b.
Imanensi yang diairmasi melalui transendensi alias suple- mentasi adalah imanensi yang diairmasi melalui “kekurangan”
lack. Ini nampak dalam catatan Blanchot macam ini: “agar adaan eksis, Ada mestilah kekurangan”
87
atau yang lebih pan- jang, “penampakan mengatakan persis bahwa ketika segalanya
telah menghilang, di sana masih ada sesuatu: ketika segalanya kekurangan, kekurangan membuat esensi dari Ada menampak,
dan esensi Ada adalah untuk ada di sana di mana ia kekurangan— ada sejauh tersembunyi...”
88
Catatan Blanchot ini tidak mungkin aksidental karena memang itulah konsekuensi yang niscaya dari
titik tolak yang ia pilih. Suplementasi ada di mana ada kekura- ngan. Wacana kekurangan ini cocok dengan tema “keterhing-
gaan” initude yang ia ambil alih dari Heidegger yaitu tema
initude of Dasein. Kita tahu airmasi initude ini juga meru- pakan bagian dari airmasi atas impersonalitas alias kritik
atas antropologisme. Namun berapa harga yang mesti kita bayar untuk gestur ini? Apakah airmasi
initude adalah satu- satunya cara untuk mengairmasi impersonalitas? Problem
politis dari airmasi initude adalah airmasi atas garis politik
ultra-kanan, yaitu dengan mengakui keterbatasan diri-indi- vidual di hadapan massa atau Führer, namun kita tidak akan
membahasnya pada kesempatan ini. Kini kita akan fokus pada problem ontologis dari
initude dan lack. Benang merah argumentasi Blanchot adalah bahwa kesenian, kematian dan
inspirasi ditentukan oleh ketereksposan subyek di hadapan ses- uatu yang melampauinya secara absolut, yang menunjukkan
bahwa subyek itu terhingga serta rapuh di hadapan ketak- hinggaan; tanpa ketelanjangan yang tanpa daya ini, bagi Blan-
chot, kesenian, kematian dan inspirasi yang otentik tak akan mungkin ada. Kekurangan, dengan demikian, telah dijadikan
sine qua non dari imanensi: segala sesuatunya imanen jika dan
87. “in order for there to be beings, being must lack.” Ibid. hlm. 252. 88. “And the apparition says precisely that when everything has disappeared, there
still is something: when everything lacks, lack makes the essence of being appear, and the essence of being is to be there still where it still lacks, to be inasmuch as it is
hidden...” Ibid. hlm. 253.
00
hanya jika segala sesuatunya kekurangan—bukankah imanensi yang dimaksud di sini tak lebih dari pseudo-imanensi, tak lebih
dari imanensi yang tanggung? Kondisi mediokrisitas ini justru berlawanan dengan imanensi itu sendiri: imanensi yang men-
gandaikan kekurangan itu sama artinya dengan imanensi yang imanen pada kekurangan. Padahal imanensi yang tidak absolut
itu bukan imanensi sama sekali. Imanensi niscaya absolut karena tak ada pengandaian yang menjadi tempatnya bertumpu. Lack
membuat imanensi terkontaminasi oleh transendensi dan tak memberikan pemecahan ontologis apapun selain kapitalisme,
fasisme, dan teologi sebab ketiganya memiliki esensi yang satu dan sama: lack.
c.
Setiap kekurangan akan mengikutsertakan teleologi. Jika, se- cara topologis, transendensi berada di lubuk hati imanensi, maka
niscayalah terdapat “pagi” dalam jantung malam Blanchotian. Malam absolut yang merupakan momen kematian impersonal
yang tanpa akhir tak akan pernah ada. Malam tak hanya berelasi dengan malam yang lain secara tanpa akhir seperti yang dimaui
Blanchot melainkan juga berelasi dengan suatu harap akan pagi,
akan akhir yang deinitif, betapapun tak terprediksinya hal itu. Teleologi ini tak terhindarkan sejauh, secara topologis, imanensi
direkatkan pada lack dan transendensi. Secara topologis pula, masa lalu dan masa depan absolut yang dimaksudkan oleh Blan-
chot pun sebetulnya dimungkinkan oleh suatu perspektif yang hadir secara virtual pada masa kini. Jika Blanchot menolak masa
kini kecuali sebagai “masa kini yang terlenyap” vanished pres- ent
89
ke dalam masa lalu dan masa depan absolut, keterlenyapan alias pemindah-tempatan displacement itu pun juga terjadi dari
perspektif masa kini yang dulunya ada tapi kini lenyap tersebut. Walaupun perspektif masa kini itu tidak hadir permanen na-
mun ia tetaplah hadir secara virtual dengan menjadi tolok ukur keterlenyapan menuju masa lalu ataupun masa depan. Dengan
kata lain, masa lalu dan masa depan absolut itu ada sejauh masa kini tak ada lagi—dan ketak-ada-lagian dari masa kini itu men-
jadi pengandaian bagi eksistensi masa lalu dan depan absolut;
