54 turut memperkuat keberadaan pers bahkan hingga jatuhnya kekuasaan kolonial
Belanda pada tahun 1942. Mulai periode itu, kaum Peranakan Tionghoa mulai memiliki penerbitan sendiri. Menurut Pram, itu berarti mereka “lebih punya
kebebasan sendiri, atas pilihan sendiri dan dengan tanggung jawab sendiri.”
122
Namun, patut dicatat bahwa kebebasan pers sebelum tahun 1906 belumlah sepenuhnya. Sementara itu, pers pribumi sendiri mulai lahir setelah tahun 1900.
Medan Prijaji yang lahir pada 1906 di Bogor, Bandung dan Betawi serta dikomandoi oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo patut disebut sebagai tonggak pers
nasional. Dengan munculnya golongan Tionghoa dan pribumi dalam kancah penerbitan, peranan golongan Indo perlahan-lahan menyurut.
1.3. Perkembangan sastra Melayu Rendah dan para pendukungnya
Karya sastra Melayu Rendah yang muncul pertama kalinya ialah terjemahan dari khazanah sastra Eropa. Dari sinilah khalayak pembaca sastra di
Hindia Belanda berkenalan dengan bentuk-bentuk sastra modern. Ini tepatnya terjadi sekitar 1870-an. Memang sekitar 1850-an dalam penerbitan berkala sudah
muncul berbagai bentuk penceritaan kembali kisah-kisah rakyat di Nusantara maupun karya sastra Arab. Penceritaan kembali ini menggunakan bahasa Jawa
dan Melayu Rendah. Salah satu karya awal ialah Raja Pirangon karya T. Roorda 1844 yang berkisah tentang Firaun dan karya anonim Angling Darma 1853.
123
122
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia Jakarta: Hasta Mitra, 1982, 8.
123
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 24.
55 Penceritaan kembali kisah rakyat populer ke dalam bahasa Melayu Rendah
mengemuka pada tahun 1859.
124
Ini ditandai dengan penerbitan Bagaej-bagaej Tjerita di Batavia dan juga Inilah Kitab Taman Wandji Namanya, Jah itoe
Babrapa Hikayat Orang-orang yang Ampoenya Tjerita 1862 karya JGF Riedel di Ujung Pandang. Pada saat yang bersamaan, jenis karya berupa penceritaan
kembali ini pun muncul sebagai cerita bersambung dalam terbitan pers.
125
Bagaimana dengan bacaan yang dikonsumsi oleh pembaca peranakan Tionghoa? Rupanya mereka pun mengkonsumsi bacaan dari jenis yang serupa.
Akan tetapi, cerita yang diambil berasal dari kisah klasik Cina seperti Sam Kok yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa pada 1859. Barulah pada 1880-an
kisah ini muncul juga dalam bahasa Melayu Rendah.
126
Dari penceritaan kembali, bentuk karya sastra pada masa itu beralih ke karya terjemahan. Seperti telah disebutkan pada bagian terdahulu pada tahun 1857
terbit Lawah-Lawah Merah yang diterjemahkan dari sebuah novel Perancis dan Hikayat Robinson Crusoe dari novel Inggris. Sementara di kalangan masyarakat
peranakan Tionghoa, terbit terjemahan Tjerita Daholoe Kala di Benoea Tjina Tersalin dari Tjeritaan Boekoe Sam Kok 1883 sebanyak 12 jilid dan Tjerita
Dahoeloe Kala Lamijoe Wa-kong jaitu Wa-kong Poenya Mata Bertamba Satoe di mana Tengah Djidatnya, Djadi Tiga Matanja maka di mana Oedara atawa Boemi
jika Ada Beroepa Barang jang Baik atawa Tidak Baik Dia Bole Dapat Tahoe
124
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 24.
125
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 25.
126
G. Schlegel sebagaimana dikutip Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 25.
56 1884. Claudine Salmon, sebagaimana dikutip oleh Jakob Sumardjo,
menyebutkan setelah tahun tersebut 759 karya Cina diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu Rendah.
127
Terkait dengan pemecahan cerita ke dalam beberapa jilid, menarik jika kita menyimak apa yang dipaparkan oleh Noe Joe Lan. Menurutnya, penerbitan
cerita dengan jilid yang bersambung-sambung ini oleh penerbitan Belanda maupun Tionghoa berhubungan dengan “politik penjualan” atau siasat dagang.
Untuk masing-masing jilid harganya berkisar antara f 0,5 hingga f 2,50.
128
Jadi, pembaca tidak merasa kaget jika mengeluarkan uangnya untuk masing-masing
jilid tersebut sedikit demi sedikit. Secara ringkas bisa dirangkum bahwa tumbuhnya karya terjemahan
pertama-tama diawali oleh orang Belanda dan Indo pada 1870-an dan kemudian orang Cina dan peranakan pada 1880-an. Ini lantas disusul oleh golongan pribumi
pada 1890-an. Selama tiga dasawarsa inilah landasan bagi lahirnya karya sastra modern di tanah Hindia Belanda mulai diletakkan. Terbukti dengan terbitnya Njai
Dasima 1896 yang ditulis oleh G. Francis dan kumpulan tiga cerita pendek 1897 oleh penulis anonim.
129
Terbitnya karya ini disusul oleh berbagai karya lain yang ditulis dalam bahasa Melayu Rendah pada tahun-tahun selanjutnya. Menurut Pramoedya
127
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004,27.
128
Nio Joe Lan, Sastera Indonesia-Tionghoa Djakarta: PT Gunung Agung, 1962, 22.
