29 diperintahkan untuk menanam tanaman ekspor, seperti kopi dan gula, untuk
kemudian dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga tetap. Sistem ini selanjutnya berkembang menjadi sistem Tanam Paksa.
51
Sistem tanam paksa yang membuat rakyat di daerah koloni sengsara memicu munculnya suara-suara yang menggugat eksploitasi tersebut di negeri
Belanda. Maka pada 1848 diberlakukan pendekatan liberal dan kesempatan dibuka bagi kalangan swasta. Pada 1870 Hukum Agraria disahkan.
52
Sejak waktu itu, sistem ekonomi mengalami transformasi yang nyata di bawah kebijakan
liberal laisser-faire. Hal ini berlangsung sejalan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Komunikasi melalui telegraf dan jasa pos udara serta
transportasi laut dengan kapal uap melalui Terusan Suez secara signifikan mengurangi jarak antara Belanda dan Hindia TimurNusantara.
53
Di bawah kebijakan liberal yang mendorong perkebunan swasta, kultivasi bebas serta
kepemilikan pribadi di Hindia, perekonomian maju pesat. Ini ditandai dengan surplus penghasilan yang cukup besar bagi kas Kerajaan Belanda selama kurun
waktu 1832 hingga 1877. Keuntungan yang dihasilkan dari perniagaan kopi dan gula antara 1850 hingga 1860 telah memberikan kontribusi sebesar 31 persen dari
total pemasukan Belanda.
54
2.1. Pergundikan di perkebunan
51
Hellwig, Adjustment and Discontent, 17.
52
Hellwig, Adjustment and Discontent, 17.
53
Hellwig, Adjustment and Discontent, 19.
54
Hellwig, Adjustment and Discontent, 19.
30 Sebagaimana telah disebutkan di atas, sekitar 1870 banyak perkebunan
dan penanaman tanaman ekspor bermunculan akibat kebijakan liberal. Ini khususnya terjadi di sepanjang pesisir Sumatra Timur, tepatnya di Deli. Meliputi
wilayah yang luas, sabuk perkebunan Deli mulai beroperasi pada 1860-an dan menjadi lokasi investasi yang paling menggiurkan di Hindia Belanda karena
keuntungan yang dihasilkannya. Menurut Ann Laura Stoler, jauh dan otonom dari pusat kekuasaan kolonial
di Batavia, komunitas sabuk perkebunan Deli mengembangkan karakter khusus selama masa ekspansinya di akhir abad ke-19. Komunitas itu ditandai beberapa
ciri antara lain beragamnya bangsa Eropa yang bermukim di sana—berbeda dengan di Jawa yang didominasi oleh orang-orang Belanda—dan pergundikan
yang berkembang secara ekstensif hingga abad ke-20. Selain itu, sabuk ini terkenal karena tingginya tingkat kekerasan yang dialami para pekerja
perkebunan. Di lokasi tersebut pula terjadi diskriminasi sosial yang dianggap paling tinggi di Hindia Belanda. Dengan kata lain, komunitas tersebut berwatak
amat rasis.
55
Salah satu ciri dari komunitas sabuk perkebunan Deli tadi ialah pergundikan yang berkembang luas. Di antara berbagai faktor yang menyebabkan
keadaan tersebut adalah peraturan tentang perkawinan yang diberlakukan terhadap para pekerja perkebunan. Para asisten administrator dilarang menikah sebelum
masa kerja enam tahun. Kondisi kerja yang keras dianggap tidak baik bagi perempuan Eropa. Selain itu, laki-laki harus bisa bekerja secara bebas terkait
55
Stoler, Carnal Knowledge, 26.
31 dengan situasi kerja di hutan. Tanpa keluarga, mereka pun bisa digaji lebih murah
dan akan bekerja lebih keras.
56
Alasan di balik pengaturan perkawinan bagi para pekerja perkebunan tidak terhenti di situ. Menurut Stoler, larangan menikah tersebut diterapkan untuk
mencegah munculnya golongan proletariat Eropa di Deli. Pilihan pergundikan dengan perempuan Jawa lebih disukai karena hanya memberikan beban finansial
ringan pada staf golongan rendah dan membantu para pendatang baru untuk mempelajari bahasa dan adat kebiasaan setempat dengan cepat. Dengan menolak
mempekerjakan lelaki yang telah menikah, para pengelola sabuk perkebunan ini sekaligus mengesahkan sistem pergundikan yang telah begitu lazim ditemukan di
Jawa.
57
Larangan perkawinan ini mulai dihentikan pada 1922 dan para pekerja didorong untuk hidup dengan nyai. Nyai bisa berasal dari kalangan kuli
perempuan ataupun perempuan Jepang yang diambil dari pelacuran.
58
Pernyaian dianggap memberikan berbagai keuntungan bagi para pekerja perkebunan. Nyai
bisa memberikan perasaan nyaman dan betah bagi para pekerja tersebut. Namun, ini tidak disertai dengan tuntutan afektif dan finansial. Selain itu, mereka bisa
menjadi tempat penyaluran kebutuhan biologis. Nyai juga bertanggung jawab untuk mencegah kehamilan ataupun mengasuh anak-anak yang dilahirkannya.
59
56
Hellwig, Adjustment and Discontent, 35.
57
Stoler, Carnal Knowledge, 29.
58
Dalam hal ini, perempuan Jepang lebih dihargai karena mereka dibeli dari rumah pelacuran di Singapura ataupun didatangkan langsung dari Jepang. Lihat Locher-Scholten, “The Nyai in
Colonial Deli,” 271.
59
Hellwig, Adjustment and Discontent, 35.
32
2.2. Pergundikan di barak