Representasi penyaian dalam karya sastra melayu rendah studi pascakolonial mengenai cerita Nyai.

(1)

ABSTRAK

Tesis ini mengkaji empat cerita yang sering disebut “cerita nyai,” yaitu cerita yang menampilkan tokoh nyai sebagai tokoh utama cerita, dan ditulis dalam bahasa Melayu Rendah pada masa kolonial Hindia Belanda. Keempat cerita yang dikaji adalah Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H. Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti. Cerita-cerita ini termasuk karya sastra yang dipinggirkan oleh Balai Pustaka—institusi yang didirikan pemerintah kolonial untuk menyediakan bacaan rakyat yang bermutu bagi masyarakat pribumi. Penelitian ini akan menganalisis representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari berbagai aspek, yakni aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian, lalu menunjukkan posisi cerita tersebut dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial.

Untuk keperluan tersebut, tesis ini pertama-tama berusaha mengeksplorasi latar belakang sosio-hostoris fenomena pernyaian yang muncul seiring dengan masuknya VOC di Nusantara dan dilanjutkan dengan periode kolonisasi. Kemudian, tesis ini juga menjelaskan konteks keberadaan cerita nyai sebagai bagian dari korpus sastra Melayu Rendah di tengah-tengah politik bahasa pemerintah kolonial.

Tesis ini menunjukkan adanya representasi tentang pernyaian yang beragam dan bentuk-bentuk ambivalensi yang berbeda-beda di dalam setiap cerita. Hubungan antara tuan (penjajah) dan nyai (terjajah) pun tidaklah sederhana, tetapi kompleks dan dinamis karena selalu ditandai ambivalensi. Karena ambivalensi inilah, kendati cerita-cerita tersebut tidak menunjukkan perlawanan yang tegas, Balai Pustaka sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial meminggirkan “cerita nyai” tersebut.


(2)

REPRESENTASI PERNYAIAN

DALAM KARYA SASTRA MELAYU RENDAH

STUDI PASCAKOLONIAL MENGENAI CERITA NYAI

TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Linda NIM : 05632006

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2009


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

PRAKATA

Belajar di IRB bagi saya adalah sebuah perjalanan dan menulis tesis merupakan bagian dari perjalanan itu. Jika awalnya menulis adalah sebuah kegemaran yang mengasyikkan maka dalam proses penulisan tesis ini ada saat-saat di mana menulis menjadi keterpaksaan yang menegangkan. Tak jarang saya mengalami writer’s block yang membuat saya berhenti sejenak, menghela nafas untuk kemudian bergerak lagi. Ringkasnya, tesis ini merekam aneka pergulatan saya yang bergerak dari titik satu ke titik-titik lainnya di dalam sebuah spektrum hingga akhirnya “menggapai cahaya.”

Di dalam perjalanan yang cukup panjang ini, ada begitu banyak orang yang terlibat bersama-sama saya, masing-masing mendukung saya dengan caranya tersendiri. Untuk itu, kepada mereka pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih.

1. Mama, Papa, dan Santi, juga Mena dan segenap keluarga yang telah menyemangati dan menguatkan saya sepanjang penulisan tesis.

2. Ibu dan Bapak di Klepu dengan kasih sayang dan doanya yang tak kunjung putus, Mba Wati dan Mas Willy di Japos serta nona-nona kecilku: Fani, Fiera dan Femi, tempat berteduh sejenak di kala lelah dan putus asa. 3. St. Sunardi yang telah begitu sabar dan selalu membangkitkan rasa

percaya diri saya ketika seringkali saya menemui “jalan buntu.” Terima kasih untuk diskusi, kritik dan bahan-bahan yang begitu berharga. Juga


(8)

Katrin Bandel, sahabat dan guru, yang selalu bersedia menjadi tempat berbagi gagasan dan perasaan tatkala saya bimbang dan ragu. Terima kasih untuk bahan-bahan yang amat membantu di awal penulisan tesis, masukan-masukan, juga obrolan ringan dan diskusi yang selalu membawa pencerahan. Tanpa Mba Katrin sulit dibayangkan tesis ini menemukan wujudnya yang sekarang.

4. Segenap dosen pascasarjana: Robert H. Imam, Tri Subagya, George Aditjondro, Budiawan, Nicholas Warouw, Romo G. Subanar, Romo A. Sudiarja, Romo Hary Susanto, Romo Agung Wijayanto, Romo Baskoro T. Wardoyo, Novita Dewi, Stefani Haning, Devi Ardhiani, beserta para dosen tamu. Terima kasih telah menjadi oase intelektual yang menyegarkan selama saya berkelana di IRB.

5. Asia Research Institute – National University of Singapore (NUS) yang telah memberikan kesempatan residensi selama tiga bulan di Singapura dan akses terhadap pelbagai sumber pustaka yang amat membantu penelitian ini. Secara khusus, terima kasih kepada mentor saya, Dr. Jan van der Putten, serta Dr. Kay Mohlman yang memberikan pengetahuan baru mengenai penulisan akademis dalam bahasa Inggris. Juga teman-teman yang saling menyemangati, teristimewa Tessa Guazon, Yustina dan Kang Herry.

6. Teman-teman seperjuangan: Mba Yeni, Iyus, Kak Aleida, Sujud, Bang Samsul, Mas Yudi, dan Mas Hagung. Juga anak-anak IRB lintas generasi:


(9)

Mba Melati, Mba Iim, Mas Ferdi, Mas Dedi, Retno, Hasan, Mba Dona, dan teman-teman lainnya yang telah turut memberikan berbagai dukungan. 7. Mba Henki di sekretariat IRB yang selalu siap membantu, juga

teman-teman di perpus pasca: Lia, dkk.

8. Dosen-dosen EEC dan teman-teman belajar: Siska, Diana, Wiro, Rani, Angga, Mail, Mas Aan, Ade, dan lainnya.

9. Teman-teman di Hidup, khususnya Bunda Sulis, Mba Etty, dan Pak Sihol. 10.Teman-teman di kosan lintas generasi: Agek, Echa, Yudha, Yuli, Meita,

Yoe, Vitha, Ifen, Jie Ayu, Lia, Elen, Keling, Emichta dan semua. Juga kepada Tante dan Om Isnu, Gede dan Detta, serta Yu Mur.

11.Teman-teman di Aksara-IVAA dan para mentor yang telah berproses bersama selama beberapa bulan dan memperluas wawasan saya tentang dunia seni.

12.Edwid yang setia menemani di hari-hari yang sulit baik dengan rumpian maupun diskusi seriusnya.

13.Sahabat-sahabat: Maman dan Budi (what a long journey!), Elis, Hendar, Mas Agus dan Gangan.

14.Mba Yani yang selalu bersedia diganggu dengan curhat-curhat saya. 15.Mba Kristin dan Mas Priyo di Bandung, juga Mba Maria, Jenong dan

Ibu-Bapak Pdt. Poniman di Jember.


(10)

17.Invisible assistants in these years: Mba-Mba dan Mas-Mas di warung-warung makan, bis-bis kota, tempat fotokopi yang semuanya telah turut melancarkan segala pekerjaan saya.

18.The last but not the least, this work is dedicated to the letterblind millions who have so much past but so very little history.


(11)

DAFTAR ISI

Persetujuan pembimbing ii

Lembar pengesahan iii

Keaslian karya iv

Lembar persetujuan publikasi karya ilmiah v

Prakata vi

Daftar isi x

Abstrak xii

Bab I Pendahuluan 1. Latar belakang 1

2. Perumusan masalah 10

3. Tujuan penelitian 11

4. Relevansi penelitian 11

5. Tinjauan pustaka 11

6. Landasan teori 16

7. Sumber data dan metode penelitian 19

8. Sistematika penulisan 19

Bab II Latar belakang sosio-historis pernyaian 1. Munculnya pernyaian pada zaman VOC 23

1. 1. VOC memfasilitasi perkawinan dengan perempuan pribumi 23

1.2. Tentangan dari Coen terhadap pergundikan 26

2. Berlanjutnya pernyaian sebagai necessary evil 28

2.1. Pergundikan di perkebunan 29

2.2. Pergundikan di barak 32

3. Tentangan terhadap pergundikan 33

3.1. Sikap terhadap pergundikan di barak 35

3.1.1. Di Belanda 35

3.1.2. Di Hindia Belanda 37

4. Berakhirnya pernyaian 42

Bab III Konteks sastra masa kolonial 1. Bahasa dan sastra Melayu Rendah 46

1.1. Sekilas tentang bahasa Melayu Rendah 46

1.2. Kelahiran pers dan lahirnya karya sastra di surat kabar 51

1.3. Perkembangan sastra Melayu Rendah dan para pendukungnya 54

1.4. Cerita tentang pernyaian 59

2. Politik bahasa pemerintah kolonial 60

2.1. Pendirian Commissie vor Volkslectuur 61

2.2. Efek dari kebijakan kolonial dan labelisasi bacaan liar 68

Bab IV Ambivalensi pascakolonial dalam cerita nyai 1. Sinopsis 73


(12)

3. Ras 94

4. Perkawinan dan pernyaian 109

5. Hubungan nyai dan tuan 119

6. Kesimpulan 124

Bab V Kesimpulan 127


(13)

ABSTRAK

Tesis ini mengkaji empat cerita yang sering disebut “cerita nyai,” yaitu cerita yang menampilkan tokoh nyai sebagai tokoh utama cerita, dan ditulis dalam bahasa Melayu Rendah pada masa kolonial Hindia Belanda. Keempat cerita yang dikaji adalah Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H. Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti. Cerita-cerita ini termasuk karya sastra yang dipinggirkan oleh Balai Pustaka—institusi yang didirikan pemerintah kolonial untuk menyediakan bacaan rakyat yang bermutu bagi masyarakat pribumi. Penelitian ini akan menganalisis representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari berbagai aspek, yakni aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian, lalu menunjukkan posisi cerita tersebut dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial.

Untuk keperluan tersebut, tesis ini pertama-tama berusaha mengeksplorasi latar belakang sosio-hostoris fenomena pernyaian yang muncul seiring dengan masuknya VOC di Nusantara dan dilanjutkan dengan periode kolonisasi. Kemudian, tesis ini juga menjelaskan konteks keberadaan cerita nyai sebagai bagian dari korpus sastra Melayu Rendah di tengah-tengah politik bahasa pemerintah kolonial.

Tesis ini menunjukkan adanya representasi tentang pernyaian yang beragam dan bentuk-bentuk ambivalensi yang berbeda-beda di dalam setiap cerita. Hubungan antara tuan (penjajah) dan nyai (terjajah) pun tidaklah sederhana, tetapi kompleks dan dinamis karena selalu ditandai ambivalensi. Karena ambivalensi inilah, kendati cerita-cerita tersebut tidak menunjukkan perlawanan yang tegas, Balai Pustaka sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial meminggirkan “cerita nyai” tersebut.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Dalam perkuliahan “Sastra Etnik” saya berkenalan dengan khazanah sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu lingua franca,1 atau sering juga disebut Melayu Rendah.2 Melayu lingua franca dibedakan dengan bahasa Melayu baku, yakni Melayu Tinggi yang diakui sebagai bahasa Melayu standar oleh pemerintah Hindia Belanda kala itu. Bahasa Melayu jenis ini mulanya merupakan alat komunikasi lisan antar pelbagai bangsa dan suku di Nusantara. Pada perkembangan selanjutnya, ia dipergunakan dalam surat kabar dan berbagai media tertulis lainnya.

