26 alasan seorang perempuan pribumi menjadi nyai sulit dijawab, perempuan Jawa
dari golongan bawah paling banyak menjadi gundik.
41
1.2. Tentangan dari Coen terhadap pergundikan
Sebagaimana disebutkan Hellwig, Jan Pieterszoon Coen 1619-1623, 1627-1629 adalah salah seorang penentang pergundikan dan mendukung imigrasi
perempuan kulit putih dari Belanda.
42
Pada 1622 VOC pernah mendatangkan perempuan Eropa ke Batavia. Pada tahun tersebut, VOC mengatur pengangkutan
enam perempuan muda Belanda yang siap dinikahi ke Jawa. Mereka diberi pakaian, mas kawin dan kontrak yang mengikat mereka selama lima tahun di
Nusantara. Akan tetapi, pada 1632 VOC menghentikan dukungan terhadap imigrasi perempuan Belanda. VOC berniat mendirikan komunitas yang permanen
di Nusantara blijvers. Tindakan konkret menindaklanjuti hal tersebut ialah dibatasinya imigrasi perempuan Eropa pada 1650-an.
43
Jean Gelman Taylor mencatat, pada 1652 para pejabat VOC mengadopsi kebijakan yang tetap
menguntungkan VOC, yakni pembatasan imigran perempuan Eropa, preferensi rekrutmen lelaki Eropa yang masih lajang dan pembatasan perkawinan dengan
perempuan kelahiran Asia.
44
Kebijakan VOC untuk menerima pekerja yang masih berstatus lajang serta pembatasan imigrasi perempuan Eropa terus berlangsung hingga dua ratus tahun
berikutnya. Dengan merekrut para lelaki lajang, VOC secara legal dan finansial
41
Ming, “Barracks-Concubinage,” 73.
42
Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.
43
Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.
44
Taylor, The Social World of Batavia, 14.
27 menjadikan pergundikan sebagai alternatif yang paling menarik bagi para
pegawainya. VOC mendukung hubungan ekstramarital maupun perkawinan resmi antara pegawai tingkat rendah dan perempuan budak yang diimpor.
45
Seperti dikatakan Ann Laura Stoler, regulasi seksual sangatlah penting terhadap
perkembangan pemukiman kolonial dan alokasi aktivitas ekonomi di dalamnya.
46
Pengaturan masalah domestik ini menguntungkan baik VOC maupun pemerintah. Pada abad ke-19 dan hingga awal abad ke-20, gaji para pegawai baru di dinas
militer, birokrasi pemerintahan, perkebunan dan perusahaan dagang, bisa ditekan hingga sangat rendah berkat jasa domestik para perempuan lokal yang diberikan
secara cuma-cuma.
47
Sebagaimana disebutkan Taylor, fenomena pernyaian ini sudah ada sejak awal VOC di Batavia. Oleh sebab itu, manakala Coen ditunjuk sebagai Gubernur
Jenderal, ia betul-betul berusaha untuk mengubah keadaan ini. Ia memberlakukan larangan untuk memelihara “satu atau dua perempuan budak, gundik atau gundik-
gundik di dalam suatu rumah ataupun di tempat lainnya, dengan dalih apapun”.
48
Hal tersebut juga didasarkan keprihatinannya terhadap kasus aborsi dan upaya pembunuhan yang dilakukan gundik terhadap tuannya dengan phenyl ataupun
racun lainnya. Kendati Coen mengenakan aturan yang sangat keras dalam perkara
45
Stoler, Carnal Knowledge, 47.
46
Ann Laura Stoler, “Making Empire Respectable,” dalam Situated Lives: Gender and Culture in Everyday Life, ed. Louise Lamphere, Helena Ragone, dan Patricia Zavella New York and
London: Routledge, 1997, 376.
47
Stoler, “Making Empire Respectable,” 377.
48
Taylor, The Social World of Batavia, 16.
28 moral seksual, hal itu masih tidak dapat menghentikan berkembangnya
pergundikan.
49
Terlepas dari tentangan tersebut, pada akhirnya pergundikan antar ras mendapat pengakuan dalam hukum sipil civil law code Hindia Belanda.
Kesaksian dari pensiunan Letnan Kolonel de Rochemont menyebutkan hal berikut.
”Ada banyak nyai dan mereka termasuk dalam semua strata masyarakat Indo-Eropa kita. Bukan hanya tentara di barak, melainkan juga kebanyakan jenderal, pejabat lapangan
serta pejabat lainnya, gubernur wilayah, walikota, pejabat senior dan pejabat lainnya memiliki nyai jika mereka tidak menikah. Baik di Belanda maupun di daerah koloni
seseorang bisa menemukan orang-orang penting yang merupakan anak Nyai.”
50
Jadi, sesungguhnya masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu tidaklah “semurni” yang dibayangkan karena ternyata di dalamnya terjadi percampuran melalui
hubungan antar ras yang pada suatu periode memang disahkan secara hukum oleh pemerintah kolonial sendiri.
2. Berlanjutnya pernyaian sebagai sebuah necessary evil