendriana, serta Mamah Tuminem dan Bapak Suradal yang telah menjadi sumber kekuatan terbesar kepada penulis agar segera menyelesaikan studi ini; kepada Bapak Haji Ahmad Zakaria, Bapak Edi Dharma, Kang Hari Koswara, Bapak dan Ibu di Kampung Ciburuy atas segala bimbingan dan informasi yang telah diberikan selama penulis berada di lapangan; kepada suamiku Mauludin Irwanto, S.P dan putriku Khalisa Syifa Alkhansa, atas segenap cintanya yang senantiasa dicurahkan khususnya selama penulis menjalani studi; kepada seluruh staf pengajar dan staf kependidikan Departemen Sains KPM, FEMA, IPB atas kerjasama dan perhatian yang senantiasa dicurahkan; kepada rekan kerja terbaik, Mbak Rahmawati, A. Md dan Ibu Neni Suryani, A.Md, atas segala kerjasama dan kebersamaan dalam mengelola perpustakaan Departemen Sains KPM; serta kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian studi ini.

Demikianlah tesis ini disusun dengan harapan dapat memperkaya khasanah keilmuan di bidang sosiologi pada lingkup pertanian dan pedesaan. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan tesis ini di masa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2010


(11)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama masa penyelesaian tesis ini, tentunya tidak terlepas dari dorongan dan dukungan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis merasa sangat bersyukur kepada Alloh SWT, atas segala nikmat, karunia, dan hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis. Dengan segala kerendahan hati pula, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Ir. Fredian Tonny, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS. DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing,

atas kesabarannya memberikan arahan dan motivasi untuk menyempurnakan tesis ini.

2. Ibu Ir. Nuraini W. Prasodjo, M.S yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada saat sidang tesis.

3. Mamah Yati Karyati dan Papah Agus Hendriana, serta Mamah Tuminem dan Bapak Suradal atas segala kasih sayang yang tidak terhingga dan menjadi sumber kekuatan terbesar kepada penulis agar segera menyelesaikan tesis ini. 4. Keluarga Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc atas segala kesempatan

dan pengalaman terbaik yang telah diberikan.

5. Keluarga Bapak Drs. Budi Mulyo Utomo, M.M, yang senantiasa mengiringi setiap langkah perjuangan penulis.

6. Bapak Hasan Kartajoemena, Bapak Tika Noorjaya, dan Bapak Dadang H. Padmadireja, atas pembelajaran yang berharga untuk mengimplementasikan arti sebuah komitmen dan konsistensi.

7. Bapak Haji Ahmad Zakaria, Bapak Edi Dharma, Kang Hari Koswara, Bapak dan Ibu responden di Kampung Ciburuy atas segala bimbingan dan informasi yang telah diberikan selama penulis berada di lapangan.

8. Kang Ipong, Teh Aal, si kecil Aga, dan Teh Dede atas perhatian, kebahagiaan, dan kehangatan di tengah perjuangan penulis meniti studi di Ciburuy.

9. Suamiku Mauludin Irwanto, S.P dan putriku Khalisa Syifa Alkhansa, atas segenap cintanya yang senantiasa dicurahkan khususnya selama penulis menjalani studi.


(12)

vii

10. Seluruh staf pengajar dan staf kependidikan Departemen Sains KPM, FEMA, IPB atas kerjasama dan perhatian yang senantiasa dicurahkan.

11. Rekan kerja terbaik, Mbak Rahmawati, A. Md dan Ibu Neni Suryani, A.Md, atas segala kerjasama dan kebersamaan kita mengelola perpustakaan Departemen KPM.

12. Teman-teman SPD 2006, atas segala pencerahan pemikiran dan kebersaman kita selama perkuliahan.

13. Mbak Dyah Ita Mardiyaningsih, S.P, M.Si dan Mbak Rina Mardiana, S.P, M.Si. Terimakasih sudah memahamiku dan memberiku segenap dukungan. 14. Sahabatku, Dhiny, S.P, Denta Romauli Sihombing, S.P, Anton Supriyadi, S.P,

M.Si, Husain Assa’di, S.P, M.Si, dan Sriwulan Ferindian, S.P, S.Psi yang telah membantu aku untuk mengenali diriku.

15. Semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian studi ini.


(13)

RIWAYAT PENULIS

Hana Indriana adalah anak pertama dari dua bersaudara, yang dilahirkan di Bandung pada tanggal 25 Januari 1981 dari orangtua bernama Bapak Agus Hendriana dan Ibu Yati Karyati. Pendidikan formal penulis dimulai di TK Budi Istri Bandung pada tahun 1986, kemudian dilanjutkan di SD Kemala Bhayangkari I Bandung pada tahun 1987. Setelah lulus sekolah dasar pada tahun 1993, penulis melanjutkan ke SMPN 5 Bandung dan pada tahun 1996 masuk ke SMUN 5 Bandung. Penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1999 melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di Fakultas Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi dengan Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP) dan lulus pada bulan Februari tahun 2004.

Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan dibiayai dari Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan Nasional. Sejak tahun 2004 sampai sekarang, penulis menjadi tenaga penunjang pada Perpustakaan Departemen Sains KPM, FEMA, IPB. Selain itu, penulis menjadi asisten pada Bagian Sosiologi dan Pengembangan Masyarakat (SPPM) Departemen Sains KPM, FEMA, IPB. Penulis juga menjadi asisten dosen pada Mata Kuliah Pengembangan Masyarakat mulai semester genap, tahun akademik 2007/2008 hingga saat ini.

Penulis menikah dengan Mauludin Irwanto, S.P. pada tahun 2005, dan telah dikaruniai seorang putri bernama Khalisa Syifa Alkhansa (3 tahun 8 bulan).


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Tinjauan Pustaka ... 9

2.1.1. Perkembangan Sistem Pertanian Padi Sawah di Pedesaan Jawa ... 9

2.1.2. Sistem Pertanian Organik ... 11

2.1.3. Aktivitas dalam Sistem Pertanian Padi Sawah ... 16

2.1.4. Kelembagaan Pertanian Padi Sawah ... 20

2.1.5. Pertanian Berkelanjutan ... 29

2.1.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Kelembagaan ... 33

2.1.7. Dari Revolusi Hijau ke Pertanian Organik : Pergesaran Pembangunan Pertanian ... 35

2.2. Kerangka Pemikiran ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.2. Unit Analisis ... 43

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 48

3.5. Acuan Kerja Penelitian ... 50

3.6. Hipotesis Pengarah ... 50

3.7. Batasan Analisis ... 51

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 55

4.1. Profil Desa Ciburuy ... 55

4.2. Profil Kampung Ciburuy ... 58


(15)

BAB V AKTIVITAS DAN PELAKU PADA SISTEM PERTANIAN

PADI SEHAT DI KAMPUNG CIBURUY ... 65

5.1. Modernisasi Pertanian di Kampung Ciburuy ... 65

5.2. Perkembangan Sistem Pertanian Organik di Kampung Ciburuy... .. 70

5.3. Cara Produksi pada Sistem Pertanian Padi Sehat ... 75

5.4. Prinsip-Prinsip dalam Sistem Pertanian Padi Sehat ... 77

5.5. Aktivitas dan Pelaku dalam Sistem Pertanian Organik ... 78

5.6. Ikhtisar ... 79

BAB VI KELEMBAGAAN PADA SISTEM PERTANIAN PADI SEHAT DI KAMPUNG CIBURUY ... 84

6.1. Kelembagaan untuk Pengaturan Input ... 84

6.1.1. Kelembagaan Koperasi ... 85

6.1.2. Kelembagaan untuk Penyediaan Pupuk dan Pestisida ... 87

6.1.3. Kelembagaan Penguasaan Lahan ... 90

6.1.4. Kelembagaan Kelompok Tani ... 93

6.2. Kelembagaan untuk Pengaturan Produksi ... 102

6.2.1. Kelembagaan Hubungan Kerja ... 102

6.2.2. Kelembagaan Panen ... 107

6.3. Kelembagaan untuk Pengaturan Output ... 109

6.3.1. Kelembagaan Pasca Panen ... 109

6.3.2. Kelembagaan dalam Distribusi Beras SAE ... 114

6.4. Bentuk dan Pilar Kelembagaan : Suatu Analisis ... 123

6.5. Pelembagaan ... 126

6.6. Ikhtisar ... 127

BAB VII KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN DALAM SISTEM PERTANIAN PADI SEHAT MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN ... 133

7.1. Keberlanjutan Kelembagaan dalam Konteks Lokal ... 133

7.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberlanjutan Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Padi Sehat ... 134

7.3. Kendala yang Dihadapi dalam Mencapai Pertanian Berkelanjutan . 139 7.4. Pencapaian Dimensi-Dimensi Pertanian Berkelanjutan ... 146

7.5. Menuju Pertanian Berkelanjutan dalam Perspektif Paradigma Pembangunan Berpusat pada Rakyat ... 156

7.6. Ikhtisar ... 160

BAB VIII PENUTUP ... 160

8.1. Kesimpulan ... 160

8.2. Saran ... 161

DAFTAR PUSTAKA ... 162


(16)