Yang mengherankan ialah kenyataan bahwa karya-karya sastra berbahasa Melayu Rendah ini ternyata tidak mendapat pengakuan dalam sejarah sastra Indonesia modern. Padahal, ada begitu banyak karya sastra yang ditulis baik oleh kalangan Pribumi, peranakan Tionghoa, maupun peranakan Eropa/Belanda.3 Menurut penemuan peneliti Perancis Claudine Salmon, karya yang ditulis

1

Istilah Melayu lingua franca ini diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pram menyebut karya sastra yang memakai bahasa ini sebagai sastra Melayu lingua franca, sastra asimilatif, atau sastra pra-Indonesia. Ihwal lebih lanjut seputar persoalan ini bisa dibaca dalam Tempo Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982), 9-11. Akan tetapi, dalam bagian selanjutnya dalam tulisan ini saya akan menggunakan Melayu Rendah karena lebih populer dipakai dalam wacana sastra secara umum meskipun penamaan istilah ini juga problematis.

2

Lihat Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal (Yogyakarta: Galang Press, 2004).

3


(15)

peranakan Tionghoa saja mencapai 3.005 karya dari 806 penulis.4 Ditinjau dari aspek isi, Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa karya sastra Melayu Rendah ini sudah memiliki ciri yang membedakannya dengan karya sastra tradisional-konvensional lama, yakni pernyataan diri pribadi (self expression).5 Bisa dikatakan, kehadiran karya-karya ini memberi dasar bagi lahirnya sastra Indonesia pada periode selanjutnya.

Di sini perlu disimak juga bagaimana situasi masyarakat pada masa kolonial Hindia Belanda. Secara umum masyarakat—khususnya di daerah perkotaan—yang terdiri dari orang Tionghoa dan Asia lainnya, Indo (peranakan Eropa-Asia) dan peranakan Tionghoa hidup berdampingan dengan bangsa Eropa. Berbagai kelompok yang ada ini membentuk sebuah masyarakat majemuk yang dinamis. Dalam situasi semacam itu, orang pun turut menciptakan identitasnya, baik yang terbentuk karena ras, gender dan sedikit-banyak kelas sosial. Persoalan identitas ini pun tercermin dalam berbagai karya sastra yang lahir selama kurun waktu tersebut.

Dalam khazanah sastra yang merepresentasikan kehidupan di Hindia Belanda, persoalan jenis bahasa yang digunakan sang pengarang dalam menulis pun menjadi penting. Maka, perlu dibedakan antara teks yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu.6 Karya berbahasa Belanda umumnya diterbitkan di

4

Claudine Salmoon mencatat 3005 karya tersebut terdiri dari 2.757 karya dari penulis yang teridentifikasi serta 248 karya dari penulis anonim. Keseluruhan karya tersebut mencakup 73 naskah drama, 183 puisi dalam bentuk syair, 233 terjemahan karya berbahasa Eropa, 759 karya terjemahan karya berbahasa Tionghoa, serta 1.398 novel dan cerita pendek. Lihat Claudine Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia A Provisional Annotated Bibliography (Paris: De la Maison des Sciences de L'Homme, 1981), 10.

5

Toer, Tempo Doeloe,12. 6

Tineke Hellwig, “Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity,” Archipel 63(2002): 153-172.


(16)

Belanda dengan golongan pembaca yang sama sekali berbeda dengan para pembaca karya sastra berbahasa Melayu. Selain itu, pengarang yang menulis dalam bahasa Belanda sering dianggap menyuarakan sudut pandang penjajah (the colonizer) dengan titik berdiri golongan penguasa Eropa kulit putih yang superior. Para pengarang ini mengikuti tren penulisan naturalistik yang bermula di Perancis sebagaimana dipelopori Emile Zola. Karya-karya pengarang berbahasa Belanda ini, mulai dari novel, cerita, drama hingga puisi, lazim dibaca dan dikaji dalam lingkungan akademi di Belanda.

Karya berbahasa Melayu dalam kurun waktu yang sama masih jarang dikaji. Cerita dan syair yang juga mengisahkan peristiwa hidup sehari-hari ini biasanya disebut sastra populer Melayu Rendah, karena merujuk pada medium bahasa yang dipakai dalam penuturannya.7 Karya-karya berbahasa Melayu Rendah kerap disubordinasikan dari karya sastra berbahasa Melayu Tinggi (klasik) yang direstui pemerintah sehingga luput dari kajian intelektual. Para penulis karya berbahasa Melayu Rendah umumnya menyajikan cerita dengan menekankan bahwa cerita yang disampaikan merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Memang sumber cerita pada masa itu biasanya berasal dari surat kabar dan sebagian besar pengarangnya adalah para wartawan. Kebanyakan cerita mengisahkan kasus kriminal, pembunuhan, pemerkosaan, bunuh diri, dan sebagainya.

7

Pembedaan Melayu Rendah versus Melayu Tinggi adalah persoalan politis. Bahasa Melayu Tinggi sengaja dipakai pemerintah kolonial untuk membakukan bahasa Melayu yang selanjutnya dipakai di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Pada akhirnya, tepatnya pada 14 September 1908, didirikan juga Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur—yang kelak menjadi Balai Pustaka—untuk memproduksi bacaan yang menunjang pengajaran di sekolah.


(17)

Cerita-cerita tentang nyai termasuk salah satu tema yang kerap diangkat, karena pernyaian memang merupakan kondisi yang riil dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kolonial. Di antaranya ialah Tjerita Njai Dasima (G. Francis),

Tjerita Nji Paina (H. Kommer), Tjerita Njai Ratna (Raden Mas Tirto Adhi

Soerjo), Boenga Roos dari Tjikembang (Kwee Tek Hoay), Njai Soemirah (Thio Tjhin Boen), dan Hikajat Siti Mariah (Haji Mukti). Balai Poestaka sebagai alat sensor pemerintah berupaya meminggirkan kisah-kisah nyai ini dan menggolongkannya sebagai “roman picisan” karena dianggap tidak bernilai sastra dan tidak mendidik. Di antaranya dengan mempromosikan buku-buku terbitan Balai Pustaka yang dikampanyekan sebagai bacaan “bermutu.” Banyaknya cerita yang bertutur tentang kisah nyai ini membentuk sebuah genre tersendiri dalam khazanah sastra pra-Indonesia, yakni genre cerita nyai.8

Sebagaimana telah disebutkan di atas, struktur masyarakat pada masa kolonial dibentuk berdasarkan ras. Golongan Eropa Totok dan Indo menempati kelas satu, diikuti keturunan Tionghoa dan Arab sebagai warga kelas dua dan masyarakat Pribumi sebagai kelas terbawah dari stratifikasi sosial. Golongan Pribumi masih terbagi lagi, yakni golongan priyayi dan kelompok rakyat jelata yang terpuruk pada posisi paling bawah dalam stratifikasi ini.

Diskriminasi rasial ini pada akhirnya melahirkan serangkaian konsekuensi yang menyudutkan masyarakat Pribumi. Segala bentuk pelayanan publik mulai dari pendidikan, layanan sosial, pengadilan, pengaturan upah kerja dan lain sebagainya diatur menurut stratifikasi tadi. Selain itu, kolonialisme menggandeng

8

Setidaknya istilah ini ditemukan dalam kajian Tineke Hellwig sebagaimana dikutip Thomas Hunter,”Indo as Other” dalam Clearing A Space: Postcolonial Readings of Indonesian Literature, disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day(Leiden: 2002), 116.


(18)

feodalisme, khususnya di Jawa, untuk makin memantapkan penindasannya kepada kaum bumiputera. Pejabat kolonial menggunakan tangan pejabat priyayi untuk memungut pajak dari rakyat. Para pejabat yang berhasil melakukan tugasnya ini dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah kolonial.9 Tak ayal, para penguasa lokal ini pun tak segan-segan menekan rakyatnya demi “mencari muka” di depan kekuasaan kolonial.

Adapun Tanam Paksa (Cultuurstelsel) bermula dari kebangkrutan perekonomian negeri Belanda akibat membiayai upaya menumpas pelbagai pemberontakan dan perang di negeri jajahan. Di antaranya, Perang Diponegoro dan Perang Aceh yang berlangsung hingga puluhan tahun. Untuk mengatasi masalah ekonomi di dalam negeri Belanda, pemerintah kolonial di Hindia mewajibkan rakyat jajahan membayar pajak sebanyak kira-kira seperlima dari luas tanah di seluruh desa di Jawa.10

Penderitaan rakyat negeri jajahan yang luar biasa memunculkan kecaman dari golongan liberal. Seiring dengan keadaan ini, kaum borjuis di Belanda mendesak dihapuskannya monopoli pemerintah dan digantikan dengan sistem persaingan bebas ala kapitalisme liberal yang tengah marak di Eropa. Selain itu, para borjuis ini menuntut agar pihak swasta diizinkan mengelola perkebunan di negeri jajahan. Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) yang disahkan pada 9 April 1870 menjawab persoalan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam Tanam Paksa dan membuka peluang bagi para investor asing (baik Belanda maupun golongan Eropa lainnya).

9

Linda Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, Prisma 10 (Oktober 1994), 22.

10


(19)

Pada kurun waktu inilah lahir perkebunan-perkebunan swasta yang kemudian membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain mempekerjakan rakyat bumiputra, perusahaan swasta pun mendatangkan orang-orang Eropa. Sebagian besar di antaranya laki-laki, baik yang sudah menikah maupun lajang. Akan tetapi, kebanyakan pria Eropa yang sudah menikah tidak membawa serta keluarganya karena kondisi ekonomi yang belum memungkinkan. Karena sedikitnya jumlah perempuan Eropa di negeri jajahan dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang datang, pergundikan atau pernyaian (concubinage)11 makin meningkat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyaian telah menjadi bagian dari sejarah yang membentuk masa lalu kolonial. Akan tetapi, sebagai sebuah kenyataan sosial, ia seolah-seolah disangkal keberadaannya karena kepentingan golongan yang berkuasa. Dalam hal ini pemerintah kolonial di masa lalu sangat berpengaruh dalam “membungkam” keberadaan institusi yang bisa jadi mencoreng citra orang-orang Eropa sebagai ras yang superior ini—gagasan yang telah menjadi salah satu alasan pembenaran bagi kolonialisme. Selain itu, pernyaian yang merupakan hubungan “tidak resmi” atau “ilegal” ini selain dipandang “tidak pantas” dari segi moral juga membawa berbagai akibat yang cukup rumit. Misalnya saja, tumbuhnya golongan masyarakat baru, yakni orang-orang Indo, sebagai hasil dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan pribumi tersebut. Meskipun demikian, sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap

11

Tineke Hellwig juga memakai istilah nyai-hood untuk fenomena di Hindia Belanda ini. Lihat Hellwig, “Menguasai Tubuh Perempuan”, Basis 09-10 (September-Oktober 2003): 60.


(20)

pernyaian pada masa itu amatlah pragmatis sehingga berubah-ubah sesuai dengan kepentingan dan tuntutan keadaan pada waktu itu.

