Ras Representasi penyaian dalam karya sastra melayu rendah studi pascakolonial mengenai cerita Nyai.

94 rupa dan jahat. Selain itu, penolakan Paina terhadap Tuan Briot ini juga terkait dengan perasaan jijik akan menjadi objek seks dari lelaki yang ia benci tersebut. Sementara itu, meski dalam Hikayat Siti Mariah sempat disinggung bagaimana Siti Mariah mulai jatuh cinta pada Henri Dam, tidak digambarkan secara jelas bagaimana ia mengalami seksualitasnya. Namun, hal itu mungkin tergambar ketika Siti Mariah dilawankan dengan tokoh Luci van Holstein yang agresif dan berselingkuh dengan beberapa lelaki yang ia cintai di luar pernikahannya dengan Henri. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kedua tokoh ini tidak mengungkapkan seksualitasnya dan justru pasif. Pada akhir cerita, kedua tokoh yang tidak mengungkapkan seksualitasnya ini justru bernasib baik: mereka menikah dengan orang yang dicintai dan bahagia. Jika diinterpretasikan lebih lanjut, pembacaan dari detil-detil cerita menunjukkan bahwa ketika nyai berusaha menjadi subjek yang aktif Dasima dan Ratna, ia justru bernasib sial walaupun ini tidak terlalu berlaku untuk Paina. Sementara jika nyai tersebut tetap tinggal menjadi subjek yang pasif Mariah, dengan tetap berada dalam batas-batas stereotipe sosok nyai yang “baik” setia, tabah, tegar, dan sebagainya, ia justru beruntung. Bisa dikatakan terlepas dari “ruang-ruang pembebasan” yang ditawarkannya, cerita-cerita ini patriarkis. Ini terkait dengan penulisnya yang semuanya laki-laki dan menulis dari sudut pandang laki-laki.

3. Ras

95 Bagian ini berupaya menemukan ambivalensi pascakolonial sebagaimana direpresentasikan oleh keempat cerita dilihat dari aspek hubungan ras mengingat ras 180 sendiri merupakan salah kategori penting yang menandai perbedaan difference antara nyai dan tuan. Dalam kajian pascakolonial, konsep “ras” menduduki posisi yang sentral. Secara sederhana, konsep “ras” mengacu pada ciri-ciri fisik, biologis, dan genetis yang dilekatkan pada suatu kelompok manusia. Ada beberapa asumsi di balik konsep ini. Pertama, bahwa manusia terbagi atas berbagai tipe yang teramati melalui ciri-ciri fisiknya dan ini diturunkan melalui darah. Konsekuensinya ialah pembedaan antara ras yang “murni” dan yang “campuran” menjadi sesuatu yang mungkin. Selanjutnya, konsep ini juga menyiratkan perilaku dan mental manusia beserta kepribadian individu, gagasan- gagasan dan kapasitasnya bisa dikaitkan dengan asal-usul rasnya. 181 Konsep “ras” menjadi signifikan bagi kolonialisme karena kategori manusia berdasarkan ras bertalian erat dengan kepentingan kekuasaan kolonial untuk mendominasi orang-orang yang dijajah dan superioritas ras dipakai sebagai alasan pembenaran oleh sistem kolonialisme tersebut. 182 Kolonialisme memanfaatkan kategori ras untuk menarik batas-batas yang tegas dalam oposisi biner dengan membuat pembedaan antara kita yang “beradab” dan liyan yang “primitif” sehingga kolonialisme dengan misinya untuk memperadabkan 180 Penjelasan mengenai konsep ras ini juga diajukan oleh Patrick Wolfe yang memandang ras sebagai suatu konstruksi ideologis. Ada dua ciri umum dari konsep ras ini. Pertama, kategori ras bersifat hierarkis—perbedaan difference tidaklah netral. Kedua, ras menghubungkan ciri-ciri fisik dengan ciri-ciri kognitif, budaya dan moral, mencampurbaurkan yang konkret dan yang abstrak, yang kebinatangan dan yang manusiawi, yang somatis dan semiotis. Lebih lanjut lihat Patrick Wolfe, “Race and racialisation: some thoughts,” Postcolonial Studies 5, no. 1 2002: 51- 62. 