Di Hindia Belanda Sikap terhadap pergundikan di barak

37 religius. Dengan adanya berbagai pertimbangan semacam ini, pengaturan perkawinan lelaki Eropa dengan gundiknya tidak dapat begitu saja diberlakukan. 75 Pada 1911 pembedaan status antara istri yang dinikahi secara legal– meskipun dia pribumi–dan gundik ditekankan dengan tegas. Gundik hanyalah pelayanpembantu servant dan tidak lebih dari itu. 76 Hanneke Ming menyebutkan bahwa dalam laporan awal Dewan Kedua tahun 1912 sudah muncul keinginan untuk menghapuskan pergundikan barak secara total. Salah seorang anggota parlemen menuntut suatu investigasi yang cermat mengenai gaya hidup gundik, di dalam maupun di luar barak. Sementara itu, posisi pemerintah Belanda makin tegas. Pernikahan harus didukung. Memang kebijakan tersebut membutuhkan biaya yang tinggi. Namun, pemerintah sudah bersiap-siap mendukung kebijakan ini dengan syarat beban anggaran tidak berlebihan. 77 Sebagai contoh, perumahan dinas harus disediakan bagi para pegawai nonkomisi noncommissioned officer. Kendati, persiapan untuk perumahan tersebut belum memadai, langkah awal sudah diambil, yakni dengan menghapus pergundikan bagi kopral dan tentara tingkat rendah. Pada 1915 hanya ada sedikit pertanyaan di Dewan Kedua berkenaan dengan kemungkinan pengelakan larangan terhadap pergundikan.