Fenomena pernyaian pun mengalami perubahan bentuk dari waktu ke waktu. Awalnya, kata “nyai”12merujuk pada perempuan yang tinggal di kediaman laki-laki Eropa sebagai pengurus rumah tangga yang mengatur segala kebutuhan tuannya. Seorang nyai biasanya hidup dengan seorang lelaki yang kedudukannya terpandang dalam masyarakat kolonial, baik pejabat kolonial maupun kalangan swasta, antara lain opsiner dan (bahkan) administratur perkebunan. Namun, fenomena pernyaian ini juga terjadi di kalangan Eropa dari strata ekonomi bawah, khususnya para tentara yang hidup di barak/tangsi maupun rumah-rumah bedeng di daerah perkebunan. Tak jarang seorang nyai juga hidup bersama dengan saudagar Cina yang kaya, pejabat kolonial berpangkat rendah, ataupun pedagang Cina biasa.13

Sampai pada usia tertentu, sang tuan akan menikahi perempuan sebangsanya yang dianggap pantas menjadi pendamping hidup dan mampu melaksanakan peran sosial di tengah pergaulan masyarakat kolonial. Nyai tersebut pun diantar pulang ke tengah keluarganya dengan diberi semacam pesangon, baik berupa uang, rumah, sawah, dan sebagainya. Namun, bisa terjadi seorang nyai lantas dinikahi secara resmi oleh tuannya. Status para nyai semacam ini biasanya

12

Asal-usul kata “nyai” ini belum diketahui secara pasti karena kata tersebut bisa ditemui dalam berbagai bahasa di Nusantara. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan saya uraikan pada Bab 2.

13

Sally White, “The Case of Nyi Anah: Concubinage, Marriage and Reformist Islam in Late Colonial Dutch East Indies” dalam Reviewof Indonesian and Malaysian Affairs 38, 1 (2004): 88.


(21)

menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pribumi lainnya.14 Pada situasi sebaliknya, seorang nyai yang ditinggalkan oleh tuannya seringkali justru makin rendah statusnya.

Pandangan pemerintah kolonial tentang pergundikan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Salah satu kasus, pergundikan di kalangan tentara Eropa tidak mendapat halangan berarti karena alasan-alasan praktis. Para tentara yang diizinkan menikah adalah mereka yang sudah memiliki pangkat yang cukup tinggi sehingga secara ekonomis cukup mapan untuk membiayai hidup keluarganya. Selain itu, tentara yang berstatus tidak menikah relatif lebih mudah jika harus sering dimutasi dari satu tempat ke tempat lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, masalah pergundikan ini sempat diperdebatkan oleh berbagai kalangan, baik di negeri Belanda maupun di negeri jajahan Hindia Belanda. Penentangnya terutama dari kalangan agamawan yang mengemukakan dalih moral. Bagi pemerintah kolonial pun, pernyaian lambat laun dipandang tidak menguntungkan karena perkawinan campuran ini menghasilkan generasi baru Indo. Status anak hasil percampuran darah ini tidak jelas. Mereka sering dianggap sebagai golongan yang “tanggung,” bukan pribumi maupun Eropa. Lebih lanjut, kehadiran kelompok baru ini dikhawatirkan akan perlahan-lahan menggerogoti kekuasan pemerintah kolonial. Ini antara lain muncul dalam bentuk meluasnya kemiskinan di kalangan Indo. Memang pada akhirnya,

14

Meskipun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa perempuan yang menjadi nyai statusnya lebih baik daripada perempuan pribumi lainnya mengingat pelbagai akses yang dimungkinkan oleh statusnya tersebut.


(22)

fenomena pergundikan menyurut seiring dengan didatangkannya banyak perempuan kulit putih ke Hindia Belanda sekitar peralihan abad ke-20.

Sebagaimana disebutkan di atas, karya sastra masa kolonial khususnya yang berbahasa Melayu Rendah masih jarang dikaji, terutama oleh intelektual Indonesia sendiri. Lebih jarang lagi jika temanya spesifik seperti pernyaian. Saya pribadi tertarik karena alasan berikut. Pernyaian merupakan sisi ambivalen dari kolonialisme yang terlupakan atau sengaja ditutup-tutupi. Meskipun demikian, jejaknya bisa dilacak dalam berbagai karya sastra populer pada masa kolonial yang berbahasa Melayu Rendah dan ini tidak ditemui dalam berbagai terbitan Balai Pustaka. Dalam karya tersebut, para nyai digambarkan secara beragam— mulai dari gambaran yang sangat “jahat,” seperti misalnya berniat merongrong harta tuannya semata hingga sangat “baik,” yakni sebagai hamba yang tekun, baik hati, dan patuh terhadap segala perintah tuannya. Akan tetapi, ada pula nyai yang cerdas, yang belajar banyak dari budaya tuan kolonial dan dalam arti tertentu sudah maju untuk ukuran zamannya. Dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer memunculkan Nyai Ontosoroh yang mengelola perkebunan dan justru tuannya sangat bergantung padanya. Sementara itu Tirto Adhi Soerjo dalam cerita

Boesono menggambarkan seorang nyai yang pintar dan dapat diajak berdiskusi

tentang seluk-beluk penerbitan oleh Boesono, seorang mahasiswa kedokteran STOVIA yang bekerja dalam dunia pers.

Nasib para perempuan yang menjadi nyai ini bahkan tidak pernah mendapat sorotan dari tokoh perempuan yang dikenal sebagai pejuang emansipasi pada zamannya, yakni Kartini. Padahal, hingga derajat tertentu nyai mengalami


(23)

penindasan, terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang diskriminatif. Ketika ia memiliki anak hasil hubungannya dengan laki-laki Eropa, anak tersebut diakui statusnya sebagai orang Eropa. Sementara sang nyai yang melahirkan dan mengasuh tidak memperoleh hak apa-apa. Bisa dikatakan bahwa figur nyai telah diasingkan dari sejarah. Yang diakui sebagai tokoh sejarah dan dipahlawankan ialah golongan terdidik dari kalangan priyayi yang “bersih”, tidak melakukan skandal—apalagi dalam perkara seksual. Maraknya studi pascakolonial belakangan ini membuka celah baru bagi pengkajian jejak-jejak perjumpaan kolonial, khususnya sebagaimana yang terekam dalam teks-teks sastra.

2. Perumusan masalah

Dari uraian di atas, masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah? Persoalan tersebut dapat diuraikan ke dalam beberapa pokok persoalan, antara lain:

1. Bagaimana representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian?

2. Bagaimana posisi cerita nyai dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial?


(24)

3. Tujuan penelitian

Sesuai dengan pokok-pokok persoalan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan tuan, serta perkawinan dan pernyaian.

2. Menganalisis posisi cerita nyai tersebut dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial.

4. Relevansi penelitian

Adapun relevansi penelitian ini ialah:

1. Bagi kajian sastra di Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, khususnya mengenai karya sastra berbahasa Melayu Rendah yang selama ini belum banyak dikaji.

2. Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi terhadap kajian budaya, khususnya studi poskolonial, serta kajian gender.

5. Tinjauan pustaka

Sejauh penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat beragam kajian tentang karya sastra Melayu Rendah yang bertema nyai, baik berupa artikel jurnal, esai, tesis maupun buku. Tineke Hellwig, Indonesianis yang banyak meneliti persoalan sastra Indonesia, dalam tulisannya “Njai Dasima, A Fictional


(25)

Woman”15 membahas bagaimana karakter perempuan berfungsi di dalam suatu cerita dan bagaimana karakter-karakter tersebut direpresentasikan. Cerita yang diteliti ialah Tjerita Njai Dasima. Di dalam tulisannya tersebut, Hellwig membandingkan antara Tjerita Njai Dasima dalam bentuk cerita (Tjerita Njai Dasima. Soewatoe korban dari para pemboedjoek) yang ditulis oleh G. Francis (1896) dengan bentuk syair (“Sair tjerita di tempo Tahon 1813 soeda kadjadian

di Batawi, terpoengoet tjeritanja dari Boekoe Njaie Dasima”) yang

masing-masing ditulis oleh O.S. Tjiang dan Lie Kim Hok (1897). Tulisan itu menyimpulkan bahwa tokoh Nyai Dasima justru hanya sedikit berperan di dalam cerita dan ini sangat kontras dengan tokoh Samiun yang berdasarkan konstruksi cerita ditempatkan secara sentral.

Berbeda dengan studi Hellwig tentang cerita nyai yang mengisahkan gundik pribumi yang tinggal dengan lelaki Eropa, kajian H.M.J Maier dalam “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies”16 mengisahkan nyai yang tinggal dengan lelaki Tionghoa. Dengan membandingkan kedua bagian cerita tersebut dengan konteks historis yang melingkupinya, Maier menggarisbawahi adanya perubahan kesadaran akan identitas kecinaan di kalangan komunitas peranakan Cina antara 1890 hingga 1920. Kecinaan dalam hal ini tidak didefinisikan dalam kerangka perbedaan budaya, bahasa, maupun rasial, tetapi

15

Tineke Hellwig, “Njai Dasima, A Fictional Woman,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 26, 1(Winter 1992), 1-20.

16

HMJ Maier, “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149, 2 (1993), 274-297.


(26)

dalam kerangka sikap yang baik dan pantas: orang-orang Cina lebih kuat dan gigih daripada kaum pribumi yang kasar, lemah, mudah takluk pada paksaan.

Dalam esainya, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum,”17 Gerard Termorshuizen juga melakukan perbandingan antara Nyai Ontosoroh, tokoh nyai dalam Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dan tokoh-tokoh nyai dalam karya P.A. Daum. Tokoh nyai pertama dalam karya Daum, Yps Nesnaj, berasal dari novel Nummer Elf dan memenuhi stereotipe negatif nyai dalam sastra kolonial: sensual, jalang, tidak bisa dipercaya dan tamak. Sementara, tokoh nyai lainnya, Nyai Peraq, dalam novel Aboe Bakar justru memiliki kemiripan dengan Nyai Ontosoroh yang mandiri secara ekonomi. Di dalam tulisannya ini, Termorshuizen lebih berfokus pada deskripsi tokoh-tokoh nyai.

Sementara itu, Brenda Fane dalam tulisannya “Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai Stories”18 mengulas hubungan antara perempuan yang menjadi nyai melintasi batas-batas bangsa, suatu konsep yang pada waktu itu antara lain mencakup adat dan agama. Ketidaktaatan pada orang tua—yang dalam hal ini diwakili oleh tokoh ayah—pada akhirnya membawa kesusahan ataupun penyakit pada perempuan tersebut. Akan tetapi, ini terjadi sebagai ujian atas cinta nyai tersebut pada

17

Gerard Termorshuizen, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum” dalam Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun: Essays to Honour Pramoedya Ananta Toer Seventies’ Year, disunting oleh Bob Hering (Townsville: James Cook University, 1995), 55-61. PA Daum sendiri adalah seorang penulis Belanda yang menulis karya-karya tentang kehidupan di Hindia Belanda pada masa kolonial.

18

“Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai Stories,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 31, 2(December 1997), 47-61.


(27)

tuannya. Jika hubungan dengan tuannya itu ia lakukan atas dasar cinta maka ia akan merasakan kebahagiaan dan bisa bersatu kembali dengan keluarganya.

Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film”19 menganalisis empat versi dari cerita tentang Nyai Dasima. Keempat versi tersebut antara lain narasi berbahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh G. Francis (1896), narasi berbahasa Belanda karya A. Th. Manusama (1926), narasi yang ditulis dalam dialek Betawi oleh SM Ardan (1965) serta film yang diproduksi Chitra Dewi Productions (1970). Dari pembacaannya terhadap keempat karya tersebut, Taylor mengungkapkan bahwa seluruh versi tersebut menunjukkan keterikatan historis karya dengan konteks waktu, tempat dan kelas. Dalam cerita versi Francis dan Manusama, dapat dibaca bagaimana penjajah dan terjajah saling memandang dan dengan demikian juga membuka peluang bagi para pembaca untuk melihat persoalan-persoalan yang lebih luas semisal identifikasi agama dan kelompok. Sementara itu, versi Ardan dan Chitra Dewi yang ditulis pada masa sesudah kemerdekaan mengkonstruksi identitas kelompok berdasarkan ikatan pada bangsa (nation) beserta idealisasi tentang tatanan masyarakat yang dibayangkan.

