Utusan Daerah dan Utusan Golongan

2.3. Utusan Daerah dan Utusan Golongan

Semasa Republik Indonesia Serikat RIS pada tahun 1949-1950 sebelum dibentuk Utusan Daerah atau Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia, lembaga negara yang khusus mewakili kepentingan daerah diwakili oleh senat. Keberadaan senat dibentuk karena negara Indonesia saat itu merupakan negara federasi, dan pada saat itu struktur parlemen Indonesia bersifat bikameral. Dalam konstitusi RIS, selain keberadaan DPR yang diatur dalam Bab III Pasal 98 sampai dengan Pasal 121, keberadaan Senat juga diatur dalam Bab II Pasal 80 sampai dengan Pasal 97. Setiap senat mewakili daerah-daerah bagian dan setiap daerah bagian mempunyai dua anggota dalam senat Pasal 80 ayat 1 dan 2. Anggota senat ditunjuk oleh pemerintah daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan yang memuat tiga calon untuk tiap-tiap kursi. 123 Senat mengadakan rapat-rapat di Jakarta kecuali jika dalam hal-hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain. Rapat-rapat yang membahas pokok- pokok sebagai yang dimaksud dalam Pasal 127 sub a dan Pasal 168 harus terbuka bagi umum, kecuali jika ketua menimbang perlu ataupun sekurang-kurangnya lima anggota menuntut agar pintu tertutup bagi umum. Anggota senat berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing 2 anggota dari tiap negara bagian. Ketua senat diangkat oleh presiden berdasarkan saran atau anjuran yang dimajukan oleh senat atau sebagian anggota senat. 124 123 Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,Yogyakarta : FH-UII Press, hal. 159-160. 124 Reni Dwi Purnomowati,S.H.,M.H., Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 143. Senat dapat mengundang menteri untuk turut serta dalam permusyawaratan dan memberi keterangan di dalamnya. Tetapi senat tidak boleh bermusyawarah atau Universitas Sumatera Utara mengambil keputusan jika yang hadir tidak lebih dari setengah jumlah anggota sidang. Apabila dalam pengambilan keputusan belum menemukan hasil, maka keputusan akhir dilakukan dengan undian. 125 Di samping melakukan kekuasaan legislatif, senat berfungsi sebagai majelis penasihat bagi pemerintah. Pada dasarnya senat selalu membahas masalah yang berhubungan dengan kepentingan negara bagian. 126 Pada masa Orde Baru struktur kelembagaan MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Utusan Golongan, dan Utusan Daerah. Utusan Daerah merupakan utusan yang dianggap dapat membawakan kepentingan rakyat yang ada di daerah masing-masing di samping dianggap mengetahui dan memiliki tujuan yang menyeluruh mengenai permasalahan negara pada umumnya. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan di Pemerintah mendengar senat tentang segala hal yang dianggap perlu oleh pemerintah, bahkan pemerintah berkewajiban mendengar tentang urusan-urusan penting yang khusus mengenai daerah bagian dalam hubungan RIS dan daerah-daerah bagian dan hanyalah jika perlu segera mengambil tindakan jika dalam keadaan terdesak. Secara keseluruhan, cara kerja senat RIS diatur dalam tata tertib senat RIS. Dalam banyak hal , banyak ketentuan seperti tertulis dalam Konstitusi RIS mengenai hak dan kewajiban senat dan anggota senat RIS yang belum dapat berfungsi sempurna, sama halnya dengan kondisi DPR pada masa RIS. Hal ini lebih beralasan lagi karena senat merupakan badan baru dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi di Indonesia. Pasca dibentuknya Negara Kesatuaan Republik Indonesia NKRI pada tanggal 17 Agustus 1950, dengan sendirinya senat kemudian di hapus. 125 Purnomowati, Ibid, hal. 145. 126 Ibid, hal. 146. Universitas Sumatera Utara Daerah, lingkungan daerah terdiri dari Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Tetapi yang menjadi anggota Utusan Daerah berasal dari Daerah Tingkat I. Hal itu sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Penpres No. 2 Tahun 1959 pasal 2 yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan daerah yang mendapat utusan dalam MPRS adalah Daerah Swantara Tingkat I. 127 Jumlah Utusan Daerah yang dipilih mengalami penambahan di setiap periodenya. Pada tahun 1971 dan 1977 jumlah anggotanya sebanyak 135 orang, kemudian bertambah di tahun 1982 menjadi 140 orang. Dan di tahun 1987 ditetapkan 147 orang menjadi Utusan Daerah. 128 Utusan Golongan menurut Penjelasan Pasal 2 UUD 1945 adalah golongan yang terbatas pada badan-badan ekonomi, yang kemudian diperluas menjadi golongan karya yang bergerak di bidang-bidang pertanian, buruh, perusahaan, keagamaan, cendekiawan, kepemudaan, seni, dan golongan politik. Pada awalnya Utusan Golongan dihubungan dengan para perancang UUD dengan pengertian seperti gerakan koperasi, yang dianggap sebagai cerminan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Jumlah anggota dari Utusan Golongan ditetapkan sebanyak 100 orang. 129 Di zaman Orde Baru, pemahaman mengenai Utusan Golongan mengakibatkan terbukanya peluang pengisian sebagian kursi MPR dengan pengangkatan oleh presiden. Utusan Golongan dikembangkan oleh Presiden Soeharto ke dalam tiga jalur ABG. Jalur A adalah angkatan bersenjata, jalur B adalah birokrasi pegawai negeri, dan G adalah Golkar. . 130 127 Ranggawidjaja, Op. Cit., hal. 69. 128 Ibid, hal. 76. 129 Ibid, hal. 74. 130 Efriza, Op. Cit., hal. 56 Makna Utusan Golongan dipersempit untuk kepentingan Orba dalam mengkonsolidasikan Universitas Sumatera Utara dukungan politik melalui Golkar sehingga menguasai pemerintahan terus menerus. Di masa Presiden B.J. Habibie pengangkatan Utusan Golongan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum KPU yang kemudian diresmikan secara administrasi dengan Keputusan Presiden. 131 Menurut Jimly adanya ketiga metode perwakilan tersebut didasarkan pada bahwa Republik Indonesia merupakan negara kesatuan yang sangat luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Oleh karena itu sejak awal UUD 1945 menganut prinsip semua harus terwakili yakni dengan melembagakan ketiga prinsip perwakilan ; perwakilan politik political representation, perwakilan teritorial territorial representation atau perwakilan daerah regional representation dan perwakilan fungsional functional representation yang sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR-RI. 132 131 Ibid 132 Jimly Asshiddiqie lebih jauh menjelaskan bahwa struktur kelembagaan MPR dengan metode tiga perwakilan tersebut menunjukan bahwa struktur parlemen Indonesia tidak dapat disebut sebagai parlemen dua kamar atau bikameral, kerana MPR sendiri tidak menjalankan fungsi legislasi dalam arti terlibat dalam proses pembentukan undang-undang. Namun demikian untuk disebut sebagai parlemen unikameral murni juga kurang tepat, mengingat keberadaan MPR sendiri merupakan lembaga tersendiri di luar bahkan berada di atas DPR. Oleh karena itu sebenarnya sistem yang dianut UUD 1945 sebelum amandemen dapat juga disebut quasi menokameral atau semi unikameral. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007, hal. 156. Dalam perkembangannya keberadaan Utusan Golongan UG dan Utusan Daerah UD dalam sejarah lembaga perwakilan di Indonesia banyak mengalami berbagai penyimpangan sehingga tidak dapat berjalan secara efektif, tidak demokratis, bahkan justru tidak mencerminkan representasi utusan golongan dan utusan daerah. Atas dasar itu maka diusulkan Utusan Golongan untuk dihapuskan karena konsep golongan yang dinilai masih sangat kabur dan Universitas Sumatera Utara selalu menimbulkan manipulasi serta kericuhan politik. 133 Tuntutan perubahan struktur kelembagaan MPR memicu perdebatan di kalangan fraksi di DPR. Sebagian fraksi menyatakan bahwa anggota MPR tetap terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. Sebagian yang lain mengusulkan agar MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD, sedangkan utusan golongan dihapuskan. Perdebatan tersebut berakhir melalui sebuah keputusan dengan cara voting dan dihasilkan keputuskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1 UUD’45 pasca amandemen. Permasalahan- permasalahan tersebut pada akhirnya menjadi bagian dari agenda reformasi. 134 133 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, 2003, Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, Cetakan II, hal. 154. 134 Risalah Rapat Pleno Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR tentang Pandangan Akhir Fraksi tanggal 29 Juli 2000 Universitas Sumatera Utara

