61 dipakai sebagai bahasa perhubungan di Hindia Belanda.
138
Dalam pelaksanaanya, keputusan itu akhirnya terkait erat dengan kepentingan-kepentingan politis.
Dalam bagian ini akan dibahas bagaimana pemerintah kolonial menjalankan politik bahasanya melalui pendirian Balai Pustaka dan efeknya terhadap karya
sastra Melayu Rendah yang bukan diterbitkan oleh lembaga tersebut.
2.1. Pendirian Commissie vor Volkslectuur
Pada 14 Desember 1908 pemerintah kolonial mendirikan Commissie voor de Inlandsche school en volkslectuur yang diketuai GAJ Hazeu. Komisi ini
“didirikan untuk memproduksi dan mendistribusikan bahan bacaan bermutu dan murah untuk penduduk pribumi manakala tingkat melek huruf meningkat secara
kentara sebagai akibat Politik Etis.”
139
Akan tetapi, pendirian komisi tersebut tidak berhenti pada tujuan yang disebutkan di atas. Jakob Sumardjo menyebutkan,
pendirian komisi ini dilakukan karena Pemerintah Hindia Belanda belajar dari kegagalan kolonisasi Inggris di India yang memberi akses terhadap pendidikan
golongan pribumi namun tidak mengontrol bacaan rakyat.
140
Bertumbuhnya golongan melek huruf ini memang sebagai akibat dari pendidikan yang diselenggarakan pemerintah Hindia yang untuk memenuhi
kebutuhan akan tenaga terdidik dalam administrasi pemerintahan dan bidang pekerjaan lainnya. Memang, lahirnya kaum cerdik cendekia ini sudah diwaspadai
oleh pemerintah. Terbukti dalam memo Memorie van Toeliching yang
138
Maier, “Forms of Cencorship in the Dutch Indies,” Indonesia 51 1991: 73.
139
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 1992, 23.
140
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 34.
62 dikeluarkan pada 1851 disebutkan: “Tidak perlukah orang itu dapat pimpinan di
dalam perkara mencari ilmu? Tidak khawatirkah orang bahwa pengetahuan yang tidak sempurna akan menimbulkan iri hati dan pergerakan, bahkan menyebabkan
orang kehilangan kesetiaannya serta mendatangkan kejahatan?”
141
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu, menjelang peralihan abad ke-19 pers tumbuh subur. Pers yang dijalankan oleh golongan Indo,
peranakan Cina maupun pribumi tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah, suatu bahasa yang cair dan lentur serta mudah dipahami oleh berbagai unsur
masyarakat Hindia. Agaknya, ketakutan pemerintah kolonial akan “pengetahuan yang tidak sempurna yang menimbulkan pergerakan” ini benar-benar menjadi
kenyataan dengan munculnya berbagai kritik terhadap pemerintah kolonial melalui pers berbahasa Melayu Rendah.
Berkembangnya pers di sekitar pergantian abad ke-20 ibarat sebuah alarm yang memperingatkan pemerintah kolonial Belanda untuk lebih siaga. Oleh
karena alasan inilah, pemerintah Hindia Belanda merasa perlu melakukan sebentuk kontrol. Dari korespondensi antara Menteri Urusan Kolonial di Den
Haag dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 2 Juni dapat diketahui hal berikut.
Tindakan keras harus dikenakan terhadap ajaran revolusi rakyat melawan pemerintah Belanda, terhadap upaya yang tidak jemu-jemu untuk
mendiskreditkan maksud-maksud baik Pemerintah, terhadap penyebaran kebencian dan perselisihan di antara bermacam-macam ras yang telah
menjadi tatanan saat ini. Mentolerir manifestasi-manifestasinya atau menyerahkan upaya represi kepada pandangan pengadilan Hindia yang
141
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 36.
63 beragam—yang dalam praktiknya merupakan hal yang sama—adalah
sama seperti melakukan bunuh diri politik.
142
Lebih lanjut surat tersebut menyebutkan bahwa aturan ini harus diberlakukan tanpa pembedaan kendati untuk pers non Eropa, yakni pers pribumi
dan Tionghoa, kontrol yang dibutuhkan harus lebih ketat lagi. Kontrol preventif, menurut surat tersebut, sudah tidak dimungkinkan oleh perubahan-perubahan
dalam Regulasi Pers Tahun 1906. Perubahan dalam Regulasi Pers yang menjamin kebebasan berekspresi ini dilandasi oleh semangat Politik Etis yang muncul pada
masa itu. Segala aturan yang merintangi kebebasan berekspresi harus dicabut, dan “pengawasan preventif terhadap kata-kata tertulis harus diakhiri”.