Kajian penting lainnya dilakukan oleh Katrin Bandel dalam esainya “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial.”20 Di dalam tulisannya itu, ia membandingkan antara tokoh Nyai Dasima dalam Tjerita Njai

19

Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film,” dalam Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie J. Sears (Durham and London: Duke University Press, 1999), 225-248.

20

Katrin Bandel, “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial” dalam Sastra, Perempuan, Seks (Yogyakarta: Jalasutra, 2006), 31-44.


(28)

Dasima karya G. Francis dan tokoh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Bandel menunjukkan hubungan intertekstual di antara kedua cerita tersebut dan bagaimana dengan mengubah beberapa hal, antara lain sudut pandang penceritaan dan penokohan, Pramoedya berhasil menghadirkan sebuah cerita nyai yang berbeda, yang memuat kritik terhadap feodalisme Jawa dan kolonialisme, serta ambivalensi pengalaman pascakolonial.

Jika seluruh kajian yang saya sebutkan terdahulu berupa esai maka penelitian yang relatif mendalam oleh Tineke Hellwig dan Brenda Fane dapat menjadi titik berangkat untuk penelitian lanjutan. Dalam bukunya, Adjustment

and Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies (1994),

Hellwig membahas imaji perempuan dalam karya sastra yang ditulis baik dalam bahasa Melayu Rendah maupun dalam karya berbahasa Belanda pada masa kolonial. Di dalamnya termasuk cerita-cerita yang mengisahkan tentang kehidupan nyai. Akan tetapi, analisisnya ini masih sangat umum dan belum secara khusus berfokus pada tokoh nyai itu sendiri.

Karya lainnya adalah penelitian Brenda M. Fane, Love and Lust in the Indies: An Analysis of the Representation of Njais in a Selection of Pre-World

War II Malay Language Literature, yang merupakan tesisnya (yang belum

diterbitkan) untuk meraih gelar Master of Arts dari Australian National University (1995). Penelitian Fane ini berfokus pada relasi genderdengan melihat konstruksi nyai di dalam diskursus komunitas/masyarakat dan keluarga. Fane menggunakan pendekatan pascastrukturalis, antara lain Jacques Derrida (penggunaan grammar), Michel Foucault (sejarah diskursus) dan Jacques Lacan (psikoanalisis). Dalam


(29)

analisis tekstualnya, Fane meninjau rezim kekuasaan dan pengetahuan yang diungkapkan melalui penggunaan penokohan/karakterisasi, plot, tema dan bahasa yang digunakan pengarang untuk mendefinisikan perempuan.

Kedua penelitian ini membahas imaji yang umum tentang sosok nyai. Dalam penelitian Brenda M. Fane sudah ada upaya untuk melihat persoalan gender dari teks yang diteliti dengan pendekatan pascastrukturalis. Penelitian dengan pendekatan yang berbeda, yakni dengan pendekatan pascakolonial sebagaimana yang akan dilakukan penelitian ini menawarkan sudut pandang interpretasi yang berbeda dari berbagai penelitian yang sebelumnya sudah dilakukan terhadap cerita-cerita tentang pernyaian.

Dari seluruh karya yang telah saya sebutkan, hanya tulisan Katrin Bandel yang memiliki perhatian yang agak mirip dengan penelitian ini. Hal itu terutama karena kajian tersebut menggunakan pendekatan pascakolonial sebagaimana yang digunakan dalam penelitian ini. Meskipun demikian, saya berupaya untuk lebih memfokuskan pembahasan cerita nyai dikaitkan dengan konteks sosio-historis pernyaian itu sendiri dan bahasa Melayu Rendah sebagai medium penulisan cerita-cerita nyai yang saya teliti. Dengan demikian, ditinjau dari fokus penelitian dan pendekatan, saya berupaya menawarkan suatu wilayah baru untuk mendekati teks-teks Melayu Rendah, dalam hal ini cerita nyai.

6. Landasan teori: pendekatan pascakolonial

Penelitian ini akan menggunakan pendekatan pascakolonial. Istilah “pascakolonial” sendiri memang mengundang perdebatan panjang. Sebagaimana


(30)

disebutkan Melani Budianta, hal tersebut disebabkan oleh dua hal. Pertama, problematisnya konsep-konsep dasar dari teori pascakolonial itu sendiri, antara lain oposisi biner dan konstruksi identitas budaya. Kedua, terminologi “pascakolonial” yang menggabungkan kata “pasca” dan “kolonialisme.”21 Namun demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pendekatan pascakolonial adalah pendekatan pascastruktural yang diterapkan pada topik khusus.22 Kendati meminjam pelbagai teori dan konsep dari pendekatan pascastruktural, pendekatan ini justru secara bersamaan merupakan tanggapan atas ketidakpuasan para intelektual dari Dunia Ketiga terhadap teori-teori pascastruktural, terutama yang digagas Derrida dan Barthes.23

Tony Day dan Keith Foulcher mengemukakan bahwa pendekatan pascakolonial yang diterapkan dalam kajian sastra berupaya mengungkap jejak-jejak perjumpaan kolonial, konfrontasi ras, bangsa dan budaya di bawah kondisi-kondisi hubungan kekuasaan yang tidak setara, yang seluruhnya turut membentuk pengalaman manusia sejak awal mula imperialisme Eropa.24 Dengan demikian, pendekatan pascakolonial di sini bisa dilihat sebagai:

“suatu strategi membaca yang memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang membantu mengidentifikasi jejak-jejak kolonialisme, serta menilai sifat dan signifikansi berbagai efek tekstual dari jejak-jejak ini;25

sebuah pendekatan kritis untuk memahami efek-efek yang masih berlangsung dari kolonialisme dalam teks;26

21

Lebih lanjut lihat Melani Budianta, “Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial,” dalam Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, disunting oleh Budi Susanto, SJ (Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 2008), 15-31.

22

Melani Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang Potret Orang Kecil dan Wacana (Post-) Kolonial,” Kalam 2 (1994): 62.

23

Budianta, “Yang Memandang dan Yang Dipandang,” 62. 24

Tony Day dan Keith Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature Introductory Remarks,” dalam Clearing a Space Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature, disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day (Leiden: KITLV Press, 2002), 2.

25


(31)

pembacaan kritis atas berjalin kelindannya beragam kekuatan (sebagian global, sebagian lainnya lokal), yang memberi bentuk dan makna terhadap teks-teks sastra.”27

Singkatnya, bisa dikatakan bahwa pendekatan pascakolonial menawarkan paradigma, metode dan alat bantu untuk memahami hubungan-hubungan kekuasaan yang kurang bisa dikaji dengan teori lainnya.

Dalam penelitian ini, saya akan meminjam salah satu konsep penting dari teori pascakolonial, yakni ambivalensi yang digagas oleh Homi K. Bhabha. “Ambivalensi” yang diadaptasi oleh Bhabha dari psikoanalisis ke dalam wacana kolonial, menggambarkan adanya perpaduan yang kompleks antara ketertarikan

(attraction toward) dan penolakan (repulsion from) yang menandai hubungan

antara penjajah dan terjajah. Hubungan tersebut bersifat ambivalen karena subjek terjajah tidaklah pernah hanya semata-mata dan sepenuhnya menentang penjajahnya. Menurut Bhabha, keterlibatan (complicity) dan resistensi (resistance) merupakan relasi yang dialami oleh subjek kolonial secara berubah-ubah.28 Selain itu, ambivalensi juga menandai cara bagaimana wacana kolonial terhubung dengan subjek terjajah. Wacana tersebut secara serentak berciri eksploitatif dan memberdayakan, atau menampilkan dirinya seolah-olah memberdayakan, pada saat yang bersamaan.29 Dengan konsep “ambivalensi” ini saya berupaya menunjukkan bahwa hubungan antara nyai (terjajah) dan tuan (penjajah) tidaklah sederhana dan diametral di mana tokoh nyai melulu menjadi objek kekuasaan dari

26

Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3. 27

Day dan Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature,” 3. 28

Bill Ashcroft, Gareth Griffith dan Helen Tiffin, Key Concepts in Post-Colonial Studies (London: Routledge, 1998), 12-13.

29


(32)

sang tuan. Ada saat-saat tertentu di mana nyai juga menjadi subjek yang aktif meskipun berada di bawah bayang-bayang kekuasaan itu. Demikian pula dengan wacana kolonial yang tidak melulu eksploitatif, tetapi juga bisa disiasati untuk memberdayakan diri kaum terjajah.

7. Sumber data dan metode penelitian

Data penelitian ini seluruhnya berasal dari sumber-sumber teks tertulis. Metode penelitian yang akan digunakan ialah analisis tekstual terhadap cerita-cerita yang dipilih sebagai objek kajian. Untuk keperluan penelitian ini, saya akan memfokuskan pada cerita dengan tokoh nyai yang tinggal bersama lelaki Eropa sebagai tokoh utamanya.

Dari penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat empat cerita yang masih bisa diakses secara memadai untuk kepentingan penelitian ini. Keempat cerita yang akan diteliti antara lain Tjerita Njai Dasima (1896) karya G. Francis, Nji Paina karya H. Kommer (1900), Cerita Nyai Ratna (1909) karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah (1910-1912) karya Haji Mukti.

8. Sistematika penulisan

Bab I berisi rancangan penelitian secara umum. Bab II mengeksplorasi latar belakang sosio-historis fenomena pernyaian pada masa kolonial, antara lain munculnya pernyaian pada zaman VOC, berlanjutnya pernyaian sebagai akibat kebijakan kependudukan pemerintah kolonial, langgengnya pernyaian sebagai sebuah kejahatan yang niscaya, surutnya pernyaian sebagai efek politik gender


(33)

pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Bab III memposisikan cerita nyai dalam konteks sastra, antara lain lahirnya sastra Melayu Rendah di akhir abad ke-19, para penulis dan jenis karya yang termasuk di dalam korpus sastra Melayu Rendah, politik bahasa pemerintah kolonial melalui pendirian Balai Pustaka dan pembakuan bahasa Melayu Tinggi, cerita nyai dan “bacaan liar” serta problematisasi kategori “liar” tersebut. Bab IV akan menganalisis ragam representasi nyai dari berbagai karya sastra Melayu Rendah yang dipilih dengan pendekatan pascakolonial. Bab V memuat kesimpulan penelitian ini.


(34)

BAB II

LATAR BELAKANG

SOSIO-HISTORIS PERNYAIAN

Menurut J. Th. Koks, kata nyai berasal dari bahasa Bali. Istilah tersebut muncul bersamaan dengan kedatangan gadis-gadis Bali ke Batavia yang, selama kurun waktu tertentu, menjadi pusat perhatian di kalangan Eropa. Kata itu juga dipakai dalam bahasa Jawa dan merujuk pada perempuan paruh baya yang dihormati. Selain itu, kata nyai digunakan juga untuk merujuk pada mistress atau concubine orang Eropa.29 Sementara itu, Tineke Hellwig mengungkapkan bahwa kata njai ditemukan dalam bahasa Bali, Sunda dan Jawa yang berarti “perempuan (muda), saudara perempuan termuda.” Selain merujuk pada gundik, kata tersebut juga dipakai sebagai kata sapaan. Banyaknya budak Bali sampai ke Batavia merupakan petunjuk, kata tersebut memang berasal dari bahasa Bali. Padanan kata dalam bahasa Belanda antara lain huishoudster, bijzit, menagerie, dan meid, sedangkan dalam bahasa Melayu kata yang digunakan ialah gundik atau munci.30

Pendapat lain berasal dari Elsbeth Locher-Scholten yang membandingkan beberapa arti yang berbeda dari kata nyai ini. Mengutip Encyclopaediae van Nederlandsch-Indie (Njahi 1919), ia menyebutkan bahwa nyahi (nyai) ialah gelar terhormat bagi para perempuan yang sudah lanjut usia tanpa gelar lainnya.31

29

Hanneke Ming, “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920,” Indonesia 35 (1983): 71.

