1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Dalam perkuliahan “Sastra Etnik” saya berkenalan dengan khazanah sastra yang ditulis dalam bahasa Melayu lingua franca,
1
atau sering juga disebut Melayu Rendah.
2
Melayu lingua franca dibedakan dengan bahasa Melayu baku, yakni Melayu Tinggi yang diakui sebagai bahasa Melayu standar oleh pemerintah
Hindia Belanda kala itu. Bahasa Melayu jenis ini mulanya merupakan alat komunikasi lisan antar pelbagai bangsa dan suku di Nusantara. Pada
perkembangan selanjutnya, ia dipergunakan dalam surat kabar dan berbagai media tertulis lainnya.
Yang mengherankan ialah kenyataan bahwa karya-karya sastra berbahasa Melayu Rendah ini ternyata tidak mendapat pengakuan dalam sejarah sastra
Indonesia modern. Padahal, ada begitu banyak karya sastra yang ditulis baik oleh kalangan Pribumi, peranakan Tionghoa, maupun peranakan EropaBelanda.
3
Menurut penemuan peneliti Perancis Claudine Salmon, karya yang ditulis
1
Istilah Melayu lingua franca ini diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pram menyebut karya sastra yang memakai bahasa ini sebagai sastra Melayu lingua franca, sastra asimilatif, atau
sastra pra-Indonesia. Ihwal lebih lanjut seputar persoalan ini bisa dibaca dalam Tempo Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia Jakarta: Hasta Mitra, 1982, 9-11. Akan tetapi, dalam bagian
selanjutnya dalam tulisan ini saya akan menggunakan Melayu Rendah karena lebih populer dipakai dalam wacana sastra secara umum meskipun penamaan istilah ini juga problematis.
2
Lihat Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004.
3
Toer, Tempo Doeloe, 2.
2 peranakan Tionghoa saja mencapai 3.005 karya dari 806 penulis.
4
Ditinjau dari aspek isi, Pramoedya Ananta Toer menyebutkan bahwa karya sastra Melayu
Rendah ini sudah memiliki ciri yang membedakannya dengan karya sastra tradisional-konvensional lama, yakni pernyataan diri pribadi self expression.
5
Bisa dikatakan, kehadiran karya-karya ini memberi dasar bagi lahirnya sastra Indonesia pada periode selanjutnya.
Di sini perlu disimak juga bagaimana situasi masyarakat pada masa kolonial Hindia Belanda. Secara umum masyarakat—khususnya di daerah
perkotaan—yang terdiri dari orang Tionghoa dan Asia lainnya, Indo peranakan Eropa-Asia dan peranakan Tionghoa hidup berdampingan dengan bangsa Eropa.
Berbagai kelompok yang ada ini membentuk sebuah masyarakat majemuk yang dinamis. Dalam situasi semacam itu, orang pun turut menciptakan identitasnya,
baik yang terbentuk karena ras, gender dan sedikit-banyak kelas sosial. Persoalan identitas ini pun tercermin dalam berbagai karya sastra yang lahir selama kurun
waktu tersebut. Dalam khazanah sastra yang merepresentasikan kehidupan di Hindia
Belanda, persoalan jenis bahasa yang digunakan sang pengarang dalam menulis pun menjadi penting. Maka, perlu dibedakan antara teks yang ditulis dalam bahasa
Belanda dan bahasa Melayu.
6
Karya berbahasa Belanda umumnya diterbitkan di
4
Claudine Salmoon mencatat 3005 karya tersebut terdiri dari 2.757 karya dari penulis yang teridentifikasi serta 248 karya dari penulis anonim. Keseluruhan karya tersebut mencakup 73
naskah drama, 183 puisi dalam bentuk syair, 233 terjemahan karya berbahasa Eropa, 759 karya terjemahan karya berbahasa Tionghoa, serta 1.398 novel dan cerita pendek. Lihat Claudine
Salmon, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia A Provisional Annotated Bibliography Paris: De la Maison des Sciences de LHomme, 1981, 10.
5
Toer, Tempo Doeloe, 12.
6
Tineke Hellwig, “Scandals, Homicide in Batavia and Indo Identity,” Archipel 63 2002: 153- 172.
3 Belanda dengan golongan pembaca yang sama sekali berbeda dengan para
pembaca karya sastra berbahasa Melayu. Selain itu, pengarang yang menulis dalam bahasa Belanda sering dianggap menyuarakan sudut pandang penjajah the
colonizer dengan titik berdiri golongan penguasa Eropa kulit putih yang superior. Para pengarang ini mengikuti tren penulisan naturalistik yang bermula di Perancis
sebagaimana dipelopori Emile Zola. Karya-karya pengarang berbahasa Belanda ini, mulai dari novel, cerita, drama hingga puisi, lazim dibaca dan dikaji dalam
lingkungan akademi di Belanda. Karya berbahasa Melayu dalam kurun waktu yang sama masih jarang
dikaji. Cerita dan syair yang juga mengisahkan peristiwa hidup sehari-hari ini biasanya disebut sastra populer Melayu Rendah, karena merujuk pada medium
bahasa yang dipakai dalam penuturannya.
