Efek dari kebijakan kolonial dan labelisasi bacaan liar

68

2.2. Efek dari kebijakan kolonial dan labelisasi bacaan liar

Sebagaimana disebutkan HMJ Maier, perebutan otoritas di dalam kehidupan sastra juga melibatkan kekuatan-kekuatan sosial. Karya sastra Melayu Rendah dilarang karena karya-karya tersebut secara politik berbahaya dan secara moral mencurigakan, sehingga hal tersebut mengancam keamanan dan ketertiban. Balai Poestaka, menurutnya, secara ideologis merupakan perpanjangan tangan otoritas kolonial yang berfungsi menjauhkan orang-orang pribumi dari kekuatan subversif yang muncul di masyarakat. 156 Bacaan yang diproduksi Balai Poestaka secara efektif dikonsumsi masyarakat berkat dukungan sistem pendidikan. Bukan hanya menghantar kalangan pribumi pada modernitas, Balai Poestaka juga secara aktif turut membentuk kanon sastra modern berbahasa Melayu Tinggi—yang kelak dikenal sebagai tonggak sastra Indonesia modern. Beberapa topik dihindari, antara lain seks, politik dan agama. Sementara dalam karya sastra berbahasa Melayu Tinggi, tema semacam ini dilarang, mereka terus muncul dalam karya sastra Melayu Rendah. Menurut Maier, melalui pembentukan kanon, penyensoran bisa diterapkan melalui represi aktif, melalui pencegahan, melalui sistem pendidikan yang didesain dengan baik, melalui kebijakan penjualan yang agresif dan melalui efesiensi. 157 Untuk benar-benar menang mutlak dari kompetitornya, klaim bahwa karya sastra Melayu Rendah adalah “sastra tak bermutu” Schund literature pun 156 HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese- Malay Literature’ dalam Indonesia 51 1991, 77. 157 HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese- Malay Literature’ dalam Indonesia 51 1991, 78. 69 dihembuskan. Karya-karya tersebut imoral, sensual, and oleh sebab itu, jahat dan berbahaya. 158 Selain sebutan “sastra tak bermutu”, karya sastra Melayu Rendah sering disebut “bacaan liar.” Bagaimana istilah “bacaan liar” ini harus ditempatkan? Apakah semata-mata untuk dilawankan dengan “bacaan tidak liar” alias bacaan yang diproduksi oleh Balai Poestaka? Dalam hal ini, Jakob Sumardjo menghubungkan istilah tersebut dengan keberadaan “sekolah liar”. Menurutnya, pada zaman kolonial ada istilah “sekolah liar”. Istilah ini dilekatkan pada lembaga pendidikan yang dikelola oleh pihak swasta pribumi dan kebanyakan di antara mereka berasal dari kaum pergerakan. Sekolah tersebut disebut “liar” karena memupuk rasa kebangsaan pada murid- muridnya. Jadi, “liar” di sini mengandung unsur “nasionalisme”. Setiap pergerakan yang bersebrangan dengan pemerintah kala itu dianggap berbahaya dan oleh karena itu, liar—dalam artian “tidak mengikuti tata tertib negeri.” 159 Nah, bagaimana dengan “bacaan liar”—predikat yang dilekatkan pada sastra berbahasa Melayu Rendah? Mengapa “liar”? Menurut Jakob Sumardjo, ini karena banyak tulisan tersebut mengandung isi “melawan Belanda” secara terselubung atau tidak sengaja. 160 Mengapa demikian? Sebagian dari cerita atau novel yang ditulis dalam bahasa Melayu Rendah itu memang diadaptasi dari peristiwa sehari-hari, biasanya yang dimuat di surat 158 HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese- Malay Literature’ dalam Indonesia 51 1991, 79. 159 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 267. 160 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 267. 70 kabar. Berita tersebut memuat detail-detail acara pengadilan. Demikianlah para penulis merekonstruksi tersebut sebagai realitas sastra. Memang, kisah-kisah tersebut ditulis dengan tujuan komersil. Jadi, memang terkesan sensasional untuk menarik perhatian pembaca. Namun, “secara tak sengaja” cerita-cerita tersebut dipandang bisa memprovokasi kaum pribumi untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Kisah Nyi Paina, misalnya, menceritakan bagaimana seorang nyai bisa menulari tuannya dengan virus cacar hingga sang tuan mati. Juga kisah Matahariah di mana seorang lelaki pribumi menolak cinta seorang perempuan kulit putih. Keberanian Paina inilah yang bisa membangkitkan imajinasi bahwa orang pribumi pun bisa melawan Belanda. Atau dalam cerita Matahariah, orang pribumi pun tidak selalu harus tunduk pada kemauan orang kulit putih dan dengan demikian, posisinya setara. Imajinasi semacam inilah yang dianggap berbahaya dan harus dihindari. Namun demikian tidak pernah ada “pembredelan” terhadapnya. Pemerintah kolonial Belanda hanya membuat bacaan tandingan, yakni bacaan yang tidak liar, yang mampu membangun tertib dan kepatuhan pribumi kepada Belanda. Seperti diungkapkan Jakob Sumardjo, pelarangan buku justru menjelaskan isi buku dan mengungkapkan makna yang oleh pembaca sebenarnya mungkin tidak tertangkap. Oleh karena itu, pelarangan “bacaan liar” justru akan memicu kalangan pembaca bawah tanah yang akan semakin sulit dikontrol pemerintah. 