30

Tineke Hellwig, Adjustment and Discontent Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies (Ontario: Netherlandic Press, 1994), 33.

31

Elsbeth Locher-Scholten, “The nyai in colonial Deli A case of supposed mediation,” dalam


(35)

Djajadiningrat-Dalam konteks Indonesia masa kini, kata ini masih tetap dipergunakan di Jawa Barat dan Madura untuk mengacu pada istri dari seorang kyai. Kata nyai dalam pengertian “pengurus rumah tangga orang Eropa” sudah dipergunakan setidaknya pada tahun 1826 kendati pemakaian kata tersebut mungkin sudah lebih lama. Namun demikian, menurutnya, tidaklah jelas apakah hal ini menunjukkan bahwa nyai (pengurus rumah tangga) dahulunya memiliki posisi yang terpandang dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu ataukah penggunaan kata tersebut dengan makna semacam itu hanyalah temuan orang Belanda tanpa implikasi lebih jauh terhadap posisi sang nyai. Kemungkinan besar, menurutnya, hal itu mengindikasikan devaluasi dari gelar tersebut.

Mengingat kata “nyai” ini masih digunakan hingga sekarang, rujukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia32 dapat dijadikan acuan. Kamus tersebut menyebutkan definisi kata “nyai” sebagai berikut.

nyai n 1 panggilan utk perempuan yg belum atau sudah kawin; 2 panggilan utk perempuan yang usianya lebih tua dp orang yg memanggil; 3 gundik orang asing (terutama orang Eropa)

nyai-nyai n sebutan kepada wanita piaraan orang asing

Selain itu, Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS Poerwadarminta juga menyebutkan definisi poin (3), sedangkan dua definisi lainnya masing-masing “panggilan kepada perempuan tua” dan “adinda.”33 Dari berbagai definisi yang diajukan tersebut ada kesamaan, yakni definisi “nyai”

Nieuwenhuis, Elsbeth Locher-Scholten, dan Elly Touwen-Boowsma (Leiden: KITLV Press, 1992), 266.

32

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008).

33


(36)

sebagai seorang perempuan yang tinggal—entah sebagai piaraan maupun pengurus rumah tangga—dengan orang asing, khususnya lelaki Eropa.

Bab ini membahas sejarah munculnya pernyaian yang dimulai pada zaman VOC di mana VOC sendiri memfasilitasi perkawinan lelaki Eropa dengan perempuan pribumi berikut tentangan awal dari Jan Pieterszoon Coen terhadap pergundikan, langgengnya pernyaian tersebut sebagai sebuah necessary evil yang di antaranya marak dijumpai pada kehidupan di perkebunan dan barak, lalu tentangan terhadap pergundikan ini baik di Hindia Belanda maupun di Belanda, dan berakhirnya pernyaian seiring maraknya imigrasi perempuan Eropa ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

1. Munculnya pernyaian pada zaman VOC

Pernyaian merupakan fenomena masyarakat kolonial yang sudah ada sejak lama. Jejaknya bisa dilacak pada masa pra-kolonial ketika VOC masuk ke Nusantara. Uraian berikut menggambarkan secara ringkas kondisi-kondisi terkait dengan kemunculan pernyaian di Nusantara.

1.1. VOC memfasilitasi perkawinan dengan perempuan pribumi

Pada masa VOC banyak lelaki Eropa menjalin hubungan dengan perempuan Asia, termasuk pula dengan perempuan budak. VOC mendukung hal tersebut dengan turut menyediakan perempuan sebagai calon pengantin bagi para


(37)

lelaki lajang Eropa. VOC bahkan membeli perempuan budak (slave women) dari pasar Asia untuk keperluan tersebut.34

Hal ini dilakukan untuk mendukung maksud VOC mendirikan komunitas permanen di Hindia Belanda. Selain itu, para pemegang saham VOC menentang imigrasi perempuan kulit putih dengan beberapa alasan. Pertama, biaya transportasi untuk mendatangkan perempuan Eropa terlalu mahal. Kedua, perempuan Belanda kemungkinan terlibat dalam perdagangan privat. Hal ini dianggap bisa merongrong monopoli perusahaan. Ketiga, anak-anak orang Eropa akan mudah sakit di daerah tropis sehingga keadaan ini mungkin mendorong keluarganya kembali ke negeri asal. Hal tersebut dipandang tidak menguntungkan terhadap upaya membentuk kelompok pemukim tetap.35

Akan tetapi, pada waktu itu—tepatnya sejak 1617—ada sebuah peraturan yang melarang lelaki Eropa menikahi perempuan non-Kristen. Perkawinan dengan orang Kristen juga terbatas pada syarat-syarat tertentu.36 Calon pengantin perempuan non-Kristiani harus dibaptis terlebih dahulu agar perkawinan tersebut bisa dilegalkan. Seorang lelaki kulit putih pada masa VOC harus memperoleh izin untuk menikah. Kondisi ini mengakibatkan banyak lelaki kulit putih akhirnya hidup bersama gundik. Fenomena ini sedemikian jamak sehingga pada 1620 pemegang otoritas Kristen melarang lelaki Eropa menyimpan gundik. Secara bvtak langsung pergundikan dipicu oleh peraturan pada 1617 yang menyebutkan bahwa siapapun yang menikahi golongan pribumi atau perempuan berdarah

34

Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.

35

Ann Laura Stoler, Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial Rule (Berkeley: University of California Press, 2002), 47.

36


(38)

campuran dilarang kembali ke Eropa.37 Setelah VOC bangkrut, larangan menikah ini tetap berlangsung hingga 1805.38

Terkait dengan perempuan budak, Jean Gelman Taylor mencatat bahwa sejak awal di Batavia hubungan bebas dengan perempuan budak sudah terjadi. Kebanyakan budak ini adalah pekerja rumah tangga. Dari korespondensi para pejabat, yaitu Gubernur Jenderal Pieter Both, diketahui pula bahwa saudagar senior VOC mengambil perempuan lokal dan budak impor sebagai gundik.39

Menurut Tineke Hellwig, perempuan budak biasanya berasal dari golongan termiskin dalam masyarakat. Karena status tersebut, mereka biasanya tidak memiliki posisi tawar ataupun mampu bernegosiasi. Selain itu, umumnya mereka tinggal dengan serdadu ataupun pelaut Eropa yang posisinya di kalangan masyarakat Eropa pun tidak bisa disebut layak. Maka, wajar apabila hubungan antara perempuan budak dan lelaki Eropa tersebut bersifat eksploitatif dan sementara, tanpa didasari pemahaman satu sama lain. Berbeda halnya dengan para serdadu atau golongan bawah masyarakat Eropa di Nusantara, jajaran atas pegawai VOC biasanya menjalin relasi yang langgeng dengan perempuan pribumi, baik yang dinikahi secara resmi dalam ikatan perkawinan maupun yang diajak hidup bersama dalam hubungan kohabitasi.40 Senada dengan apa yang diungkapkan Hellwig, Hanneke Ming juga mengatakan bahwa kendati asal dan

37

Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.

38

Hellwig, Adjustment and Discontent, 31.

39

Jean Taylor, The Social World of Batavia (Madison: University of Wisconsin Press, 1983), 15.

40


(39)

alasan seorang perempuan pribumi menjadi nyai sulit dijawab, perempuan Jawa dari golongan bawah paling banyak menjadi gundik.41

1.2. Tentangan dari Coen terhadap pergundikan

Sebagaimana disebutkan Hellwig, Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629) adalah salah seorang penentang pergundikan dan mendukung imigrasi perempuan kulit putih dari Belanda.42 Pada 1622 VOC pernah mendatangkan perempuan Eropa ke Batavia. Pada tahun tersebut, VOC mengatur pengangkutan enam perempuan muda Belanda yang siap dinikahi ke Jawa. Mereka diberi pakaian, mas kawin dan kontrak yang mengikat mereka selama lima tahun di Nusantara. Akan tetapi, pada 1632 VOC menghentikan dukungan terhadap imigrasi perempuan Belanda. VOC berniat mendirikan komunitas yang permanen di Nusantara (blijvers). Tindakan konkret menindaklanjuti hal tersebut ialah dibatasinya imigrasi perempuan Eropa pada 1650-an.43 Jean Gelman Taylor mencatat, pada 1652 para pejabat VOC mengadopsi kebijakan yang tetap menguntungkan VOC, yakni pembatasan imigran perempuan Eropa, preferensi rekrutmen lelaki Eropa yang masih lajang dan pembatasan perkawinan dengan perempuan kelahiran Asia.44

Kebijakan VOC untuk menerima pekerja yang masih berstatus lajang serta pembatasan imigrasi perempuan Eropa terus berlangsung hingga dua ratus tahun berikutnya. Dengan merekrut para lelaki lajang, VOC secara legal dan finansial

41

Ming, “Barracks-Concubinage,” 73.

42

Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.

43

Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.

44


(40)

menjadikan pergundikan sebagai alternatif yang paling menarik bagi para pegawainya. VOC mendukung hubungan ekstramarital maupun perkawinan resmi antara pegawai tingkat rendah dan perempuan budak yang diimpor.45 Seperti dikatakan Ann Laura Stoler, regulasi seksual sangatlah penting terhadap perkembangan pemukiman kolonial dan alokasi aktivitas ekonomi di dalamnya.46 Pengaturan masalah domestik ini menguntungkan baik VOC maupun pemerintah. Pada abad ke-19 dan hingga awal abad ke-20, gaji para pegawai baru di dinas militer, birokrasi pemerintahan, perkebunan dan perusahaan dagang, bisa ditekan hingga sangat rendah berkat jasa domestik para perempuan lokal yang diberikan secara cuma-cuma.47

Sebagaimana disebutkan Taylor, fenomena pernyaian ini sudah ada sejak awal VOC di Batavia. Oleh sebab itu, manakala Coen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal, ia betul-betul berusaha untuk mengubah keadaan ini. Ia memberlakukan larangan untuk memelihara “satu atau dua perempuan budak, gundik atau gundik-gundik di dalam suatu rumah ataupun di tempat lainnya, dengan dalih apapun”.48 Hal tersebut juga didasarkan keprihatinannya terhadap kasus aborsi dan upaya pembunuhan yang dilakukan gundik terhadap tuannya dengan phenyl ataupun racun lainnya. Kendati Coen mengenakan aturan yang sangat keras dalam perkara

45

Stoler, Carnal Knowledge, 47.

46

Ann Laura Stoler, “Making Empire Respectable,” dalam Situated Lives: Gender and Culture in Everyday Life, ed. Louise Lamphere, Helena Ragone, dan Patricia Zavella (New York and London: Routledge, 1997), 376.

47

Stoler, “Making Empire Respectable,” 377.

48


(41)

moral seksual, hal itu masih tidak dapat menghentikan berkembangnya pergundikan.49

Terlepas dari tentangan tersebut, pada akhirnya pergundikan antar ras mendapat pengakuan dalam hukum sipil (civil law code) Hindia Belanda. Kesaksian dari pensiunan Letnan Kolonel de Rochemont menyebutkan hal berikut.

