penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas ini antara lain Nuraini, n.d:
a. Empati kepedulian b. Mengungkapkan dan memahami perasaan
c. Mengendalikan amarah d. Kemandirian
e. Kemampuan menyesuaikan diri f. Disukai
g. Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi h. Ketekunan
i. Kesetiakawanan j. Keramahan
k. Sikap hormat
Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang emotional quotient menurut para ahli Mu’tadin, 2002, yaitu:
a. Salovey dan Mayer 1990
Salovey dan Mayer 1990 mendefinisikan emotional quotient sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih
dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara
mendalam sehingga dapat membantu perkembangan emosi dan intelektual.
b. Cooper dan Sawaf 1998
Cooper dan Sawaf 1998 mendefinisikan emotional quotient sebagai kemampuan merasakan, memahami, dan secara
efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Lebih
lanjut dijelaskan, bahwa emotional quotient menuntut seseorang
Universitas Sumatera Utara
untuk belajar mengakui, menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat dan menerapkan
secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
c. Howes dan Herald 1999
Howes dan Herald 1999 mendefinisikan emotional quotient sebagai komponen yang membuat seseorang menjadi
pintar menggunakan emosinya. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri
yang tersembunyi dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, emotional quotient akan menyediakan pemahaman yang
lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
d. Goleman 2003
Goleman 2003 mendefinisikan emotional quotient sebagai kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan
emotional quotient tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur
suasana hati. Dari beberapa pendapat yang ada Mellandy dan Aziza
2006 menyimpulkan bahwa emotional quotient menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan
orang lain, dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan
Universitas Sumatera Utara
dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari- hari.
2.1.2.2 Indikator Emotional Quotient
Komponen emotional quotient atau kerangka kerja kecakapan emosi menurut Goleman dalam Sri Surayaningrum
2003 terdapat lima dimensi, yaitu: a. Kesadaran diri atau pengenalan diri pada dasarnya dimensi ini
untuk mengetahui konsisi diri sendiri, kesukaan, sumber daya dan institusi, seperti: kesadaran emosi, penilaian diri secara
teliti dan percaya diri.
b. Pengaturan diri atau pengendalian diri memberi tekanan pada mengelola kondisi, impuls dan sumber daya diri sendiri,
seperti: kendali diri, sifat dapat dipercaya, kewaspadaan, adaptibilitas dan inovasi.
c. Motivasi, yaitu kecendrungan emosi yang mengantar atau memudahkan peralihan sasaran, seperti: dorongan prestasi,
komitmen, inisiatif dan optimisme. d. Empati merupakan kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan
dan kepentingan orang lain, seperti: memahami orang lain, orientasi pelayanan, mengembangkan orang lain, mengatasi
keragaman dan kesadaran politis.
e. Keterampilan sosial, yaitu kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain, seperti: pengaruh,
komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi dan kooperasi serta
kemampuan tim.
2.1.3 Spiritual Quotient
2.1.3.1 Pengertian Spiritual Quotient
Spiritual quotient ditemukan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall pada pertengahan tahun 2000. Zohar dan Marshall 2001
menegaskan bahwa spiritual quotient adalah landasan untuk membangun IQ dan EQ.
Universitas Sumatera Utara
Spiritual berasal dari bahasa Latin spiritus yang berati prinsip yang memvitalisasi suatu organisme. Sedangkan, spiritual
dalam SQ berasal dari bahasa Latin sapientia sophia dalam bahasa Yunani yang berati ’kearifan’ Zohar dan Marshall, 2001.
Zohar dan Marshall 2001 menjelaskan bahwa spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek
ketuhanan, sebab seorang humanis atau atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Spiritual quotient lebih berkaitan dengan
pencerahan jiwa. Orang yang memiliki spiritual quotient tinggi mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif pada
setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif akan mampu membangkitkan
jiwa dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif. Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang spiritual
quotient menurut para ahli dalam Zohar dan Marshall 2001 dan Agustian 2001:
a. Sinetar 2000
Sinetar 2000 mendefinisikan spiritual quotient sebagai pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, efektivitas yang
terinspirasi, dan penghayatan ketuhanan yang semua manusia menjadi bagian di dalamnya.
b. Khalil A. Khavari 2000
Universitas Sumatera Utara
Khavari 2000 mendefinisikan spiritual quotient sebagai fakultas dimensi non-material atau jiwa manusia. Lebih lanjut
dijelaskan oleh Khavari 2000, spiritual quotient sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki oleh setiap insan. Manusia harus
mengenali seperti adanya lalu menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekad yang besar, menggunakannya menuju kearifan, dan
untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.
c. .Zohar dan Marshall 2001