181 Aschroft, et. al., Key Concepts, 198. 182 Aschroft, et. al., Key Concepts, 198. 96 civilizing mission menjadi sesuatu yang seolah-olah wajar. Di sini identitas ras dibayangkan sebagai sesuatu kategori yang stabil dan tidak berubah-ubah. Ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Homi K. Bhabha bahwa salah satu ciri penting wacana kolonial ialah ketergantungannya pada konsep “kepastian” “fixity” di dalam pengkonstruksian keliyanan otherness. 183 Terkait dengan keempat cerita yang diteliti, bagian ini akan menyoroti bagaimana kesadaran ras mengemuka di dalam cerita beserta ambivalensi wacana mengenai ras dilihat dari bagaimana detil-detil cerita tertentu mengganggu stabilitas ras sebagai sebuah kategori yang menandai perbedaan. Secara sekilas, Tjerita Njai Dasima bisa dibaca sebagai sebuah narasi tentang pertentangan antara pihak pribumi versus orang Eropa. Pembacaan semacam ini akan mengarah pada gagasan bahwa cerita tersebut ditulis sesuai dengan logika wacana kolonialisme yang dominan: pihak pribumi tampil sebagai pihak yang jahat, sementara tokoh Eropa adalah sosok yang baik. Pertanyaannya ialah benarkah dikotomi antara kedua pihak tersebut sesederhana yang dibayangkan? Adakah ambivalensi tertentu yang dapat menggugat stabilitas kategori pembedaan berdasarkan ras tersebut? Di dalam cerita ini disebutkan bahwa Dasima merupakan “orang prampoean slam dari Kampoeng Koeripan.” 184 Pada bagian lain juga disebutkan 183 Bhabha menyebutkan bahwa kepastian fixity sebagai tanda perbedaan budayasejarahrasial di dalam wacana kolonialisme merupakan moda representasi yang paradoksikal: ia berkonotasi dengan kekakuan rigidity dan tatanan yang tak berubah unchanging order maupun kekacauan disorder, degenerasi dan pengulangan yang demonis daemonic repetition. Bhabha, The Other Question, 18. 184 Toer, Tempo Doeloe, 225. 97 bahwa “Njai Dasima soeda tersohor di kampoeng-kampoeng Slam” 185 karena kecantikan dan kekayaannya dan ini membuat “banjak sekali orang orang slam lelaki ingin sekali boeat dapet tempel, boeat eret hartanja.” 186 Kata “Slam” di sini menjadi penanda akan adanya perbedaan ras, atau dalam istilah yang sering muncul dalam cerita, perbedaan bangsa. “Orang Slam” di sini dilawankan dengan “orang kafir” yang di dalam cerita merujuk pada “orang Serani ataoe Tjina.” 187 Di sini, tampak bahwa konsep “ras” tumpang tindih dengan konsep “agama”. Secara umum, seseorang yang berasal dari ras tertentu diasumsikan beragama tertentu pula. Orang Eropa dianggap pasti beragama Kristen, sedangkan orang Pribumi dianggap beragama Islam. Jika mengacu pada konsep ras seperti yang telah dikemukakan sebelumnya maka sebagai penanda perbedaan, ia tidaklah stabil karena konsep ras di sini ternyata mengacu pada kategori agama juga. Kategori Pribumi versus nonpribumi baca: Eropa yang bertumpang- tindih dengan kategori Islam dan kafir baca: Nasrani di dalam cerita muncul berulang-ulang. Misalnya disebutkan juga bahwa hubungan Nyai Dasima dan Tuan W. yang adalah orang “koelit poeti” 188 sebagaimana disuarakan oleh tokoh Ma Boejoeng, menurut ajaran agama Islam adalah suatu perzinahan yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad. Secara umum bisa dikatakan bahwa dalam Tjerita Njai Dasima, perbedaan antar ras di sini ditandai oleh kata “bangsa” di mana kategori “bangsa” itu sendiri juga mencakup konsep “agama.” Konsep ras 185 Toer, Tempo Doeloe, 225. 