”Ada banyak nyai dan mereka termasuk dalam semua strata masyarakat Indo-Eropa kita. Bukan hanya tentara di barak, melainkan juga kebanyakan jenderal, pejabat lapangan serta pejabat lainnya, gubernur wilayah, walikota, pejabat senior dan pejabat lainnya memiliki nyai jika mereka tidak menikah. Baik di Belanda maupun di daerah koloni seseorang bisa menemukan orang-orang penting yang merupakan anak Nyai.”50

Jadi, sesungguhnya masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu tidaklah “semurni” yang dibayangkan karena ternyata di dalamnya terjadi percampuran melalui hubungan antar ras yang pada suatu periode memang disahkan secara hukum oleh pemerintah kolonial sendiri.

2. Berlanjutnya pernyaian sebagai sebuah necessary evil

Fenomena pernyaian berlanjut hingga dua abad berikutnya. Pada 1 Januari 1800 VOC secara resmi diumumkan bangkrut. Segenap wilayah kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah Belanda. Sebagai sebuah fenomena sosial, pernyaian tidak bisa dilepaskan dari keadaan-keadaan sosial yang melingkupinya. Pada 1830 upaya baru menandai jejak kolonialisme di Nusantara dimulai oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, yakni sistem Cultuurstelsel. Tiap desa

49

Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.

50


(42)

diperintahkan untuk menanam tanaman ekspor, seperti kopi dan gula, untuk kemudian dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga tetap. Sistem ini selanjutnya berkembang menjadi sistem Tanam Paksa.51

Sistem tanam paksa yang membuat rakyat di daerah koloni sengsara memicu munculnya suara-suara yang menggugat eksploitasi tersebut di negeri Belanda. Maka pada 1848 diberlakukan pendekatan liberal dan kesempatan dibuka bagi kalangan swasta. Pada 1870 Hukum Agraria disahkan.52 Sejak waktu itu, sistem ekonomi mengalami transformasi yang nyata di bawah kebijakan liberal (laisser-faire). Hal ini berlangsung sejalan dengan perubahan sosial dan politik yang besar. Komunikasi melalui telegraf dan jasa pos udara serta transportasi laut dengan kapal uap melalui Terusan Suez secara signifikan mengurangi jarak antara Belanda dan Hindia Timur/Nusantara.53 Di bawah kebijakan liberal yang mendorong perkebunan swasta, kultivasi bebas serta kepemilikan pribadi di Hindia, perekonomian maju pesat. Ini ditandai dengan surplus penghasilan yang cukup besar bagi kas Kerajaan Belanda selama kurun waktu 1832 hingga 1877. Keuntungan yang dihasilkan dari perniagaan kopi dan gula antara 1850 hingga 1860 telah memberikan kontribusi sebesar 31 persen dari total pemasukan Belanda.54

2.1. Pergundikan di perkebunan

51

Hellwig, Adjustment and Discontent, 17.

52

Hellwig, Adjustment and Discontent, 17.

53

Hellwig, Adjustment and Discontent, 19.

54


(43)

Sebagaimana telah disebutkan di atas, sekitar 1870 banyak perkebunan dan penanaman tanaman ekspor bermunculan akibat kebijakan liberal. Ini khususnya terjadi di sepanjang pesisir Sumatra Timur, tepatnya di Deli. Meliputi wilayah yang luas, sabuk perkebunan Deli mulai beroperasi pada 1860-an dan menjadi lokasi investasi yang paling menggiurkan di Hindia Belanda karena keuntungan yang dihasilkannya.

Menurut Ann Laura Stoler, jauh dan otonom dari pusat kekuasaan kolonial di Batavia, komunitas sabuk perkebunan Deli mengembangkan karakter khusus selama masa ekspansinya di akhir abad ke-19. Komunitas itu ditandai beberapa ciri antara lain beragamnya bangsa Eropa yang bermukim di sana—berbeda dengan di Jawa yang didominasi oleh orang-orang Belanda—dan pergundikan yang berkembang secara ekstensif hingga abad ke-20. Selain itu, sabuk ini terkenal karena tingginya tingkat kekerasan yang dialami para pekerja perkebunan. Di lokasi tersebut pula terjadi diskriminasi sosial yang dianggap paling tinggi di Hindia Belanda. Dengan kata lain, komunitas tersebut berwatak amat rasis.55

Salah satu ciri dari komunitas sabuk perkebunan Deli tadi ialah pergundikan yang berkembang luas. Di antara berbagai faktor yang menyebabkan keadaan tersebut adalah peraturan tentang perkawinan yang diberlakukan terhadap para pekerja perkebunan. Para asisten administrator dilarang menikah sebelum masa kerja enam tahun. Kondisi kerja yang keras dianggap tidak baik bagi perempuan Eropa. Selain itu, laki-laki harus bisa bekerja secara bebas terkait

55


(44)

dengan situasi kerja di hutan. Tanpa keluarga, mereka pun bisa digaji lebih murah dan akan bekerja lebih keras.56

Alasan di balik pengaturan perkawinan bagi para pekerja perkebunan tidak terhenti di situ. Menurut Stoler, larangan menikah tersebut diterapkan untuk mencegah munculnya golongan proletariat Eropa di Deli. Pilihan pergundikan dengan perempuan Jawa lebih disukai karena hanya memberikan beban finansial ringan pada staf golongan rendah dan membantu para pendatang baru untuk mempelajari bahasa dan adat kebiasaan setempat dengan cepat. Dengan menolak mempekerjakan lelaki yang telah menikah, para pengelola sabuk perkebunan ini sekaligus mengesahkan sistem pergundikan yang telah begitu lazim ditemukan di Jawa.57

Larangan perkawinan ini mulai dihentikan pada 1922 dan para pekerja didorong untuk hidup dengan nyai. Nyai bisa berasal dari kalangan kuli perempuan ataupun perempuan Jepang yang diambil dari pelacuran.58 Pernyaian dianggap memberikan berbagai keuntungan bagi para pekerja perkebunan. Nyai bisa memberikan perasaan nyaman dan betah bagi para pekerja tersebut. Namun, ini tidak disertai dengan tuntutan afektif dan finansial. Selain itu, mereka bisa menjadi tempat penyaluran kebutuhan biologis. Nyai juga bertanggung jawab untuk mencegah kehamilan ataupun mengasuh anak-anak yang dilahirkannya.59

56

Hellwig, Adjustment and Discontent, 35.

57

Stoler, Carnal Knowledge, 29.

58

Dalam hal ini, perempuan Jepang lebih dihargai karena mereka dibeli dari rumah pelacuran di Singapura ataupun didatangkan langsung dari Jepang. Lihat Locher-Scholten, “The Nyai in Colonial Deli,” 271.

59


(45)

2.2. Pergundikan di barak

Menurut Tineke Hellwig, pergundikan di barak merupakan bagian dari realitas sehari-hari. Serdadu merupakan komponen komunitas Eropa terbesar dalam pemukiman Belanda di Indonesia.60 Hingga 1895 kalangan militer membentuk separuh atau lebih dari keseluruhan kaum laki-laki berkebangsaan Eropa di Hindia Belanda. Sekitar 1850-an, Gubernur Jenderal Duymaer van Twist mengajukan keberatannya terhadap pergundikan di barak. Hal ini dieksplisitkan dengan meniadakan kenaikan pangkat bagi para tentara yang memelihara nyai. Kendati demikian, hingga 1870-an, pemerintah Hindia Belanda masih “menyatakan persetujuan bagi perkawinan di bawah syarat-syarat yang sangat terbatas.”61 Konsekuensinya jelas: serdadu yang tidak bisa memenuhi kebutuhan seksualnya dalam institusi perkawinan harus mencari cara lain. Alternatifnya, hidup dengan gundik atau mengunjungi rumah pelacuran.

Antara tahun 1888 hingga 1911 persentase tentara yang tinggal bersama gundik tetap yakni 22 persen.62 Sama halnya dengan di perkebunan, pernyaian di barak memberikan sejumlah keuntungan. Tentara akan menjauhi pelacuran dan ini berarti mengurangi faktor risiko terjangkit penyakit menular seksual. Oleh karena itu, pergundikan dianggap mendukung stabilnya semangat tempur para tentara. Selain itu, diyakini bahwa dengan adanya anak dan istri di dekatnya, disiplin dan ketertiban akan menghilang dari barak. Serdadu yang lajang juga tidak perlu digaji tinggi dan tidak membutuhkan berbagai tunjangan. Karena berbagai alasan ini, tak heran apabila para pejabat teras militer mendukung pergundikan dan

60

Taylor, The Social World of Batavia, 8.

61

Hellwig, Adjustment and Discontent, 36.

62


(46)

menentang perkawinan sah. Demikianlah, perubahan ekonomi dan sosial secara kurun waktu sekitar peralihan abad mengubah cara hidup di Hindia. Standar moral ganda terhadap pergundikan pun diberlakukan: pergundikan diterima dan dipraktikkan sebagai kejahatan yang niscaya (necessary evil). Bagi sebagian orang, pergundikan dipandang sejajar dengan prostitusi (sama-sama relasi tidak sah secara hukum dan non-marital) dengan hanya sedikit perbedaan di antara keduanya.63

3. Tentangan terhadap pergundikan

Secara umum, di Eropa pada masa itu hubungan seksual di luar pernikahan dilarang. Orang Eropa dengan moralitas Kristen-nya menjunjung tinggi pernikahan, khususnya pernikahan monogamis. Bertolak belakang dengan norma yang dipegang teguh di Eropa, kaum laki-laki di Hindia diperbolehkan/dibiarkan mencari pemuasan kebutuhan seksualnya di luar perkawinan. Ada beberapa alasan di balik sikap “permisif” tersebut. Iklim tropis serta makanan rempah disebut-sebut dapat merangsang libido. Apabila hasrat seks terdisebut-sebut tidak tersalurkan, akibatnya buruk, misalnya birahi tinggi, sodomi dan histeria. Jadi, pemenuhan kebutuhan seksual di luar pernikahan dianggap lebih “baik” daripada akibat buruk dari tidak tersalurnya kebutuhan biologis tersebut.64 Demikianlah prostitusi pun terus berlangsung.

Pergundikan memang menjadi fenomena tersendiri di Hindia Belanda. Akan tetapi, kendati tetap berlangsung, tentangan terhadap pergundikan pun

63

Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.

64


(47)

menerus disuarakan, khususnya oleh kalangan gereja. Terlepas dari pro-kontra terhadapnya, pada 1908 golongan militer diizinkan menikahi gundiknya secara legal. Namun, pada 1913 peraturan itu dicabut dan sejak itu pula pergundikan di barak pelan-pelan menyurut.65

Jika dilacak ke belakang, pada 1808 Aturan mengenai Perkawinan Campur (Regeling op de Gemengde Huwelijken) mulai diberlakukan. Seorang perempuan harus berada di tempat yang sama dengan suaminya. Seorang nyai yang anaknya diakui oleh ayahnya tidak memiliki hak apapun terhadap anak tersebut. Ini terjadi tatkala sang ayah yang berkebangsaan Eropa mencatatkan anaknya sehingga status anak tersebut legal dan layak menyandang status sebagai orang Eropa.66

Hanneke Ming mencatat indikasi yang menandai perubahan sikap terhadap pergundikan. Gubernur Jenderal Duymaer van Twist (1851-1856) mensyaratkan rekaman rahasia tentang tentara tingkat rendah dan tinggi. Rekaman itu harus memuat catatan apakah para tentara tersebut tinggal dengan gundik (mistress) atau tidak. Status “sipil” mereka ini akan dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk kenaikan pangkat.67

Kendati demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan, hingga akhir perempat abad ke-19 separuh dari jumlah lelaki Eropa di Hindia Belanda masih tetap tinggal dengan gundik. Setelah 1890 fenomena pergundikan baru menurun. Hal itu pun diikuti dengan meningkatnya prostitusi. Mereka yang masih hidup dengan nyai berusaha untuk tidak menonjol, misalnya tidak menampakkan diri bersama-sama di depan publik.