BAB III LEMBAGA LEGISLATIF SETELAH AMANDEMEN

UNDANG-UNDANG DASAR 1945

3.1. Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR

Pada tahun 1999-2002, MPR merespon tuntutan masyarakat Indonesia dengan melakukan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 empat kali. Tuntutan masyarakat muncul sebagai reaksi atas dominannya kekuasaan eksekutif excecutive heavy dalam UUD 1945, tidak adanya checks and balances antar lembaga negara, beragam tafsiran terhadap bunyi pasal dalam UUD 1945, dan banyak persoalan ketatanegaraan yang tidak dapat ditemukan dalam UUD 1945 karena desain yang sangat sederhana 135 . MPR menyambut tuntutan tersebut dengan mulai membahas rancangan perubahan UUD 1945. Pada tahun 1999 pada Sidang Umum MPR, MPR ,menetapkan perubahan pertama pada UUD 1945. 136 135 Riri Nazriyah, S.H., M.H., MPR RI, Kajian Terhadap Produk Hukum dan Prospek di Masa Depan, Yogyakarta, FH UII Press, 2007, hal. 322. 136 Fatwa, Op.Cit., hal. 65. Materi yang diatur dalam amandemen pertama adalah pembatasan kekuasaan presiden dan penguatan institusi lembaga perwakilan DPR. Perubahan pertama UUD 1945 merupakan awal dari agenda perubahan konstitusi dalam satu rangkaian yang dilakukan empat tahap, yakni melalui amandemen pertama Sidang Tahunan MPR tahun 1999, amandemen kedua Sidang Tahunan MPR Tahun 2000, amandemen ketiga Sidangan Tahunan MPR Tahun 2001, dan amandemen keempat Sidang Tahunan MPR tahun 2002. UUD 1945 yang semula terdiri dari 16 bab, 37 pasal, dan 49 ayat berubah menjadi 21 bab, 73 Universitas Sumatera Utara