16 analisis tekstualnya, Fane meninjau rezim kekuasaan dan pengetahuan yang
diungkapkan melalui penggunaan penokohankarakterisasi, plot, tema dan bahasa yang digunakan pengarang untuk mendefinisikan perempuan.
Kedua penelitian ini membahas imaji yang umum tentang sosok nyai. Dalam penelitian Brenda M. Fane sudah ada upaya untuk melihat persoalan
gender dari teks yang diteliti dengan pendekatan pascastrukturalis. Penelitian dengan pendekatan yang berbeda, yakni dengan pendekatan pascakolonial
sebagaimana yang akan dilakukan penelitian ini menawarkan sudut pandang interpretasi yang berbeda dari berbagai penelitian yang sebelumnya sudah
dilakukan terhadap cerita-cerita tentang pernyaian. Dari seluruh karya yang telah saya sebutkan, hanya tulisan Katrin Bandel
yang memiliki perhatian yang agak mirip dengan penelitian ini. Hal itu terutama karena kajian tersebut menggunakan pendekatan pascakolonial sebagaimana yang
digunakan dalam penelitian ini. Meskipun demikian, saya berupaya untuk lebih memfokuskan pembahasan cerita nyai dikaitkan dengan konteks sosio-historis
pernyaian itu sendiri dan bahasa Melayu Rendah sebagai medium penulisan cerita-cerita nyai yang saya teliti. Dengan demikian, ditinjau dari fokus penelitian
dan pendekatan, saya berupaya menawarkan suatu wilayah baru untuk mendekati teks-teks Melayu Rendah, dalam hal ini cerita nyai.
6. Landasan teori: pendekatan pascakolonial
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan pascakolonial. Istilah “pascakolonial” sendiri memang mengundang perdebatan panjang. Sebagaimana
17 disebutkan Melani Budianta, hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama,
problematisnya konsep-konsep dasar dari teori pascakolonial itu sendiri, antara lain oposisi biner dan konstruksi identitas budaya. Kedua, terminologi
“pascakolonial” yang menggabungkan kata “pasca” dan “kolonialisme.”
21
Namun demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendekatan pascakolonial
adalah pendekatan pascastruktural yang diterapkan pada topik khusus.
22
Kendati meminjam pelbagai teori dan konsep dari pendekatan pascastruktural, pendekatan
ini justru secara bersamaan merupakan tanggapan atas ketidakpuasan para intelektual dari Dunia Ketiga terhadap teori-teori pascastruktural, terutama yang
digagas Derrida dan Barthes.
23
Tony Day dan Keith Foulcher mengemukakan bahwa pendekatan pascakolonial yang diterapkan dalam kajian sastra berupaya mengungkap jejak-
jejak perjumpaan kolonial, konfrontasi ras, bangsa dan budaya di bawah kondisi- kondisi hubungan kekuasaan yang tidak setara, yang seluruhnya turut membentuk
pengalaman manusia sejak awal mula imperialisme Eropa.
24
Dengan demikian, pendekatan pascakolonial di sini bisa dilihat sebagai:
“suatu strategi membaca yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang membantu mengidentifikasi jejak-jejak kolonialisme, serta menilai sifat
dan signifikansi berbagai efek tekstual dari jejak-jejak ini;
25
sebuah pendekatan kritis untuk memahami efek-efek yang masih berlangsung dari kolonialisme dalam teks;
26
21
Lebih lanjut lihat Melani Budianta, “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial,” dalam Membaca Postkolonialitas di Indonesia, disunting oleh Budi Susanto, SJ Yogyakarta: Kanisius
dan Lembaga Studi Realino, 2008, 15-31.
22
Melani Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang Potret Orang Kecil dan Wacana Post- Kolonial,” Kalam 2 1994: 62.
23
Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang,” 62.
24
Tony Day dan Keith Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature Introductory Remarks,” dalam Clearing a Space Postcolonial Readings of Modern Indonesian
Literature, disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day Leiden: KITLV Press, 2002, 2.
25
Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 2.
18 pembacaan kritis atas berjalin kelindannya beragam kekuatan sebagian
global, sebagian lainnya lokal, yang memberi bentuk dan makna terhadap teks-teks sastra.”
27
Singkatnya, bisa dikatakan bahwa pendekatan pascakolonial menawarkan paradigma, metode dan alat bantu untuk memahami hubungan-hubungan
kekuasaan yang kurang bisa dikaji dengan teori lainnya. Dalam penelitian ini, saya akan meminjam salah satu konsep penting dari
teori pascakolonial, yakni ambivalensi yang digagas oleh Homi K. Bhabha. “Ambivalensi” yang diadaptasi oleh Bhabha dari psikoanalisis ke dalam wacana
kolonial, menggambarkan adanya perpaduan yang kompleks antara ketertarikan attraction toward dan penolakan repulsion from yang menandai hubungan
antara penjajah dan terjajah. Hubungan tersebut bersifat ambivalen karena subjek terjajah tidaklah pernah hanya semata-mata dan sepenuhnya menentang
penjajahnya. Menurut Bhabha, keterlibatan complicity dan resistensi resistance merupakan relasi yang dialami oleh subjek kolonial secara berubah-ubah.
28
Selain itu, ambivalensi juga menandai cara bagaimana wacana kolonial terhubung
dengan subjek terjajah. Wacana tersebut secara serentak berciri eksploitatif dan memberdayakan, atau menampilkan dirinya seolah-olah memberdayakan, pada
saat yang bersamaan.
29
Dengan konsep “ambivalensi” ini saya berupaya menunjukkan bahwa hubungan antara nyai terjajah dan tuan penjajah tidaklah
sederhana dan diametral di mana tokoh nyai melulu menjadi objek kekuasaan dari
26
Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3.
27
Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3.
28
Bill Ashcroft, Gareth Griffith dan Helen Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies London: Routledge, 1998, 12-13.
29
Ashcroft, Griffith dan Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies, 13.
19 sang tuan. Ada saat-saat tertentu di mana nyai juga menjadi subjek yang aktif
meskipun berada di bawah bayang-bayang kekuasaan itu. Demikian pula dengan wacana kolonial yang tidak melulu eksploitatif, tetapi juga bisa disiasati untuk
memberdayakan diri kaum terjajah.
7. Sumber data dan metode penelitian