65

Hellwig, Adjustment and Discontent, 37.

66

Hellwig, Adjustment and Discontent, 36.

67


(48)

Di kalangan para pegawai non-komisi dan golongan rendah, tingkat abstinensi lebih merupakan “persoalan kecenderungan alami dan terkait kondisi keuangan alih-alih standar-standar moral.”68 Aturan Jenderal (General Order) Nomor 62/1872 memberikan persetujuan terhadap pernikahan hanya di bawah kondisi-kondisi yang sangat terbatas. Dari kondisi ini bisa disimpulkan bahwa jika seorang tentara tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualnya dalam perkawinan, dia harus mencari pemuasan di luar institusi tersebut. Dia bisa mengambil seorang gundik atau mengunjungi rumah bordil.69 Namun, dalam kenyataannya tentara yang berpenghasilan tinggi baru mampu menghidupi gundik.70

3.1. Sikap terhadap pergundikan di barak

Perubahan sikap terhadap pergundikan dari persetujuan resmi ke ketidaksetujuan, serta penghapusan pergundikan di barak secara perlahan-lahan, bisa disimak dalam surat-menyurat antara para administrator/petinggi di Belanda dan Hindia.71

3.1.1. Di Belanda

Pada 30 Juni 1887 Menteri Jajahan Sprenger van Eyk meminta nasihat dari bagian administrasi Hindia tentang bagaimana mempengaruhi kondisi hidup di barak. Getuigen en Redden, sebuah badan dari Liga Belanda melawan Prostitusi, memberitakan tentang kehidupan domestik di barak sebagaimana diungkapkan

68

Ming, “Barracks-Concubinage,” 70.

69

Ming, “Barracks-Concubinage,” 70.

70

Ming, “Barracks-Concubinage,” 71.

71


(49)

mantan misionaris E. Haan bahwa “barak-barak ini, setidaknya di Batavia, tidak bisa dibedakan dari rumah bordil”.72

Pada 1888 salah seorang anggota parlemen, Franciscus van Vlijmen, mengangkat isu ini hingga ke Dewan Kedua (Tweede Kamer). Menteri untuk Daerah Koloni Levinus Keuchenius menyimpulkan bahwa “persetujuan bagi pergundikan secara fundamental jahat, dan oleh karena itu, sudah diputuskan untuk menghapus institusi tersebut secara perlahan-lahan.”73 Hal ini kemudian diikuti pendirian partisi di barak untuk menciptakan privasi bagi pasangan kohabitasi.

Pada November 1896, van Vlijmen sekali lagi mengutuk institusi tersebut di depan Dewan Kedua dan pada 1903, ia mengajukan proposal dengan menetapkan tanggal pasti sebagai batas waktu larangan kohabitasi. Setelah waktu tersebut tentara baru yang tiba di Hindia tak lagi diizinkan berkohabitasi. Namun, proposal ini ditolak karena Menteri takut akan meningkatnya perkawinan yang nantinya bisa menggerogoti semangat tempur para tentara.74

Pada 1904 Dr. Adriaanse, salah satu penentang pergundikan di Hindia, mengajukan usulan tentang perubahan hukum. Keberadaan seorang anak dari hubungan lelaki Eropa dan nyai hanya akan sah jika ayahnya mau menikahi sang ibu. Namun, usulan ini ditolak karena dianggap tidak praktis. Salah satu anggota Dewan Kedua lainnya, de Waal Malefijt menentang pergundikan karena alasan

72

Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.

73

Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.

74


(50)

religius. Dengan adanya berbagai pertimbangan semacam ini, pengaturan perkawinan lelaki Eropa dengan gundiknya tidak dapat begitu saja diberlakukan.75

Pada 1911 pembedaan status antara istri yang dinikahi secara legal– meskipun dia pribumi–dan gundik ditekankan dengan tegas. Gundik hanyalah pelayan/pembantu (servant) dan tidak lebih dari itu.76 Hanneke Ming menyebutkan bahwa dalam laporan awal Dewan Kedua tahun 1912 sudah muncul keinginan untuk menghapuskan pergundikan barak secara total. Salah seorang anggota parlemen menuntut suatu investigasi yang cermat mengenai gaya hidup gundik, di dalam maupun di luar barak. Sementara itu, posisi pemerintah Belanda makin tegas. Pernikahan harus didukung. Memang kebijakan tersebut membutuhkan biaya yang tinggi. Namun, pemerintah sudah bersiap-siap mendukung kebijakan ini dengan syarat beban anggaran tidak berlebihan.77 Sebagai contoh, perumahan dinas harus disediakan bagi para pegawai nonkomisi (noncommissioned officer). Kendati, persiapan untuk perumahan tersebut belum memadai, langkah awal sudah diambil, yakni dengan menghapus pergundikan bagi kopral dan tentara tingkat rendah. Pada 1915 hanya ada sedikit pertanyaan di Dewan Kedua berkenaan dengan kemungkinan pengelakan larangan terhadap pergundikan.

3.1.2 Di Hindia Belanda

Meskipun terjadi peningkatan “Eropanisasi” dalam hubungan sosial di Hindia, sikap terhadap perilaku seksual tetap relatif toleran, setidaknya yang

75

Ming, “Barracks-Concubinage,” 80.

76

Ming, “Barracks-Concubinage,” 80.

77


(51)

terkait dengan lelaki Eropa. Baik rezim di Hindia dan Komando Tinggi Tentara/Angkatan Darat (army) memandang pergundikan sebagai sebentuk kejahatan yang tak terelakkan dengan tekanan pada “tak terelakkan”. Sementara itu, para penentangnya di Den Haag menekankan setajam mungkin pada “kejahatan” (evil).78

Salah satu penentang pergundikan di Hindia ialah Uskup Batavia (1887) yang menyatakan bahwa pergundikan tidak lolos uji dari prinsip-prinsip moralitas Kristen yang baik. Pada 1894 Liga Pemuda Milter Kristen (League of Christian Military Youth) menyatakan bahwa hubungan kohabitasi antara lelaki Eropa dan perempun pribumi jelas-jelas ditandai oleh karakter tuan-budak yang eksploitatif. Mereka mengecam keras standar ganda dari Komando Tinggi Angkatan Darat: di satu sisi standar tersebut menghargai perempuan yang memiliki “kelakuan yang bebas dari kesalahan/tak bercela” (irreproachable conduct), namun di sisi lain standar itu secara efektif mendefinisikan mereka sebagai sundal (whores) karena semua perempuan Jawa dianggap pantas mendapatkan julukan penghinaan ini.79 Sementara itu, Koot, editor Indies Circle of Vegetarians menyebutkan bahwa “siapapun yang tinggal dengan gundik pribumi menikmati hubungan hewani alih-alih hubungan manusiawi dengannya.”80

Liga tentara Kristen untuk Hindia Timur dan Barat mengizinkan perang atau pemberantasan pergundikan di barak dengan cara menempatkan orang Eropa yang tinggal dengan gundiknya di antara orang-orang pribumi. Usulan lain tentang penempatan ini datang dari Asosiasi Pejabat Kristen Nasional (National

78

Ming, “Barracks-Concubinage,” 81.

79

Ming, “Barracks-Concubinage,” 81.

80


(52)

Christian Officers’ Association) yang menyetujui eliminasi perlahan-lahan pergundikan dan penempatan yang terpisah antara tentara Eropa dan pribumi.81

Pada 1904 para administrator dan pejabat tinggi militer diperingatkan akan konsekuensi berbahaya dari pergundikan bagi karier masa depan mereka. Jenderal Boetje sendiri mengatakan bahwa memang pergundikan yang dilakukan secara terbuka antara pejabat dengan gundiknya sudah jarang.82 Pergundikan sekarang hanya berlangsung secara rahasia sehingga tindakan ini tidak lagi melukai sensibilitas moral yang melingkupi masyarakat.83

Mr. Bogaardt, editor Java-Post, menolak pergundikan karena tidak Kristiani dan imoral. Dia memandang pergundikan sebagai transaksi antara dua pihak di mana lelaki bertindak sebagai pembeli dan perempuan sebagai penjual.84 Sementara itu sikap Komando Tinggi Angkatan Darat terhadap kohabitasi konsisten. Pada 1887 Komandan Angkatan Darat menyatakan pendapatnya bahwa tentara tingkat bawah tidak seharusnya didorong untuk menikah karena ini akan berbahaya bagi pelaksanaan tugas mereka. Pendapat ini didukung oleh pernyataan Kepala Korps Kesehatan/Medis bahwa pergundikan mencegah kontak homoseksual. Sebagian besar pejabat juga berpikiran serupa.85 Pada 1908 Komandan de Bruyn salah satunya menekankan sekali lagi pentingnya pergundikan bagi semangat tentara. Dua musuh terbesar dari semangat tempur tentara, katanya, ialah alkoholisme dan penyakit kelamin. Tampaknya para tentara yang hidup dalam pergundikan secara proporsional tidak terjangkit penyakit

81

Ming, “Barracks-Concubinage,” 82.

82

Ming, “Barracks-Concubinage,” 82.

83

Ming, “Barracks-Concubinage,” 83.

84

Ming, “Barracks-Concubinage,” 83.

85


(53)

menular seksual dan lebih jarang mabuk-mabukan. Hal tersebut dipandang sebagai keuntungan pergundikan barak.86

Dalam General Order Nomor 28 tahun 1908 disebutkan bahwa tentara Eropa boleh menikahi gundiknya hanya jika gundiknya berkelakuan tak bercela dan memiliki satu atau lebih anak dengannya.87 Bagaimana sikap pemerintah Hindia secara umum? Sudut pandang pemerintah Hindia sebagian besar identik dengan pimpinan militer. Pada 1889 Raad van Indies (Council of the Indies) mengungkapkan secara eksplisit pemihakannya terhadap berlanjutnya pergundikan barak.88 Gubernur Jenderal Rooseboom yang menjabat dari 1889 hingga 1904 memaklumkan dirinya sebagai pendukung langgengnya pergundikan. Pada 1903 ia menentang ordinansi yang diusulkan van Vlijmen karena ia melihat tidak ada cara yang lebih baik untuk membatasi penyebaran penyakit menular seksual di antara para tentara Eropa selain pergundikan.89 Commision on Pauperism, yang didirikan oleh rezim Hindia, tidak merestui pergundikan barak dari sudut pandang moral, namun menerimanya dalam praktik sebagai necessary evil. Pergundikan di luar barak dilihatnya dua kali lebih buruk.90

Hanya pada 1912 untuk pertama kalinya muncul tanda friksi yang jelas antara pandangan pemerintah dan pimpinan militer. Van Heutsz sebagai eks militer tidak keberatan terhadap institusi tersebut. Namun demikian, pada 1912 Gubernur Jenderal Idenbut (1900-1916) secara langsung menentang posisi para pimpinan angkatan darat dengan menarik larangan perkawinan dengan gundik

86

Ming, “Barracks-Concubinage,” 84.

87

Ming, “Barracks-Concubinage,” 85.

88

Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.

89

Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.