186 Toer, Tempo Doeloe, 225-226. 187 Toer, Tempo Doeloe, 228. 188 Toer, Tempo Doeloe, 235. 98 yang mengacu pada seperangkat ciri fisik, biologis, dan genetis pun merujuk pada kategori lainnya, yakni agama. Jika memang kategori ras yang dikaitkan dengan darah biologi, menyatu dengan konsep agama budaya, bukankah konsep ras itu sendiri tidak bisa dipertahankan sebagai penanda yang stabil? Salah satu bagian cerita mengisahkan bahwa Toean W. sebernarnya bermaksud mengajak Dasima masuk Kristen, lalu menikahinya secara resmi. Yang menjadi persoalan, seandainya Dasima memang masuk Kristen, ia termasuk ke dalam kategori yang mana: Eropa meski dia tidak memiliki darah Eropa ataukah tetap pribumi kendati dia Kristen? Lalu, jika pribumi bisa masuk Kristen, apakah dengan demikian ciri-ciri yang diasosiasikan dengan rasnya pribumi = jahat, masih ada? Di sinilah letak ambivalensinya, yakni bahwa konsep ras yang dianggap seringkali penanda identitas yang paling kokoh ternyata rentan dan sulit dipertahankan. Dengan kata lain, konsep ras bentukan kolonial itu pun ada kelemahannya. Cerita ini justru tidak menempatkan Dasima secara sentral dalam dikotomi pribumi versus Eropa. Maksudnya, ras Dasima di sini tidak dipersoalkan. Dilihat dari keseluruhan cerita secara umum, Tjerita Njai Dasima secara dominan menampilkan golongan pribumi—dalam hal ini diwakili oleh sosok Samioen dan para sekutunya—sebagai pihak yang “jahat”: tamak, tidak segan-segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya dan penuh muslihat. Sementara itu, orang Eropa—diwakili oleh sosok Tuan Edward W.—cenderung digambarkan sebagai pihak yang “baik”: mudah percaya, penuh cinta dan tanggung jawab. Akan tetapi, dikotomi tersebut sebenarnya justru runtuh karena 99 kedua kecenderungan ini baik maupun jahat bisa dimiliki oleh masing-masing pihak secara bersamaan. Toean W., misalnya, juga “jahat” karena ternyata dia “tiada sekali taoe adjar atawa soeroe adjar peladjaran agama” 189 kepada nyainya meskipun dia mengetahui Dasima masih memeluk keyakinannya sendiri. Jadi, kecenderungan tokoh pribumi muncul sebagai tokoh yang “jahat” dan tokoh Eropa sebagai tokoh yang “baik” memang masih ada. Namun, batasan-batasan tersebut tidak sehitam-putih yang diandaikan. Tokoh Dasima dapat dikontraskan dengan Ma’ Boejoeng yang sama-sama pribumi. Dasima adalah perempuan pribumi yang tekun dan bersedia belajar “segala roepa pekerdjahan prampoean jaitoe masak, mendjait, dan potong segala roepa pakean” 190 yang diajarkan orang Eropa Njonja Bonnet. Sementara itu, Ma’ Boejoeng adalah sosok perempuan kampung, kalangan yang dilarang Toean W. bergaul dengan Dasima, sehingga bagi Toean W. memelihara perempuan semacam Ma’ Boejoeng hanya membuang-buang uang. Di sini tersirat bahwa ada golongan pribumi yang memang patut dipelihara karena ia bisa dibentuk sesuai dengan nilai-nilai Eropa baik—diwakili oleh sosok Dasima—dan golongan pribumi yang tidak patut dipelihara karena “sudah dari sananya” sifatnya seperti orang kampungpribumi kebanyakan yang tidak mudah diatur“diprentah” buruk—diwakili oleh Ma’ Boejoeng. Kedua figur ini memang berlawanan dan jika ada pribumi yang baik dan buruk, bukankah demikian halnya dengan orang Eropa—ada orang Eropa yang baik dan ada juga yang jahat? 