109 ini diduga Henri sebagai pribumi ternyata Indo atau “Belanda peranakan” karena
ia lahir dari hubungan antara seorang perempuan pribumi, Sarinem, dan seorang lelaki Eropa, Elout van Hogerveldt. Jadi, Mariah memiliki darah Eropa. Maka,
cerita tersebut tetap menyiratkan idealisasi tentang cinta sesama ras: tidak mungkin orang Eropa mengalami cinta sejati dengan orang yang bukan Eropa. Di
sinilah letak ambivalensinya: seolah-olah lelaki Eropa jatuh cinta pada perempuan pribumi, tetapi ternyata cinta sejati itu hanya mungkin dialami dengan perempuan
yang keturunan Eropa juga. Ambivalensi lainnya ialah bahwa kendati ia seringkali diidentifikasikan
sebagai pribumi karena dibesarkan oleh pribumi, kualitas-kualitas positif yang dilekatkan pada Mariah sabar, tegar, penuh pengorbanan bisa dibaca sebagai
karakter yang ia warisi karena darah Eropa-nya. Jadi, meskipun di dalam cerita orang pribumi tampil sebagai pihak yang baik dan dilawankan dengan orang-
orang Eropa yang buruk di sini masih tersirat adanya gagasan tentang superioritas orang Eropa yang dipandang lebih baik daripada kaum pribumi.
4. Pernyaian dan perkawinan
Sebagaimana telah diuraikan dalam Bab II, pernyaian merupakan fenomena yang umum di Hindia Belanda dan telah memiliki sejarah yang
panjang, yakni sejak munculnya VOC di Nusantara. Hal ini tidak berarti keberadaan institusi tersebut lepas dari kontroversi. Sepanjang keberadaannya,
berbagai suara yang menentang pernyaian juga mengemuka. Akan tetapi, pernyaian tetap bertahan sebagai salah satu bentuk regulasi seksual yang didukung
110 pemerintah kolonial. Alasannya pertama-tama terkait dengan kepentingan
ekonomi. Seperti yang dikatakan Ann Laura Stoler, regulasi seksual ini sangatlah penting terhadap perkembangan permukiman kolonial beserta alokasi aktivitas
ekonomi di dalamnya. Bagian ini akan melihat ambivalensi dalam wacana mengenai pernyaian dilihat dari plot cerita secara keseluruhan yang dibandingkan
dengan detil cerita. Dalam Tjerita Njai Dasima, disebutkan secara eksplisit cinta Tuan Edward
W. terhadap Nyai Dasima, terutama karena Nyai Dasima rajin dan terampil dalam pekerjaan rumah tangganya, ”maka Toean W. tjinta dianja ibarat dia poenja bini
kawin, segala hartanja dia kasi itoe Njai pegang”
208
serta dari hubungan itu sudah lahir seorang putri, Nanci, yang sangat dicintai oleh Tuan W. Akan halnya
perasaan Dasima terhadap Tuan W. sendiri digambarkan lewat suara tokoh Samioen yang memandang bahwa Dasima ”terlaloe tjinta kapada itoe kafir”
209
dan tokoh Ma Boejoeng yang menganggap bahwa “dia poenja kahidoepan terlaloe tjinta satoe sama laen, dan itoe Toean pertjaja semoea hartanja dan sekalian
roema-tangganja kepada dianja; dia idoep lebi-lebi dari atoeran orang terkawin.”
210
Dibaca dari sudut pandang yang dominan, pernyaian di dalam cerita ini merupakan jenis hubungan yang mampu mengakomodasi cinta antara sang
tuan dan nyainya terlepas dari statusnya yang tidak resmi. Sementara itu, setelah bercerai dengan Tuan W., Dasima menikah dengan
Samioen. Demikian gambaran kehidupan perkawinan Dasima.
208
Toer, Tempo Doeloe, 225.
209
Toer, Tempo Doeloe, 226.
210
Toer, Tempo Doeloe, 229.
