46
1. Bahasa dan karya sastra Melayu Rendah
Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab 1, ada begitu banyak karya sastra berbahasa Melayu Rendah yang ditulis pada abad ke-19 dan ke-20. Bagian
ini akan coba menguraikan bahasa Melayu Rendah, mulai dari perdebatan sekitar istilah “Melayu Rendah” itu sendiri, peran bahasa Melayu Rendah dalam
munculnya pers di Nusantara dan karya sastra yang dimuat di dalamnya, perkembangan sastra Melayu Rendah dan “cerita nyai” sebagai salah satu genre
yang mewarnai khazanah sastra tersebut.
1.1. Sekilas tentang bahasa Melayu Rendah
Ada berbagai istilah yang dipakai untuk merujuk bahasa Melayu Rendah. Yang pertama ialah bahasa Melayu Pasar. Menurut Jakob Sumarjo, digunakannya
istilah ini kiranya menunjukkan bahwa bahasa ini merupakan bahasa pengantar dalam kegiatan dagang antaretnis dan antarbangsa di kota-kota niaga di
Nusantara.
106
Memang sejak abad ke-17 berbagai pusat niaga dan pemerintahan— sejak zaman VOC hingga kemudian zaman pemerintah kolonial Hindia
Belanda—menjadi tempat bertemunya berbagai kalangan: orang-orang Eropa terutama Belanda, golongan Indo, orang-orang Cina dan peranakannya, serta
kaum pribumi. Pramoedya Ananta Toer dalam kata pengantar untuk antologi cerita yang
ditulis dalam bahasa Melayu jenis ini menyebutnya sebagai Melayu lingua franca atau Melayu pra-Indonesia. Menurut Pram, bahasa ini “bukan bahasa Melayu
106
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 20.
47 baku, tetapi Melayu yang terjadi karena pertemuan antara berbagai bangsa dan
suku di Nusantara, yang pada mulanya hanya dipergunakan secara lisan.”
107
Melayu lingua franca, menurutnya, merupakan fenomena tunggal di Asia Tenggara karena dipergunakan dan dikembangkan oleh orang-orang asing
sewaktu memasuki Nusantara dari Malaka sebagai pangkalan. Bahasa ini secara efektif memerantarai penyebaran berbagai agama di Nusantara. Para mubalig
asing mempergunakannya untuk menyebarkan Islam. Dari pangkalan Malaka juga, bangsa Portugis memanfaatkannya untuk meletakkan dasar kekuasaan dan
Gereja Katolik Roma di Nusantara bagian timur, serta memakainya sebagai bahasa kekuasaan dan administrasi. Tak heran jika kemudian bahasa setempat
justru terdesak menjadi “bahasa tanah”. Sebagai gantinya, bahasa Melayu Maluku menjadi bahasa gereja dan pergaulan umum.
108
Pemakaian bahasa Melayu ini terus berlanjut. Baik Kompeni Belanda dan Kompeni Inggris di Malaka pun turut menggunakannya. Disebut oleh orang
Belanda sebagai “brabbel Maleisch”, ironisnya, ia justru dipakai sebagai bahasa resmi Kompeni Belanda dan pemerintah kolonial setelahnya berabad-abad
lamanya hingga pada awal abad ke-20 ketika gagasan membakukan bahasa Melayu yang sudah mewacana sejak 1850-an mulai diwujudkan.
Oleh sementara pihak, bahasa Melayu tersebut juga disebut “Melayu Tionghoa.” Claudine Salmon, seorang peneliti yang melakukan penelusuran
terhadap khazanah sastra Melayu di Nusantara, mengatakan bahwa ketika muncul
107
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia Jakarta: Hasta Mitra, 1982, 9.
108
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia Jakarta: Hasta Mitra, 1982, 9.
48 sastra dan persuratkabaran dalam bahasa Melayu, istilah “Melayu Tionghoa”
sama sekali tidak pernah ditemukan. Sebaliknya, pengarang-pengarang itu menganggap diri menulis dalam bahasa yang umum digunakan di Jawa. Oleh
beberapa pihak, bahasa yang dimaksud ini disebut bahasa Melayu rendah.
109
Dari penelitiannya terhadap berbagai polemik mengenai bahasa ini, Salmon
menyimpulkan bahwa “tidak terdapat ‘Bahasa Melayu Tionghoa’ yang sebenarnya, melainkan sesungguhnya suatu bahasa Melayu yang dipergunakan di
kota-kota di Jawa, oleh semua suku bangsa, baik itu orang-orang Jawa dan Belanda maupun orang-orang Tionghoa.”
110
Menurutnya, bahasa tersebut berbeda dengan bahasa Melayu Sumatra yang pelan-pelan diperkenalkan oleh para pejabat
Balai Pustaka. Memang, bahasa Melayu versi Sumatra ini kemudian memberikan kontribusi besar terhadap pengembangan bahasa Indonesia.
Lantas, bagaimana sebutan ini berubah menjadi “Melayu Tionghoa”? Hal ini terkait erat dengan masalah politik. Menurut Salmon, manakala alergi-alergi
politik telah memperlebar jurang antara orang-orang Indonesia dan orang-orang Tionghoa, sesuatu yang tidak dijumpai pada akhir abad ke-19 maupun awal abad
ke-20, mulailah “ditempa dan disebarluaskan istilah bahasa Melayu Tionghoa dengan arti buruk, untuk menyebut suatu bahasa yang relatif kuno dan yang
109
Claudine Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?” dalam Citra Masyarakat Indonesia, Henri Chambert-Loir, et. al. Jakarta: Sinar
Harapan, 1983, 99.