143
Maka, diperlukan alat represi baru dan ini dijalankan bukan oleh pengadilan, melainkan
oleh pejabat administratif.
144
Baik para administratur di Batavia dan politisi di Den Haag menganggap penyensoran perlu dijalankan karena represi yang bersifat administratif akan
menjamin keamanan dan ketertiban, syarat bagi kestabilan ekonomi dan kemajuan kaum pribumi. Selain itu, sensor juga akan membantu dalam mengembangkan
konsep mengenai keindahan dan moralitas di kalangan pribumi.
145
Pendirian Volkslectuur sekitar sepuluh tahun setelah wacana untuk menyensor pers diawali dari laporan seorang pegawai sipil berpangkat rendah
bernama JE Jasper pada 1905. Ia meminta pemerintah melakukan perbaikan
142
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese- Malay Literature’ dalam Indonesia 51 1991, 67.
143
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese- Malay Literature’ dalam Indonesia 51 1991, 68.
144
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese- Malay Literature’ dalam Indonesia 51 1991, 67.
145
HMJ Maier, ‘Forms of Cencorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese- Malay Literature’ dalam Indonesia 51 1991, 71.
64 terhadap sistem pendidikan di seluruh pedesaan di Jawa dan Madura. Diusulkan
ada sebuah organisasi yang terpusat untuk memproduksi, mendistribusi dan menyimpan bahan bacaan yang layak. Departemen Pendidikan dan Urusan
Agama Department van Onderwijs en Errredienst ditengarai bisa melakukan hal tersebut. Menurutnya, para siswa dan guru butuh peluang lebih besar untuk
memperbaiki kemampuan membaca mereka. Jasper juga meminta tambahan pasokan bacaan dalam huruf Latin agar orang Jawa terdorong untuk beralih dari
huruf tradisional Jawa.
146
Pendirian Volkslectuur jelas tidak berhenti untuk “menyempurnakan” pengetahuan rakyat belaka. Di baliknya, terkandung semangat yang diungkapkan
Snouck Hurgronje: “Warisan kita … terdiri dari daerah jajahan yang cantik dan kaya. Namun, jika klaim ini harus bertahan dalam tekanan badai zaman,
penaklukan material harus kita ikuti pula dengan penaklukan spiritual.”
147
Dalam konteks ini pulalah kita bisa memahami bahwa “Volkslectuur membawa apa yang
dianggap sebagai makanan spiritual yang sehat.”
148
Jadi, Volkslectuur kira-kira berfungsi sebagai alat dominasi kultural, yang benar-benar berbeda dari dominasi
secara fisik melalui kekuatan senjata. Pada awal berdirinya, proses seleksi, produksi dan distribusi teks masih
dijalankan oleh beberapa organ. Jadi, belum terpusat sebagaimana yang diniatkan semula. Komisi ini menjadi badan penasihat yang membantu Departemen
146
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 1992: 24.
147
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 1992: 24.
148
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 1992: 31.
65 Pendidikan menyeleksi teks. Pencetakan materi biasanya dilakukan di percetakan
milik pemerintah atau swasta. Penjualan buku dan suplainya diserahkan pada Depot van Leermiddelen, tempat penyimpanan materi sekolah. Volkslectuur juga
menaruh perhatian khusus pada teks tradisional Jawa yang lantas diadaptasi sesuai dengan standar Barat.
149
Seperti diungkapkan Jakob Sumardjo, selama 6 tahun Volklectuur telah memberikan berbagai buku yang dikelompokkan dalam tiga seri: seri A bacaan
anak-anak sekolah dalam bahasa daerah, seri B buku-buku hiburan dan ilmu pengetahuan untuk pembaca dewasa, dan seri C bacaan bagi mereka yang telah
lanjut pengetahuannya. Buku-buku ini sebagian besar ditulis dalam Melayu Tinggi. Penerbitan buku dalam bahasa daerah nyatanya paling banyak dan ini,
menurutnya, menunjukkan bahwa pemerintah sangat menekankan “penyempurnaan pengetahuan” kepada siswa sekolah rakyat.