111 “Dia poenja giwang, tjintjin dan gelang bertaboer intan ditoekar dengen
giwang piroes dan tjintjin bela rotan perak, tiada pake gelang, serta misti membantoe masak dengen koki di dapoer, serta misti lajanin lakinja,
mertoeanja dan madoenja ibarat satoe boedak, tadinja di roemah Toean W. dia dilajanin oleh boedjang-boedjang, dan sekarang dia misti djadi boedak
orang, djikaloe tiada betoel kerdjanja, dia dapet mara dan dapet bentakan dari madoenja, maka o, kesian sekali, itoe penjeselan hati soeda moelain
datang…”
211
Dasima merasakan kehidupannya dalam perkawinan yang resmi—secara hukum dan agama—justru jauh dari kebahagiaan dan bertolak belakang dengan
kehidupannya dalam pernyaian. Ketika hidup sebagai seorang nyai, Dasima memiliki cukup otonomi dan kekuasaan—terhadap harta, terhadap kehidupan
rumah tangga. Ketika ia menjadi seorang istri dari lelaki pribumi, justru otonomi tersebut lenyap: dari sosok yang punya kekuasaan, ia justru menjadi subordinat,
menjadi “boedak orang” demikian menurut kata-kata Dasima. Keseluruhan plot cerita Tjerita Njai Dasima secara dominan menyuarakan
bahwa pernyaian merupakan bentuk hubungan yang bisa mengakomodasi cinta antara sang tuan dan nyainya terlepas dari statusnya yang tidak resmi. Perkawinan
antara perempuan pribumi dengan lelaki pribumi dianggap lebih buruk karena dapat menurunkan status perempuan tersebut. Hal ini sebagian terkait juga dengan
praktik poligami dan ajaran agama yang tidak berpihak pada perempuan. Namun demikian, dilihat dari sisi lain, cerita tersebut juga menunjukkan adanya
ambivalensi di dalam wacana tentang pernyaian ini. Hal tersebut hadir melalui kritik terhadap status nyai yang dipandang rendah melalui suara tokoh Hajati, istri
Samioen.
211
Toer, Tempo Doeloe, 240.
112 “Embok Saleha poedji itoe Njai poenja roepa, begitoe poenya bagoes,
tetapi sajang sekali dia djadi goendiknja orang koelit poeti, prampoean begini pantas djadi bini kawin orang Slam, jang berpangkat, ataoe kaja,
sebab dia boleh dapet lebih banjak kehormatan”
212
Selain itu kritik tentang ketidakjelasan status Dasima, yang sebagai piaraan Tuan
W. “boekannja bini kawin, dan boekan boedak,”
213
juga disuarakan oleh tokoh Ma’ Boejoeng. Di sini suara tersebut memperoleh peneguhan dari ajaran agama
yang memandang bentuk hubungan nyai-tuan sebagai perzinahan. “Boeat apa Njai takoet sama Toean, djikaloe dia sajang sama Njai betoel-
betoel, tentoe dia soeda kawin sama Njai. Dia ada satoe orang koelit poeti, kaloe dia dapat bangsanja, tentoe dia boewang sama Njai, begitoe djoega
dia poelang ke negrinja dan anak Njai dia ambil, tinggal Njai sebatang karang, tiada poenja sanak-soedara dan tiada poenja kenalan disini maka
itoe Njai idoep sama Toean ada kahidoepan berdjina, tiada nikah begimana soeda dipesan oleh Nabi Moehamad, haroes Njai lekas-lekas toentoet
agama, soepaja djangan menjesal di blakang kali.”
214
Ketidakjelasan status nyai serta gagasan pernyaian sebagai bentuk perzinahan itu juga disuarakan melalui suara Dasima sendiri. Berikut petikannya.
“…saja ikoet sama Toean soeda begini poenja lama, tiada kawin, djadi berdjinah, besok loesa kaloe Toean kawin dengen Toean poenja bangsa
ataoe Toean poelang ka Toean poenja negri, djadi saja telantar, tiada oeroes saja poenja djiwa, maka itoe Toean kasi ataoe Toean tiada kasi, saja
minta lepas dari Toean,… .”
