Sumber data dan metode penelitian Sistematika penulisan Bab I berisi rancangan penelitian secara umum. Bab II mengeksplorasi

19 sang tuan. Ada saat-saat tertentu di mana nyai juga menjadi subjek yang aktif meskipun berada di bawah bayang-bayang kekuasaan itu. Demikian pula dengan wacana kolonial yang tidak melulu eksploitatif, tetapi juga bisa disiasati untuk memberdayakan diri kaum terjajah.

7. Sumber data dan metode penelitian

Data penelitian ini seluruhnya berasal dari sumber-sumber teks tertulis. Metode penelitian yang akan digunakan ialah analisis tekstual terhadap cerita- cerita yang dipilih sebagai objek kajian. Untuk keperluan penelitian ini, saya akan memfokuskan pada cerita dengan tokoh nyai yang tinggal bersama lelaki Eropa sebagai tokoh utamanya. Dari penelusuran pustaka yang telah saya lakukan, terdapat empat cerita yang masih bisa diakses secara memadai untuk kepentingan penelitian ini. Keempat cerita yang akan diteliti antara lain Tjerita Njai Dasima 1896 karya G. Francis, Nji Paina karya H. Kommer 1900, Cerita Nyai Ratna 1909 karya Tirto Adhi Soerjo dan Hikayat Siti Mariah 1910-1912 karya Haji Mukti.

8. Sistematika penulisan Bab I berisi rancangan penelitian secara umum. Bab II mengeksplorasi

latar belakang sosio-historis fenomena pernyaian pada masa kolonial, antara lain munculnya pernyaian pada zaman VOC, berlanjutnya pernyaian sebagai akibat kebijakan kependudukan pemerintah kolonial, langgengnya pernyaian sebagai sebuah kejahatan yang niscaya, surutnya pernyaian sebagai efek politik gender 20 pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Bab III memposisikan cerita nyai dalam konteks sastra, antara lain lahirnya sastra Melayu Rendah di akhir abad ke-19, para penulis dan jenis karya yang termasuk di dalam korpus sastra Melayu Rendah, politik bahasa pemerintah kolonial melalui pendirian Balai Pustaka dan pembakuan bahasa Melayu Tinggi, cerita nyai dan “bacaan liar” serta problematisasi kategori “liar” tersebut. Bab IV akan menganalisis ragam representasi nyai dari berbagai karya sastra Melayu Rendah yang dipilih dengan pendekatan pascakolonial. Bab V memuat kesimpulan penelitian ini. 21 BAB II LATAR BELAKANG SOSIO-HISTORIS PERNYAIAN Menurut J. Th. Koks, kata nyai berasal dari bahasa Bali. Istilah tersebut muncul bersamaan dengan kedatangan gadis-gadis Bali ke Batavia yang, selama kurun waktu tertentu, menjadi pusat perhatian di kalangan Eropa. Kata itu juga dipakai dalam bahasa Jawa dan merujuk pada perempuan paruh baya yang dihormati. Selain itu, kata nyai digunakan juga untuk merujuk pada mistress atau concubine orang Eropa. 29 Sementara itu, Tineke Hellwig mengungkapkan bahwa kata njai ditemukan dalam bahasa Bali, Sunda dan Jawa yang berarti “perempuan muda, saudara perempuan termuda.” Selain merujuk pada gundik, kata tersebut juga dipakai sebagai kata sapaan. Banyaknya budak Bali sampai ke Batavia merupakan petunjuk, kata tersebut memang berasal dari bahasa Bali. Padanan kata dalam bahasa Belanda antara lain huishoudster, bijzit, menagerie, dan meid, sedangkan dalam bahasa Melayu kata yang digunakan ialah gundik atau munci. 30 Pendapat lain berasal dari Elsbeth Locher-Scholten yang membandingkan beberapa arti yang berbeda dari kata nyai ini. Mengutip Encyclopaediae van Nederlandsch-Indie Njahi 1919, ia menyebutkan bahwa nyahi nyai ialah gelar terhormat bagi para perempuan yang sudah lanjut usia tanpa gelar lainnya. 31 29 Hanneke Ming, “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920,” Indonesia 35 1983: 71. 30 Tineke Hellwig, Adjustment and Discontent Discontent Representations of Women in the Dutch East Indies Ontario: Netherlandic Press, 1994, 33. 31 Elsbeth Locher-Scholten, “The nyai in colonial Deli A case of supposed mediation,” dalam Women and Mediation in Indonesia, ed. Sita van Bemmelen, Madelon Djajadiningrat- 22 Dalam konteks Indonesia masa kini, kata ini masih tetap dipergunakan di Jawa Barat dan Madura untuk mengacu pada istri dari seorang kyai. Kata nyai dalam pengertian “pengurus rumah tangga orang Eropa” sudah dipergunakan setidaknya pada tahun 1826 kendati pemakaian kata tersebut mungkin sudah lebih lama. Namun demikian, menurutnya, tidaklah jelas apakah hal ini menunjukkan bahwa nyai pengurus rumah tangga dahulunya memiliki posisi yang terpandang dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu ataukah penggunaan kata tersebut dengan makna semacam itu hanyalah temuan orang Belanda tanpa implikasi lebih jauh terhadap posisi sang nyai. Kemungkinan besar, menurutnya, hal itu mengindikasikan devaluasi dari gelar tersebut. Mengingat kata “nyai” ini masih digunakan hingga sekarang, rujukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia 32 dapat dijadikan acuan. Kamus tersebut menyebutkan definisi kata “nyai” sebagai berikut. nyai n 1 panggilan utk perempuan yg belum atau sudah kawin; 2 panggilan utk perempuan yang usianya lebih tua dp orang yg memanggil; 3 gundik orang asing terutama orang Eropa nyai-nyai n sebutan kepada wanita piaraan orang asing Selain itu, Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS Poerwadarminta juga menyebutkan definisi poin 3, sedangkan dua definisi lainnya masing-masing “panggilan kepada perempuan tua” dan “adinda.” 33 Dari berbagai definisi yang diajukan tersebut ada kesamaan, yakni definisi “nyai” Nieuwenhuis, Elsbeth Locher-Scholten, dan Elly Touwen-Boowsma Leiden: KITLV Press, 1992, 266. 32 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008. 33 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976. 23 sebagai seorang perempuan yang tinggal—entah sebagai piaraan maupun pengurus rumah tangga—dengan orang asing, khususnya lelaki Eropa. Bab ini membahas sejarah munculnya pernyaian yang dimulai pada zaman VOC di mana VOC sendiri memfasilitasi perkawinan lelaki Eropa dengan perempuan pribumi berikut tentangan awal dari Jan Pieterszoon Coen terhadap pergundikan, langgengnya pernyaian tersebut sebagai sebuah necessary evil yang di antaranya marak dijumpai pada kehidupan di perkebunan dan barak, lalu tentangan terhadap pergundikan ini baik di Hindia Belanda maupun di Belanda, dan berakhirnya pernyaian seiring maraknya imigrasi perempuan Eropa ke Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

1. Munculnya pernyaian pada zaman VOC