82 Dam berangkat ke Eropa dan menetap di Brussel di mana Henri Dam bekerja
sebagai bankir. Mereka pun hidup berbahagia di sana.
2. Gender dan seksualitas
Bagian ini berupaya menemukan ambivalensi pascakolonial sebagaimana direpresentasikan oleh keempat cerita, khususnya ditinjau dari aspek gender dan
seksualitas, mengingat ras sebagai salah kategori yang menandai perbedaan difference seringkali bersilangan dengan kedua aspek tersebut. Dengan konsep
ambivalensi hendak ditunjukkan bahwa walaupun berada dalam ruang yang terbatas, yakni di bawah bayang-bayang kekuasaan sang tuan, tokoh nyai tetap
mampu menjalankan strategi untuk menelikung kekuasaan tersebut. Hal ini akan dilakukan dengan mencari “lubang” di dalam cerita-cerita yang dikaji agar bisa
membaca “melawan arus” dalam arti membaca cerita-cerita tersebut secara berlawanan dengan pesan cerita yang dominan. Beberapa isu yang akan
dieksplorasi antara lain hubungan gender antara tokoh nyai dan tokoh lain— khususnya tokoh tuan, serta penggambaran seksualitas tokoh nyai.
Dalam Tjerita Njai Dasima, pesan cerita keseluruhan yang dominan mengenai hubungan gender ialah bahwa pernyaian itu positif karena dalam ikatan
semacam itu seorang nyai justru bahagia. Sementara dalam perkawinan, ia justru tidak bahagia karena pelbagai sebab. Selain itu, subjudul dari cerita ini yang
berbunyi “Suatu korban dari pada pemboedjoek” menyiratkan bahwa Dasima menjadi korban dari orang-orang yang hendak mencelakakan dirinya. Dalam
cerita, Dasima dilekati ciri-ciri feminin yang membuatnya disukai oleh tuannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83 Dasima digambarkan memiliki sifat “radjin dan pinter bekerdja”
166
dan mampu melakukan berbagai pekerjaan domestik seperti memasak dan menjahit. Hal-hal
inilah yang membuat Tuan W “tjinta dianja ibarat dia poenja bini kawin,”
167
serta mempercayakan hartanya kepada Dasima. Selain itu, Dasima juga perempuan
yang setia dan teguh sehingga ia menolak berbagai bujukan dari laki-laki yang ingin mendekatinya untuk menguasai hartanya. Akan tetapi, tentu saja relasi
antara Tuan W dan Nyai Dasima adalah hubungan yang diimbuhi oleh kekuasaan. Di sini Dasima hingga tingkat tertentu juga menjadi objek—entah seksbirahi
ataupun cinta—dari Tuan W. Kesetiaan Dasima itu mulai goyah manakala Samioen mulai mendekatinya
dengan dalih hendak membawa Dasima kembali ke ajaran Islam. Berkat berbagai tipu daya Samioen, Dasima lantas berbalik menjadi tidak suka pada tuannya.
Bahkan, Dasima pun menjadi berani mengundang Samioen untuk datang ke rumahnya. “Besok paginja Baba Samioen dateng ketemoe dengen Njai Dasima di
gedoengnja, tempo lakinja pergi kerdja, dan moelain atoeran kedjahatan, ia itoe berdjinah.”
168
Jika hubungan Dasima dengan Tuan W menurut norma agama ataupun norma sosial yang lazim waktu itu merupakan perzinahan, begitu pun
halnya dengan hubungan Dasima dan Samioen. Namun demikian, hubungan yang terakhir terjadi karena pilihan Dasima sendiri—meskipun awalnya karena bujukan
pihak luar. Di sini Dasima yang semula menjadi objek beralih menjadi subjek yang aktif dan mampu mengekspresikan apa yang ia inginkan. Ia pun melintasi
166
Toer, Tempo Doeloe, 225.
167
Toer, Tempo Doeloe, 225.
168
Toer, Tempo Doeloe, 237.
