10 penindasan, terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang
diskriminatif. Ketika ia memiliki anak hasil hubungannya dengan laki-laki Eropa, anak tersebut diakui statusnya sebagai orang Eropa. Sementara sang nyai yang
melahirkan dan mengasuh tidak memperoleh hak apa-apa. Bisa dikatakan bahwa figur nyai telah diasingkan dari sejarah. Yang diakui sebagai tokoh sejarah dan
dipahlawankan ialah golongan terdidik dari kalangan priyayi yang “bersih”, tidak melakukan skandal—apalagi dalam perkara seksual. Maraknya studi
pascakolonial belakangan ini membuka celah baru bagi pengkajian jejak-jejak perjumpaan kolonial, khususnya sebagaimana yang terekam dalam teks-teks
sastra.
2. Perumusan masalah
Dari uraian di atas, masalah yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah?
Persoalan tersebut dapat diuraikan ke dalam beberapa pokok persoalan, antara lain:
1. Bagaimana representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan
tuan, serta perkawinan dan pernyaian? 2. Bagaimana posisi cerita nyai dalam konteks kesusastraan pada masa
kolonial? PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
3. Tujuan penelitian
Sesuai dengan pokok-pokok persoalan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis representasi pernyaian dalam karya sastra Melayu Rendah ditinjau dari aspek gender dan seksualitas, ras, hubungan antara nyai dan
tuan, serta perkawinan dan pernyaian. 2. Menganalisis posisi cerita nyai tersebut dalam konteks kesusastraan pada
masa kolonial.
4. Relevansi penelitian
Adapun relevansi penelitian ini ialah: 1. Bagi kajian sastra di Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi, khususnya mengenai karya sastra berbahasa Melayu Rendah yang selama ini belum banyak dikaji.
2. Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi terhadap kajian budaya, khususnya studi poskolonial, serta kajian gender.
5. Tinjauan pustaka
Sejauh penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat beragam kajian tentang karya sastra Melayu Rendah yang bertema nyai, baik berupa artikel
jurnal, esai, tesis maupun buku. Tineke Hellwig, Indonesianis yang banyak meneliti persoalan sastra Indonesia, dalam tulisannya “Njai Dasima, A Fictional
12 Woman”
15
membahas bagaimana karakter perempuan berfungsi di dalam suatu cerita dan bagaimana karakter-karakter tersebut direpresentasikan. Cerita yang
diteliti ialah Tjerita Njai Dasima. Di dalam tulisannya tersebut, Hellwig membandingkan antara Tjerita Njai Dasima dalam bentuk cerita Tjerita Njai
Dasima. Soewatoe korban dari para pemboedjoek yang ditulis oleh G. Francis 1896 dengan bentuk syair “Sair tjerita di tempo Tahon 1813 soeda kadjadian
di Batawi, terpoengoet tjeritanja dari Boekoe Njaie Dasima” yang masing- masing ditulis oleh O.S. Tjiang dan Lie Kim Hok 1897. Tulisan itu
menyimpulkan bahwa tokoh Nyai Dasima justru hanya sedikit berperan di dalam cerita dan ini sangat kontras dengan tokoh Samiun yang berdasarkan konstruksi
cerita ditempatkan secara sentral. Berbeda dengan studi Hellwig tentang cerita nyai yang mengisahkan
gundik pribumi yang tinggal dengan lelaki Eropa, kajian H.M.J Maier dalam “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the
Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies”
16
mengisahkan nyai yang tinggal dengan lelaki Tionghoa. Dengan membandingkan kedua bagian cerita
tersebut dengan konteks historis yang melingkupinya, Maier menggarisbawahi adanya perubahan kesadaran akan identitas kecinaan di kalangan komunitas
peranakan Cina antara 1890 hingga 1920. Kecinaan dalam hal ini tidak didefinisikan dalam kerangka perbedaan budaya, bahasa, maupun rasial, tetapi
15
Tineke Hellwig, “Njai Dasima, A Fictional Woman,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 26, 1 Winter 1992, 1-20.