3.1.2 Di Hindia Belanda

Meskipun terjadi peningkatan “Eropanisasi” dalam hubungan sosial di Hindia, sikap terhadap perilaku seksual tetap relatif toleran, setidaknya yang 75 Ming, “Barracks-Concubinage,” 80. 76 Ming, “Barracks-Concubinage,” 80. 77 Ming, “Barracks-Concubinage,” 81. 38 terkait dengan lelaki Eropa. Baik rezim di Hindia dan Komando Tinggi TentaraAngkatan Darat army memandang pergundikan sebagai sebentuk kejahatan yang tak terelakkan dengan tekanan pada “tak terelakkan”. Sementara itu, para penentangnya di Den Haag menekankan setajam mungkin pada “kejahatan” evil. 78 Salah satu penentang pergundikan di Hindia ialah Uskup Batavia 1887 yang menyatakan bahwa pergundikan tidak lolos uji dari prinsip-prinsip moralitas Kristen yang baik. Pada 1894 Liga Pemuda Milter Kristen League of Christian Military Youth menyatakan bahwa hubungan kohabitasi antara lelaki Eropa dan perempun pribumi jelas-jelas ditandai oleh karakter tuan-budak yang eksploitatif. Mereka mengecam keras standar ganda dari Komando Tinggi Angkatan Darat: di satu sisi standar tersebut menghargai perempuan yang memiliki “kelakuan yang bebas dari kesalahantak bercela” irreproachable conduct, namun di sisi lain standar itu secara efektif mendefinisikan mereka sebagai sundal whores karena semua perempuan Jawa dianggap pantas mendapatkan julukan penghinaan ini. 79 Sementara itu, Koot, editor Indies Circle of Vegetarians menyebutkan bahwa “siapapun yang tinggal dengan gundik pribumi menikmati hubungan hewani alih- alih hubungan manusiawi dengannya.” 80 Liga tentara Kristen untuk Hindia Timur dan Barat mengizinkan perang atau pemberantasan pergundikan di barak dengan cara menempatkan orang Eropa yang tinggal dengan gundiknya di antara orang-orang pribumi. Usulan lain tentang penempatan ini datang dari Asosiasi Pejabat Kristen Nasional National 78 Ming, “Barracks-Concubinage,” 81. 79 Ming, “Barracks-Concubinage,” 81. 80 Ming, “Barracks-Concubinage,” 82. 39 Christian Officers’ Association yang menyetujui eliminasi perlahan-lahan pergundikan dan penempatan yang terpisah antara tentara Eropa dan pribumi. 81 Pada 1904 para administrator dan pejabat tinggi militer diperingatkan akan konsekuensi berbahaya dari pergundikan bagi karier masa depan mereka. Jenderal Boetje sendiri mengatakan bahwa memang pergundikan yang dilakukan secara terbuka antara pejabat dengan gundiknya sudah jarang. 82 Pergundikan sekarang hanya berlangsung secara rahasia sehingga tindakan ini tidak lagi melukai sensibilitas moral yang melingkupi masyarakat. 83 Mr. Bogaardt, editor Java-Post, menolak pergundikan karena tidak Kristiani dan imoral. Dia memandang pergundikan sebagai transaksi antara dua pihak di mana lelaki bertindak sebagai pembeli dan perempuan sebagai penjual. 84 Sementara itu sikap Komando Tinggi Angkatan Darat terhadap kohabitasi konsisten. Pada 1887 Komandan Angkatan Darat menyatakan pendapatnya bahwa tentara tingkat bawah tidak seharusnya didorong untuk menikah karena ini akan berbahaya bagi pelaksanaan tugas mereka. Pendapat ini didukung oleh pernyataan Kepala Korps KesehatanMedis bahwa pergundikan mencegah kontak homoseksual. Sebagian besar pejabat juga berpikiran serupa. 85 Pada 1908 Komandan de Bruyn salah satunya menekankan sekali lagi pentingnya pergundikan bagi semangat tentara. Dua musuh terbesar dari semangat tempur tentara, katanya, ialah alkoholisme dan penyakit kelamin. Tampaknya para tentara yang hidup dalam pergundikan secara proporsional tidak terjangkit penyakit 81 Ming, “Barracks-Concubinage,” 82. 82 Ming, “Barracks-Concubinage,” 82. 83 Ming, “Barracks-Concubinage,” 83. 84 Ming, “Barracks-Concubinage,” 83. 85 Ming, “Barracks-Concubinage,” 83. 40 menular seksual dan lebih jarang mabuk-mabukan. Hal tersebut dipandang sebagai keuntungan pergundikan barak. 86 Dalam General Order Nomor 28 tahun 1908 disebutkan bahwa tentara Eropa boleh menikahi gundiknya hanya jika gundiknya berkelakuan tak bercela dan memiliki satu atau lebih anak dengannya. 87 Bagaimana sikap pemerintah Hindia secara umum? Sudut pandang pemerintah Hindia sebagian besar identik dengan pimpinan militer. Pada 1889 Raad van Indies Council of the Indies mengungkapkan secara eksplisit pemihakannya terhadap berlanjutnya pergundikan barak. 88 Gubernur Jenderal Rooseboom yang menjabat dari 1889 hingga 1904 memaklumkan dirinya sebagai pendukung langgengnya pergundikan. Pada 1903 ia menentang ordinansi yang diusulkan van Vlijmen karena ia melihat tidak ada cara yang lebih baik untuk membatasi penyebaran penyakit menular seksual di antara para tentara Eropa selain pergundikan. 89 Commision on Pauperism, yang didirikan oleh rezim Hindia, tidak merestui pergundikan barak dari sudut pandang moral, namun menerimanya dalam praktik sebagai necessary evil. Pergundikan di luar barak dilihatnya dua kali lebih buruk. 90 Hanya pada 1912 untuk pertama kalinya muncul tanda friksi yang jelas antara pandangan pemerintah dan pimpinan militer. Van Heutsz sebagai eks militer tidak keberatan terhadap institusi tersebut. Namun demikian, pada 1912 Gubernur Jenderal Idenbut 1900-1916 secara langsung menentang posisi para pimpinan angkatan darat dengan menarik larangan perkawinan dengan gundik 86 Ming, “Barracks-Concubinage,” 84. 87 Ming, “Barracks-Concubinage,” 85. 88 Ming, “Barracks-Concubinage,” 86. 89 Ming, “Barracks-Concubinage,” 86. 90 Ming, “Barracks-Concubinage,” 86. 41 tanpa anak. Hal ini diikuti pernyataan tentang pergundikan barak dan keputusan untuk menghapuskannya secara perlahan-lahan pada 1913. 91 Pemerintah berkewajiban untuk mengatur kelakuan perwakilannya untuk tidak melanggar prinsip dasar moralitas sebagaimana dimanifestasikan dalam hukum dan opini publik. Alih-alih mencegah berlakunya moral tersebut, pemerintah telah bertindak untuk melindungi kejahatan moral ini—beserta konsekuensinya juga secara sosial—dan dengan menyatakan bahwa hal itu telah menggerogoti kesadaran moral masyarakat luas. Oleh karena itu pergundikan di barak tidak dapat didukung untuk jangka panjang, dan secara perlahan-lahan harus lenyap. 92 Pada 1919 Gubernur Jenderal van Limburg Stirum mengumumkan secara publik pengahapusan total pergundikan di barak. Salah satu argumen yang diajukan untuk membuat penghapusan tersebut diterima dan dipahami ialah fakta bahwa apa yang disebut milisi Eropa akan dibentukdilembagakan. Karena ini berarti makin besar kontak antara kalangan militer dan masyarakat sipil, apa yang dikutuk oleh masyarakat tidak bisa ditolerir lagi secara terbuka di kalangan militer. 93 Bagaimana sikap dari kalangan pribumi sendiri? Menurut Koks, pada masa Coen kaum pribumi enggankeberatan mengizinkan putrinya memiliki kontak sosial dengan orang Eropa, kecuali lelaki Eropa tersebut menjalankan tugas militer. Buktinya, tidak ada perubahan nyata dalam sikap ini setelahnya. Posisi sosial orang Eropa dan tempat asal kaum pribumi tampaknya berperan dalam menentukan sikap terkait dengan pernikahan campuran atau kohabitasi. 91 Ming, “Barracks-Concubinage,” 86. 92 Ming, “Barracks-Concubinage,” 86. 93 Ming, “Barracks-Concubinage,” 87. 42 Orang Sunda, Menado dan Ambon tampaknya bersedia memberi izin anaknya menikah dengan orang Eropa. 94 Sebagaimana disebutkan Ming pada 1919 muncul penolakan langsung dari kalangan pribumi terhadap pergundikan. Dr. Cipto Mangunkusumo, misalnya, menulis bahwa seorang perempuan pribumi tidak seharusnya menjadi “pelayan ekstra” extraordinary maidservant alias gundik dan pantas melewati hari- harinya dengan bersembunyi “jauh di dalam kampung sebagai ibu dari anak-anak yang baik.” 95

4. Berakhirnya pernyaian