84 batas-batas norma yang berterima dengan melakukan perselingkuhan—norma
serupa yang telah mendefinisikan hubungan “perzinahan”-nya dengan Tuan W. Dibaca dari perspektif pascakolonial, di sinilah ambivalensi itu hadir:
hubungan antara Dasima dengan tuannya yang diandaikan melibatkan kekuasaan yang timpang itu ternyata tidak setegas yang dibayangkan. Hubungan antara Nyai
Dasima dan tuannya ternyata juga dinamis. Meskipun Dasima berada dalam posisi objek, ia mampu menegosiasikan hubungan yang tidak setara tersebut dengan
membuat pilihan berzinah dengan Samioen. Dalam cerita dikisahkan bahwa Dasima-lah yang mengundang Samioen untuk datang ke rumahnya sewaktu Tuan
W. bekerja sebagaimana disebutkan dalam kutipan di atas. Dengan demikian, Dasima menjadi subjek yang aktif menunjukkan seksualitasnya kendati dengan
cara yang kurang berterima menurut norma. Ditinjau dari keseluruhan plot, Tjerita Nji Paina hendak menyampaikan
pesan dominan bahwa pernyaian adalah sesuatu yang negatif karena di dalam hubungan itu pihak-pihak yang terlibat ada dalam hubungan yang tidak setara. Ini
tercermin dari bagaimana Paina menjadi nyai, yaitu untuk menyelamatkan ayahnya. Jadi, menjadi nyai merupakan sebuah keterpaksaan bagi Paina. Hal ini
kemudian dikontraskan dengan perkawinan Paina yang bahagia di mana ia sendirilah yang menentukan pilihan.
Di dalam cerita disebutkan karakteristik fisik Paina yang “amat tjantiknja, koelitnja langsep dan ramboetnja patah majang, teoerei-oerei di tioep angin”
169
169
Toer, Tempo Doeloe, 321.
85 yang lantas membuat “Briot lantas djatoh birahi.”
170
Ciri fisik yang ini berulang- ulang disebutkan di dalam cerita sebagai rujukan ketertarikan Briot kepada Paina,
membuat Paina menjadi objek seks dari Briot, atau meminjam ungkapan yang dipakai cerita tersebut, objek “birahi.”
Sosok Paina di sini terjebak di bawah bayang-bayang kekuasaan baik ayah maupun Tuan Briot: sebagai anak yang baik ia harus menyelamatkan ayahnya
dengan menjadi nyai Tuan Briot yang sangat dibencinya. Dimensi kekuasaan tampak jelas di dalam hubungan antara Paina dan Tuan Briot. Briot memiliki
kekuasaan yang jauh lebih besar daripada Paina sehingga memungkinkan ia memaksa Paina menjadi nyainya. Tak ada pilihan lain, kecuali bersedia menjadi
nyai Tuan Briot. Kendati di satu sisi menjadi objek yang dihasrati Tuan Briot, Paina hingga tingkat tertentu akhirnya bisa menegosiasikan paksaan itu dengan
suatu siasat: Paina menularkan penyakit cacar pada Tuan Briot yang berujung pada kematian Tuan Briot.
Hal inilah yang menunjukkan ambivalensi cerita tersebut. Di satu sisi, hubungan antara Paina dan Briot jelas merupakan hubungan yang tidak setara.
Akan tetapi, ditinjau dari sisi yang lain, dalam cerita ini hubungan gender bisa dikatakan sebagai sesuatu yang dinamis di mana tokoh Paina berusaha keluar dari
kekuasaan yang mengungkung dirinya. Paina bukan semata-mata objek yang takluk, melainkan subjek yang menelikung kekuasaan tersebut, yaitu dengan
menularkan virus cacar kepada Briot yang berujung kematian tuan tersebut.
170
Toer, Tempo Doeloe, 321.
86 Persoalan seksualitas Paina mengemuka dengan cukup jelas di dalam
cerita. Paina menjadi objek birahi dari Tuan Briot. Di sini, Paina secara aktif menolak Tuan Briot yang tampangnya mengerikan “moekanja bengis bolong,
tiada disoekai orang, serta ramboetnja ada amat kasar”
171
dan perilakunya tidak baik “amat koerang sopan, bitjaranya kasar”
172
. Selain itu, penolakan Paina terhadap Tuan Briot ini juga terkait dengan perasaan jijik akan menjadi objek seks
dari lelaki yang ia bayangkan serupa “tjeleng” tersebut. Mirip
dengan Tjerita Njai Dasima, pesan dominan yang disampaikan
dalam Cerita Nyai Ratna adalah bahwa pernyaian merupakan sesuatu yang positif karena memberikan perempuan posisi dan status “lebih” daripada perempuan
kebanyakan dan akses terhadap materi. Oleh karena itulah, tak heran jika pada beberapa bagian cerita digambarkan persaingan antara para nyai untuk menjadi
siapa yang paling terhebat di antara mereka, khususnya dalam hal kecantikan fisik. Ini pada akhirnya menentukan status, pengaruh dan ketenaran. Di sisi lain,
moralitas seorang nyai juga secara umum dianggap buruk sebagaimana disiratkan oleh subjudul cerita, “Betapa seorang isteri setia telah menjadi jahat.”