215
Dalam bagian lainnya, diceritakan pula Tuan W. bernegosiasi dengan Dasima lewat ajakan masuk ke dalam agama Kristen dan menikah secara resmi untuk
“menimboelkan hormatnja kita poenja anak.”
216
Jadi, di sini perkawinan resmi tetaplah dipandang lebih baik daripada pernyaian karena hal ini sejalan dengan
212
Toer, Tempo Doeloe, 234.
213
Toer, Tempo Doeloe, 231.
214
Toer, Tempo Doeloe, 235.
215
Toer, Tempo Doeloe, 238
216
Toer, Tempo Doeloe, 238.
113 moralitas perkawinan Kristiani yang dijunjung tinggi oleh orang Eropa pada masa
itu. Salah satu konstruk yang termuat di dalam wacana kolonial ialah konstruk
mengenai perkawinan. Diandaikan bahwa orang Eropa sudah lebih “modern” di mana seseorang bebas menentukan jodohnya sendiri yang didasarkan atas cinta
atau suka sama suka. Tidak ada campur tangan keluarga ataupun orang-orang sekeliling di dalam pilihan tersebut. Hal ini sangat berkebalikan dengan orang
pribumi yang konon masih “kolot” karena seseorang belum bebas dalam memilih jodohnya sendiri. Ia masih tergantung pada keluarga dan orang-orang dekat di
dalam mengambil keputusan tersebut. Ada kalanya ia pada akhirnya tidak bisa bersatu dengan orang yang ia cintai karena tentangan dari lingkungan. Tak jarang
ia dijodohkan atau justru dikawinkan paksa dengan orang yang tidak ia cintai. Tjerita Nji Paina menunjukkan ambivalensi terkait hal tersebut. Tokoh
Paina yang pribumi justru memperlihatkan sikap aktif di dalam menentukan jodohnya di mana perasaan suka sangat berperan dalam pilihan tersebut. Hal ini
tersirat ketika ayahnya menyampaikan “pinangan” Briot terhadap Paina untuk menjadi nyainya sebagai syarat kebebasan sang ayah dan Paina menolak dengan
tegas. “Apa, djadi njainja tjeleng alas itoe?” [sic] Tiada sekali-kali. Bebrapa orang melamar padakoe, tetapi koe soedah tampik dan sekarang koe hendak didjadiken
boedaknja si tjeleng alas itoe?”
217
Jadi, di sini tersirat bahwa Paina memiliki kebebasan untuk memilih jodohnya sendiri. Jika dalam bagian sebelumnya
diceritakan bahwa ia sudah memiliki tunangan, namun tunangannya itu kemudian
217
Toer, Tempoe Doeloe, 327.
114 meninggal karena sakit, hal itu perlu ditempatkan dalam konteks ini: ia
ditunangkan dengan orang yang juga ia sukai. Gagasan ini pada akhirnya juga dipertegas dengan kehidupan perkawinannya dengan lelaki sebangsanya yang
disebutkan bahagia setelah kematian Briot. Cerita Nyai Ratna menyampaikan gagasan-gagasan mengenai pernyaian
secara cukup eksplisit. Hal tersebut pertama-tama bisa dibaca dari sikap Ratna terhadap perkawinan. Ratna Purnama yang cantik dikisahkan menjadi seorang
janda setelah suaminya meninggal dunia. Ia menikah lagi untuk kedua kalinya, tetapi perkawinan itu tidak membawa kebahagiaan baginya karena “tersia-siakan
kesetiaannya”
218
dan pada akhirnya ia diceraikan oleh suaminya itu. Pengalaman inilah yang membuat Ratna pada akhirnya “punya adat tidak mau dimadu.”