7
Karya-karya berbahasa Melayu Rendah kerap disubordinasikan dari karya sastra berbahasa Melayu Tinggi
klasik yang direstui pemerintah sehingga luput dari kajian intelektual. Para penulis karya berbahasa Melayu Rendah umumnya menyajikan cerita dengan
menekankan bahwa cerita yang disampaikan merupakan peristiwa yang benar- benar terjadi. Memang sumber cerita pada masa itu biasanya berasal dari surat
kabar dan sebagian besar pengarangnya adalah para wartawan. Kebanyakan cerita mengisahkan kasus kriminal, pembunuhan, pemerkosaan, bunuh diri, dan
sebagainya.
7
Pembedaan Melayu Rendah versus Melayu Tinggi adalah persoalan politis. Bahasa Melayu Tinggi sengaja dipakai pemerintah kolonial untuk membakukan bahasa Melayu yang selanjutnya
dipakai di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Pada akhirnya, tepatnya pada 14 September 1908, didirikan juga Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur—yang
kelak menjadi Balai Pustaka—untuk memproduksi bacaan yang menunjang pengajaran di sekolah.
4 Cerita-cerita tentang nyai termasuk salah satu tema yang kerap diangkat,
karena pernyaian memang merupakan kondisi yang riil dalam kehidupan sehari- hari masyarakat kolonial. Di antaranya ialah Tjerita Njai Dasima G. Francis,
Tjerita Nji Paina H. Kommer, Tjerita Njai Ratna Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Boenga Roos dari Tjikembang Kwee Tek Hoay, Njai Soemirah Thio
Tjhin Boen, dan Hikajat Siti Mariah Haji Mukti. Balai Poestaka sebagai alat sensor pemerintah berupaya meminggirkan kisah-kisah nyai ini dan
menggolongkannya sebagai “roman picisan” karena dianggap tidak bernilai sastra dan tidak mendidik. Di antaranya dengan mempromosikan buku-buku terbitan
Balai Pustaka yang dikampanyekan sebagai bacaan “bermutu.” Banyaknya cerita yang bertutur tentang kisah nyai ini membentuk sebuah genre tersendiri dalam
khazanah sastra pra-Indonesia, yakni genre cerita nyai.
8
Sebagaimana telah disebutkan di atas, struktur masyarakat pada masa kolonial dibentuk berdasarkan ras. Golongan Eropa Totok dan Indo menempati
kelas satu, diikuti keturunan Tionghoa dan Arab sebagai warga kelas dua dan masyarakat Pribumi sebagai kelas terbawah dari stratifikasi sosial. Golongan
Pribumi masih terbagi lagi, yakni golongan priyayi dan kelompok rakyat jelata yang terpuruk pada posisi paling bawah dalam stratifikasi ini.
Diskriminasi rasial
ini pada akhirnya melahirkan serangkaian konsekuensi yang menyudutkan masyarakat Pribumi. Segala bentuk pelayanan publik mulai
dari pendidikan, layanan sosial, pengadilan, pengaturan upah kerja dan lain sebagainya diatur menurut stratifikasi tadi. Selain itu, kolonialisme menggandeng
8
Setidaknya istilah ini ditemukan dalam kajian Tineke Hellwig sebagaimana dikutip Thomas Hunter,”Indo as Other” dalam Clearing A Space: Postcolonial Readings of Indonesian Literature,
disunting oleh Keith Foulcher dan Tony Day Leiden: 2002, 116.
5 feodalisme, khususnya di Jawa, untuk makin memantapkan penindasannya kepada
kaum bumiputera. Pejabat kolonial menggunakan tangan pejabat priyayi untuk memungut pajak dari rakyat. Para pejabat yang berhasil melakukan tugasnya ini
dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah kolonial.
9
Tak ayal, para penguasa lokal ini pun tak segan-segan menekan rakyatnya demi “mencari muka” di depan
kekuasaan kolonial. Adapun
Tanam Paksa
Cultuurstelsel bermula dari kebangkrutan perekonomian negeri Belanda akibat membiayai upaya menumpas pelbagai
pemberontakan dan perang di negeri jajahan. Di antaranya, Perang Diponegoro dan Perang Aceh yang berlangsung hingga puluhan tahun. Untuk mengatasi
masalah ekonomi di dalam negeri Belanda, pemerintah kolonial di Hindia mewajibkan rakyat jajahan membayar pajak sebanyak kira-kira seperlima dari
luas tanah di seluruh desa di Jawa.