Namun, dilihat dari sisi lain, ambivalensi dalam cerita ini tampak dalam sosok nyai yang “bermain-main” dengan statusnya sebagai seorang nyai dari
lelaki Eropa. Dalam cerita misalnya dikisahkan Ratna jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Sambodo, seorang lelaki pribumi yang tampan dan tengah
menempuh studi di sekolah kedokteran. ”Tak pernah hatinya berahi pada seorang lelaki, apa lagi kalau ia sedang di tangan orang, maski janda pun ia tidak begitu.
171
Toer, Tempo Doeloe, 319.
172
Toer, Tempo Doeloe, 320.
87 Belum pernah mendapatkan seorang lelaki yang bisa menggerakkan kalbunya.”
173
Pada akhirnya, Ratna memang berhasil mengejar Sambodo dan menjadikan pemuda itu kekasihnya.
Dibaca dengan sudut pandang ini juga, dalam hubungan antara nyai dan tuan yang diimbuhi kekuasaan tersebut, Ratna juga seolah tetap menemukan celah
untuk “membebaskan diri”-nya. Sebagaimana disebutkan dalam kutipan di atas, Ratna-lah yang terlebih dahulu “jatuh berahi” pada Sambodo. Ketika pada
akhirnya mereka berdua menjadi sepasang kekasih, Ratna mengakukan Sambodo sebagai saudara misannya di hadapan tuannya. Hal ini membuat mereka leluasa
berhubungan meskipun ada tuannya seperti ditunjukkan kutipan berikut. ”Ratna dan tuannya lalu masuk ke kamar. Setelah tuannya tidur pulas,
pelan-pelan ia keluar lalu masuk ke kamar Sambodo untuk bercinta- cintaan. Bila tuannya sudah sampai pada waktu bangun buru-buru ia pergi
ke belakang dan memberikan perintah ini-itu.”
174
Tak terhenti di situ, dengan materi yang diperolehnya berkat statusnya sebagai seorang nyai, Ratna juga bisa mencari kesenangan di luar hubungan dengan
tuannya, yakni “bergendak” dengan laki-laki lain di dalam hubungan yang serupa transaksi, hubungan yang sama-sama ditandai oleh absennya cinta karena hanya
untuk “bersenang-senang” belaka. Di dalam cerita ini, tokoh Nyai Ratna adalah perempuan yang sadar akan
seksualitasnya dan berani mengungkapkan seksualitasnya tersebut secara terbuka. Bahkan, ketika Ratna sudah menjadi istri seorang lelaki Eropa, Ratna
digambarkan menjalin hubungan dengan beberapa orang lelaki lain demi
173
Toer, Sang Pemoela, 379.
174
Toer, Sang Pemoela, 386.
88 kesenangan semata. “Sejak jadi nyonya, tahu lakinya sulit bercerai daripadanya,
membuat ia makin bangor. Beberapa orang magang, jurutulis, sudah dibelinya. Karena pembosanannya beberapa lelaki sudah menjadi gendaknya.”
175
Tak hanya itu, ia pun menjalin hubungan lain dengan seorang lelaki Eropa yang dicintainya,
Karel de Vos. Sosok nyai yang berani mengungkapkan seksualitasnya ini juga tergambar
melalui tokoh nyai lainnya, yakni Parminingsih. Sesudah Ratna pindah mengikuti tuannya ke kota lain, Sambodo dikejar-kejar oleh Parminingsih, nyai seorang
juragan toko. Dalam salah satu adegan disebutkan “Hingga semalaman mereka berberahian. Maka Parmi belum pernah mendapatkan kenikmatan seperti sekali
ini.”