189 Toer, Tempo Doeloe, 228. 190 Toer, Tempo Doeloe, 225. 100 Ditinjau secara umum Tjerita Nji Paina secara dominan menunjukkan kritik terhadap kolonialisme secara sadar, yakni kolonialisme merupakan sebuah sistem eksploitatif yang melibatkan relasi kekuasaan di mana ada hierarki antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya: tuan Eropa yang posisinya lebih tinggi daripada golongan pribumi. Hubungan asimetri itu meliputi berbagai aspek kehidupan: dalam hubungan kerja, dalam hubungan antara lelaki Eropa dan perempuan pribumi. Hal tersebut misalnya tampak ketika tuan administratur baru Eropa memandang gaji Niti Atmaja pribumi terlalu besar. “Di mana pada zaman ini orang dengar iang satoe djoeroetoelis Djawa makan gadjih begitoe besar. Doea poeloeh lima roepiah masih terlaloeh banjak boeat satoe djoeroetoelis orang Djawa.” 191 Gagasan ini bersesuaian dengan ideologi kolonial bahwa etos kerja orang Eropa lebih baik sehingga pantas mendapat bayaran yang lebih tinggi. Sebaliknya, orang pribumi etos kerjanya lebih buruk dan konsekuensinya, wajar apabila diupah lebih rendah pula. Kritik yang disampaikan cerita tersebut merupakan kritik terhadap gagasan yang dibentuk wacana kolonial secara umum bahwa orang Eropa memiliki etos kerja lebih yang baik, sedangkan golongan pribumi etos kerjanya kurang baik sehingga mereka perlu diajar dan diperintah oleh orang Eropa agar bisa maju. Meskipun terdapat kritik yang menjadi pesan dominan dari cerita tersebut, ambivalensi juga muncul di dalam cerita terkait konsep ras itu sendiri. Dalam hal ini gagasan bahwa orang Eropa kinerjanya lebih baik sudah dimaklumi begitu saja 191 Toer, Tempo Doeloe, 318. 101 taken for granted. Padahal, dalam realitas cerita orang Eropa tidak selalu lebih baik. Tokoh Niti Atmaja pribumi adalah sosok yang disiplin, tekun dan teliti di dalam pekerjaannya sehari-hari. Kinerja Niti ini amat kontras dengan kinerja atasannya, Tuan Briot, yang selalu pulang kerja lebih awal, kerjanya hanya memerintah dan memeriksa pekerjaan bawahannya. Kebanyakan pekerjaannya justru dikerjakan oleh Niti. Di sini tampak ambivalensi bahwa di satu sisi orang pribumi Niti yang lebih inferior justru bisa meniru orang Eropa secara “sempurna” dan tidak terhalangi oleh ciri-ciri yang dianggap “kodrati” rasnya. Sementara itu, orang Eropa Briot yang dielu-elukan sebagai ras yang superior ternyata justru tidak mampu bekerja dengan baik sebagaimana yang diandaikan melekat dalam “kodrat”-nya. Dengan demikian, stereotipe tentang pribumi sebagai ras inferior tersebut tidak dapat dipertahankan karena orang Eropa tidak selalu lebih cemerlang daripada orang pribumi. Ambivalensi lain di dalam cerita ini ialah bahwa di balik kecenderungan cerita yang kritis terhadap kolonialisme ini, terdapat juga bagian yang menunjukkan persekutuannya complicity dengan sistem tersebut. Ini ditampakkan oleh pengabdian Niti pada pabrik gula tempatnya bekerja yang pemiliknya orang Eropa dan mempekerjakan banyak orang pribumi. Berkat kesiagaannya, ia bisa mencegah perbuatan-perbuatan jahat yang hendak dilakukan oleh bawahannya. Selain itu, ia juga bisa mengatasi kecurangan-kecurangan yang terjadi di pabrik. Dedikasinya inilah yang membuat gajinya tetap