90


(54)

tanpa anak. Hal ini diikuti pernyataan tentang pergundikan barak dan keputusan untuk menghapuskannya secara perlahan-lahan pada 1913.91 Pemerintah berkewajiban untuk mengatur kelakuan perwakilannya untuk tidak melanggar prinsip dasar moralitas sebagaimana dimanifestasikan dalam hukum dan opini publik. Alih-alih mencegah (berlakunya moral tersebut), pemerintah telah bertindak untuk melindungi kejahatan moral ini—beserta konsekuensinya juga secara sosial—dan dengan menyatakan bahwa hal itu telah menggerogoti kesadaran moral masyarakat luas. Oleh karena itu pergundikan di barak tidak dapat didukung untuk jangka panjang, dan secara perlahan-lahan harus lenyap.92

Pada 1919 Gubernur Jenderal van Limburg Stirum mengumumkan secara publik pengahapusan total pergundikan di barak. Salah satu argumen yang diajukan untuk membuat penghapusan tersebut diterima dan dipahami ialah fakta bahwa apa yang disebut milisi Eropa akan dibentuk/dilembagakan. Karena ini berarti makin besar kontak antara kalangan militer dan masyarakat sipil, apa yang dikutuk oleh masyarakat tidak bisa ditolerir lagi secara terbuka di kalangan militer.93

Bagaimana sikap dari kalangan pribumi sendiri? Menurut Koks, pada masa Coen kaum pribumi enggan/keberatan mengizinkan putrinya memiliki kontak sosial dengan orang Eropa, kecuali lelaki Eropa tersebut menjalankan tugas militer. Buktinya, tidak ada perubahan nyata dalam sikap ini setelahnya. Posisi sosial orang Eropa dan tempat asal kaum pribumi tampaknya berperan dalam menentukan sikap terkait dengan pernikahan campuran atau kohabitasi.

91

Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.

92

Ming, “Barracks-Concubinage,” 86.

93


(55)

Orang Sunda, Menado dan Ambon tampaknya bersedia memberi izin anaknya menikah dengan orang Eropa.94

Sebagaimana disebutkan Ming pada 1919 muncul penolakan langsung dari kalangan pribumi terhadap pergundikan. Dr. Cipto Mangunkusumo, misalnya, menulis bahwa seorang perempuan pribumi tidak seharusnya menjadi “pelayan ekstra” (extraordinary maidservant) alias gundik dan pantas melewati hari-harinya dengan bersembunyi “jauh di dalam kampung sebagai ibu dari anak-anak yang baik.”95

4. Berakhirnya pernyaian

Menurut Ann Laura Stoler, hingga 1920 di wilayah Malaya pergundikan ditolerir karena golongan kulit putih yang miskin (poor whites) tidak bisa diterima. Prestise orang kulit putih dianggap akan terancam apabila lelaki kulit putih menjadi miskin karena mempertahankan gaya hidup kelas menengah Eropa beserta istri dari ras yang sama. Sementara itu, hal yang sebaliknya justru terjadi di Jawa. Pada akhir abad ke-19 pergundikan dianggap sebagai sumber kemiskinan golongan kulit putih (white pauperism).96 Oleh karena itu, menurut Stoler, perubahan kebijakan dan praktik pergundikan itu bersesuaian dengan “afirmasi hierarki sosial dan divisi rasial” yang bersifat ambigu. Faktor yang mendukung prestise itu elastis: pada suatu saat pergundikan secara sosial diterima dan

94

Ming, “Barracks-Concubinage,” 88.

95

Ming, “Barracks-Concubinage,” 89.

96

Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat dalam Stoler, “Making Empire Respectable,” 378.


(1)

128 mana nyai tersebut tidak sepenuhnya melawan, tetapi juga tidak sepenuhnya tunduk dan patuh di bawah kekuasaan sang tuan. Nyai selalu menemukan “ruang negosiasi” di dalam hubungan dengan tuannya yang diimbuhi kekuasaan.

Lalu, bagaimana posisi cerita nyai dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial? Di dalam Bab III, telah diuraikan posisi teks Melayu Rendah—termasuk di antaranya cerita nyai—di dalam konteks kesusastraan pada masa kolonial. Sebagaimana telah disebutkan di dalam Bab I, para penulis karya berbahasa Melayu Rendah umumnya menyajikan cerita dengan menekankan bahwa cerita yang disampaikan merupakan peristiwa yang benar-benar terjadi. Apabila hal ini dikaitkan dengan representasi dunia pernyaian di dalam cerita, apa yang ditampilkan oleh cerita-cerita tersebut memang realistis dan menggunakan bahasa sehari-hari yang dipakai oleh banyak orang dari pelbagai etnis dan ras yang ada di Nusantara. Meskipun demikian, bisa dikatakan bahwa sebagian besar cerita tersebut—seperti yang telah ditunjukkan melalui analisis—justru tidak memunculkan nada antikolonial.

Lantas, mengapa beragam cerita tersebut dilarang oleh pemerintah kolonial yang giat memproduksi, mendistribusikan dan mensosialisasikan karya sastra Melayu Tinggi melalui Balai Pustaka? Mengapa pemerintah kolonial sangat terganggu dengan cerita nyai dan karya sastra Melayu Rendah pada umumnya padahal teks-teks tersebut tidak secara tegas melawannya?

Analisis teks dengan pendekatan kolonial, khususnya dengan menggunakan konsep ambivalensi ini, mengajukan tesis bahwa kendati tidak ada perlawanan yang dilakukan secara tegas, ambivalensi justru muncul di dalam


(2)

teks-teks itu sendiri. Ambivalensi itu dengan derajat yang berbeda-beda merangkum siasat, negosiasi, dan resistensi yang dilakukan tokoh nyai sebagai subjek kolonial. Ambivalensi inilah yang mengancam kedigdayaan kekuasaan kolonial dan potensial untuk menggerogotinya hingga pada akhirnya mengarah pada keruntuhannya sendiri. Oleh karena itulah, cerita nyai dan karya sastra Melayu Rendah yang ditulis baik oleh golongan pribumi, Indo dan peranakan Tionghoa, ditujukan bagi para pembaca di Hindia Belanda yang sebagian besar adalah pribumi, dan ditulis dalam medium bahasa yang mudah dipahami banyak orang dirasakan sebagai ancaman bagi pemerintah kolonial sehingga pantas untuk dilarang dan dilabeli “bacaan liar.”


(3)

130

DAFTAR PUSTAKA

Ashcroft, Bill, Gareth Griffith dan Helen Tiffin. Key Concepts in Post-Colonial Studies. London: Routledge, 1998.

Bandel, Katrin. “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial.” Dalam Sastra, Perempuan, Seks, disunting oleh Saut Situmorang, 31-44, Yogyakarta: Jalasutra, 2006.

Bhabha, Homi K. "The Other Question." Screen 24, no. 6 (November-December 1983): 18-36.

---. Location of Culture. London dan New York: Routledge, 1994.

---. “Frontlines/Borderposts.” Dalam Displacements Cultural Identities in Question, disunting oleh Angelika Bammer, 269-272, Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press, 1994.

---. “The Other Question: Difference, Discrimination, and the Discourse of Colonialism.” Dalam Black British Cultural Studies, disunting oleh Houston A. Baker, Jr., Manthia Diawara, dan Ruth L. Lindeborg, Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1996.

Budianta, Melani. “Yang Memandang dan Yang Dipandang Potret Orang Kecil dan Wacana (Post-)Kolonial.” Kalam 2 (1994): 56-66.

---.“Oposisi Biner dalam Wacana Kritik Pascakolonial.” Dalam Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, disunting oleh Budi Susanto, SJ, 15-31, Yogyakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 2008.

Christanty, Linda. “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda.” Prisma 10 (Oktober 1994): 21-36.

Cote, Joost dan Loes Westerbeek (ed.). Recalling the Indies Kebudayaan Kolonial dan Identitas Poskolonial. Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004.

Day, Tony dan Keith Foulcher, “Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature Introductory Remarks.” Dalam Clearing a Space Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature, disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day, 1-17, Leiden: KITLV Press, 2002.

Fane, Brenda. “Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of

Soesa in Malay Language Njai Stories.” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 31, no. 2(December 1997): 47-61.


(4)

Foulcher, Keith dan Tonny Day (ed.).Clearing A Space:Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Gouda, Frances. Dutch Culture Overseas. Colonial Practice in the Netherlands Indies 1900-1942. Amsterdam: Amsterdam University Press, 1995.

Hellwig, Tineke. Adjustment and Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies.Ontario: Netherlandic Press, 1994.

---. “Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity.” Archipel 63 (2002): 153-172.

---. “Menguasai Tubuh Perempuan.” Basis 09-10 (September-Oktober 2003): 54-61.

Jedamski, Doris. “Balai Pustaka—A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing.”

Archipel 44 (1992): 23-46.

Hall, Stuart. Representation Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage, 2003.

Locher-Scholten, Elsbeth. “The Nyai in Colonial Deli A Case of Supposed Mediation.” Dalam Women and Mediation in Indonesia, disunting oleh Sita van Bemmelen, Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, Elsbeth Locher-Scholten, dan Elly Touwen-Boowsma, 265-280, Leiden: KITLV Press, 1992.

---. “Orientalism and the Rhetoric of the Family: Javanese Servants in European Household Manuals and Children’s Fiction.” Indonesia 58 (Oktober 1994), 19-39.

Loomba, Ania. Colonialism/Postcolonialism. London: Routledge, 1998.

Maier, HMJ. “Forms of Cencorship in the Dutch Indies,” Indonesia 51 (1991): 67-81.

---. “From Heteroglossia to Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch in the Indies.” Indonesia 56 (1993): 37-65.

---. “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 149, no. 2 (1993): 274-297.

McClintock, Anne. Imperial Leather: Race, Gender and Sexuality in the Colonial Conquest. New York: Routledge, 1995.


(5)

132 Meyer, Susan. Imperialism at Home Race and Victorian Women’s Fiction. Ithaca

dan London: Cornell University Press, 1996.

Ming, Hanneke. “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920.” Indonesia 5 (April 1983): 65-93.

Mukti, Haji. Hikayat Siti Mariah. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.

Oetomo, Dede. “The Chinese of Indonesia and the Development of Indonesian Language.” Indonesia 51 (1991): 53-66.

Poerwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Rajan, Rajeswari Sunder. “Representing Sati: Continuities and Discontinuities.” Dalam Postcolonial Discourses An Anthology, disunting oleh Gregory Castle, 168-205, Oxford dan Massachusets: Blackwell Publishers, 2001. Salmon, Claudine. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia A Provisional

Annotated Bibliography. Paris: De la Maison des Sciences de L'Homme, 1981.

---. “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?” dalam Citra Masyarakat Indonesia kumpulan karangan dari

Archipel, 99-111. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

Singh, Jyotsna. Colonial Narratives/Cultural Dialogues. London: Routledge, 1996.

Stoler, Ann Laura. “Making Empire Respectable.” Dalam Situated Lives: Gender and Culture in Everyday Life, disunting oleh Louise Lamphere, Helena Ragone, dan Patricia Zavella, 373-399, New York dan London: Routledge, 1997.

---. Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial Rule. Berkeley: University of California Press, 2002.

Sumardjo, Jakob. Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal. Yogyakarta: Galang Press, 2004.

Taylor, Jean Gelman. The Social World of Batavia. Madison: University of Wisconsin Press, 1983.


(6)

---. “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film.” Dalam

Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie J. Sears, 225-248, Durham dan London: Duke University Press, 1999.

Termorshuizen, Gerard. “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum.” Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun: Essays to Honour Pramoedya Ananta Toer Seventies’ Year, disunting oleh Bob Hering, 55-61. Townsville: James Cook University, 1995.

Toer, Pramoedya Ananta. Tempo Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta: Hasta Mitra, 1982.

---. Sang Pemoela. Jakarta: Lentera Dipantara, 2003.

White, Sally. “The Case of Nyi Anah: Concubinage, Marriage and Reformist Islam in Late Colonial Dutch East Indies.” Reviewof Indonesian and Malaysian Affairs 38, no. 1 (2004): 87-97.

Wolfe, Patrick. “Race and Racialisation: Some Thoughts,” Postcolonial Studies 5, no. 1 (2002): 51-62.