DAFTAR TABEL

No Halaman Teks

Tabel 1. Perbedaan Sistem Pertanian Non-Organik dengan Organik ... 17 Tabel 2. Aktivitas Pertanian pada Sistem Pertanian Non-Organik dan Organik 20 Tabel 3. Three Pillars of Institution ... 22 Tabel 4. Perubahan Bentuk-Bentuk Kelembagaan Pertanian Padi Sawah

Sebagai Dampak Introduksi Pertanian Modern ... 30 Tabel 5. Teknik Pengumpulan Data... 49 Tabel 6. Distribusi Penduduk Desa Ciburuy Berdasarkan Kelompok Umur ... 57 Tabel 7. Distribusi Penduduk Desa Ciburuy Berdasarkan Mata

Pencaharian ... 58 Tabel 8. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Ciburuy ... 58 Tabel 9. Sebaran Luasan Lahan Garapan Petani di Kampung Ciburuy... 80 Tabel 10. Perubahan Aktivitas Pertanian dan Para Pelaku dalam

Sistem Pertanian Padi Sawah di Kampung Ciburuy ... 88 Tabel 11. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Koperasi Kelompok Tani

Lisung Kiwari di Kampung Ciburuy ... 90 Tabel 12. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Penyedia Pupuk dan

Pestisida di Kampung Ciburuy... 93 Tabel 13. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Penguasaan Lahan

di Kampung Ciburuy ... 96 Tabel 14. Blok Tanam dan Jumlah Anggota Kelompok Tani di

Kampung Ciburuy ... 97 Tabel 15. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Kelompok Tani

di Kampung Ciburuy ... 105 Tabel 16. Sistem Upah pada Pekerjaan Pertanian di Sawah ... 106 Tabel 17. Sistem Upah pada Pekerjaan Pertanian di Luar Sawah ... 107 Tabel 18. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Hubungan Kerja

di Kampung Ciburuy ... 109 Tabel 19. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Panen

di Kampung Ciburuy ... 115 Tabel 20. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Pasca Panen

di Kampung Ciburuy ... 123 Tabel 21. Pilar-Pilar Penopang pada Kelembagaan Distribusi Beras SAE

di Kampung Ciburuy ... 124 Tabel 22. Bentuk Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Non-Organik dan

Sistem Pertanian Padi Sehat di Kampung Ciburuy ... 129 Tabel 23. Pilar-Pilar Kelembagaan yang Mendasari Bentuk-Bentuk Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Padi Sehat di Kampung Ciburuy ... 131


(17)

Tabel 24. Bentuk Kelembagaan dan Teknik Sosial dalam Sistem Pertanian

Padi Sehat di Kampung Ciburuy ... 135

Tabel 25. Faktor Mempengaruhi Keberlanjutan Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Padi Sehat di Kampung Ciburuy ... 138

Tabel 26. Bentuk Kelembagaan, Kendala yang Dihadapi, Dimensi Pertanian Berkelanjutan, dan Teknik Sosial untuk Meningkatkan Pencapaian Pertanian Berkelanjutan di Kampung Ciburuy ... 157

DAFTAR GAMBAR

No Halaman Teks Gambar 1. Tahapan Pengembangan Pertanian Organik pada Go Organic 2010 ... …3

Gambar 2. Perubahan Sistem Pertanian dari Non-Organik menuju Sistem Pertanian Organik dalam Konteks Pergeseran Paradigma Pembangunan ... ..36

Gambar 3. Tingkatan Tipe Partisipasi dan Non-Partisipasi Komunitas ... ..37

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Organik Menuju Pertanian Berkelanjutan ... ..41

Gambar 5. Bentuk dan Pilar Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Padi Sehat di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Desa Kecamatan Bogor, Kabupaten Bogor ... ..84

Gambar 6. Kelembagaan dalam Sistem Distribusi Beras SAE Pada Komunitas Petani Padi Sawah di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Bogor, Kabupaten Bogor ... 117

Gambar 7. Kelembagaan dalam Sistem Pertanian Padi Sehat menurut Sektor-Sektor Tingkat Lokalitas di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Bogor, Kabupaten Bogor ... 125

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman Teks Lampiran 1. Penerapan Sistem Pertanian Organik pada Konteks Lokal ... 166

Lampiran 2. Lokasi Pengembangan Pertanian Organik di Kabupaten Bogor ... 168

Lampiran 3. Peta Lokasi Penelitian ... 171

Lampiran 4. Hasil Uji Bebas Residu Pestisida ... 172

Lampiran 5. Analisis Usahatani Budidaya Padi Sehat ... 173

Lampiran 6. Prosedur Operasional Standar (SOP) Budidaya Padi Sehat ... 176

Lampiran 7. Profil Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari ... 178


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian organik masih terus berkembang dan bertahan hingga saat ini di tengah gempuran modernisasi pertanian melalui revolusi hijau. Merujuk sejarah perkembangannya, pertanian organik ini muncul seiring merebaknya isu pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini pula menjadi perhatian masyarakat di seluruh dunia. Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul tahun 1987 dalam sidang WCED (World Commission on Environment and Development). Pada waktu itu, Mrs. G.H. Bruntland (Perdana Menteri Swedia) menyampaikan laporan dengan judul Our Common Future (Hari Depan Kita Bersama). Dalam laporan inilah disebutkan pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang (Eicher, 1998; Bahar, 2007). Merujuk pada Eicher (1998), istilah keberlanjutan pertama kali berkembang pada tahun 1980 oleh International Union for the Conservation of Nature and National Resources. Pada pertengahan tahun 1980, konsep keberlanjutan telah mendapat perhatian yang lebih besar sebagai kritik atas pendekatan industrial pada proses pembangunan pertanian. Adapun pertanian organik juga muncul sebagai salah satu implementasi dari pembangunan berkelanjutan tersebut (Sutanto, 2002).

Pertanian organik terus berkembang secara signifikan baik di tingkat dunia, tingkat nasional, maupun tingkat lokal yang tampak dengan semakin bertambahnya luas lahan penanaman dan juga pertumbuhan pasar produk organik tersebut. Tercatat sampai tahun 2003, total luas lahan yang dikelola secara organik di dunia adalah 24 juta hektar. Total penjualan produk organik di seluruh dunia mencapai US$ 23 miliar. Pasar produk organik utama dunia yaitu di Amerika Serikat dan Kanada juga semakin besar hingga mencapai 51 persen atau US$ 11 miliar, disusul Eropa sebesar US$ 10 miliar (46 persen), kemudian Jepang sebesar US$ 350 juta. Pertumbuhan pasar produk organik diperkirakan mencapai 20-30 persen per tahun. Bahkan di beberapa negara tertentu mencapai 50 persen per


(19)

tahun. Kenaikan nilai penjualan produk organik ini dipicu oleh harga premium dan tingkat kesadaran konsumen tentang mutu produk. Di Indonesia, produk pangan organik banyak diminati konsumen. Konsumen produk organik telah mencapai 10 persen dari jumlah penduduk. Pencapaian itu dirasa membanggakan di tengah gempuran produk kimia yang merajai pasaran saat ini.1

Di samping konsumen dan petani, berbagai pihak juga merespon isu pertanian organik ini. Baik pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun perusahaan-perusahaan turut mengambil peran dalam mengembangkan pertanian organik ini dengan beragam kepentingan yang melatarbelakanginya. Kepentingan pemerintah untuk mendukung sistem pertanian yang ramah lingkungan salah satunya adalah melalui Program Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). Program ini dahulu terbukti cukup efektif meredam penggunaan pestisida secara tidak bertanggung jawab, namun saat ini sudah tidak dilaksanakan oleh para petani, karena proyek PHT dianggap sudah selesai. Oleh karena itu, diperlukan gerakan moral sistem pertanian organik yang diprakarsai oleh para aktivis lingkungan dan petani dengan dukungan pemerintah dalam bentuk political will, serta program aksi yang terencana, tertata dan terselenggara secara nyata dalam masyarakat pertanian secara luas. Oleh karena itu, beberapa program pembangunan pertanian selanjutnya tidak hanya diorientasikan pada peningkatan target produksi akan tetapi juga pada aspek keberlanjutan sumber daya pertanian seperti dengan adanya Gerakan Mandiri Padi, Palawija (Gema Palagung), Gerakan Mandiri Protein Ternak dan Ikan (Gema Protekan), dan sebagainya.

Demikian halnya dukungan pemerintah dalam pengembangan pertanian organik. Pada tahun 2001, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian telah melakukan serangkaian tahapan sosialisasi mengenai pertanian organik kepada masyarakat2. Untuk memajukan pertanian organik, Departemen Pertanian menempatkan perencanaan dan implementasi pertanian organik sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam program pembangunan pertanian di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi,

1 Very Herdiman. Berjuang Memperkenalkan Makanan Organik. Jurnal Nasional, Minggu, 27

April 2008.

2 Dede Sulaeman. Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia.


(20)

mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik melalui adanya sinergisme aktivitas dan pelaku usaha yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dari slogan “Go Organic 2010” yaitu menjadikan “Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik utama dunia”. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2010 (Gambar 1).

Gambar 1.