176
Di sini tampak bahwa sebagai perempuan, seorang nyai adalah sosok yang melintasi batasan-batasan norma: ia berselingkuh dan merasakan kenikmatan
secara seksual dengan lelaki lain, sesuatu yang tidak ia dapatkan dalam hubungan dengan tuannya. Akan tetapi, tindakan melintasi batas itu masih dibayang-bayangi
norma yang ditandai dengan munculnya rasa bersalah. “Kita orang sudah kelewat berdosa mengelabui tuan.”
177
Dalam Cerita Nyai Ratna bisa dikatakan bahwa hubungan gender adalah sesuatu yang dinamis di mana terjadi negosiasi antara tokoh nyai dan tuan: dengan
menjadi nyai, seorang perempuan memiliki akses terhadap materi dan hal ini lantas memungkinkan ia untuk mencari kesenangan lain di luar hubungan
tersebut. Di dalam cerita tokoh nyai tampil sebagai sosok yang sadar akan seksualitasnya dan berani mengungkapkan hal tersebut kepada lawan jenisnya.
175
Toer, Sang Pemoela, 415.
176
Toer, Sang Pemoela, 407.
177
Toer, Sang Pemoela, 388.
89 Dengan kata lain, tokoh nyai tersebut melintasi batas-batas norma yang
menabukan ekspresi seksual berikut kenikmatan yang ditimbulkannya meskipun hal tersebut tak luput dari rasa bersalah, bayang-bayang dari sistem nilai yang
tengah dilanggarnya. Ditinjau dari keseluruhan cerita, Hikayat Siti Mariah secara dominan
hendak menyampaikan bahwa pernyaian itu positif. Hubungan antara nyai dan tuan mungkin saja didasari cinta timbal-balik yang tulus. Mereka bisa saja hidup
bahagia di dalam ikatan semacam itu. Meskipun demikian, faktor-faktor lain seperti tatanan nilai mengenai apa yang pantas dan tidak pantas dalam hubungan
kedua belah pihak yang berbeda ras dan status sosial sangat mempengaruhi hubungan tersebut. Oleh karena itulah, pernyaian kemudian menjadi sesuatu yang
negatif. Pernyaian ternyata tidak mampu mengakomodasi cinta antara tuan dan nyainya.
Dalam Hikayat Siti Mariah dikisahkan dengan jelas hubungan antara Siti Mariah dan Tuan Henri Dam didasarkan atas cinta satu sama lain. Mereka pun
sama-sama berjuang agar hubungan mereka direstui terutama oleh ayah angkat Mariah. Secara umum, cerita ini menyampaikan pesan bahwa hubungan pernyaian
itu lebih buruk jika dibandingkan perkawinan yang sah. Selain memiliki kecantikan fisik yang menawan, Siti Mariah juga
digambarkan sebagai nyai yang setia, mencintai tuannya setulus hati serta mengasihi anak yang lahir dari hubungan cinta mereka. Akan tetapi, kehidupan
mereka yang bahagia itu menjadi rusak karena status sosial yang disandang Henri membuat Siti Mariah tidak layak mendampinginya sebagai seorang istri yang sah.
90 Jika pada Tjerita Njai Dasima, upaya jahat itu datang dari lelaki yang ingin
merongrong hartanya maka pada Hikayat Siti Mariah hal itu berasal dari Nyonya von Holstein yang hendak menjadikan Henri menantunya.
Terlepas dari sifat-sifat baik yang dimilikinya, sesuatu yang bisa dikatakan sebagai stereotipe yang positif dari seorang nyai, Siti Mariah akhirnya dipisahkan
dari Henri dengan berbagai cara, termasuk dengan pertolongan dukun dan guna- guna. Di sini Siti Mariah yang Indo dianggap lebih rendah statusnya daripada Luci
von Holstein yang adalah Belanda totok dan anak pemilik pabrik gula Sokaraja yang terpandang. Hubungan cinta timbal-balik antara seorang nyai dan tuannya
pun tidak mendapat tempat di dalam sistem masyarakat kolonial yang menjunjung kemurnian ras.
Dalam cerita ini, persoalan seksualitas tidak terlalu disoroti. Namun, dalam salah satu adegan dikisahkan bagaimana Siti Mariah mulai jatuh cinta.
