35 Di kalangan para pegawai non-komisi dan golongan rendah, tingkat
abstinensi lebih merupakan “persoalan kecenderungan alami dan terkait kondisi keuangan alih-alih standar-standar moral.”
68
Aturan Jenderal General Order Nomor 621872 memberikan persetujuan terhadap pernikahan hanya di bawah
kondisi-kondisi yang sangat terbatas. Dari kondisi ini bisa disimpulkan bahwa jika seorang tentara tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualnya dalam perkawinan,
dia harus mencari pemuasan di luar institusi tersebut. Dia bisa mengambil seorang gundik atau mengunjungi rumah bordil.
69
Namun, dalam kenyataannya tentara yang berpenghasilan tinggi baru mampu menghidupi gundik.
70
3.1. Sikap terhadap pergundikan di barak
Perubahan sikap terhadap pergundikan dari persetujuan resmi ke ketidaksetujuan, serta penghapusan pergundikan di barak secara perlahan-lahan,
bisa disimak dalam surat-menyurat antara para administratorpetinggi di Belanda dan Hindia.
71
3.1.1. Di Belanda
Pada 30 Juni 1887 Menteri Jajahan Sprenger van Eyk meminta nasihat dari bagian administrasi Hindia tentang bagaimana mempengaruhi kondisi hidup di
barak. Getuigen en Redden, sebuah badan dari Liga Belanda melawan Prostitusi, memberitakan tentang kehidupan domestik di barak sebagaimana diungkapkan
68
Ming, “Barracks-Concubinage,” 70.
69
Ming, “Barracks-Concubinage,” 70.
70
Ming, “Barracks-Concubinage,” 71.
71
Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.
36 mantan misionaris E. Haan bahwa “barak-barak ini, setidaknya di Batavia, tidak
bisa dibedakan dari rumah bordil”.
72
Pada 1888 salah seorang anggota parlemen, Franciscus van Vlijmen, mengangkat isu ini hingga ke Dewan Kedua Tweede Kamer. Menteri untuk
Daerah Koloni Levinus Keuchenius menyimpulkan bahwa “persetujuan bagi pergundikan secara fundamental jahat, dan oleh karena itu, sudah diputuskan
untuk menghapus institusi tersebut secara perlahan-lahan.”
73
Hal ini kemudian diikuti pendirian partisi di barak untuk menciptakan privasi bagi pasangan
kohabitasi. Pada November 1896, van Vlijmen sekali lagi mengutuk institusi tersebut
di depan Dewan Kedua dan pada 1903, ia mengajukan proposal dengan menetapkan tanggal pasti sebagai batas waktu larangan kohabitasi. Setelah waktu
tersebut tentara baru yang tiba di Hindia tak lagi diizinkan berkohabitasi. Namun, proposal ini ditolak karena Menteri takut akan meningkatnya perkawinan yang
nantinya bisa menggerogoti semangat tempur para tentara.
74
Pada 1904 Dr. Adriaanse, salah satu penentang pergundikan di Hindia, mengajukan usulan tentang perubahan hukum. Keberadaan seorang anak dari
hubungan lelaki Eropa dan nyai hanya akan sah jika ayahnya mau menikahi sang ibu. Namun, usulan ini ditolak karena dianggap tidak praktis. Salah satu anggota
Dewan Kedua lainnya, de Waal Malefijt menentang pergundikan karena alasan
72
Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.
73
Ming, “Barracks-Concubinage,” 79.
74
Ming, “Barracks-Concubinage,” 80.
37 religius. Dengan adanya berbagai pertimbangan semacam ini, pengaturan
perkawinan lelaki Eropa dengan gundiknya tidak dapat begitu saja diberlakukan.
75
Pada 1911 pembedaan status antara istri yang dinikahi secara legal– meskipun dia pribumi–dan gundik ditekankan dengan tegas. Gundik hanyalah
pelayanpembantu servant dan tidak lebih dari itu.
76
Hanneke Ming menyebutkan bahwa dalam laporan awal Dewan Kedua tahun 1912 sudah muncul
keinginan untuk menghapuskan pergundikan barak secara total. Salah seorang anggota parlemen menuntut suatu investigasi yang cermat mengenai gaya hidup
gundik, di dalam maupun di luar barak. Sementara itu, posisi pemerintah Belanda makin tegas. Pernikahan harus didukung. Memang kebijakan tersebut
membutuhkan biaya yang tinggi. Namun, pemerintah sudah bersiap-siap mendukung kebijakan ini dengan syarat beban anggaran tidak berlebihan.
77
Sebagai contoh, perumahan dinas harus disediakan bagi para pegawai nonkomisi noncommissioned officer. Kendati, persiapan untuk perumahan tersebut belum
memadai, langkah awal sudah diambil, yakni dengan menghapus pergundikan bagi kopral dan tentara tingkat rendah. Pada 1915 hanya ada sedikit pertanyaan di
Dewan Kedua berkenaan dengan kemungkinan pengelakan larangan terhadap pergundikan.
3.1.2 Di Hindia Belanda