Tahapan Pengembangan Pertanian Organik pada Go Organik 2010

Sumber: Departemen Pertanian, 2005

Kelahiran beberapa organisasi non-pemerintah (ornop) yang peduli lingkungan pada akhir pemerintahan orde baru membawa angin segar bagi gerakan pertanian organik melalui pemberdayaan masyarakat pertanian. Misalnya di Jawa, Jaringan Kerja Organisasi Pertanian Organik secara intens melakukan upaya pemberdayaan petani organik melalui berbagai pertemuan dengan masyarakat tani dalam bentuk seminar atau sarasehan dengan pakar pertanian. Di daerah Sumatra Barat, beberapa petani membentuk lembaga Persatuan Petani Organik untuk mewadahi berbagai aspirasi dan tukar pengalaman antar-anggota dalam pengembangan pertanian organik. Di Bali, para ilmuwan, peneliti, pengusaha petani, dan penyuluh pertanian telah mendeklarasikan Asosiasi


(21)

Pertanian Organik (Aspernik) yang berupaya menjaga kelestarian alam sebagai aset kehidupan dan agrowisata sepanjang zaman.

Adapun pertanian organik yang dilakukan oleh petani-petani di Indonesia mulai berkembang di tahun 1999 dengan diinisiasi oleh berbagai lembaga swadaya (LSM). Masyarakat petani di beberapa pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa sudah merubah sistem pertanian mereka dari sistem pertanian modern menjadi sistem pertanian organik (Wangsit, 2003; Kartini, 2005). Pertanian organik ini pada mulanya berfokus pada perubahan sistem produksi pertanian dari sistem pertanian konvensional (merujuk pada kebijakan revolusi hijau) atau sistem pertanian modern (merujuk pada modernisasi pertanian). Dari sisi kepentingannya, para petani bersama dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat tersebut menerapkan pertanian organik sebagai bentuk perjuangan dalam mewujudkan kesadaran untuk menerapkan sistem produksi yang mendukung kelangsungan ekologi pertanian (Lampiran 1). Di samping itu, juga ditujukan untuk mewujudkan kemandirian petani dengan berupaya mengembalikan pengetahuan dan kearifan lokal dalam bertani (Wangsit, 2003;Prince, 2004).

Seiring perkembangan tersebut, kini tidak hanya pihak pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan petani saja yang bergerak dalam pertanian organik. Kini berdiri pula lebih dari 117 perusahaan yang menangkap adanya peluang usaha dalam pertanian organik3. Bisnis usaha komoditi organik pun menjadi trend. Hal ini tidak terlepas dengan adanya potensi permintaan produk organik yang sebanding dengan kesadaran konsumen terhadap pangan yang sehat dan alami4. Sehubungan dengan itu, dengan respon yang semakin besar dari para pelaku pertanian maka sistem pertanian organik pun semakin berkembang hingga saat ini baik di tingkat global maupun konteks lokal.

Merujuk pada Rattan dalam Eicher (1998), salah satu permasalahan yang terkait dengan upaya-upaya mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan adalah pentingnya dukungan kelembagaan yang sesuai diantara rumah tangga para individu, perusahaan swasta dan organisasi publik yang

3Direktori Pertanian Organik. http://agribisnis.deptan.go.id/Pustaka/Bab2-03-

direktori%zotaniorganik.pdf


(22)

mencakup pemerintah daerah juga lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Oleh karena itu, dalam kaitannya sistem pertanian organik sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan, maka dari uraian di atas memunculkan pertanyaan utama bagaimanakah pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan melalui keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian organik ?

Dukungan kelembagaan dalam hal ini dititikberatkan pada mekanisme pengaturan (rules of the game) baik dari dimensi yang bersifat regulatif (peraturan perundang-undangan), bersifat normatif (kesepakatan-kesepakatan), maupun bersifat pengetahuan budaya lokal masyarakat (Scott, 2008). Banyak ahli mengemukakan bahwa introduksi pertanian modern telah menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan-kelembagaan pertanian. Hasil penelitian Suhirmanto (2003) menunjukkan bahwa berubahnya sistem pertanian dari sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian modern berdampak pada melemahnya kelembagaan tradisi baik pada bidang kegiatan produksi maupun non-produksi. Adapun dari hasil penelitian Radandima (2003), diketahi bahwa pertanian modern melalui adanya pembangunan irigasi menyebabkan terjadinya perubahan pada kelembagaan penguasaan lahan dan kelembagaan hubungan kerja pertanian. Merujuk pada Hayami dan Kikuchi (1987), Ropke (1986), dan Kano (1980) terdapat berbagai bentuk kelembagaan pertanian seperti misalnya kelembagaan-kelembagaan dalam proses intensifikasi pertanian dan kelembagaan panen. Namun, berbagai perubahan kelembagaan tersebut pada intinya didorong oleh karena berubahnya kebutuhan masyarakat sehingga merubah pula mekanisme pengaturan pemenuhan kebutuhan tersebut. Demikian pula halnya, dengan adanya perubahan dalam sistem pertanian menjadi sistem pertanian organik saat ini. Berbagai manfaat diterapkannya sistem pertanian organik baik manfaat dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial memunculkan berbagai mekanisme pengaturan baik dari aspek produksi di tingkat petani hingga distribusi produk organik ke tangan konsumen tersebut dan juga aspek kebijakan ditingkat pemerintah. Sehubungan dengan itu, kajian mengenai kelembagaan dalam sistem pertanian organik itu sendiri sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.


(23)

Kajian mengenai kelembagaan dari perspektif sosiologis dalam sistem pertanian organik belum banyak dilakukan. Pada beberapa penelitian terdahulu, lebih difokuskan pada tipe-tipe petani yang memilih untuk berubah ke pertanian organik dan tingkat rasionalitas mereka (Darnhofer, 2005), kajian preferensi produk organik (Rusma, 2005), motivasi petani dalam menerapkan usahatani organik (Lauwere, 2005; Rukka, 2003), transformasi struktural dan ideologi dari organisasi-organisasi tingkat nasional (Lockie, 2005), dan berbagai analisis keragaan usahatani berbagai produk organik.

2.2 Perumusan Masalah

Pertanian organik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pertanian non-organik atau pertanian modern seperti turut menjamin kelangsungan ekosistem pertanian, biaya produksi lebih hemat dengan harga jual yang lebih tinggi, produknya lebih sehat, menjamin keberlanjutan, turut membangun kemandirian petani, dan berperspektif gender. Jadi, pertanian organik memberi manfaat baik dari aspek ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi.

Dengan berkembangnya pertanian organik hingga saat ini, memberi gambaran bahwa manfaat yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat untuk memproduksi, mendistibusikan, dan mengkonsumsi pangan organik. Sebagaimana berkembangnya pertanian modern, berbagai bentuk kelembagaan pertanian modern muncul dan memberikan pengaruh yang sangat besar. Demikian pula halnya dengan pertanian organik yang semakin banyak diterapkan oleh masyarakat selama ini, tentunya memunculkan bentuk-bentuk kelembagaan yang berbeda dengan kelembagaan pada pertanian modern. Ditinjau dari pendekatan kelembagaan, keberlanjutan dalam sistem pertanian organik merupakan keberlanjutan dalam kelembagaan sistem pertanian organik itu sendiri.

Hasil penelitian Shreck et.al (2006) mengenai keberlanjutan sosial, tenaga kerja dan pertanian organik menunjukkan bahwa kelembagaan hubungan kerja (tata aturan kerja petani dan pekerja pertanian) sangat penting untuk mendukung definisi yang sesungguhnya dari keberlanjutan tersebut. Dalam hal ini, pertanian organik tidak hanya dituntut menguntungkan secara ekologi dan ekonomi, akan tetapi juga harus dapat bertanggung jawab secara sosial. Jadi, bukan hanya produk


(24)

dan proses produksinya saja yang perlu disertifikasi, tetapi juga diperlukan adanya sertifikasi sosial dari penerapan sistem pertanian organik ini. Selain kelembagaan hubungan kerja, adanya kelembagaan sertifikasi produk organik juga menjadi salah satu kebutuhan masyarakat yang dapat memberi jaminan kualitas organik pada produk tersebut. Namun, aktivitas pertanian dan sistem pertanian organik – sebagaimana halnya dalam sistem pertanian modern - tidak hanya meliputi hubungan kerja dan proses sertifikasi. Terdapat banyak aktivitas pertanian dimulai dari hulu hingga hilir, dan aktivitas tersebut melibatkan banyak pihak serta. berbagai bentuk tata aturan didalamnya.

Sehubungan itu, untuk memperoleh gambaran komprehensif mengenai sistem pertanian organik tersebut, maka rumusan permasalahan penelitian yang akan dikaji adalah :

(1) bagaimanakah aktivitas pertanian dalam sistem pertanian organik dan siapa sajakah para aktor yang terlibat dalam aktivitas tersebut ?

(2) bagaimanakah bentuk-bentuk kelembagaan yang terdapat dalam sistem pertanian organik ditinjau dari pilar penopang yang membangun kelembagaan tersebut ?

(3) faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam pertanian organik tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh mengenai perwujudan keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian organik sebagai interpretasi dari tercapainya pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Adapun uraian tujuan spesifik dari penelitian ini yaitu :

(1) menganalisis aktivitas pertanian dalam sistem pertanian organik dan para aktor yang terlibat dalam aktivitas tersebut.

(2) menganalisis bentuk-bentuk kelembagaan yang terdapat dalam sistem pertanian organik ditinjau dari pilar penopang yang membangun kelembagaan tersebut,


(25)

(3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam pertanian organik.