“Setelah tubuhnya yang telanjang sewaktu mandi di pancuran tertampak oleh Henri Dam hatinya mulai dipenuhi sesuatu yang indah dan manis, seindah dan
semanis Henry[sic.] Dam sendiri. Ini dia Aduh, si geulis Mariah mulai birahi. Tumbuh rasa sayang pada Henri Dam, pada seorang lelaki.”
178
Bisa dikatakan Siti Mariah, kendati mencintai Henri Dam, mengambil sikap pasif dan menunggu.
Dengan kata lain, sikapnya bersesuaian dengan norma sosial yang memposisikan perempuan sebagai objek yang pasif. Ini berlawanan dengan Luci von Holstein
yang aktif mendekati Henri meskipun pada waktu itu Henri statusnya masih terikat dengan Siti Mariah.
178
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 120.
91 Pada salah satu bagian, dikisahkan bahwa sebelum kematiannya, Nyonya
Luci sempat membuat pengakuan kepada Henri tentang perselingkuhannya dengan beberapa lelaki Eropa lain dan bahkan hubungan di luar perkawinan itu
telah menghasilkan seorang anak perempuan, Marie, yang dianggap Henri sebagai anaknya sendiri.
“Henri tentu belum lupa pada tuan Van Goldstein, yang selagi kita kawin menumpang di rumah mama Salemba sebulan. Dia adalah kekasih saya.
Ingin sekali saya kawin dengannya, tapi mama melarang. Saya dipaksanya mengawini kau, Henri. Saya mengikuti perintah mama. Jangan terkejut,
Henri, tuan van Goldstein sesungguhnya papa Marie. Goldstein namanya, Hubrecht nama depannya, Amersfoort negeri asalnya. Itu sebabnya
sekarang saya mengambil nama itu, kubawa sampai mati. Ya Henri, betapa jahatnya saya. Tak hendak semua dibawa mati. Dengan kematian semua
berakhir. Anak saya yang keguguran adalah akibat hubungan dengan Booghuizen.”
179
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa meskipun hubungan antara Siti Mariah dan Henri Dam didasari cinta, hubungan tersebut tidak
berterima karena ada dimensi lain yang menyertainya, yakni ras Eropa versus bukan Eropa. Hubungan gender di sini diimbuhi oleh kategori ras sehingga tokoh
Siti Mariah terkungkung oleh determinasi kekuasaan kolonial yang menempatkan perempuan Eropa di atas perempuan pribumi maupun Indo. Akan tetapi, kendati
diposisikan sebagai objek dari kekuasaan kolonial, Siti Mariah tetap menemukan ruang untuk menyintas. Ia mengubah-ubah identitasnya sebagai lelaki dan
perempuan ketika berkelana mencari anaknya, hingga akhirnya menikah dengan Tuan Esobier. Terkait dengan aspek seksualitas, Siti Mariah tidak menunjukkan
sikap melanggar norma yang berterima secara sosial. Ia tetap setia pada tuan yang
179
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 304.
92 ia cintai namun telah “mengkhianatinya.” Kesetiaan itu pun berakhir bahagia:
pada akhirnya ia bisa bersatu lagi dan menikah secara resmi dengan Henri Dam. Ambivalensi cerita ini tampak dalam pesan khusus dari cerita: pernyaian
ternyata lebih mampu mengakomodasi cinta. Ketika Mariah dan Henri terpisah, Mariah justru tidak bahagia. Demikiannya Henri yang menikah secara resmi
dengan Luci von Holstein. Ternyata hubungan yang ideal justru terjadi ketika mereka masih berada hidup sebagai nyai dan tuan.