16
HMJ Maier, “Beware and Reflect, Remember and Recollect: Tjerita Njai Soemirah and the Emergence of Chinese-Malay Literature in the Indies,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 149, 2 1993, 274-297.
13 dalam kerangka sikap yang baik dan pantas: orang-orang Cina lebih kuat dan
gigih daripada kaum pribumi yang kasar, lemah, mudah takluk pada paksaan. Dalam esainya, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels
by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum,”
17
Gerard Termorshuizen juga melakukan perbandingan antara Nyai Ontosoroh, tokoh nyai dalam Bumi Manusia
yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, dan tokoh-tokoh nyai dalam karya P.A. Daum. Tokoh nyai pertama dalam karya Daum, Yps Nesnaj, berasal dari novel
Nummer Elf dan memenuhi stereotipe negatif nyai dalam sastra kolonial: sensual, jalang, tidak bisa dipercaya dan tamak. Sementara, tokoh nyai lainnya, Nyai
Peraq, dalam novel Aboe Bakar justru memiliki kemiripan dengan Nyai Ontosoroh yang mandiri secara ekonomi. Di dalam tulisannya ini, Termorshuizen
lebih berfokus pada deskripsi tokoh-tokoh nyai. Sementara itu, Brenda Fane dalam tulisannya “Transgressing the
Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai Stories”
18
mengulas hubungan antara perempuan yang menjadi nyai melintasi batas-batas bangsa, suatu konsep yang pada waktu itu antara lain mencakup adat
dan agama. Ketidaktaatan pada orang tua—yang dalam hal ini diwakili oleh tokoh ayah—pada akhirnya membawa kesusahan ataupun penyakit pada perempuan
tersebut. Akan tetapi, ini terjadi sebagai ujian atas cinta nyai tersebut pada
17
Gerard Termorshuizen, “From Whore to Heroine The Nyai Motif in Some Novels by Pramoedya Ananta Toer and PA Daum” dalam Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun: Essays to
Honour Pramoedya Ananta Toer Seventies’ Year, disunting oleh Bob Hering Townsville: James Cook University, 1995, 55-61. PA Daum sendiri adalah seorang penulis Belanda yang menulis
karya-karya tentang kehidupan di Hindia Belanda pada masa kolonial.
18
“Transgressing the Boundaries of Bangsa: An Examination of Soesa in Malay Language Njai Stories,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 31, 2 December 1997, 47-61.
14 tuannya. Jika hubungan dengan tuannya itu ia lakukan atas dasar cinta maka ia
akan merasakan kebahagiaan dan bisa bersatu kembali dengan keluarganya. Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and
Film”
19
menganalisis empat versi dari cerita tentang Nyai Dasima. Keempat versi tersebut antara lain narasi berbahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh G. Francis
1896, narasi berbahasa Belanda karya A. Th. Manusama 1926, narasi yang ditulis dalam dialek Betawi oleh SM Ardan 1965 serta film yang diproduksi
Chitra Dewi Productions 1970. Dari pembacaannya terhadap keempat karya tersebut, Taylor mengungkapkan bahwa seluruh versi tersebut menunjukkan
keterikatan historis karya dengan konteks waktu, tempat dan kelas. Dalam cerita versi Francis dan Manusama, dapat dibaca bagaimana penjajah dan terjajah saling
memandang dan dengan demikian juga membuka peluang bagi para pembaca untuk melihat persoalan-persoalan yang lebih luas semisal identifikasi agama dan
kelompok. Sementara itu, versi Ardan dan Chitra Dewi yang ditulis pada masa sesudah kemerdekaan mengkonstruksi identitas kelompok berdasarkan ikatan
pada bangsa nation beserta idealisasi tentang tatanan masyarakat yang dibayangkan.
Kajian penting lainnya dilakukan oleh Katrin Bandel dalam esainya “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial.”