1.4 Kegunaan Penelitian

Dengan memahami secara mendalam bentuk-bentuk kelembagaan dalam sistem pertanian organik maka akan dapat bermanfaat untuk :

1. memberikan gambaran mengenai para pelaku yang terlibat dalam sistem pertanian organik, peran mereka dalam pengembangan sistem pertanian tersebut, pilar penopang yang membangun kelembagaan sehingga di masa mendatang dapat dipertimbangkan upaya-upaya penguatan pilar penopang yang mampu mendukung keberlanjutan kelembagaan-kelembagaan yang terbentuk di masyarakat.

2. mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam pertanian organik sehingga dapat dirumuskan berbagai upaya untuk mencapai keberlanjutan kelembagaan pertanian organik dalam rangka mewujudkan pertanian berkelanjutan.


(26)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Perkembangan Sistem Pertanian Padi Sawah di Pedesaan Jawa Sebelum tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem pertanian tradisional dalam mengelola lahan pertanian mereka. Beberapa ciri yang tampak sebagaimana yang dikemukakan oleh Suhirmanto (2003) yakni (1) usahatani tidak menggunakan fasilitas modal dari luar keluarga, (2) pekerjaan di sektor pertanian menjadi satu-satunya mata pencaharian, (3) cara produksi tradisional dengan digunakannya input yang berasal dari lokal (lingkungan sekitar), dan (4) penggunaan tenaga kerja tradisi dan menggunakan tenaga kerja keluarga, dan sebagainya.

Sejak tahun 1960an, para petani di pedesaan Jawa menerapkan sistem pertanian modern sebagai implementasi dari kebijakan revolusi hijau. Salah satunya mengenai kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan utama yang telah mengantarkan teknologi di daerah pedesaan, paket BIMAS, INMAS, INSUS, SupraINSUS dan sebagainya. Sampai tahun 1987 sudah jelas bahwa kebijakan tersebut dapat meningkatkan produksi padi, bahkan mencapai swasembada beras setelah tahun 1984.

Namun, dari tulisan-tulisan dalam Bechtold (1988) menjadi representasi bahwa modernisasi dan mekanisasi pertanian di Indonesia nyata-nyata telah menyebabkan ketergantungan desa-desa pertanian pada pemerintah pusat. Sistem ekonomi kapitalis yang diusung melalui program-program BIMAS/INMAS telah merombak seluruh sendi perekonomian mulai dari struktur kelembagaan ekonomi, sosial, budaya bahkan politik desa setempat.

Merujuk pada tulisan Sajogyo (1982), diketahui bahwa modernisasi pertanian di pedesaan Jawa justru tidak menciptakan pembangunan bagi masyarakat. Perkembangan ekonomi pedesaan di Jawa, wilayah utama padi sawah yang telah memasuki “revolusi hijau”, menunjukkan beberapa hal yaitu (1) perubahan dalam kelembagaan penguasaan tanah yang telah menyebabkan terjadinya diferensiasi kelas petani; (2) munculnya sistem pengupahan dan


(27)

teknologi unggul yang bias pada pemilik tanah dan penggarap; (3) terjadinya perluasan kepemilikan tanah yang memperkecil peluang tenaga kerja; (4) terjadinya peningkatan penyerapan tenaga kerja; (5) terjadinya perkembangan teknologi mekanisasi di Jawa yakni pemakaian bibit unggul (padi) dan pupuk pabrik yang mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja di desa; (6) adanya penyerapan tenaga kerja luar pertanian di desa (7) berkembangnya kelembagaan perkreditan pertanian di desa, akan tetapi porsi nilai kredit pertanian menurun oleh karena beralih ke bidang-bidang dagang, industri, dan jasa; (8) adanya perubahan gaya hidup rumah tangga desa yang lebih konsumtif sehingga merubah pola pengeluaran rumah tangga desa dan pemilikan modal bukan-tanah, dan (9) meningkatnya sumber pendapatan dari usaha luar pertanian khususnya untuk golongan miskin dan tidak memiliki tanah.

Pembangunan pertanian yang didasarkan pada kebijakan revolusi hijau cenderung tidak menunjukkan adanya suatu keberlanjutan baik secara sosial, ekonomi, maupun ekologi. Sehubungan dengan itu, pada pertengahan tahun 1980, konsep keberlanjutan telah mendapat perhatian yang lebih besar sebagai kritik atas pendekatan industrial pada proses pembangunan pertanian. Dalam perkembangnya, sistem pertanian organik juga muncul sebagai salah satu istilah dari pembangunan berkelanjutan tersebut (Salikin, 2003). Sistem pertanian organik muncul sebagai kritik atas sistem pertanian modern atau revolusi hijau. Menilik sisi historis pertanian di seluruh pelosok dunia, sebelum sistem pertanian modern tersebut berkembang, banyak sistem pertanian tradisional yang berlangsung dan bertahan selama berabad-abad dalam hal kemampuannya untuk mempertahankan tingkat produksi yang stabil dan berterus-terus. Namun demikian, sistem tersebut terpaksa mengalami perubahan yang begitu cepat dengan berkembangnya berbagai mekanisme penerapan kebijakan revolusi hijau.

Adapun pertanian organik yang dilakukan oleh petani-petani di Indonesia mulai berkembang di tahun 1999 dengan diinisiasi oleh berbagai bentuk pendampingan dari lembaga-lembaga swadaya (LSM) masyarakat. Masyarakat petani di beberapa pedesaan di Indonesia khususnya di Jawa sudah merubah sistem pertanian mereka dari sistem pertanian modern menjadi sistem pertanian organik (Wangsit, 2003; Kartini, 2005). Pertanian organik ini pada mulanya


(28)

berfokus pada perubahan sistem produksi pertanian dari sistem pertanian konvensional (merujuk pada kebijakan revolusi hijau) atau sistem pertanian modern (merujuk pada modernisasi pertanian). Pada tahun 2001, pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian juga telah melakukan serangkaian tahapan sosialisasi mengenai pertanian organik kepada masyarakat1. Untuk memajukan pertanian organik, Departemen Pertanian menempatkan perencanaan dan implementasi pertanian organik sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam program pembangunan pertanian di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi, mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik melalui adanya sinergi aktivitas dan pelaku usaha yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dari slogan “Go Organic 2010” yaitu menjadikan “Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik utama dunia”. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam enam tahapan mulai dari tahun 2001 hingga tahun 2010

Di tingkat kabupaten, sebagai contoh program pengembangan pertanian organik di Kabupaten Bogor merupakan bagian dari program Ketahanan Pangan yang dirumuskan dalam rencana strategis Dinas Pertanian Kabupaten Bogor tahun 2004-2005. Program pengembangan pertanian organik yang diimplementasikan di Kabupaten Bogor ditujukan pada kelompok tani di desa-desa yang menjadi sentra agribisnis (Lampiran 2). Program pengembangan pertanian organik ini dimulai pada tahun 2006, meskipun secara umum pertanian organik di Kabupaten Bogor sudah berkembang sekitar tahun 2000. Sehubungan dengan itu, program ini belum secara spesifik diuraikan dalam rencana strategis Dinas Pertanian Kabupaten Bogor sebagai bagian dari rumusan program ketahanan pangan.

2.1.2 Sistem Pertanian Organik

Salikin (2003) mengemukakan bahwa sistem pertanian organik merupakan salah satu model dari sistem pertanian berkelanjutan. Sistem pertanian organik pun paling tidak memiliki tujuh keunggulan dan keutamaan sebagai berikut :

1. Orisinal. Sistem pertanian organik lebih mengandalkan keaslian atau orisinalitas sistem budi daya tanaman ataupun hewan dengan menghindari

1 Dede Sulaeman. Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia.


(29)

rekayasa genetika maupun introduksi teknologi yang tidak selaras dengan alam. Intervensi manusia terhadap tanaman atau hewan tetap mengikuti kaidah-kaidah alamiah yang selaras, serasi dan seimbang. Namun demikian, pertanian organik tidak berarti anti teknologi baru, sejauh hal itu memenuhi azas selaras, serasi, dan seimbang dengan alam.

2. Rasional. Sistem pertanian organik berbasis pada rasionalitas bahwa hukum keseimbangan lamiah adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia sebagai bagian dari sistem jagad raya bukan ditakdirkan menjadi penguasa alam raya, tetapi bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikannya.

3. Global. Saat ini, sistem pertanian organik menjadi isu global dan mendapat respon serius di kalangan masyarakat pertanian, terutama di negara-negara maju di mana masyarakat sudah sangat sadar bahwa pertanian ramah lingkungan menjadi faktor penentu kesehatan manusia dan kesinambungan lingkungan.

4. Aman. Sistem pertanian organik menempatkan keamanan produk pertanian, baik bagi kesehatan manusia ataupun bagi lingkungan, sebagai pertimbangan utama. Pertimbangan berikutnya adalah kuantitas dan kualitas komoditas pertanian, termasuk kecukupan kadar gizi dan volume yang mampu memenuhi kebutuhan hidup manusia.

5. Netral. Sistem pertanian organik tidak menciptakan ketergantungan atau bersifat netral sehingga tidak memihak pada salah satu bagian ataupun pelaku dalam sistem agroekosistem. Hubungan saling ketergantungan atau simbiosis yang terbina antarpelaku sistem lebih bersifat mutualisme atau saling menguntungkan.