Secara keseluruhan dari keempat cerita yang dipaparkan di atas, bisa dirangkum beberapa hal sebagai berikut. Dalam Tjerita Njai Dasima tokoh nyai
digambarkan dengan ciri-ciri feminin: rajin, terampil dalam mengerjakan urusan domestik, setia, dan sebagainya. Dasima adalah stereotipe nyai yang “baik.” Jika
pada awalnya ia adalah sosok yang setia, maka berkat bujukan pihak luar Dasima pun berubah menjadi tidak setia dan “memberontak” dengan cara minta bercerai
lalu meninggalkan anak dan tuannya. Sementara itu, dalam Tjerita Nji Paina di luar kecantikan fisik, Paina adalah sosok anak yang patuh, berbelas kasihan pada
orang tuanya sehingga ia bersedia menjadi nyai untuk menyelamatkan sang ayah. Berbeda dengan kedua cerita sebelumnya, tokoh Nyai Ratna dalam Cerita Nyai
Ratna awalnya tampil sebagai sosok perempuan yang baik, setia, tabah menjalani nasib yang tidak baik disia-siakan oleh suaminya. Namun demikian, statusnya
berubah menjadi seorang nyai, ia pun menjadi sosok perempuan yang tidak setia, agresif, gemar mencari kesenangan di luar hubungan dengan tuannya. Di sini
Ratna hadir sebagai stereotipe nyai yang “tidak baik.” Pada Hikayat Siti Mariah, tokoh Siti Mariah digambarkan sebagai sosok yang setia, tabah dan tegar
93 menjalani takdir yang diakibatkan statusnya sebagai nyai seorang lelaki Eropa
yang berpangkat tinggi dalam masyarakat kolonial. Ia tetap setia meski dikhianati. Mariah juga memenuhi stereotipe nyai yang “baik.”
Relasi gender dalam keempat cerita digambarkan sebagai sesuatu yang dinamis di mana para tokoh nyai tersebut mampu menegosiasikan posisinya
dengan beragam cara. Dasima berselingkuh dengan Samioen, sedangkan Paina menularkan penyakit cacar kepada Briot yang menghantarnya pada kematian.
Sementara itu, Ratna berselingkuh dengan lelaki dicintainya maupun lelaki-lelaki lain hanya untuk mencari kesenangan dan Siti Mariah mengubah-ubah
identitasnya sembari tetap setia dan berpegang teguh pada tujuan mencari anaknya.
Persoalan seksualitas juga dieksplorasi di sini meskipun tidak semua cerita mengungkapnya dengan jelas. Dasima dan Ratna bisa dikatakan sebagai tokoh
nyai yang menyadari seksualitasnya. Dasima berselingkuh dengan Samioen, sementara Ratna menjalin cinta dengan Sambodo maupun Karel de Vos, serta
“membeli lelaki” demi kesenangan semata. Di sini, tokoh yang sadar akan seksualitasnya dan mengungkapkan hal tersebut justru nasibnya berakhir tragis:
Dasima mati dibunuh, sedangkan Ratna pada akhirnya terlunta-lunta setelah meracun tuannya hingga mati.
Di dalam Tjerita Nji Paina persoalan seksualitas mengemuka dengan cukup jelas di mana pada awalnya Paina menjadi objek birahi dari Tuan Briot.
Akan tetapi, Paina lantas secara aktif menolak Tuan Briot yang secara fisik buruk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94 rupa dan jahat. Selain itu, penolakan Paina terhadap Tuan Briot ini juga terkait
dengan perasaan jijik akan menjadi objek seks dari lelaki yang ia benci tersebut. Sementara itu, meski dalam Hikayat Siti Mariah sempat disinggung
bagaimana Siti Mariah mulai jatuh cinta pada Henri Dam, tidak digambarkan secara jelas bagaimana ia mengalami seksualitasnya. Namun, hal itu mungkin
tergambar ketika Siti Mariah dilawankan dengan tokoh Luci van Holstein yang agresif dan berselingkuh dengan beberapa lelaki yang ia cintai di luar
pernikahannya dengan Henri. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kedua tokoh ini tidak mengungkapkan seksualitasnya dan justru pasif. Pada akhir cerita,
kedua tokoh yang tidak mengungkapkan seksualitasnya ini justru bernasib baik: mereka menikah dengan orang yang dicintai dan bahagia.
Jika diinterpretasikan lebih lanjut, pembacaan dari detil-detil cerita menunjukkan bahwa ketika nyai berusaha menjadi subjek yang aktif Dasima dan
Ratna, ia justru bernasib sial walaupun ini tidak terlalu berlaku untuk Paina. Sementara jika nyai tersebut tetap tinggal menjadi subjek yang pasif Mariah,
dengan tetap berada dalam batas-batas stereotipe sosok nyai yang “baik” setia, tabah, tegar, dan sebagainya, ia justru beruntung. Bisa dikatakan terlepas dari
“ruang-ruang pembebasan” yang ditawarkannya, cerita-cerita ini patriarkis. Ini terkait dengan penulisnya yang semuanya laki-laki dan menulis dari sudut
pandang laki-laki.
3. Ras