89. Lih. Ibid. hlm. 113.
maka itu, masa lalu dan masa depan tak pernah absolut sejauh masa kini masih diairmasi sebagai kekurangan.
The space of literature Blanchot adalah ruang imanensi yang disokong oleh
transendensi, malam hari yang dihantui oleh pagi. d.
Karena Blanchot bertolak dari problem asal-usul alias prob- lem conditio sine qua non Kantian, ia tak memiliki banyak pilihan
lain selain menjawabnya dengan resolusi à la Hegelian. Jika kita cermati, apa yang dipermasalahkan oleh Blanchot adalah per-
soalan bagaimana suatu X mungkin sebagai X dan tidak sebagai Z bagaimana seni dimungkinkan? bagaimana kematian yang
otentik dimungkinkan? bagaimana inspirasi terlahir?. Problem genesis ini ia selesaikan melalui struktur mediasi Hegelian. Oleh
sebabnya, dalam arti tertentu, Blanchot beserta seluruh pewa- risnya seperti merepetisi problem yang muncul di era Modern
dalam tegangan antara Kant dan Hegel: di satu sisi, penjelasan tentang conditio sine qua non dari makna yang berujung pada pe-
ngakuan atas yang-Tak Mungkin sebagai batas pengetahuan na- mun, di sisi lain, juga memahami bahwa makna dan yang-Tak
Mungkin itu sendiri merupakan hasil dari keniscayaan proses mediasi. Dengan kata lain, mediasi menjadi syarat kemungki-
nan pemaknaan beserta batas-batasnya sendiri dan sekaligus merupakan mekanisme yang memproduksikan suatu ekses,
yakni keberadaan yang-Tak Mungkin atau impersonalitas ke- matian yang terhadapnya subyek seniman hanya mampu bersi-
kap pasif dan berserah-diri.
Demikianlah empat cacat wacana Blanchotian. Demikian- lah empat cacat yang terus kita emban sampai hari ini. Demikianlah
labirin dengan hanya empat tembok di mana kita, Theseus-Theseus zaman ini, berada di dalamnya, terkurung menanti Ariadne, menung-
gu-nunggu Mesias yang tak pernah ada. Teologi murung inilah yang
masih terus berlanjut dalam babakan sejarah ilsafat berikutnya, yakni ilsafat Derrida.
III. Derrida dan Kontaminasi Transendensi
T
ak ada luar-teks—dengan kalimat ini Derrida menggabung- kan diri ke dalam kubu ilsafat imanensi. Airmasi atas ima-
nensi ini niscaya diikuti dengan penolakan atas transendensi yang dalam wacana Derrida disebut sebagai “petanda transendental”.
Namun sungguhkah tak ada luar-teks? Itulah permasalahannya. Pada bagian ini kita akan melihat dengan gamblang bagaimana pengkhi-
anatan atas imanensi terjadi dalam corpus ilsuf yang pada mulanya
berupaya mengairmasi imanensi ini. Itu akan kita elaborasi setelah kita menguraikan proposal dekonstruksi Derrida, mulai dari ranah
epistemologis dan ontologis hingga etiko-religius.