20
Di dalam tulisannya itu, ia membandingkan antara tokoh Nyai Dasima dalam Tjerita Njai
19
Jean Gelman Taylor, “Nyai Dasima Portrait of a Mistress in Literature and Film,” dalam Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie J. Sears Durham and London: Duke
University Press, 1999, 225-248.
20
Katrin Bandel, “Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh Sebuah Intertekstual Pascakolonial” dalam Sastra, Perempuan, Seks Yogyakarta: Jalasutra, 2006, 31-44.
15 Dasima karya G. Francis dan tokoh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya
Pramoedya Ananta Toer. Bandel menunjukkan hubungan intertekstual di antara kedua cerita tersebut dan bagaimana dengan mengubah beberapa hal, antara lain
sudut pandang penceritaan dan penokohan, Pramoedya berhasil menghadirkan sebuah cerita nyai yang berbeda, yang memuat kritik terhadap feodalisme Jawa
dan kolonialisme, serta ambivalensi pengalaman pascakolonial. Jika seluruh kajian yang saya sebutkan terdahulu berupa esai maka
penelitian yang relatif mendalam oleh Tineke Hellwig dan Brenda Fane dapat menjadi titik berangkat untuk penelitian lanjutan. Dalam bukunya, Adjustment
and Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies 1994, Hellwig membahas imaji perempuan dalam karya sastra yang ditulis baik dalam
bahasa Melayu Rendah maupun dalam karya berbahasa Belanda pada masa kolonial. Di dalamnya termasuk cerita-cerita yang mengisahkan tentang
kehidupan nyai. Akan tetapi, analisisnya ini masih sangat umum dan belum secara khusus berfokus pada tokoh nyai itu sendiri.
Karya lainnya adalah penelitian Brenda M. Fane, Love and Lust in the Indies: An Analysis of the Representation of Njais in a Selection of Pre-World
War II Malay Language Literature, yang merupakan tesisnya yang belum diterbitkan untuk meraih gelar Master of Arts dari Australian National University
1995. Penelitian Fane ini berfokus pada relasi gender dengan melihat konstruksi nyai di dalam diskursus komunitasmasyarakat dan keluarga. Fane menggunakan
pendekatan pascastrukturalis, antara lain Jacques Derrida penggunaan grammar, Michel Foucault sejarah diskursus dan Jacques Lacan psikoanalisis. Dalam
16 analisis tekstualnya, Fane meninjau rezim kekuasaan dan pengetahuan yang
diungkapkan melalui penggunaan penokohankarakterisasi, plot, tema dan bahasa yang digunakan pengarang untuk mendefinisikan perempuan.
Kedua penelitian ini membahas imaji yang umum tentang sosok nyai. Dalam penelitian Brenda M. Fane sudah ada upaya untuk melihat persoalan
gender dari teks yang diteliti dengan pendekatan pascastrukturalis. Penelitian dengan pendekatan yang berbeda, yakni dengan pendekatan pascakolonial
sebagaimana yang akan dilakukan penelitian ini menawarkan sudut pandang interpretasi yang berbeda dari berbagai penelitian yang sebelumnya sudah
dilakukan terhadap cerita-cerita tentang pernyaian. Dari seluruh karya yang telah saya sebutkan, hanya tulisan Katrin Bandel
yang memiliki perhatian yang agak mirip dengan penelitian ini. Hal itu terutama karena kajian tersebut menggunakan pendekatan pascakolonial sebagaimana yang
digunakan dalam penelitian ini. Meskipun demikian, saya berupaya untuk lebih memfokuskan pembahasan cerita nyai dikaitkan dengan konteks sosio-historis
pernyaian itu sendiri dan bahasa Melayu Rendah sebagai medium penulisan cerita-cerita nyai yang saya teliti. Dengan demikian, ditinjau dari fokus penelitian
dan pendekatan, saya berupaya menawarkan suatu wilayah baru untuk mendekati teks-teks Melayu Rendah, dalam hal ini cerita nyai.
6. Landasan teori: pendekatan pascakolonial