6. Internal. Sistem pertanian orgnik selalu berupaya mendayagunakan potensi sumber daya alam internal secara intensif. Artinya, introduksi input-input pertanian dari luar ekosistem (external inputs) pertanian sedapat mungkin dihindari untuk mengurangi terjadinya disharmoni siklus agroekosistem yang sudah berlangsung lama dan terkendali oleh kaidah hukum alam. 7. Kontinuitas. Sistem pertanian organik tidak berorientasi jangka pendek,


(30)

keberlanjutan kehidupan, baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

Sistem pertanian organik sebenarnya warisan para leluhur yang sebagian besar adalah petani, namun banyak petani sekarang justru berpaling pada pertanian yang rakus akan bahan-bahan kimia. Senada dengan Rienjtes (1992) yang mengemukakan bahwa sistem pertanian organik adalah meliputi cara produksi, aturan dan nilai yang melandasi, hubungan-hubungan sosial yang terbentuk dengan diterapkannya sistem pertanian organik ini sebagai upaya pengelolaan sumber daya lahan pertanian yang menjamin keberlanjutan lingkungan. Adapun menurut IFOAM (2008) pertanian organik memiliki prinsip-prinsip yang merupakan akar perkembangannya. Prinsip-prinsip-prinsip tersebut menyajikan kontribusi pertanian organik pada dunia dan visi untuk perbaikan pertanian dalam konteks global. Pertanian merupakan aktivitas dasar bagi manusia karena manusia memerlukan pangan untuk bertahan hidup dan menjaga kesehatan setiap hari. Sejarah, budaya dan nilai-nilai komunitas seluruhnya melekat dalam pertanian. Prinsip-prinsip yang diterapkan pada pertanian mencakup secara luas termasuk cara-cara manusia mengolah tanah, air, tanaman, dan hewan untuk diproduksi, disajikan dan didistribusikan sebagai bahan makanan dan lainnya. Prinsip-prinsip ini juga memberi perhatian pada cara-cara manusia berinteraksi dengan lingkungan hidup sekitar, hubungan antar manusia dan membentuk generasi berikutnya. Pertanian organik didasarkan pada : (1) The principle of health, (2) The principle of ecology, (3) The principle of fairness, dan (4) The principle of care. Prinsip-prinsip ini diterapkan secara keseluruhan, sebagai komposisi yang menjadi etika prinsip untuk menginspirasi aksi.

The principle of health

Pertanian organik berperan disamping aktivitas penanaman, proses produksi, distribusi dan konsumsi juga termasuk untuk menjamin keberlanjutan dan menjamin kesehatan ekosistem serta organisme dari yang terkecil hingga tanah. Pertanian organik ditekankan untuk memproduksi pangan berkualitas dan bernutrisi tinggi yang berkontribusi untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan


(31)

hidup. Sehubungan dengan itu, maka perlu dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan dan zat-zat berbahaya yang berdampak pada kesehatan.

The principle of ecology

Pertanian organik didasarkan pada sistem dan siklus ekologi, bekerja sama dengan kondisi tersebut, dan membantu kondisi tersebut agar berkelanjutan. Budidaya organik, peternakan, dan sistem panen harus merujuk pada suatu sistem dan siklus ekologi yang bersifat alami. Pengelolaan pertanian organik harus diadaptasikan pada kondisi lokal, ekologi, budaya, dan skala. Input sebaiknya dikurangi dengan daur ulang, dan pengelolaan material dan energi yang efisien yang ditujukan untuk memperbaik kapasitas lingkungan dan melestarikan sumber daya. Mereka yang memproduksi, memproses, memperdagangkan, atau mengkonsumsi produk organik harus menjaga keamanan dan manfaat lingkungan bersama termasuk lingkungan hidup, iklim, habitat, keanekaragaman, udara, dan air.

The principles of fairness

Pertanian organik harus dapat membangun hubungan yang meyakinkan adanya keadilan yang ditujukan pada lingkungan hidup bersama dan kesempatan hidup. Keadilan dikarakteristikan dengan adanya kesetaraan, saling menghargai, keadilan, dan kesediaan untuk berbagi sumber daya dunia, diantara manusia dan dalam hubungan antar manusia dengan makhluk lainnya. Prinsip tersebut menekankan siapapun yang terlibat dalam pertanian organik harus mengarahkan hubungan antar manusia dalam sikap yang saling menjaga keadilan pada setiap tingkatan dan kelompok baik petani, pekerja, pengolah, pedagang, distributor, bahkan konsumen. Pertanian organik harus menyajikan keterlibatan setiap orang dengan kualitas kehidupan yang lebih baik, dan berkontribusi pada ketahanan pangan, dan mengurangi kemiskinan. Aktivitas produksi dan konsumsi harus dikelola dengan merujuk pada keadilan sosial dan ekologi serta dapat menjamin kelangsungan generasi dimasa depan. Keadilan juga mencakup sistem produksi, sistem distribusi dan perdagangan yang terbuka,adil, dan dapat memperhitungkan biaya lingkungan juga biaya sosial.


(32)

The principles of care

Prinsip ini menekankan bahwa pencegahan dan tanggung jawab adalah kunci perhatian dalam pengelolaan, pengembangan dan pilihan teknologi dalam pertanian organik. Ilmu sangat penting untuk memastikan bahwa pertanian organic benar-benar menyehatkan, aman, dan menjamin kelangsungan ekologi. Meskipun demikian, pengetahuan ilmiah sendiri tidak cukup. Pengalaman praktik, akumulasi kebijakan, tradisional dan pengetahuan lokal menyajikan solusi yang utama yang teruji dari waktu ke waktu. Pertanian organik harus dapat mencegah resiko yang signifikan dengan mengadopsi teknologi yang tepat dan menolak hal-hal tidak terprediksi, seperi rekayasa genetik. Pengambilan keputusan harus merefleksikan nilai dan kebutuhan semua pihak yang terkena dampak, melalui proses yang transparan dan partisipatif.

Pertanian organik, jika dibanding dengan pertanian modern yang bertumpu pada pupuk, benih unggul, teknologi dan pestisida, memiliki beberapa manfaat berikut2. Pertama, manfaat ekologis. Pertanian organik menjamin kegemburan dan kesuburan tanah dan terhindarnya polusi. Jadi, pertanian organik ramah dan bersahabat dengan alam sehingga menjamin keseimbangan ekosistem.

Kedua, manfaat ekonomis. Pertanian organik tidak memerlukan pupuk, pestisida, benih unggul dan teknologi mahal. Petani tidak perlu membelanjakan semua input tersebut. Sementara hasil produksinya, meski awalnya kurang memuaskan, dalam jangka panjang lebih menguntungkan. Pertanian organik juga menjamin keberlanjutan, karena petani bisa membuat benih sendiri.

Ketiga, manfaat sosial budaya. Pertanian organik menjadi faktor pengintegrasi dan pusat kreasi petani. Jika revolusi hijau memisahkan mereka, pertanian organik justru menyatukan. Petani bisa berkumpul untuk belajar, tukar pengalaman dan melakukan uji coba secara bersama-sama. Di sini juga tumbuh kembali rasa saling untuk percaya dan membutuhkan. Mereka sadar, bahwa permasalahan petani itu berat, tidak mungkin diselesaikan seorang diri, melainkan dalam kebersamaan.

Keempat, manfaat politis. Pertanian organik dikembangkan atas inisiatif dan kreativitas rakyat, bukan karena program atau komando pihak lain. Dengan

2 Roman N. Landong. 2004. Pertanian Organis, Inovasi untuk Kemandirian Petani. Wacana


(33)

demikian daulat petani dapat dioptimalkan. Mereka tidak lagi bergantung pada perusahaan atau tengkulak. Kondisi itu tentu bisa memperkuat daya tawar politik mereka sehingga tidak lagi menjadi obyek eksploitasi pihak lain, baik pemerintah, partai politik atau pun perusahaan. Dengan kata lain, pertanian organik membuat rakyat mandiri, otonom, dan maju.

Kelima, berperspektif gender. Pertanian organik mengembangkan peran perempuan sebagai pembuat benih utama. Perempuan menemukan ruang bagi artikulasi kepentingan dan kemampuan dirinya sebagai kekuatan produktif serta menghidupkan. Keterampilan perempuan dalam membuat benih, merawat tanaman dan menyimpan hasil bisa dipulihkan.

Dari uraian yang dikemukakan seputar sistem pertanian organik, maka dapat diidentifikasi berbagai perbedaan antara sistem pertanian non-organik dengan sistem pertanian organik sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.

2.1.4 Aktivitas dalam Sistem Pertanian Padi Sawah

Uphoff (1986) menguraikan bahwa pembangunan pada dasarnya meibatkan perbaikan-perbaikan atau peningkatan pada 3 kategori yaitu teknologi, sumberdaya, dan kelembagaan. Pembangunan kelembagaan tampaknya sulit dalam program pembangunan pertanian, padahal sangat penting khususnya terkait dengan teknologi dan sumber daya alam. Pembangunan kelembagaan dalam pertanian pada hakekatnya ditujukan untuk penguatan kelembagaan nasional.

