42 Orang Sunda, Menado dan Ambon tampaknya bersedia memberi izin anaknya
menikah dengan orang Eropa.
94
Sebagaimana disebutkan Ming pada 1919 muncul penolakan langsung dari kalangan pribumi terhadap pergundikan. Dr. Cipto Mangunkusumo, misalnya,
menulis bahwa seorang perempuan pribumi tidak seharusnya menjadi “pelayan ekstra” extraordinary maidservant alias gundik dan pantas melewati hari-
harinya dengan bersembunyi “jauh di dalam kampung sebagai ibu dari anak-anak yang baik.”
95
4. Berakhirnya pernyaian
Menurut Ann Laura Stoler, hingga 1920 di wilayah Malaya pergundikan ditolerir karena golongan kulit putih yang miskin poor whites tidak bisa
diterima. Prestise orang kulit putih dianggap akan terancam apabila lelaki kulit putih menjadi miskin karena mempertahankan gaya hidup kelas menengah Eropa
beserta istri dari ras yang sama. Sementara itu, hal yang sebaliknya justru terjadi di Jawa. Pada akhir abad ke-19 pergundikan dianggap sebagai sumber kemiskinan
golongan kulit putih white pauperism.
96
Oleh karena itu, menurut Stoler, perubahan kebijakan dan praktik pergundikan itu bersesuaian dengan “afirmasi
hierarki sosial dan divisi rasial” yang bersifat ambigu. Faktor yang mendukung prestise itu elastis: pada suatu saat pergundikan secara sosial diterima dan
94
Ming, “Barracks-Concubinage,” 88.
95
Ming, “Barracks-Concubinage,” 89.
96
Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat dalam Stoler, “Making Empire Respectable,” 378.
43 didukung secara sosial, namun pada waktu lain dianggap menjadi ancaman
politis.
97
Sebagaimana dicatat Hellwig, antara 1890-1920 terjadi peningkatan migrasi yang cukup tinggi: laki-laki sebanyak dua ratus persen, perempuan tiga
ratus persen. Salah satu efek dari tingginya migrasi itu adalah percepatan Eropanisasi masyarakat Indis yang membuat kaum Indo lantas risih dengan darah
campurannya.
98
Senada dengan apa yang diungkapkan Hellwig, Stoler juga menyebutkan bahwa kedatangan perempuan Eropa secara besar-besaran di awal
abad ke-20 pada gilirannya membawa tuntutan perubahan bagi komunitas kulit putih untuk “menegaskan kelasgolongan mereka, meneguhkan batas-batas, dan
menandai ruang sosial mereka.”
99
Selama ini, para nyai dianggap telah membuat lelaki kulit putih mengadaptasi perilaku dan adat kebiasaan kaum pribumi going
native. Dengan hadirnya para perempuan Eropa keadaan ini berangsur-angsur berubah. Para perempuan kulit putih yang dianggap sebagai “puncak peradaban
Barat,”
100
sebaliknya, memperjelas hegemoni kulit putih dan dengan demikian mempurifikasi kehidupan golongan Eropa di Hindia Belanda.
Sebagaimana Hellwig dan Stoler, Hanneke Ming juga mengatakan bahwa pada akhir abad ke-19 jumlah perempuan Eropa meningkat dan masyarakat Indis
semakin totok.
101
Memang setelah 1890, pergundikan menyurut. Namun, hal ini diikuti dengan maraknya prostitusi. Ming juga mencatat bahwa pada perempat
abad ke-19, golongan Kristen makin berperan dalam kehidupan sekular lewat
97
Stoler, “Making Empire Respectable,” 379.
98
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
99
Stoler, “Making Empire Respectable,” 379.
100
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
101
Ming, “Barracks-Concubinage,” 92.
44 berbagai saluran politiknya dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Oleh
karena itu, golongan Kristen yang kontra pernyaian turut memberi tekanan pada pelaku pergundikan.
102
Sementara itu, pada 1902 pemerintah menunjuk Commission on Pauperism untuk menginvestigasi kemiskinan golongan Indo.
103
Komisi ini menjadi waspada akan pertumbuhan golongan Indo-Eropa karena kemelaratan
mereka karena hal tersebut akhirnya menimbulkan serangkaian konsekuensi politik dan finansial terhadap pemerintah Hindia Belanda. Oleh sebab itulah,
mereka berupaya untuk mempertahankan jumlah golongan Indo sekecil mungkin. Perlahan-lahan pemerintah kolonial bersiap-siap secara finansial untuk
mengurangi pergundikan. Salah satunya ialah dengan menaikkan gaji para pegawai nonkomisi non commissioned officer supaya posisi mereka lebih baik
dan bisa menikah. Sebagaimana disebutkan Ming, dari fakta ini bisa disimpulkan bahwa pemerintah kolonial mengantisipasi perkawinan dengan perempuan Eropa
dan bukan dengan nyai. Nyai dari kalangan pribumi kebutuhannya lebih sedikit. Sementara itu, perempuan Eropa memiliki standar materi maupun moral lebih
tinggi.
104
Kendati selama kurun waktu tertentu pemerintah Hindia Belanda mentolerir dan melindungi pergundikan, baik nyai maupun anaknya tidak pernah
dijamin keamanannya dalam bentuk apapun. Padahal, semangat tempur para tentara Hindia bersandar pada perempuan pribumi dan anak-anak tersebut.
105
102
Ming, “Barracks-Concubinage,” 92.
103
Hellwig, Adjustment and Discontent, 38.
104
Ming, “Barracks-Concubinage,” 71.
105
Ming, “Barracks-Concubinage,” 93.
45
BAB III KONTEKS SASTRA MASA KOLONIAL
Bahasa Melayu, yang selanjutnya disebut bahasa Indonesia, pertama kali diumumkan sebagai bahasa persatuan di Nusantara pada tahun 1928 lewat
Sumpah Pemuda. Namun, seringkali tidak disadari bahwa bahasa tersebut mengalami proses yang tidak sederhana untuk menjadi bahasa sebuah bangsa
seperti yang kita kenal saat ini. Cikal-bakal bahasa Melayu tersebut tidak dapat dipisahkan dari serangkaian kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia
Belanda pada waktu itu. Pemerintah kolonial secara sengaja menjalankan politik bahasa untuk mempertahankan kepentingan politisnya.
Salah satu turunan dari politik bahasa tersebut ialah dipopulerkannya apa yang disebut bahasa Melayu Tinggi kepada masyarakat pribumi. Di antaranya
melalui karya sastra yang diterbitkan Balai Pustaka. Sementara itu, bahasa yang menghubungkan pelbagai orang dari suku bangsa dan etnis serta dipakai dalam
percakapan sehari-hari, yakni bahasa Melayu yang sering disebut Melayu Rendah, justru perlahan-lahan disingkirkan. Konsekuensi dari hal tersebut produk-produk
budaya yang menggunakan medium bahasa tersebut juga termarjinalkan, termasuk di dalamnya karya sastra Melayu Rendah. Bab ini mencoba memberikan
konteks dinamika bahasa Melayu Rendah, bahasa yang digunakan dalam cerita- cerita nyai yang dikaji dalam penelitian ini serta politik bahasa yang dijalankan
oleh pemerintah kolonial terkait dengan marjinalisasi karya sastra Melayu Rendah.
46
1. Bahasa dan karya sastra Melayu Rendah