219
Dari percakapan antara Brata, Nyi Brata dan Ratna terungkap keadaan yang lazim pada waktu, yakni poligami, sehingga sudah jamak seorang
perempuan dimadu, sedangkan seorang lelaki memelihara isteri lebih dari satu, apalagi hal itu “diperkenankan oleh agama.”
220
Akan tetapi, jenis hubungan semacam itu tampaknya bukan sesuatu yang diidealisasikan. Dalam hal ini,
perkawinan perempuan pribumi dengan lelaki pribumi yang statusnya sederajat lebih dianggap ideal. Demikian gagasan ini muncul lewat suara tokoh
Ratna. “Ia hanya ingat kata bibinya, bahwa perempuan asal kecil seperti dia
seboleh-boleh agar berlelaki dengan orang yang sepantar, barulah dapat kesenangan. Adapun lelaki bangsawan itu niscaya kurang kekal
kecintaannya karena ada beberapa halangannya dan martabat si isteri tidak jauh bedanya dengan martabat si kembang, yang digubah seperti buket
218
Toer, Sang Pemoela, 379.
219
Toer, Sang Pemoela, 369.
220
Toer, Sang Pemoela, 371.
115 selagi segar, tidak kurang kehendakan tidak kurang rawatan, tetapi, kalau
sudah layu ia dapat tiada dijadikan sampah.”
221
Meskipun pernikahan dengan lelaki yang didasarkan pada prinsip
kesetaraan itu cukup ideal, ada pilihan lain yang dianggap lebih ideal bagi seorang perempuan pribumi. Hal ini terungkap dari dialog antara Nyi Brata dan Ratna
sebagai berikut. “Bekal? … Belanja sehari paling banyak juga satu kuwat, kadang sehari
kagak sekali dikasih. Apa perlunya siksa diri begitu Tanggung-tanggung. Mendingan ikut Belanda, kenyang makan, kenyang pakai, diindahkan dan
tidak dicemburui. Kalau sama bangsa sendiri yang sepantar, kalau yang kaya bikin sakit hati kita, kalau yang miskin kita seumur-umur enggak
dapat kesenangan…”
Ratna membengong memikirkan segala kata bibinya. Semakin jauh ia pikirkan, semakin ia yakin bahwa segala kata bibinya betul belaka.
Ingatan Ratna kembali pada ketika ia menunggu kedatangan lakinya yang kedua. Ia ingat betapa maingnya
222
sudah ceritakan perkara dirinya yang lantaran ia dimadu sampai ia jadi ronggeng supaya melepaskan siksa
tambang lakinya, dia lantas jadi nyai-nyai Belanda, dan supaya menjatuhkan talaknya ia sudah pura-pura memeluk Nasrani. Kemudian
baru ia senang kawin dengan baing,
223
senang karena maing sudah mampu sehingga lakinya hidup dari kekayaannya. Dia mampu karena jadi nyai,
sehingga punya sawah beberapa bahu, punya kerbau, pakaian mas-intan, rumah, sehingga ditinggal mati masih dia punya bekal buat menunggu
kematiannya sendiri. Bila pikir lebih jauh maka dapat dimengerti sebabnya isteri-isteri bangsanya sudah banyak yang jadi nyai-nyai, dan kemudian
nyai-nyai bekas itu naik martabat dan harga dirinya, lebih-lebih perempuan-perempuan setiawan, yang sopan-santun, yang tidak berjalan
bengkok. …”
224
Di sini menjadi nyai dari seorang lelaki Eropa dianggap sebagai pilihan yang lebih baik bagi seorang perempuan pribumi daripada menjadi istri dari
seorang lelaki pribumi, entah yang statusnya setara maupun tidak setara dengan perempuan tersebut. Ini karena dengan menjadi nyai, seperti diperlihatkan oleh
221
Toer, Sang Pemoela, 372.
222
Bibi.
223
Paman.
224
Toer, Sang Pemoela, 374.