tinggi di tengah kondisi pabrik yang sulit. Bisa dikatakan bahwa Niti yang mewakili golongan 102 pribumi yang dianggap “baik” justru menjadi salah satu penopang sistem kolonialisme itu sendiri. Dalam beberapa bagian lain dari cerita ini juga muncul dalam salah satu bagian lain, Paina dihadapkan pada pilihan menerima pinangan Briot untuk menyelamatkan ayahnya atau menolak pinangan itu dan membiarkan ayahnya masuk penjara. Awalnya ia menolak secara tegas dengan mengatakan, “Apa, djadi njainja tjeleng itoe?’ Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken boedaknja si tjeleng alas itoe.” 192 Kata “celeng” di sini agaknya menjadi metafor yang merangkum seperangkat ciri: rakus, najis, kotor. Jika biasanya penamaan atau penjulukan melibatkan aspek kekuasaan karena hal tersebut membawa konsekuensi bagi yang dijuluki, di sini Paina adalah “budak” yang menantang balik “sang tuan” melalui umpatan yang menyamakan “sang tuan” tersebut dengan “celeng.” Kendati berada dalam posisi yang tidak berdaya, tetapi Paina tetap menemukan celah untuk “menyerang balik” figur kekuasaan yang tengah mencengkeramnya. Bentuk otonomi semacam ini juga dapat ditemukan pada bagian lain yang menceritakan bahwa Paina “aken bikin mati toen Briot” 193 dengan cara menularkan penyakit cacar kepadanya. Secara literal, penyakit cacar di sini dapat diasosiasikan dengan berbagai hal, antara lain rendahnya kualitas hidup jorok, tidak higienis, mudahnya menular, efek-efek yang ditimbulkan bekas-bekas pada kulit, kematian. Namun, lebih jauh penyakit cacar dengan sifatnya yang mudah menular tersebut menjadi simbol bagi kontaminasi ras: Paina yang 192 Toer, Tempo Doeloe, 327. 193 Toer, Tempo Doeloe, 328. 103 pribumi—golongan yang distereotipekan dengan sifat primitif, barbar, tidak beradab—sedang menulari Briot yang Eropa dengan ciri-ciri “kepribumiannya” sehingga “kemurnian”-nya menjadi cemar. Meskipun berada dalam posisi yang “kalah,” Paina menjalankan siasat resistensinya melalui penularan cacar yang ia pilih dengan sadar sehingga pada akhirnya ia berhasil mencapai tujuannya. Dilihat secara keseluruhan, Cerita Nyai Ratna bercerita tentang petualangan seorang perempuan pribumi yang menjadi nyai. Petualangan ini cukup lengkap karena dikisahkan sejak awal bagaimana ia menjadi nyai hingga bagaimana akhirnya ia “bertobat” akibat perilakunya yang “buruk” selama menjadi nyai. Di sini ambivalensi sudah hadir di dalam keseluruhan cerita karena pengarangnya sudah secara eksplisit menunjukkan sikap eksplisit terhadap tokoh nyai. Di satu sisi, ada keterpesonaan terhadap sosok nyai yang dianggap hebat dilihat dari penampilan, pengetahuan dan materi yang dapat diaksesnya, serta mobilitas sosialnya yang meningkat. Namun demikian, di sisi lain, ada juga kritik terhadap figur nyai yang ternyata berani melakukan perbuatan-perbuatan yang secara moralnormatif jahatburuk, mulai dari menipu tuannya, berselingkuh, bebas secara seksual, meracun tuannya dan sebagainya. Berbeda dengan kedua cerita sebelumnya, Tjerita Nyai Ratna menggambarkan kesadaran akan perbedaan ras dengan cara yang relatif eksplisit. Dalam cerita berkali-kali disebutkan kategori “Belanda” yang dilawankan dengan “bangsa sendiri” atau pribumi. Misalnya ketika tokoh bibi Ratna, Nyi Brata, menggambarkan perbedaan jika seorang perempuan hidup bersama dengan lelaki Eropa dan lelaki pribumi. Dalam