Kelahiran pers dan lahirnya karya sastra di surat kabar

51 ini tetap saya pakai untuk menunjukkan suatu ironi bahwa bahasa inilah yang justru menjadi bahasa administrasi dan bahasa yang dipakai dalam berbagai aktivitas dan relasi sosial antara pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan pelbagai unsur masyarakat kolonial kala itu. Mewujud sebagai bahasa komunikasi verkertaal, bahasa Melayu Rendah menyimpan aneka potensi tersembunyi di antaranya karena digunakan dalam dunia pers, baik yang dijalankan oleh orang Tionghoa maupun pribumi dan juga, yang tak boleh dilupakan, dalam dunia sastra. Karena alasan inilah pemerintah Hindia Belanda kemudian merasa perlu untuk melakukan sensor terhadap bahasa yang “tidak murni” dan “tidak benar” ini, yang salah satunya dilembagakan lewat pendirian Balai Pustaka, dan di kemudian hari pembakuan bahasa Melayu, yakni Melayu Tinggi yang konon berakar di Riau, jantung kebudayaan Melayu.

1.2. Kelahiran pers dan lahirnya karya sastra di surat kabar

Kelahiran karya sastra Melayu Rendah tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pers dan penerbitan berkala yang mulai tumbuh pada akhir abad ke- 19. Mengapa demikian? Hal tersebut tak lain karena para penulis cerita pada masa itu umumnya menampilkan karyanya melalui surat kabar. 117 Kelahiran pers yang dijalankan oleh pihak swasta berawal dari pemberlakuan Regulasi Pers Tahun 1856. Dalam aturan itu disebutkan bahwa, “Pengawasan atas Pers dalam negeri dan pers yang masuk dari luar dihilangkan kecuali mengganggu ketertiban 117 Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia Jakarta: Hasta Mitra, 1982, 8. 52 umum.” 118 Hal ini merupakan efek dari bergulirnya paham liberal di daratan Eropa yang lantas juga menjalar ke daerah-daerah jajahan. Cikal bakal pers berbahasa Melayu Rendah dimulai pada 1858 dengan terbitnya Soerat Kabar Batawi’s yang dicetak dalam bahasa Latin dan Arab Rumi dan Jawi. Terbit setiap hari Sabtu, surat kabar ini selain memuat hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan juga menampilkan kisah-kisah dari Hikayat Seribu Satu Malam dan hikayat Melayu. Para khalayak pembacanya terutama kaum priyayi rendah dan guru sekolah. 119 Periode 1885 hingga 1860 bisa dikatakan sebagai masa awal tumbuhnya pers Indonesia. Akan tetapi, penerbitan ini kebanyakan masih dimodali dan dikelola oleh orang-orang Belanda. Penerbitan tersebut antara lain muncul di Surakarta, Jakarta dan Surabaya. Di dalam penerbitan ini bentuk-bentuk pengucapan sastra modern berupa cerita pendek dan penceritaan kembali kisah- kisah lama dalam bahasa prosa Melayu sudah mulai tampak. 120 Sayangnya, penerbitan ini umumnya hanya bertahan satu hingga dua tahun saja karena kurangnya peminat. Setelah periode tersebut, yakni 1860 sampai 1869, dunia penerbitan memasuki masa konsolidasi. Ini ditandai dengan terbitnya berbagai surat kabar di berbagai kota dagang seperti Selompret Melajoe Semarang, 1860, Bintang Timor Surabaya, 1862, Bintang Timur Medan, 1865, Djoroemartani 118 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 16. 119 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 17. 120 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 18. 53 Surakarta, 1864, Bianglala Depok, 1867, Matahari dan Bintang Barat Jakarta, Tjahaya Siang Tondano, 1868 dan berkembangnya pers di Hindia pada kurun waktu sesudahnya. Penerbitan ini umumnya masih dibiayai oleh orang Belanda dan Inggris. Para pembaca yang disasar sebagai audiens ialah golongan tentara dan priyayi. Media penerbitan pada masa tersebut menampilkan karya sastra yang kian beragam—cerita pendek, hikayat lama, syair dan pantun, baik epik maupun lirik. 121 Periode 1880-an dan tahun-tahun sesudahnya menyaksikan pertumbuhan pers yang makin signifikan. Hal ini tak bisa dilepaskan dari menguatnya kaum Indo-Belanda dalam dunia penerbitan. Sebagaimana diungkapkan Jakob Sumardjo, kaum Indo yang secara demografis jumlahnya lebih besar dari golongan Belanda tak mungkin bersaing dalam penerbitan pers. Oleh sebab itu, mereka yang menguasai bahasa Belanda dan Melayu Rendah sekaligus akhirnya memilih bergerak dalam pers berbahasa Melayu Rendah. Akibatnya, muncullah karya terjemahan dan saduran roman dan karya sastra Eropa ke dalam bahasa Melayu Rendah dalam penerbitan pada periode tersebut. Ini bisa disaksikan dalam terjemahan Pont Jest L’Araigne Rouge karya penulis Perancis oleh wartawan Indo EF Wiggers pada tahun 1874. Karya tersebut diberi judul Lawah-lawah Merah. Karya terkenal lainnya, Hikayat Robinson Crusoe, karya Daniel Defoe diterjemahkan oleh AF von de Wall. Peranan golongan Tionghoa juga signifikan dalam dunia pers berbahasa Melayu Rendah. Memasuki dunia penerbitan mulai 1890-an, golongan Tionghoa 121 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 18. 54 turut memperkuat keberadaan pers bahkan hingga jatuhnya kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1942. Mulai periode itu, kaum Peranakan Tionghoa mulai memiliki penerbitan sendiri. Menurut Pram, itu berarti mereka “lebih punya kebebasan sendiri, atas pilihan sendiri dan dengan tanggung jawab sendiri.” 122 Namun, patut dicatat bahwa kebebasan pers sebelum tahun 1906 belumlah sepenuhnya. Sementara itu, pers pribumi sendiri mulai lahir setelah tahun 1900. Medan Prijaji yang lahir pada 1906 di Bogor, Bandung dan Betawi serta dikomandoi oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo patut disebut sebagai tonggak pers nasional. Dengan munculnya golongan Tionghoa dan pribumi dalam kancah penerbitan, peranan golongan Indo perlahan-lahan menyurut.

1.3. Perkembangan sastra Melayu Rendah dan para pendukungnya