116 tokoh Ratna, perempuan tersebut justru memiliki akses terhadap materi,
kekuasaan dan status sosial yang lebih di mata masyarakat. Jadi ditinjau dari berbagai segi, plot secara keseluruhan menyampaikan suara bahwa hidup sebagai
nyai dari lelaki Eropa dipandang sebagai pilihan yang lebih baik daripada berbagai kemungkinan lainnya perkawinan dengan lelaki pribumi yang sederajat
maupun yang tidak sederajat. Kendati demikian, dibaca dari sisi lain, akan tampak ambivalensi wacana
mengenai pernyaian dalam cerita ini. Bertolak belakang dengan Tjerita Njai Dasima di mana pernyaian dipandang mampu mengakomodasi cinta antara nyai
dan tuannya, di dalam cerita ini pernyaian dianggap tidak bisa memenuhi peran tersebut. Pernyaian hanya dianggap sebagai bentuk hubungan yang dilakukan
demi alasan pragmatis, yakni untuk meningkatkan status sosial dan mengakses materi. Bagi tokoh Ratna, menjadi nyai adalah peluang untuk mencari
penghidupan yang lebih baik daripada orang-orang pribumi pada umumnya. Dengan otonomi yang ia miliki berkat statusnya sebagai gundik orang Eropa, ia
bebas mencari cinta di luar hubungan dengan tuannya yakni dengan menjalin asmara dengan lelaki pribumi, Sambodo serta menikmati kesenangan dengan
lelaki-lelaki lain yang dapat dibeli dengan uangnya. Selain itu, setelah perempuan tersebut tidak menjadi nyai lagi, ia bisa mengakses kehidupan yang lebih baik
tatkala ia membangun rumah tangga dengan lelaki pribumi. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, terkait dengan sikap
terhadap perkawinan, nilai orang Eropa terkait perkawinan dianggap lebih “modern” karena membebaskan seseorang untuk memilih jodohnya sendiri. Hal
117 ini berkebalikan dengan nilai kaum pribumi yang diandaikan “kolot” dengan
kebiasaan kawin paksa atau perjodohan. Namun di dalam Hikayat Siti Mariah, dikotomi antara keduanya dibaurkan: justru Joyopranoto yang pribumi
memberikan kebebasan pada anaknya, Mariah, untuk memilih jodohnya sendiri lewat pernyaian, sedangkan Nyonya von Holstein yang orang Eropa berusaha
dengan segala cara menjodohkan anaknya, Luci, dengan Henri yang juga Eropa totok lewat perkawinan.
Di dalam Hikayat Siti Mariah, disebutkan secara eksplisit bahwa pada masa itu lumrah bagi seorang pejabat Eropa yang punya kedudukan untuk
memelihara seorang nyai yang akan mengurus rumah tangganya. Praktik mengambil nyai itu juga terkait dengan alasan kesehatan. Namun, dalam cerita
juga disampaikan bahwa suatu saat sang tuan tersebut harus melepas nyainya untuk kemudian menikah dengan perempuan Eropa. Dalam Hikayat Mariah, hal
tersebut ditentukan oleh status dari lelaki Eropa: semakin tinggi status sosialnya, ia harus semakin menyesuaikan diri dengan norma-norma yang dianggap pantas
bagi orang Eropa. Dengan demikian, memelihara seorang nyai yang notabene tidak dinikahi secara sah, berasal dari ras yang berbeda serta status sosial yang
lebih rendah pula, dipandang tidak layak bagi seorang lelaki Eropa yang status sosialnya meningkat karena jabatan dalam pekerjaan, misalnya. Ini misalnya
terungkap dalam pandangan Nyonya Von Holstein, pemilik pabrik gula Sokaraja tempat Henri bekerja yang disampaikan kepada Henri Dam.