Pembahasan dititikberatkan pada pembangunan kapasitas kelembagaan untuk mendukung pembangunan pertanian di tingkat lokal. Proses tersebut dapat disimpulkan secara analisis sebagai berikut :

1. Pertanian perlu merubah sumber daya alam, termasuk tanaman dan hewan menjadi produk yang bermanfaat melalui pemanfaatan sumber daya manusia sehingga menjadi lebih produktif dengan adanya penggunaan modal berupa sarana infrastruktur, peralatan, kredit dan sebagainya. 2. Pembangunan kelembagaan lokal untuk bidang pertanian lebih kompleks

dibandingkan pengelolaan sumber daya alam, pengelolaan infrastruktur pedesaan, atau pelayanan kesehatan, karena dalam kelembagaan lokal


(34)

terdapat dua hal berbeda yang harus terlibat yaitu adanya kelembagaan pendukung, dan unit-unit produksi.

Tabel 1. Perbedaan Sistem Pertanian Non-Organik dengan Organik

Faktor Pembeda Sistem Pertanian Non-Organik Sistem Pertanian Organik

Harga Standar harga pasar Harga premium

Biaya produksi Biaya produksi lebih rendah Biaya produksi lebih tinggi Kemudahan dilakukan Lebih sederhana Lebih membutuhkan ekstra

perhatian Tingkat resiko Resiko rendah karena sudah

terbiasa

Resiko kegagalan tinggi (pada tahap awal)

Pendapatan di tingkat petani

Harga di tingkat petani sangat rendah

Pendapatan di tingkat petani lebih tinggi karena dihargai lebih mahal

Prospek jangka panjang Dalam jangka panjang

menyebabkan ketidakberlanjutan secara ekologi dan ekonomi

Lebih prospektif secara ekonomi dan ekologi untuk jangka panjang

Nilai-nilai sosial Degradasi nilai-nilai sosial Memperkuat nilai-nilai sosial Pengetahuan lokal Menghilangkan pengetahuan

lokal

Mengembangkan kembali praktek dan pengetahuan lokal Aspek sosial Monopoli kapitalis Meningkatkan kedaulatan

petani/kemandirian/ pengambilan keputusan/partisipasi/ pemberdayaan/aksi sosial Lapangan kerja Mekanisasi menyebabkan

marginalisasi tenaga kerja perempuan dan laki-laki

Membuka lapangan kerja baru bagi perempuan

Sikap terhadap alam Merusak keseimbangan ekosistem Melestarikan alam Ketergantungan Ketergantungan terhadap input

luar

Melepas ketergantungan

Produk Produk mengandung bahan karsinogenik

Produk lebih sehat

Sumber input Input luar Lokalism Dampak terhadap tanah Merusak tanah Perbaikan tanah Dampak lingkungan Menyebabkan polusi Meredam polusi Kualitas produk Produk mengandung bahan

karsinogenik

Kualitas produk

Penggunaan energi Eksploitasi energi Pemanfaatan energi Dampak terhadap tenaga

kerja

Marginalisasi tenaga kerja Kesempatan kerja

Penggunaan input Input luar Orisinil

Dasar pemikiran Irasional Rasional – seimbang Cakupan Global dan dimonopoli oleh

TNCs

Global – direspon seluruh dunia

Keamanan Tidak aman bagi manusia dan lingkungan

Aman – sehat bagi manusia dan lingkungan

Penggunaan sumber daya Eksternal Internal – sumberdaya potensi lokal

Prinsip pengelolaan Eksplotasi Kontinuitas – untuk regenerasi


(35)

3. Aktivitas-aktivitas pertanian menjadi 3 set yaitu (1) perolehan atau penyediaan input, (2) merubah input menjadi produk melalui penggunaan tenaga kerja dan pengelolaan dari para ahli, dan (3) menempatkan output pada pencapaian keuntungan terbaik.

4. Dalam aktivitas-aktivitas tersebut, dibutuhkan dukungan untuk bidang pertanian dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan investasi-investasi yang menunjang dari lembaga-lembaga di tingkat nasional dan tingkat regional, seperti lembaga penelitian, lembaga penyuluhan, dan sarana infrastuktur. 5. Kompleksitas dari pertanian muncul dari adanya keberagaman unit-unit

dan kelembagaan-kelembagaan yang terlibat dan dari kesulitan-kesulitan dalam meraih keragaan terbaik dalam bentukan kelembagaan tersebut. Lembaga-lembaga pendukung sebagaimana diuraikan berikut merepresentasikan jejaring yang krusial dalam mencapai efektivitas dan perluasan pembangunan pertanian. Aktivitas-aktivitas difokuskan pada berbagai tingkatan mulai dari level individu sampai pada arena internasional. Adapun tabel analisis aktivitas-aktivitas pertanian mengidentifikasikan secara spesifik input, produksi, dan aktivitas output. Analisis aktivitas pertanian menurut Uphoff (1986) adalah mencakup sebagai berikut :

I. Aktivitas input (secara umum dimediasi oleh kelembagaan-kelembagaan lokal). A. Input material, meliputi : benih dan pembenihan (pemilihan, pertukaran, penyajian), nutrisi (pupuk kimia biasanya disalurkan melalui kelembagaan lokal, termasuk sumber daya lain dari berbagai nutrisi), bahan-bahan kimia, pembajakan, peralatan, pakan, dan obat-obatan penumbuh.

B. Input modal, meliputi : kredit jangka pendek (produksi untuk tanaman musim), kredit jangka menengah (untuk perlengkapan atau pilihan lain), Kredit jangka panjang (lebih sering untuk pemilihan lahan).

C. Input secara umum (biasanya dikelola oleh kelembagaan nasional), meliputi : akses tanah (sistem peladangan berpindah, rental atau pengelolaan pembagian tanaman), teknologi (informasi tentang tanaman baru, praktik, atau teknik, dikembangkan secara umum melalui penelitian dan pengembangan melalui sistem penyuluhan, dapat menggunakan sistem


(36)

dari komunikasi atau pendidikan), dan kebijakan (hubungan harga, subsidi-subsidi, dan lainnya).

D. Input tidak langsung meliputi : pengelolaan sumber daya alam (proteksi dan persediaan dari tanah, air, hutan, dan sumber daya alam lainnya), infrastruktur pedesaan (jalan, persediaan air, perumahan, dan lainnya), dan pembangunan sumber daya manusia (pendidikan, melek aksara, kesehatan, lainnya).

II. Aktivitas produksi (biasanya dilakukan oleh individu atau kelompok perusahaan; dengan melibatkan pertukaran dari tenaga kerja atau input seperti kekuatan traktor tapi kadang-kadang benar-benar menjadi wadah bagi sumber daya dengan produser-produser yang mau mengambil resiko)

A. Tenaga Kerja (aktivitas kerja), meliputi : (1) untuk tanaman tahunan (persiapan lahan, penanaman, termasuk perawatan yang memungkinkan), (2) untuk tanaman musiman, kecuali : berkurangnya frekuensi persiapan lahan dan penanaman, benih yang memungkinkan dan atau pemotongan cabang, penipisan dan perkawinan, pemupukan, proteksi tanaman, pengendalian hama dan penyakit, manajemen air (yang memungkinkan untuk irigasi), pemanenan, pemilihan benih, (3) untuk ternak yaitu pakan, termasuk rumput yang berkualitas seperti jerami, kandang, pengendalian penyakit, pemberian susu, pemotongan hewan, pembiakan, perbanyakan. B. Manajemen (aktivitas pengambilan keputusan), meliputi : dapat

memahami dan menentukan input, memobilisasi, koordinasi, supervisi, input tenaga kerja, menentukan macam-macam dan durasi dari produksi, meyakinkan keseimbangan antara input dan output.

III. Aktivitas output, meliputi : penyimpanan (setelah panen dan atau setelah prosesing atau pengolahan), pengolahan (secara manual dan atau memakai mesin), transportasi (untuk prosesing, penyimpanan dan penjualan), pemasaran (seluruhnya dijual dan atau eceran).

Kegiatan produksi dapat dilakukan baik oleh individu, rumah tangga, kelompok atau perusahaan, pada umumnya rumah tangga menjadi pusat aktivitas produksi. Penyediaan input dan penanganan output, adalah sebaliknya, berada dalam rentang dari tingkat kelompok atau tingkat perusahaan kemudian di tingkat


(37)

komunitas, beranjak ke tingkat lokalitas dan seringkali juga berada di tingkat regional.