adegan lainnya, tokoh Ratna juga mengatakan 104 bahwa tuannya itu “lain bangsa.” Di sini, kategori “bangsa” juga bisa disejajarkan dengan kategori “ras.” Cerita ini secara dominan menggambarkan orang Eropa sebagai pihak yang baik, yakni sebagai sosok “penyelamat.” Ini terjadi karena lelaki Eropa dianggap memperlakukan perempuan pribumi lebih baik daripada lelaki pribumi meskipun status perempuan tersebut hanyalah seorang nyai. Hal tersebut digambarkan dalam salah satu percakapan antara Ratna dan Nyi Brata. “Belanja sehari paling banyak juga satu kuwat, kadang sehari kagak sekali dikasih. Apa perlunya siksa diri begitu Tanggung-tanggung. Mendingan ikut Belanda, kenyang makan, kenyang pakai, diindahkan dan tidak dicemburui. Kalau sama bangsa sendiri yang sepantar, kalau yang kaya bikin sakit hati kita, kalau yang miskin kita seumur-umur enggak dapat kesenangan.” 194 Jadi, dalam berbagai segi, perempuan pribumi yang menjadi nyai dari lelaki Eropa dipandang masih lebih baik daripada yang menikah dengan lelaki pribumi, entah lelaki yang status sosialnya lebih tinggi ataupun yang statusnya lebih rendah daripada perempuan tersebut. Pada bagian lainnya, dikisahkan juga pengalaman Nyi Brata ketika menjadi nyai seorang lelaki Belanda. Dengan menjadi nyai itulah ia lalu memiliki akses kekayaan materi dan ini lalu dianggap sangat menentukan kebahagiaan perkawinannya dengan seorang lelaki pribumi setelah tuannya mati. Lebih lanjut, disebutkan bahwa bekas nyai pun memiliki status yang lebih tinggi daripada perempuan pribumi lainnya. “Bila pikir lebih jauh maka dapat dimengerti sebabnya isteri-isteri bangsanya sudah banyak yang jadi nyai-nyai, dan kemudian nyai-nyai 194 Toer, Sang Pemoela, 374. 105 bekas itu naik martabat dan harga dirinya, lebih-lebih perempuan- perempuan setiawan, yang sopan-santun, yang tidak berjalan bengkok.” 195 Singkatnya, cerita ini menampilkan gambaran tentang “lelaki kulit putih yang menyelamatkan perempuan berkulit coklat dari lelaki berkulit coklat” white man saving brown woman from brown man” seperti yang diungkapkan oleh Gayatri Spivak 196 : lelaki Eropa “menyelamatkan” perempuan pribumi dari kondisi kehidupan yang buruk dengan lelaki pribumi. Salah satunya karena menurut kelaziman pada masa itu, “jamak isteri dimadu” 197 serta “jamak lelaki piara bini lebih dari satu” 198 mengingat “itu diperkenankan oleh agama.” 199 Dengan menjadi nyai, seorang perempuan pribumi juga mendapatkan akses terhadap materi dan status sosial yang lebih tinggi daripada rata-rata orang pribumi lainnya. Bahkan, itu masih berlangsung setelah perempuan tersebut tidak lagi menjadi nyai Jika dibaca dengan “melawan arus,” akan tampak ambivalensi dalam wacana mengenai ras ini. Hal ini, misalnya, tampak dalam gagasan Ratna bahwa perselingkuhannya dengan Sambodo dapat dibenarkan: “Peduli apa laki lain bangsa ini. Siapa tahu di negerinya punya nyonya.” 200 Kutipan ini menyiratkan kritik terhadap status seorang nyai: Ratna menyadari posisinya sebagai seorang nyai dari seorang lelaki Eropa yang status persisnya bahkan tidak ia ketahui secara persis—menikah atau tidak menikah. Dengan alasan itu, menurut Ratna, dalam hubungan tersebut tidak perlu ada kesetiaan ataupun cinta. Pada bagian lain, dikisahkan Mak Dukun menasihati salah satu tokoh nyai lainnya, yakni 195 Toer, Sang Pemoela, 374. 196 Loomba, ColonialismPostcolonialism, 154. 