129
Menurut Jakob Sumardjo, kemungkinan besar pengarang anonim tersebut berasal dari kalangan Tionghoa. Selain itu, menurut WV Skykorsky, di Perpus Uni Soviet sebenarnya masih
ada karya yang lebih tua, yaitu Hikajat Roh Manoesia A. Rogensburg, 1893 dan Boekoe Komidi Terpake bagi Komidi Stambul H. Kraff, 1893. Dalam Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu
Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 27 dan 29.
57 Ananta Toer, di dalam karya yang disebutnya sebagai karya sastra Melayu
asimilatif itu sudah terkandung pernyataan diri pribadi self expression. Inilah ciri yang membedakannya dengan sastra tradisional-konvensional lama.
130
Para penulisnya berasal dari berbagai kalangan, yakni orang Eropa dan Indo, orang
Tionghoa dan peranakannya, serta kaum pribumi. Umumnya para penulis karya sastra tersebut adalah wartawan. Seperti dikemukakan Claudine Salmon, karya
mereka dibaca oleh publik yang beraneka ragam sehingga mereka ikut mempersatukan bahasa Melayu yang dipakai di Jawa.
131
Pada periode 1890-an, golongan Belanda dan Indo yang sejak 1850 hingga 1880-an sudah aktif dalam pers dan sastra terjemahan telah melahirkan karya-
karya sastra modern dengan sumber berbagai kejadian di Indonesia.
132
Beberapa penulis Belanda yang patut disebut di sini antara lain H. Kommer yang pada 1900
menulis beberapa kisah nyai Tjerita Siti Aisah, Tjerita Nji Paina, Njai Sarikem dan Tjerita Njonja Kong Hong Nio. Selain itu ada pula F. Wiggers yang menulis
Lelakon Raden Beij Soerio Retno 1901, novel Nona Gelatik dan Syair Java- Bank Dirampok 1902 dan novel Nji Isah 1903, serta HFR Kommer
menerbitkan karyanya berupa novel berjudul Nona Leonie 1902. Sementara itu, penulis dari kalangan pribumi antara lain FDJ Pangemanann yang menulis novelet
Tjerita Si Conat 1900 dan Tjerita Rossina 1903. Salah satu penulis yang juga pionir pers pribumi ialah Raden Mas Tirto Adhisoerjo yang menulis cerita
130
Pramoedya Ananta Toer, Tempoe Doeloe Antologi Sastra Pra-Indonesia Jakarta: Hasta Mitra, 1982, 12.
131
Salmon, “Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?”, 107.
132
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 31.
58 Perboeatan Seorang Gadis Riwajat pada Masa Sekarang 1902, Doenia
Percintaan, 101 Tjerita yang Soenggoeh soedah Terjadi di Tanah Priangan 1906, Menemoe Tjinta dalam Kereta Api 1903, Pertoenangan Sia-sia 1903,
Mentjari Oentoeng 1903, Tjerita Njai Ratna 1909, Membeli Bini Orang 1909, Boesono 1912, Njai Permata 1912. Hadji Moekti juga mungkin bisa
dimasukkan ke dalam kategori penulis pribumi meskipun ia konon berdarah campuran Indo-Eropa. Pada tahun 1912 ia menulis Hikajat Siti Mariah yang
dimuat secara bersambung dalam Medan Prijaji. Para penulis yang beraliran sosialis juga turut meramaikan khazanah sastra Melayu Rendah. Di antaranya,
Mas Marco Kartodikromo dengan karyanya Mata Gelap 1914, Syair Rempah- rempah sebanyak lima jilid 1919, Student Hidjo 1919, Si Bejo Jurnalis
Berontak 1919, R.A. Tien 1919, Rasa Merdika 1924 dan beberapa cerpen, serta Semaun dengan karyanya yang cukup terkenal Hikajat Kadiroen 1924.
133
Adapun para penulis peranakan Tionghoa tak kurang produktif. Claudine Salmon mencatat ada 3.005 karya berbahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh para
penulis peranakan Tionghoa. Berbagai cerita tersebut memunculkan tema yang beragam. Persoalan
cinta yang terlarang, kawin paksa, bunuh diri karena patah hati dan perkawinan antarras adalah tema umum yang mengemuka. Adalah kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri bahwa karya sastra Melayu Rendah ini turut mempengaruhi karya Melayu Tinggi, setidaknya dalam hal tema yang ditampilkan. Siti Nurbaya,
133
Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu Rendah Masa Awal Yogyakarta: Galang Press, 2004, 32.
59 misalnya, sering disebut sebagai roman yang bertemakan kawin paksa—sesuatu
hal yang amat lazim pada masa tersebut. Menurut Jakob Sumardjo, secara umum ada beberapa fungsi karya sastra
Melayu Rendah. Pertama adalah didaktis murni. Dalam cerita semacam ini, terdapat tokoh protagonis orang baik dan bertahan baik di tengah pelbagai cobaan.
Kedua, karya sastra dengan standar ganda di mana terdapat protagonis jahat, biasanya nyai yang berselingkuh. Akan tetapi, fungsinya didaktis juga. Ketiga,
intelektual. Cerita tersebut mengetengahkan persoalan aktual zaman dari lingkungan kaum elit zaman penjajahan, baik pribumi maupun gabungan pribumi
dan Belanda.
134
Terlepas dari pelbagai fungsi tersebut, karya sastra Melayu Rendah bisa digolongkan ke dalam karya sastra populer yang kehadirannya turut
mewarnai dunia kesusastraan di Nusantara pada masa awal.
1.4. Cerita tentang pernyaian