Aktivitas pertanian sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Uphoff (1986) secara garis besar merupakan aktivitas pada sistem pertanian non-organik maupun sistem pertanian organik. Hanya terdapat beberapa perbedaan dalam implementasinya sebagaimana tabel berikut :

Tabel 2. Aktivitas Pertanian pada Sistem Pertanian Non-Organik dan Organik

Aktivitas Pertanian Sistem Pertanian Non Organik Sistem Pertanian Organik

Prinsip

Peningkatan produksi dan keuntungan melalui intensifikasi

lahan

Keseimbangan ekologis dan kedaulatan petani I. Aktivitas Input

A. Input Material Input dari Luar Komunitas Lokal

B. Input Modal Lembaga permodalan (penyedia kredit)

Tengkulak/Pengijon

Milik sendiri dan atau milik komunitas

C. Input Secara Umum

1. Akses tanah Lahan bukan milik sendiri Lahan milik sendiri 2. Informasi Kebijakan pemerintah Pengetahuan lokal 3. Kebijakan Harga ditentukan oleh pasar Harga ditentukan dengan

mekanisme fair trade D. Input Tidak Langsung

1. Pengelolaan sumber daya alam

Komunitas petani setempat dan pihak terkait

Komunitas petani setempat dan pihak terkait

A. Tenaga Kerja Petani penggarap dan tenaga kerja upahan

Lebih intensif oleh petani penggarap

B. Manajemen Penyuluh dan opinion leader Petani penggarap

A. Penyimpanan Lembaga pemerintah seperti Bulog Lumbung milik komunitas

B. Pengolahan Mesin Manual

C. Transportasi Transportasi modern yang disediakan oleh petani pemodal besar

Menggunakan sarana transportasi modern D. Pemasaran Dijual seluruhnya dan eceran ke

pasar

Dijual seluruhnya dan eceran

Sumber : Disarikan dari berbagai sumber

2.1.5 Kelembagaan Pertanian Padi Sawah Definisi Kelembagaan

Merujuk pada Uphoff (1986), kelembagaan adalah seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan melayani tujuan yang bernilai secara kolektif. Kelembagaan tersebut didasarkan pada sektor-sektor tingkat lokalitas terbagi menjadi tiga bidang yaitu (1) sektor publik (public sector), sektor


(38)

partisipatori (participatory sector), dan sektor swasta (private sector). Kelembagaan sektor publik di tingkat lokal mencakup administrasi dan pemerintah lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai bentuk organisasi yang mutakhir. Kelembagaan sektor partisipatori tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela. Sementara itu, kelembagaan sektor swasta, berorientasi pada upaya mencari keuntungan, yakni dalam bidang jasa, perdagangan, dan industri.

Koentjaraningrat dalam Soekanto (1982) menggunakan istilah pranata sosial untuk menyatakan kelembagaan sebagai rules of the games. Pranata merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Adapun Schmid dalam Tonny (2004) mengemukakan bahwa kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam tertentu.

Norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia oleh Soekanto (1982) lebih diistilahkan sebagai lembaga kemasyarakatan (social institution). Suatu lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari manusia, pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu antara lain :

1. Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan.

2. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian-sosial (social control) yaitu artinya sistem pengawasan daripada masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.


(39)

Scott (2008) menguraikan bahwa kelembagaan adalah gabungan dari elemen regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya bersamaan dengan gabungan aktivitas dan sumber daya, menyajikan stabilitas dan makna untuk kehidupan sosial. Adanya sistem regulatif, normatif, dan pengetahuan budaya merupakan bahan dasar utama dalam suatu kelembagaan. Ketiga elemen membentuk suatu kontinum yang bergerak dari kebingungan menuju ketidakbingungan, dari tekanan legal menuju penerimaan apa adanya.

Sebagai suatu konsepsi yang terintegrasi, merujuk D’Andrade dalam Scott (2008) lebih lanjut mengemukakan bahwa perwujudan kelembagaan adalah untuk menjadi suatu sistem yang lebih menentukan (overdetermined systems). Overdetermined yang dimaksud adalah merujuk pada sanksi sosial ditambah dengan tekanan untuk menciptakan konformitas, ditambah dengan adanya penghargaan langsung secara intrinsik, ditambah dengan nilai, dimana keseluruhannya beraksi atau bergerak bersama untuk memberikan sistem makna sehingga menjadi kekuatan yang mengarahkan. Tabel 3. menguraikan tiga elemen (tiga pilar) yang teridentifikasi sebagai penunjang kelembagaan.

Tabel 3. Three Pillars of Institution

Regulative Normative Cultural-Cognitif

Basis of compliance

Expedience Social obligation Taken for-grantness Shared understanding

Basis of order Regulative rules Binding

expectations

Constitutive schema

Mechanism Coersive Normative Mimetic

Logic Instrumentality Appropriateness Orthodoxy

Indicators Rules

Laws Sanctions

Certification Accreditation

Common belief Shared logic of action Isomorphism

Affect Fear Guilt/Innocence Shame/Honor Certainty/Confusion

Basis of legitimacy

Legally sanctioned Morally governed Comprehensible Recognizable Culturally supported Sumber : Scott, 2008

Scott (2008) lebih lanjut menjelaskan bahwa kelembagaan yang dibentuk atas pilar regulatif mengatur perilaku anggotanya dengan menitikberatkan adanya kepatuhan terhadap proses-proses regulatif yang eksplisit yakni seting peraturan


(1)

156

partisipasi komunitas dalam menerapkan sistem pertanian padi sehat tersebut

semakin meningkat.

7.6

Ikhtisar

Keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian padi sehat tampak

dengan adanya pengorganisasian sosial dan teknik sosial sebagaimana diuraikan

pada Tabel 26. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi terwujudnya

pengorganisasian dan teknik sosial tersebut. Namun, pada prosesnya terdapat

kendala struktur dan kultur sehingga kelembagaan yang terbentuk belum dapat

mewujudkan pertanian berkelanjutan baik dari dimensi sosial, ekonomi, maupun

ekologi. Untuk dapat mencapai hal tersebut, community center approach menjadi

salah satu alternatif strategi untuk menjadi teknik sosial dalam mendukung

keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian padi sehat di Kampung

Ciburuy. Berbagai teknik sosial lebih lanjut dirumuskan untuk meningkatkan

pencapaian pertanian berkelanjutan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanian berkelanjutan dapat

diwujudkan dengan adanya teknik-teknik sosial yang mendukung dan

mempercepat pengorganisasian sosial. Pengorganisasian sosial merujuk pada

terbentuknya kelembagaan-kelembagaan dalam sistem pertanian padi sehat,

dengan didukung oleh pilar yang menopangnya, dan proses pelembagaan yang

terus berlangsung didalamnya. Adapun teknik-teknik sosial dijalankan untuk

mengatasi dan mencari solusi dari munculnya kendala struktur maupun kendala

kultur yang dihadapi untuk mencapai pertanian berkelanjutan. Perspektif

pembangunan berpusat pada rakyat menjadi salah satu alternatif menuju

terwujudnya pertanian berkelanjutan tersebut. Secara ringkas uraian tersebut

disajikan dalam Tabel 26.


(2)

157

Tabel 26. Bentuk Kelembagaan, Kendala yang Dihadapi, Dimensi Pertanian Berkelanjutan, dan Teknik Sosial untuk Meningkatkan

Pencapaian Pertanian Berkelanjutan di Kampung Ciburuy

Bentuk Kelembagaan Kendala yang Dihadapi Dimensi Pertanian Berkelanjutan Teknik Sosial untuk Meningkatkan Pencapaian Pertanian Berkelanjutan Kelembagaan

Koperasi Kelompok Tani “Lisung Kiwari”

 Petani padi yang menjadi angota koperasi hanya 30%

 Hanya ketua kelompok tani yang mengakses

fungsi koperasi dan berperan dalam menjembatani anggota kelompok dengan koperasi tersebut

 Usaha beras belum menjadi unit usaha koperasi

 Dari sisi kelemahan yang tampak, pada dasarnya menunjukkan suatu indikasi bahwa ketua kelompok memiliki posisi penting bagi para anggotanya. Para anggota menaruh kepercayaan yang tinggi kepada ketua kelompok untuk menjembatani kebutuhan mereka terkait dengan koperasi. Semakin menguatnya hubungan antara anggota dan ketua kelompok, maka ketua kelompok terus berhubungan dengan koperasi dan akan tetap mendukung peran dan fungsi koperasi bagi anggota kelompok meskipun tidak secara langsung. kelembagaan koperasi dan kelembagaan kelompok tani di Kampung Ciburuy akan terus berjalan.

 Sosialisasi manfaat koperasi kepada anggota kelompok tani di Kampung Ciburuy

 Menjadikan usaha beras sebagai

bagian dari unit usaha koperasi dengan melibatkan petani sebagai unit-unit bisnis penyokong usaha koperasi tersebut.

Kedua hal tersebut dapat memperbesar volume penyertaan modal secara swadaya untuk digulirkan kembali.

Kelembagaan Kelompok Tani

 Sebagian besar petani belum mampu

menerapkan sistem budidaya padi sehat karena masih belum mengetahui manfaat dan keuntungannya

 Hanya sebagian kecil petani yang sudah menerapkan budidaya padi sehat merujuk pada SOP yang telah disusun

 Masih memerlukan waktu dan proses yang

cukup lama untuk mencapai sebagian besar petani padi mau dan mampu menerapkan

 Secara social, komunitas petani padi di Kampung Ciburuy terus melakukan proses pembentukan nilai-nilai bersama yaitu secara bertahap menanamkan prinsip dan menerapkan teknik pertanian organik dalam konteks sistem budidaya padi sehat

 Dengan diaktifkannya kembali peran

ketua kelompok dan kini difungsikan sebagai manajer pengendali mutu

 Revitalisasi kelompok tani dan gapoktan Silih Asih melalui mengadakan pertemuan rutin yang lebih terencana inter kelompok dan antar kelompok tani.

 Optimalisasi program manajer

pengendali mutu dengan mengadakan pertemuan rutin dan agenda yang lebih terencana.


(3)

158

budidaya padi sehat sesuai SOP setempat maka menjadi media dalam proses

perluasan jejaring sosial dalam sistem pertanian padi sehat ini

kelompok untuk penyelenggaraan pertemuan dan memberi dukungan insentif bagi para ketua kelompok dalam menjalankan tugasnya sebagai manajer pengendali mutu.