10
Penderitaan rakyat negeri jajahan yang luar biasa memunculkan kecaman dari golongan liberal. Seiring dengan keadaan ini, kaum borjuis di Belanda
mendesak dihapuskannya monopoli pemerintah dan digantikan dengan sistem persaingan bebas ala kapitalisme liberal yang tengah marak di Eropa. Selain itu,
para borjuis ini menuntut agar pihak swasta diizinkan mengelola perkebunan di negeri jajahan. Undang-Undang Agraria Agrarische Wet yang disahkan pada 9
April 1870 menjawab persoalan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam Tanam Paksa dan membuka peluang bagi para investor asing baik Belanda
maupun golongan Eropa lainnya.
9
Linda Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, Prisma 10 Oktober 1994, 22.
10
Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, 22.
6 Pada kurun waktu inilah lahir perkebunan-perkebunan swasta yang
kemudian membutuhkan banyak tenaga kerja. Selain mempekerjakan rakyat bumiputra, perusahaan swasta pun mendatangkan orang-orang Eropa. Sebagian
besar di antaranya laki-laki, baik yang sudah menikah maupun lajang. Akan tetapi, kebanyakan pria Eropa yang sudah menikah tidak membawa serta
keluarganya karena kondisi ekonomi yang belum memungkinkan. Karena sedikitnya jumlah perempuan Eropa di negeri jajahan dibandingkan dengan
jumlah laki-laki yang datang, pergundikan atau pernyaian concubinage
11
makin meningkat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pernyaian telah menjadi bagian dari sejarah yang membentuk masa lalu kolonial. Akan tetapi, sebagai sebuah kenyataan
sosial, ia seolah-seolah disangkal keberadaannya karena kepentingan golongan yang berkuasa. Dalam hal ini pemerintah kolonial di masa lalu sangat
berpengaruh dalam “membungkam” keberadaan institusi yang bisa jadi mencoreng citra orang-orang Eropa sebagai ras yang superior ini—gagasan yang
telah menjadi salah satu alasan pembenaran bagi kolonialisme. Selain itu, pernyaian yang merupakan hubungan “tidak resmi” atau “ilegal” ini selain
dipandang “tidak pantas” dari segi moral juga membawa berbagai akibat yang cukup rumit. Misalnya saja, tumbuhnya golongan masyarakat baru, yakni orang-
orang Indo, sebagai hasil dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan pribumi tersebut. Meskipun demikian, sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap
11
Tineke Hellwig juga memakai istilah nyai-hood untuk fenomena di Hindia Belanda ini. Lihat Hellwig, “Menguasai Tubuh Perempuan”, Basis 09-10 September-Oktober 2003: 60.
7 pernyaian pada masa itu amatlah pragmatis sehingga berubah-ubah sesuai dengan
kepentingan dan tuntutan keadaan pada waktu itu. Fenomena pernyaian pun mengalami perubahan bentuk dari waktu ke
waktu. Awalnya, kata “nyai”
12
merujuk pada perempuan yang tinggal di kediaman laki-laki Eropa sebagai pengurus rumah tangga yang mengatur segala kebutuhan
tuannya. Seorang nyai biasanya hidup dengan seorang lelaki yang kedudukannya terpandang dalam masyarakat kolonial, baik pejabat kolonial maupun kalangan
swasta, antara lain opsiner dan bahkan administratur perkebunan. Namun, fenomena pernyaian ini juga terjadi di kalangan Eropa dari strata ekonomi bawah,
khususnya para tentara yang hidup di baraktangsi maupun rumah-rumah bedeng di daerah perkebunan. Tak jarang seorang nyai juga hidup bersama dengan
saudagar Cina yang kaya, pejabat kolonial berpangkat rendah, ataupun pedagang Cina biasa.
13
Sampai pada usia tertentu, sang tuan akan menikahi perempuan sebangsanya yang dianggap pantas menjadi pendamping hidup dan mampu
melaksanakan peran sosial di tengah pergaulan masyarakat kolonial. Nyai tersebut pun diantar pulang ke tengah keluarganya dengan diberi semacam pesangon, baik
berupa uang, rumah, sawah, dan sebagainya. Namun, bisa terjadi seorang nyai lantas dinikahi secara resmi oleh tuannya. Status para nyai semacam ini biasanya
12
Asal-usul kata “nyai” ini belum diketahui secara pasti karena kata tersebut bisa ditemui dalam berbagai bahasa di Nusantara. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini akan saya uraikan pada Bab
2.
13
Sally White, “The Case of Nyi Anah: Concubinage, Marriage and Reformist Islam in Late Colonial Dutch East Indies” dalam Reviewof Indonesian and Malaysian Affairs 38, 1 2004: 88.