197 Toer, Sang Pemoela, 371. 198 Toer, Sang Pemoela, 371. 199 Toer, Sang Pemoela, 371. 200 Toer, Sang Pemoela, 384. 106 Parminingsih, untuk tetap mengikuti kemauan sang tuan sembari tetap menggerogoti hartanya karena alasan “lain bangsa.” 201 Jadi, kedua tokoh nyai ini memandang hubungan nyai-tuan semata-mata relasi yang sementara dan pragmatis di mana di dalamnya sang nyai tidak perlu menunjukkan kesetiaan ataupun cinta. Namun, kepatuhan terhadap sang tuan dianggap tetap diperlukan semata-mata agar nyai tersebut bisa memperoleh harta sang tuan. Di dalam cerita ini, hubungan dengan “lain bangsa” dipandang sebagai bentuk hubungan yang sementara dan pragmatis. Jadi, konsep “cinta lintas ras” tidak mengemuka di dalamnya. Adanya nyai yang memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya untuk memperoleh harta yang banyak dari tuannya menggagalkan asumsi mengenai orang pribumi yang bodoh. Jika diandaikan bahwa lelaki Eropa dengan mudahnya bisa memilih perempuan mana yang hendak dijadikan nyainya—dengan demikian perempuan tersebut pasif—dan hubungan tersebut lantas berlangsung satu arah maka dalam kenyatannya hubungan itu justru berlangsung dua arah karena ternyata nyai tersebut juga memanfaatkan tuannya. Ini meruntuhkan asumsi tentang tuan yang sedemikian berkuasa. Di tengah cengkraman kekuasaan itu, si nyai ternyata bersiasat, yakni dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk mengumpulkan harta, bersenang-senang dengan lelaki lain yang diinginkannya, bahkan melakukan tindakan perselingkuhan di rumah tuannya sendiri. Nyai yang dipandang lugu dan baik tersebut ternyata sadar benar akan posisinya dan memanfaatkan keadaan demi kesenangannya sendiri. 201 Toer, Sang Pemoela, 390. 107 Dalam Hikayat Siti Mariah, perbedaan ras ditampilkan secara eksplisit melalui pembedaan antara orang Belanda, Belanda peranakan Indo, dan kaum pribumi yang sebagian diwakili oleh golongan bangsawan. Ini tampak, misalnya ketika Siti Mariah yang sewaktu masih kecil bernama Urip, digambarkan “bergaul dengan anak-anak Belanda, mengikuti adat orang Belanda.” 202 Kategori ras di sini juga bertumpang tindih dengan kategori agama. Dalam salah satu bagian, Joyopranoto melarang Mariah berhubungan dengan Henri Dam karena ia “Belanda totok” 203 dan “bangsa kafir.” 204 “Astagafirullah Tuan opsiner Henri Dam? Apa betul? Belanda totok? Bangsa kafir? Siapa mau mengawinkan anaknya dengan bangsa kafir? Bermantukan dia? Banyak terima kasih. Najis. Tuan Dam memang seorang baik-baik. Saya suka. Bukan saya berhati busuk padanya, saya dan dia bersahabat dalam pekerjaan. Tapi lain lagi dalam hal agama. Agama di atas, persahabatan di bawah. Biar sampai mati. Heran sekali bagaimana Mariah bisa jatuh cinta sama bangsa kafir. Bikin jadi kapiran ibu dan bapaknya. Bikin malu bangsa Islam.” 205 Ditinjau dari plot secara keseluruhan, Hikayat Siti Mariah secara dominan menggambarkan tokoh Eropa yang jahat—dalam hal ini diwakili oleh tokoh Nyonya von Holstein: licik, penuh tipu daya dan dengan kekuasaannya, ia berusaha merusak hubungan cinta yang harmonis antara Siti Mariah dan Henri Dam. Bahkan, ia pun tega meracun suaminya sendiri hingga mati. Buruknya karakter Nyonya Holstein yang mewakili orang Eropa ini juga ditegaskan melalui salah satu bagian cerita di mana Tuan Administrator Kalibagor mengkritik muslihat yang dilancarkan Nyonya Von Holstein untuk menceraikan Henri Dam dan Siti Mariah. Berikut petikannya. 