150
Volkslectuur mulai berperan lebih “serius” di bawah pimpinan DA Rinkes pada 1910 dan menjadi biro otonom dengan nama Balai Poestaka. Ia memandang
bahwa sastra dan kebudayaan merupakan alat yang potensial untuk mempengaruhi politik. Di bawah kepimpinan Rinkes Volkslectuur berkembang
menjadi salah satu “instrumen kebijakan kolonial yang signifikan.”
151
Pada awal kepemimpinannya, Rinkes merintis pendirian sistem perpustakaan umum yang
dinamai “Taman Poestaka”. Perpustakaan ini ditempatkan pada sekolah-sekolah
149
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 1992: 25.
150
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 36.
151
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 1992: 25.
66 di desa dan sekolah-sekolah kelas dua. Bahan bacaannya dipasok oleh
Volkslectuur. Sejak 1916, sekolah pribumi dilengkapi dengan publikasi berbahasa Belanda yang dipilih ataupun diproduksi oleh Volkslectuur. Namun, penekanan
utama tetap pada teks berbahasa Melayu, Jawa and Sunda. Penempatan perpustakaan di sekolah-sekolah memberi dua keuntungan. Pertama, kepala
sekolah bertanggung jawab terhadap pengelolaannya. Kedua, kontrol terhadap kebiasaan membaca para pengguna perpustakaan pun menjadi mungkin.
152
Menurut Doris Jedamski, buku-buku yang diterbitkan Volkslectuur dikonsumsi baik oleh kalangan terdidik maupun tidak terdidik kendati jumlah
peminjaman tidak menggambarkan hal tersebut. Mengapa? Sebuah buku yang dipinjam bisa mendapatkan audiens sepuluh hingga lima belas orang karena buku
tersebut bisa dipinjamkan ke para tetangga atau dibacakan keras-keras kepada para tetangga, kerabat dan teman. Hal ini khususnya berlaku di pedesaan di mana
mereka yang melek huruf benar-benar diharapkan untuk membacakan jurnal dan buku lalu membacakannya keras-keras di muka umum. Selain itu, perpustakaan
tersebut juga didirikan di barak-barak dan rumah sakit, di penjara dan bahkan di kamp tahanan Boven Digoel.
153
Pada 1917 diadakan Survei Pers Pribumi Inlandsche Persoverzicht, IPO yang kemudian berkembang sebagai alat penting melawan pers pribumi.
Volkslectuur juga mendirikan subdivisi baru, yakni subdivisi pers. Subdivisi pers
152
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 1992: 27.
153
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 1992: 27.
67 ini berfungsi sebagai “salah satu dari sensor kekuasaan kolonial yang paling
halus.”
154
Pada 1920 diketahui bahwa Balai Pustaka mengalami masalah keuangan. Berbagai tindakan pun dilakukan, antara lain iklan di surat kabar harian, sirkulasi
tinjauan buku di dalam penerbitan terbaru, serta penyebaran katalog secara gratis. Selain itu, penjualan juga dilakukan di bazaar tahunan, pasar malam, dan tempat
lainnya. Penjualan melalu agen memberikan komisi 25 persen kepada agen yang bersangkutan. Dengan strategi yang agresif seperti ini, Balai Pustaka yang
diuntungkan karena keberadaannya sebagai institusi kolonial menuai sukses besar-besaran mengingat tingginya angka buta huruf pada masa itu. Pada tahun
yang sama tercatat 100 ribu buku terjual. Satu juta peminjaman pun tercatat untuk lima ribu kopi per edisi. Dukungan yang kuat dari pemerintah juga
memungkinkannya memproduksi buku berkualitas tinggi dengan harga murah. Penyempurnaan distribusi membuat Volkslectuur menjadi faktor yang amat
menentukan di dalam pasar sastra dan jurnalistik.
155
Secara ringkas, bisa dikatakan Volkslectuur yang kemudian dinamai Balai Poestaka berperan sangat penting di dalam politik bahasa pemerintah kolonial.
Dengan menerbitkan buku-buku berbahasa Melayu Tinggi yang dipakai sebagai buku wajib di sekolah dan bacaan rakyat, pemerintah telah meminggirkan karya
sastra berbahasa Melayu Rendah.
154
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 1992: 34.
155
Doris Jedamski, “Balai Pustaka – A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing,” Archipel 44 1992: 29.
68
2.2. Efek dari kebijakan kolonial dan labelisasi bacaan liar