8 menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan pribumi lainnya.
14
Pada situasi sebaliknya, seorang nyai yang ditinggalkan oleh tuannya seringkali justru
makin rendah statusnya. Pandangan pemerintah kolonial tentang pergundikan mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Ini bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Salah satu kasus, pergundikan di kalangan tentara Eropa
tidak mendapat halangan berarti karena alasan-alasan praktis. Para tentara yang diizinkan menikah adalah mereka yang sudah memiliki pangkat yang cukup tinggi
sehingga secara ekonomis cukup mapan untuk membiayai hidup keluarganya. Selain itu, tentara yang berstatus tidak menikah relatif lebih mudah jika harus
sering dimutasi dari satu tempat ke tempat lain. Dalam perkembangan selanjutnya, masalah pergundikan ini sempat
diperdebatkan oleh berbagai kalangan, baik di negeri Belanda maupun di negeri jajahan Hindia Belanda. Penentangnya terutama dari kalangan agamawan yang
mengemukakan dalih moral. Bagi pemerintah kolonial pun, pernyaian lambat laun dipandang tidak menguntungkan karena perkawinan campuran ini menghasilkan
generasi baru Indo. Status anak hasil percampuran darah ini tidak jelas. Mereka sering dianggap sebagai golongan yang “tanggung,” bukan pribumi maupun
Eropa. Lebih lanjut, kehadiran kelompok baru ini dikhawatirkan akan perlahan- lahan menggerogoti kekuasan pemerintah kolonial. Ini antara lain muncul dalam
bentuk meluasnya kemiskinan di kalangan Indo. Memang pada akhirnya,
14
Meskipun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa perempuan yang menjadi nyai statusnya lebih baik daripada perempuan pribumi lainnya mengingat pelbagai akses yang
dimungkinkan oleh statusnya tersebut.
9 fenomena pergundikan menyurut seiring dengan didatangkannya banyak
perempuan kulit putih ke Hindia Belanda sekitar peralihan abad ke-20. Sebagaimana disebutkan di atas, karya sastra masa kolonial khususnya
yang berbahasa Melayu Rendah masih jarang dikaji, terutama oleh intelektual Indonesia sendiri. Lebih jarang lagi jika temanya spesifik seperti pernyaian. Saya
pribadi tertarik karena alasan berikut. Pernyaian merupakan sisi ambivalen dari kolonialisme yang terlupakan atau sengaja ditutup-tutupi. Meskipun demikian,
jejaknya bisa dilacak dalam berbagai karya sastra populer pada masa kolonial yang berbahasa Melayu Rendah dan ini tidak ditemui dalam berbagai terbitan
Balai Pustaka. Dalam karya tersebut, para nyai digambarkan secara beragam— mulai dari gambaran yang sangat “jahat,” seperti misalnya berniat merongrong
harta tuannya semata hingga sangat “baik,” yakni sebagai hamba yang tekun, baik hati, dan patuh terhadap segala perintah tuannya. Akan tetapi, ada pula nyai yang
cerdas, yang belajar banyak dari budaya tuan kolonial dan dalam arti tertentu sudah maju untuk ukuran zamannya. Dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta
Toer memunculkan Nyai Ontosoroh yang mengelola perkebunan dan justru tuannya sangat bergantung padanya. Sementara itu Tirto Adhi Soerjo dalam cerita
Boesono menggambarkan seorang nyai yang pintar dan dapat diajak berdiskusi tentang seluk-beluk penerbitan oleh Boesono, seorang mahasiswa kedokteran
STOVIA yang bekerja dalam dunia pers. Nasib para perempuan yang menjadi nyai ini bahkan tidak pernah
mendapat sorotan dari tokoh perempuan yang dikenal sebagai pejuang emansipasi pada zamannya, yakni Kartini. Padahal, hingga derajat tertentu nyai mengalami
10 penindasan, terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang
diskriminatif. Ketika ia memiliki anak hasil hubungannya dengan laki-laki Eropa, anak tersebut diakui statusnya sebagai orang Eropa. Sementara sang nyai yang
melahirkan dan mengasuh tidak memperoleh hak apa-apa. Bisa dikatakan bahwa figur nyai telah diasingkan dari sejarah. Yang diakui sebagai tokoh sejarah dan
dipahlawankan ialah golongan terdidik dari kalangan priyayi yang “bersih”, tidak melakukan skandal—apalagi dalam perkara seksual. Maraknya studi
pascakolonial belakangan ini membuka celah baru bagi pengkajian jejak-jejak perjumpaan kolonial, khususnya sebagaimana yang terekam dalam teks-teks
sastra.
2. Perumusan masalah