Kelembagaan Penyuluhan

 Belum adanya kebijakan nasional yang

sifatnya peraturan-perundang-undangan yang secara ketat dan fokus dalam pengembangan sistem pertanian organik

 Adanya kegiatan penyuluhan menjadi

wadah bagi para petani untuk berdiskusi, mendorong partisipasi mereka dalam pengembangan sistem pertanian padi sehat, serta menggali dan berbagi pengetahuan lokal antar komunitas petani dalam berbudidaya padi selama ini

 Menyelenggarakan kegiatan

penyuluhan yang terus

berkesinambungan dengan metode yang lebih menggali partisipasi komunitas petani dalam menerapkan sistem pertanian padi sehat

Kelembagaan untuk Pengaturan Produksi

 Belum mampu untuk menghasilkan 100%

padi yang dibudidayakan dengan teknik dan prinsip organic karena masih belum bisa lepas dari penggunaan pupuk kimia (urea, TSP, phonska)

 Kualitas air yang mengairi lahan sawah belum teruji bebas polusi/racun kimia  Lahan penanaman padi tidak terisolasi dari

polusi bahan kimia yang berasal dari lingkungan sekitarnya

 Cara-cara berproduksi tidak didasarkan pada tata aturan komunal dan hampir tidak ada budaya tradisional yang dilakukan oleh para petani terkait dengan budidaya padi mereka

 Meskipun masih belum 100%

menghasilkan padi organik namun budidaya padi sehat memiliki nilai kelayakan ekonomi yang cukup baik (biaya produksi lebih hemat) ditinjau dari analisis budidaya padi sehat dengan non budidaya padi sehat

 Sosialisasi manfaat budidaya padi sehat sesuai SOP yang dirumuskan melalui kegiatan kunjungan lapang inter kelompok atau antar kelompok tani

 Terus berupaya untuk

membudidayakan padi sehat sesuai dengan SOP yang telah dirumuskan

 Membangun kerjasama dengan

instansi pemerintah atau lembaga penelitian untuk membantu menuji kualitas/tingkat polusi tanah, air, dan udara

Kelembagaan Pasca Panen

 Koperasi terkadang kurang menjamin

kualitas beras yang dijual. Beras yang sudah dipacking terkadang banyak kutu. Hal ini juga terkait dengan lokasi pengemasan yang kurang terjamin kebersihannya. Pihak LPS terkadang

 Dari segi sosial, kerjasama antara koperasi kelompok tani Lisung Kiwari dengan Lembaga Pertanian Sehat menunjukkan perluasan jejaring sosial dalam membangun sistem pertanian padi sehat

 Meningkatkan pengawasan bersama

pada proses pascapanen yang dilakukan oleh koperasi kelompok tani Lisung Kiwari dengan Lembaga Pertanian Sehat


(4)

159

menerima keluhan dari konsumen terkait

dengan kondisi ini, dan beras yang sudah dipihak LPS pun terpaksa di retur (dikembalikan) kepada pihak koperasi. Kelembagaan

Distribusi

 Harga pembelian gabah ke petani tetap mengikuti harga pasar

 Adanya jaminan pasar belum berdampak

dalam meningkatkan pendapatan petani penggarap

 Beras SAE dengan kualitas terbaik (yang sudah ditapi dan dikemas) tidak dikonsumsi oleh warga sekitar tapi untuk konsumen di luar komunitas

 Dari 7 warung yang menjual beras, hanya 1 warung yang menjual beras dari

penggilingan setempat (tempat penggilingan beras SAE)  Oleh karena faktor alam, koperasi

terkadang tidak dapat memenuhi target penyediaan beras sebagaimana yang telah disepakati. Di sisi lain, oleh karena kendala keuangan, pihak LPS terkadang tidak dapat memenuhi target pembayaran pada waktu yang telah ditetapkan bersama.

 Dari segi biaya produksi dan tersedianya jaminan pasar, sistem budidaya padi sehat memang

memenuhi kelayakan secara ekonomi.

 Koperasi agar dapat memberi harga

jual yang lebih tinggi dari harga pasar kepada para petani yang sudah memenuhi SOP budidaya padi sehat.

 Memperluas pemasaran beras SAE

di tingkat lokal dengan warung-warung di sekitar kampung dan desa Ciburuy

 Memperluas sosialisasi penanaman

lahan sawah dengan merujuk pada SOP budidaya padi untuk

meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi beras SAE

 Koperasi agar dapat terus bermitra dengan instansi pemerintahan khususnya untuk memperoleh bantuan permodalan

 Menjaga hubungan baik dengan

lembaga mitra dengan

menyelenggarakan pertemuan rutin

Sumber : Data Primer, 2009


(5)

160

BAB VIII

PENUTUP

8.1

Kesimpulan

Dari hasil penelitian, terdapat beberapa kesimpulan yang diperoleh yaitu :

1.

Aktivitas dalam sistem pertanian padi sehat di Kampung Ciburuy meliputi

aktivitas input, aktivitas produksi, dan aktivitas output. Para pelaku yang

terlibat dalam aktivitas input dan aktivitas produksi adalah petani pemilik

lahan, petani penggarap, buruh tani tetap, buruh tani lepas, sesama petani

dalam satu kelompok, sesama petani di luar kelompok, tokoh masyarakat,

penyuluh pertanian, dan Koperasi Kelompok Tani “Lisung Kiwari”.

Sedangkan dalam aktivitas output, selain melibatkan peran koperasi juga

melibatkan Lembaga Pertanian Sehat, agen distributor dan konsumen

beras SAE.

2.

Bentuk-bentuk kelembagaan yang terdapat dalam sistem pertanian padi

sehat yaitu kelembagaan untuk pengaturan input, kelembagaan untuk

pengaturan produksi, dan kelembagaan untuk pengaturan output. Pada

prosesnya, kelembagaan-kelembagaan yang terbentuk dalam sistem

pertanian padi sehat cenderung lebih ditopang oleh pilar normatif dan

regulatif.

3.

Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

keberlanjutan

kelembagaan-kelembagaan dalam sistem pertanian padi sehat adalah faktor eksternal dan

faktor internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi yaitu tata kelola yang

baik dalam sistem pemerintahan, jejaring kerjasama antar kelembagaan,

dan ketersediaan sarana dan prasarana umum. Adapun faktor internal yang

mempengaruhi yaitu kepemimpinan, adanya aturan tertulis, aturan tidak

tertulis, proses pendirian kelembagaan, dan partisipasi komunitas.

8.2

Saran

Berdasarkan temuan yang diperoleh dari hasil penelitian, maka dapat

dikemukakan beberapa saran kebijakan untuk meningkatkan upaya mewujudkan


(6)

161

pertanian berkelanjutan berbasis kelembagaan dalam sistem pertanian padi sehat

tersebut yaitu :

1.

Perlunya penguatan kelembagaan dengan meningkatkan sinergi antar

pilar-pilar kelembagaan. Untuk menjamin keberlanjutan kelembagaan

dalam sistem pertanian padi sehat, diperlukan dukungan pilar

cultural-cognitif. Konsepsi

cultural-cognitif dalam kelembagaan ini menekankan

adanya peranan sentral dari konstruksi mediasi sosial dan pembentukan

kerangka pemaknaan bersama. Beberapa upaya yang dapat dilakukan

adalah meningkatkan upaya sosialisasi mengenai pentingnya memahami

dan menerapkan prosedur operasional standar budidaya padi sehat.

Sosialisasi tersebut dapat melalui kegiatan penyuluhan seiring dengan

upaya penguatan kelompok tani yang dapat dilakukan dengan

meningkatkan intensitas dan kualitas materi penyuluhan.

2.

Meningkatkan dukungan faktor internal dan eksternal. Untuk

meningkatkan dukungan faktor internal, salah satu hal penting yang harus

dilakukan adalah adanya upaya kaderisasi agar peran kepemimpinan tokoh

masyarakat dapat didistribusikan dan tidak terpusat pada tokoh

masyarakat. Adapun untuk meningkatkan dukungan eksternal dapat

dilakukan dengan memperkuat jejaring kerjasama yaitu menjadikan petani

tidak hanya sebagai unit produksi akan tetapi juga sebagai unit bisnis yang

memiliki akses dan kontrol terhadap aktivitas input, produksi, dan output.

3.

Untuk mengantisipasi kendala struktur, diperlukan teknik-teknik yang

lebih membangun partisipasi komunitas. Terkait dengan hal itu, diperlukan

peranan penyuluh dan pendamping masyarakat agar teknik-teknik sosial

yang dijalankan dapat berhasil secara optimal mewujudkan kelembagan

yang berkelanjutan. Selain itu, penerapan metode-metode partisipatif

dalam menjalankan teknik sosial sebagaimana dalam kegiatan penyuluhan

dan pendampingan sangat penting dilakukan. untuk mengantisipasi

kendala kultur. Teknik sosial tersebut sedapat mungkin diarahkan untuk

memberi ruang kepada komunitas agar memiliki kemampuan dalam

mengakses dan mengontrol berbagai informasi dan teknologi terkait

dengan pengembangan sistem pertanian padi sehat di Kampung Ciburuy.