110
Claudine Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?”, 99.
49 sesungguhnya dipergunakan oleh semua orang di Jawa hingga menjelang tahun-
tahun 1920-an.”
111
Hal senada dikemukakan Dede Oetomo. Istilah “Melayu Cina”, menurutnya, tidaklah tepat. Mungkin memang ada kontinuitas antara “Melayu
Cina” dan bahasa Indonesia modern, khususnya karena “Melayu Cina” juga digunakan dalam wacana tulis orang-orang dari kelompok etnis lainnya selain
kalangan Cina pada masa kolonial dan juga setelah masa kemerdekaan.
112
Ia menyebutkan bahwa dalam sejumlah literatur yang bisa meralat mitos “Melayu
Cina,” dua fakta selalu diketengahkan. Pertama, bahasa sehari-hari orang Cina yang berbahasa Melayu berbeda dialeknya dari daerah satu dengan yang lain.
Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa ada satu dialek Melayu yang dipakai orang Cina di manapun di seluruh Nusantara. Kedua, dialek lokal orang
Cina yang berbahasa Melayu dengan pewicara Melayu lokal lainnya hanya berbeda sedikit kendati hal tersebut masih perlu diteliti secara empiris.
113
Sebagai gantinya, ia cenderung menggunakan istilah “Melayu pra- Indonesia pre-Indonesian MalayPIM yang dibedakan dari MelayuIndonesia
standar standard Malay[SM]Indonesian. Dari penelusuran terhadap fonologi, ortografi, morfologi, sintaksis, kosakata Melayu pra-Indonesia, Dede
menyimpulkan bahwa jika kita mempertimbangkan eksistensi kata-kata pinjaman, kita mungkin bisa mengatakan bahwa terdapat subdialek dalam bahasa Melayu
111
Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?”, 109.
112
Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian Language,” Indonesia 51 1991: 55.
113
Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian Language,” Indonesia 51 1991: 55.
50 pra-Indonesia. Ini dalam artian bahwa pengarang dari etnis Cina cenderung
menaburi bahasa Melayunya dengan kosakata pinjaman dari Cina Hokkien. Hanya dalam konteks inilah seseorang bisa mengatakan “Melayu Cina” atau
subdialek Cina dari Melayu pra-Indonesia.
114
Apa yang secara salah kaprah disebut “Melayu-Cina” secara struktural dan dalam penggunaan bahasa formal
hanyalah ragam MelayuIndonesia PIM yang digunakan secara luas oleh kaum borjuis di pusat-pusat perkotaan kolonial.
115
Agak berbeda dengan apa yang diungkapkan Claudine Salmon dan Dede Oetomo, Jakob Sumardjo mengemukakan bahwa istilah bahasa Melayu Rendah
digunakan secara sadar oleh para penulisnya sejak awal lahirnya sastra ini. Penggunaan istilah “Melayu Tionghoa” atau “Melayu Cina” pada 1920-an
dipengaruhi oleh Sumpah Pemuda di kalangan pribumi yang lalu secara sadar mengembangkan bahasa nasionalnya sendiri. Sejak itulah, bahasa Melayu Rendah
dipakai hanya di kalangan terbatas, yakni kalangan Tionghoa saja.
116
Dalam penelitian ini, saya sendiri akan menggunakan istilah “Melayu Rendah” karena beberapa alasan. Pertama, istilah “Melayu Rendah” di sini saya
maksudkan sebagai seluruh dialek Melayu yang dipakai di Nusantara pada masa kolonial—periode ketika karya-karya sastra yang saya teliti ditulis. Kedua, istilah
“Melayu Rendah” yang sering disebut “brabbel Maleisch” atau “Laag Maleisch”
114
Tidak terhenti di situ Dede Oetomo melanjutkan, “Tapi, lalu mungkin seseorang juga harus menyebut “Melayu Jawa” atau “Melayu Arab” sebagai subdialek karena kelompok ini jug
meminjam kosakata dari bahasa asli mereka.” Dalam Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian Language,” Indonesia 51 1991: 64.
115
Dede Oetomo, “The Chinese of Indonesia and the Development of the Indonesian Language,” Indonesia 51 1991: 64.
116
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 2.
51 ini tetap saya pakai untuk menunjukkan suatu ironi bahwa bahasa inilah yang
justru menjadi bahasa administrasi dan bahasa yang dipakai dalam berbagai aktivitas dan relasi sosial antara pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan
pelbagai unsur masyarakat kolonial kala itu. Mewujud sebagai bahasa komunikasi verkertaal, bahasa Melayu Rendah menyimpan aneka potensi tersembunyi di
antaranya karena digunakan dalam dunia pers, baik yang dijalankan oleh orang Tionghoa maupun pribumi dan juga, yang tak boleh dilupakan, dalam dunia
sastra. Karena alasan inilah pemerintah Hindia Belanda kemudian merasa perlu untuk melakukan sensor terhadap bahasa yang “tidak murni” dan “tidak benar”
ini, yang salah satunya dilembagakan lewat pendirian Balai Pustaka, dan di kemudian hari pembakuan bahasa Melayu, yakni Melayu Tinggi yang konon
berakar di Riau, jantung kebudayaan Melayu.
1.2. Kelahiran pers dan lahirnya karya sastra di surat kabar