“Zoo, tuan Dam. Saya mendapat kabar tuan piara Mariah dan sudah beranak malah. Itu tidak mengapa, biasa saja. Tetapi kau mesti berfikir
lebih jauh lagi. Seorang opsiner piara nyai-nyai itu lumrah. Tapi administratur Wakil saya sendiri yang besar kuasanya Tidak patut piara
118 nyai. Mesti buang nyai itu Mesti kawin dengan nona secara wajar dan
sopan, yang dapat menerima tamu sebagaimana mestinya. Ingat, tuan Dam, jangan hendaknya membuang rejeki dan melalaikan adat. …”
225
Buruknya pernyaian juga didukung oleh bagian cerita yang mengisahkan cerainya Mariah dari Henri Dam akibat guna-guna dan tipu daya Nyonya
Holstein. Sisi eksploitatif dari pernyaian kembali tampil, yakni ketika Mariah terpaksa menanggung konsekuensi dari statusnya sebagai seorang nyai: sewaktu-
waktu bisa dilepaskan begitu saja oleh tuannya dan dipisahkan dari anaknya. Seperti yang telah disebutkan dalam Bab II, menurut Aturan mengenai
Perkawinan Campur yang diberlakukan sejak tahun 1808, seorang nyai yang anaknya diakui oleh ayahnya tidak memiliki hak apapun terhadap anak tersebut.
Ini terjadi ketika sang ayah yang Eropa mencatatkan anaknya secara hukum sehingga ia berhak menyandang status seperti ayahnya, yakni sebagai orang
Eropa. Gagasan mengenai posisi pernyaian yang lebih buruk daripada perkawinan
juga tersirat pada akhir cerita. Setelah Mariah, yang telah berganti status sebagai Nyonya janda Esobier, bertemu kembali dengan Henri Dam, yang juga telah
berganti nama menjadi Tuan Henri Hubrecht, mereka pada akhirnya menikah dan hidup bahagia bersama anak mereka. Jadi, plot secara keseluruhan menunjukkan
bahwa bentuk hubungan yang paling baik bagi perempuan pribumiIndo dengan lelaki Eropa adalah perkawinan alih-alih pernyaian.
Dalam hal ini ambivalensi muncul dalam pengalaman Henri Dam dan Mariah yang justru bahagia kendati hidup sebagai tuan dan nyai karena cinta hadir
225
Haji Mukti, Hikayat Siti Mariah, 149.
119 dalam hubungan tersebut. Di sini bentuk hubungan tidak dipermasalahkan asalkan
di dalamnya ada cinta dan pernyaian ternyata mampu mengakomodasi cinta antara kedua pihak yang terlibat di dalamnya. Bagi Henri, Mariah yang ia angkat sebagai
nyainya adalah orang yang ia cintai dan ketika atasannya mengajukan gagasan untuk melepas nyainya, ia meragukan bahwa “cinta bisa tukar badan.”
226
Demikian diungkapkan tokoh Henri Dam. “Untuk piara nyai memang tak ada halangan. Tak perlu malu. Tuan
administratur bukan saja mengijinkan, malah mendorong. Lagi pula semua kawannya piara nyai juga. Ia akan hidup bersama Mariah sampai mati.
Hidup manis, rukun tak terpisahkan. Itu yang ia pinta, ia harap. Itu saja sudah cukup, sudah untung besar. Nanti sesudah berumur 23, terlepas dari
kekuasaan wali, Mariah akan dikawini. Tak bakal ia buang dia untuk mengawini nona Belanda. Cintanya cuma satu, sampai mati, tak bisa
diganti.”
227
Demikianlah Henri Dam dan Siti Mariah yang saling mencintai menjalani “kehidupan yang amat manis dan rukun, dan mendapat berkat dari orangtua dan
semua keluarga, terpuji oleh handai-taulan”
228
. Kehidupan mereka juga makin lengkap ketika lahir anak dari hubungan tersebut.
Bisa disimpulkan bahwa Hikayat Siti Mariah mengidealisasikan perkawinan sebagai bentuk hubungan yang paling baik dan pernyaian dianggap
kurang baik karena berbagai sebab. Tetapi, wacana mengenai pernyaian ini juga ambivalen karena pernyaian ternyata juga mampu mengakomodasi cinta antara
lelaki Eropa dan perempuan pribumi.
5. Hubungan nyai-tuan