23 sebagai seorang perempuan yang tinggal—entah sebagai piaraan maupun
pengurus rumah tangga—dengan orang asing, khususnya lelaki Eropa. Bab ini membahas sejarah munculnya pernyaian yang dimulai pada zaman
VOC di mana VOC sendiri memfasilitasi perkawinan lelaki Eropa dengan perempuan pribumi berikut tentangan awal dari Jan Pieterszoon Coen terhadap
pergundikan, langgengnya pernyaian tersebut sebagai sebuah necessary evil yang di antaranya marak dijumpai pada kehidupan di perkebunan dan barak, lalu
tentangan terhadap pergundikan ini baik di Hindia Belanda maupun di Belanda, dan berakhirnya pernyaian seiring maraknya imigrasi perempuan Eropa ke Hindia
Belanda pada awal abad ke-20.
1. Munculnya pernyaian pada zaman VOC
Pernyaian merupakan fenomena masyarakat kolonial yang sudah ada sejak lama. Jejaknya bisa dilacak pada masa pra-kolonial ketika VOC masuk ke
Nusantara. Uraian berikut menggambarkan secara ringkas kondisi-kondisi terkait dengan kemunculan pernyaian di Nusantara.
1.1. VOC memfasilitasi perkawinan dengan perempuan pribumi
Pada masa VOC banyak lelaki Eropa menjalin hubungan dengan perempuan Asia, termasuk pula dengan perempuan budak. VOC mendukung hal
tersebut dengan turut menyediakan perempuan sebagai calon pengantin bagi para PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24 lelaki lajang Eropa. VOC bahkan membeli perempuan budak slave women dari
pasar Asia untuk keperluan tersebut.
34
Hal ini dilakukan untuk mendukung maksud VOC mendirikan komunitas permanen di Hindia Belanda. Selain itu, para pemegang saham VOC menentang
imigrasi perempuan kulit putih dengan beberapa alasan. Pertama, biaya transportasi untuk mendatangkan perempuan Eropa terlalu mahal. Kedua,
perempuan Belanda kemungkinan terlibat dalam perdagangan privat. Hal ini dianggap bisa merongrong monopoli perusahaan. Ketiga, anak-anak orang Eropa
akan mudah sakit di daerah tropis sehingga keadaan ini mungkin mendorong keluarganya kembali ke negeri asal. Hal tersebut dipandang tidak menguntungkan
terhadap upaya membentuk kelompok pemukim tetap.
35
Akan tetapi, pada waktu itu—tepatnya sejak 1617—ada sebuah peraturan yang melarang lelaki Eropa menikahi perempuan non-Kristen. Perkawinan dengan
orang Kristen juga terbatas pada syarat-syarat tertentu.
36
Calon pengantin perempuan non-Kristiani harus dibaptis terlebih dahulu agar perkawinan tersebut
bisa dilegalkan. Seorang lelaki kulit putih pada masa VOC harus memperoleh izin untuk menikah. Kondisi ini mengakibatkan banyak lelaki kulit putih akhirnya
hidup bersama gundik. Fenomena ini sedemikian jamak sehingga pada 1620 pemegang otoritas Kristen melarang lelaki Eropa menyimpan gundik. Secara
bvtak langsung pergundikan dipicu oleh peraturan pada 1617 yang menyebutkan bahwa siapapun yang menikahi golongan pribumi atau perempuan berdarah
34
Hellwig, Adjustment and Discontent, 12.
35
Ann Laura Stoler, Carnal Knowledge and Imperial Power: Race and the Intimate in Colonial Rule Berkeley: University of California Press, 2002, 47.
36
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.
25 campuran dilarang kembali ke Eropa.
37
Setelah VOC bangkrut, larangan menikah ini tetap berlangsung hingga 1805.
38
Terkait dengan perempuan budak, Jean Gelman Taylor mencatat bahwa sejak awal di Batavia hubungan bebas dengan perempuan budak sudah terjadi.
Kebanyakan budak ini adalah pekerja rumah tangga. Dari korespondensi para pejabat, yaitu Gubernur Jenderal Pieter Both, diketahui pula bahwa saudagar
senior VOC mengambil perempuan lokal dan budak impor sebagai gundik.
39
Menurut Tineke Hellwig, perempuan budak biasanya berasal dari golongan termiskin dalam masyarakat. Karena status tersebut, mereka biasanya
tidak memiliki posisi tawar ataupun mampu bernegosiasi. Selain itu, umumnya mereka tinggal dengan serdadu ataupun pelaut Eropa yang posisinya di kalangan
masyarakat Eropa pun tidak bisa disebut layak. Maka, wajar apabila hubungan antara perempuan budak dan lelaki Eropa tersebut bersifat eksploitatif dan
sementara, tanpa didasari pemahaman satu sama lain. Berbeda halnya dengan para serdadu atau golongan bawah masyarakat Eropa di Nusantara, jajaran atas
pegawai VOC biasanya menjalin relasi yang langgeng dengan perempuan pribumi, baik yang dinikahi secara resmi dalam ikatan perkawinan maupun yang
diajak hidup bersama dalam hubungan kohabitasi.
40
Senada dengan apa yang diungkapkan Hellwig, Hanneke Ming juga mengatakan bahwa kendati asal dan
37
Ming, “Barracks-Concubinage,” 69.
38
Hellwig, Adjustment and Discontent, 31.
39
Jean Taylor, The Social World of Batavia Madison: University of Wisconsin Press, 1983, 15.
40
Hellwig, Adjustment and Discontent, 31.
26 alasan seorang perempuan pribumi menjadi nyai sulit dijawab, perempuan Jawa
dari golongan bawah paling banyak menjadi gundik.
41
1.2. Tentangan dari Coen terhadap pergundikan