161 Labelisasi “liar” sudah cukup untuk membuat karya sasta Melayu Rendah terpojok dan dieksklusikan dari kanon sastra. 161 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 271. 71 BAB IV AMBIVALENSI PASCAKOLONIAL DALAM CERITA NYAI “Cerita nyai” adalah salah satu genre yang turut membentuk korpus sastra Melayu Rendah yang muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. “Cerita nyai” mengisahkan kehidupan para nyai, istri tidak sah atau gundik, yang seringkali dilawankan dengan “bini kawin” dari seorang lelaki Eropa ataupun peranakanTionghoa. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II, fenomena pernyaian itu sendiri muncul dalam suatu sistem yang memungkinkannya untuk berkembang, di antaranya melalui serangkaian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada masa itu, dan hal tersebut sangat berkaitan erat dengan kepentingan penjajah, khususnya kepentingan ekonomi. Untuk keperluan penelitian ini, karya yang dibahas ialah “cerita nyai” dengan tokoh nyai yang hidup bersama dengan lelaki Eropa sebagai tokoh utama cerita. Cerita-cerita ini menarik untuk dikaji mengingat berbagai isu semisal ras, gender dan relasi kolonial berjalin-berkelindan membentuk imaji yang kompleks tentang tatanan masyarakat kolonial di mana garis-garis batas antara identitas identity dan perbedaan difference seringkali menjadi tidak mudah didefinisikan karena tidak pernah ajek. Dalam berbagai cerita ini, seringkali relasi kolonial tidak memenuhi asumsi oposisi biner yang dengan tegas meneguhkan perbedaan antara TimurBarat, pribumiEropa, terjajahpenjajah. Empat cerita nyai yang akan dibahas adalah Tjerita Njai Dasima 1896 karya G. Francis, Nji Paina karya H. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72 Kommer 1900, Cerita Nyai Ratna 1909 karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah 1910-1912 karya Haji Mukti. Untuk keperluan tersebut, konsep ambivalensi pascakolonial yang diajukan oleh Homi K. Bhabha akan digunakan dalam analisis berbagai tema, antara lain gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, serta wacana tentang pernyaian sebagaimana direpresentasikan oleh keempat cerita. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam Bab I, konsep “ambivalensi” diadopsi Bhabha dari psikoanalisis ke dalam wacana kolonial. Ambivalensi ini menjelaskan adanya perpaduan yang kompleks antara ketertarikan attraction dan penolakan repulsion yang menandai hubungan antara penjajah dan terjajah. Subjek terjajah mengalami hubungannya dengan penjajahnya secara berubah-ubah yang terentang dari perlawanan resistance dan persekutuan complicity. Jadi, menurut Bhabha, titik berangkat pembacaan wacana kolonial harus beranjak dari identifikasi imaji yang positif atau negatif menuju proses subjektifikasi yang dimungkinkan melalui wacana yang stereotipikal. 162 Atau dengan kata lain, analisis harus digeser dari pertentangan antara kubu-kubu yang berlawanan dari suatu oposisi biner menuju dinamika antara kedua kutub tersebut—ulang-alik antara penolakan dan ketertarikan, antara resistensi ke persekutuan. Dengan konsep “ambivalensi” ini saya ingin menunjukkan bahwa hubungan antara nyai terjajah dan tuan penjajah jauh dari sederhana dan tidaklah diametral, tetapi kompleks dan resiprokal, di mana tokoh nyai terjajah tidak melulu menjadi objek kekuasaan dari sang tuan dan tokoh tuan tidak selalu 162 Homi K. Bhabha, The Other Question, Screen 24, 6 November-December 1983, 18. 73 menjadi penguasa mutlak. Demikian halnya dengan wacana kolonial yang tidak melulu eksploitatif, tetapi juga tetap ada celah di dalamnya bagi si terjajah untuk menelikung kekuasaan yang melingkupinya dan memberdayakan dirinya. Dalam bagian berikut pertama-tama akan diuraikan sinopsis dari keempat cerita yang dikaji, lalu dilanjutkan dengan analisis masing-masing tema, yakni tinjauan dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan nyai dan tuan, perkawinan dan pernyaian, kemudian diakhiri dengan kesimpulan bab ini.

1. Sinopsis