202 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 89. 203 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127. 204 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127. 205 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 127. 108 “Iblis kejahatan tak pilih bangsa. Jangan kita menyangka kejahatan hanya bisa dilakukan oleh orang-orang pribumi. Kita yang berkulit putih tak berarti mesti bersih, apakah hatinya juga putih bersih? Neen, nyonya besar. 206 Sementara itu, Mariah, yang sebenarnya Indo tetapi lebih sering diidentifikasikan sebagai pribumi, justru ditampilkan sebagai tokoh yang baik. Ia memenuhi fantasi kolonial mengenai “figur feminin yang sempurna” 207 : seorang nyai yang meskipun dilepas tuannya tetap bisa tabah dan tegar, lalu karena cintanya ia mengerahkan segenap tenaga untuk mencari anaknya yang dipisahkan secara paksa darinya. Meskipun orang Eropa cenderung digambarkan buruk dan kaum pribumi baik, dikotomi semacam itu sebenarnya tidak setegas yang dibayangkan. Secara umum, cerita ini mengusung konsep “cinta sejati” antara lelaki dan perempuan. Di sini bukan ras yang penting, melainkan cinta tersebut. Henri mengalami kebahagiaan dengan hidup bersama Mariah yang dianggap “pribumi”, sementara hal itu tidak ia rasakan ketika sudah menikah dengan Luci yang Belanda totok karena cinta absen di dalam perkawinan mereka. Dengan demikian, cerita ini juga mengemukakan kritik terhadap gagasan bahwa lelaki Eropa harus menikahi perempuan dari ras yang sama, alasan yang mendasari perceraian Henri dengan Mariah. Walaupun cerita ini pesannya jelas, bahwa cinta sejati lebih penting daripada ras, ambivalensi justru muncul di akhir cerita bahwa Mariah yang selama 206 Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 188. 207 Konsep ini saya adaptasi dari Ania Loomba yang menyebutkan bahwa figur “other woman” menghantui imajinasi kolonial dengan cara yang seringkali ambivalen dan kontradiktif. Di satu sisi, ia menjadi contoh barbarisme, tetapi di sisi lain ia memenuhi fantasi kolonial mengenai “perilaku feminin yang sempurna.” Lihat Loomba, ColonialismPostcolonialism, 157. 109 ini diduga Henri sebagai pribumi ternyata Indo atau “Belanda peranakan” karena ia lahir dari hubungan antara seorang perempuan pribumi, Sarinem, dan seorang lelaki Eropa, Elout van Hogerveldt. Jadi, Mariah memiliki darah Eropa. Maka, cerita tersebut tetap menyiratkan idealisasi tentang cinta sesama ras: tidak mungkin orang Eropa mengalami cinta sejati dengan orang yang bukan Eropa. Di sinilah letak ambivalensinya: seolah-olah lelaki Eropa jatuh cinta pada perempuan pribumi, tetapi ternyata cinta sejati itu hanya mungkin dialami dengan perempuan yang keturunan Eropa juga. Ambivalensi lainnya ialah bahwa kendati ia seringkali diidentifikasikan sebagai pribumi karena dibesarkan oleh pribumi, kualitas-kualitas positif yang dilekatkan pada Mariah sabar, tegar, penuh pengorbanan bisa dibaca sebagai karakter yang ia warisi karena darah Eropa-nya. Jadi, meskipun di dalam cerita orang pribumi tampil sebagai pihak yang baik dan dilawankan dengan orang- orang Eropa yang buruk di sini masih tersirat adanya gagasan tentang superioritas orang Eropa yang dipandang lebih baik daripada kaum pribumi.

4. Pernyaian dan perkawinan