1. Différance atau Mediasi sebagai Kontaminasi
Untuk memahami fondasi ilsafat Derrida adalah perlu bagi kita untuk membaca “Suara dan Fenomena” La Voix et le phénomène,
sebuah pembacaan atas Logische Untersuchungen Husserl, yang terbit pada tahun 1967. Teks ini penting karena dalam eksposisi yang jelas Derri-
da mengartikulasikan konsep différance yang, nampak pada teks ini, tak lain merupakan mediasi kontaminatif. Alasan lain yang membuat teks
ini penting adalah karena di dalamnya, kita dapat mengenali asal-usul problematika dekonstruksi yang terdasar, yakni problem makna: soal
transisi antara realitas makna menuju idealitas makna. Problem transisi ini akan dijembatani Derrida oleh konsep différance sebagai mid-way antara
yang-ideal dan yang-real. Skema ini pulalah yang dipakai Derrida dalam membaca “perbedaan ontologis” Heidegger, yakni perbedaan antara
Ada idealitas dan adaan realitas, dan melancarkan kritik atas meta-
isika kehadiran. Derrida melihat bahwa dalam karya awal Husserl, Logische
Untersuchungen terbit pada tahun 1900-1901, telah tergelarkan fondasi dan arah bagi proyek fenomenologi secara umum. Bahkan premis-
premis konseptual yang dibentangkan di sana akan terus beroperasi pada karya-karya akhir Husserl seperti Crises dan
The Origin of Geometry. Dengan demikian, jika terdapat suatu problem dalam traktat Husserl
pada fase awal ini, keseluruhan elaborasi fenomenologinaya hingga fase akhir akan ikut pula terancam. Derrida melacak bahwa seluruh
formulasi teoritis fenomenologi Husserl bertumpu pada “distingsi es- ensial” yang terdapat pada Logische Untersuchungen jilid 1, investigasi 1,
chapter 1 dan paragraf 1, yaitu distingsi antara “ekspresi” Ausdruck dan “indikasi” Anzeichen
90
. Sebelum memasuki investigasi pertama dalam Logische Unter-
suchungen yang totalnya berisi enam buah investigasi, Husserl, persis pada seksi terakhir dalam bab pembukaan yang berjudul Prolegomena
to Pure Logic, menekankan pentingnya pengetahuan yang “bebas dari segala pengandaian”, entah itu pengandaian metaisis, saintiik mau-
pun psikologis
91
. Dengan demikian, Husserl mengesampingkan segala pengetahuan dan hanya bertolak dari “Faktum” bahasa yaitu bahwa
manusia bisa berbahasa. Hanya dari titik tolak yang “bebas dari pe- ngandaian” Voraussetzungslosigkeit inilah, fenomenologi dapat menjadi
ilmu yang benar-benar rigorus. Dari sini sebetulnya sudah terlihat bahwa Husserl mengandaikan begitu saja bahwa bahasa, tanda, se-
bagai sesuatu yang netral dan hanya berperan sebagai medium artiku- lasi pemahaman.
Husserl, dalam Cartesian Meditations, secara eksplisit mengo- posisikan antara “metaisika yang degenerate” metaisika dalam arti-
nya yang tradisional dengan segala spekulasi liarnya dan “metaisika
90. Lih. Jacques Derrida, Speech and Phenomena diterjemahkan oleh David B Allison Evanston: Northwestern University Press, 1979, hlm. 4.
91. Edmund Husserl, Logical Investigations: Volume 1 diterjemahkan oleh JN Findlay
London: Routledge Kegan Paul, 1976, hlm. 263: “An epistemological investiga- tion that can seriously claim to be scientiic must […] satisfy the principle of freedom
from presuppositions.” Juga hlm. 265: “The investigation which follow aspire solely to such freedom from metaphysical, scientiic and psychological presuppositions.”
yang otentik”, sebuah “ilsafat pertama” philosophia prōtē, yang ter-
wujud dalam fenomenologi itu sendiri sebagai pengetahuan yang rigorus serta mampu memberikan kepastian
92
. Bagi Husserl, metaf- isika “naif” tersebut selalu gagal untuk melihat aspek “idealitas”, yai-
tu suatu identitas dari sesuatu yang dapat direpetisi sepenuhnya dan tanpa akhir tanpa mengalami perubahan makna. Barangkali benar
bahwa problem utama fenomenologi Husserl adalah problem posibili- tas idealitas makna serta upaya untuk membuktikannya
93
. Idealitas ini dapat dicandra dalam momen “living present” alias “the self-present
of transcendental life” yang disebut juga oleh Husserl, dalam Untersu- chungen, sebagai “solitary mental life”. Pada titik ini, Derrida nantinya
akan menguraikan lebih lanjut, terdapat aliansi metaisis antara ke- hadiran-diri, modus waktu “kini” now dan kehadiran makna secara
langsung. Terdapat suatu pengandaian metaisis lain yang tidak Husserl
sadari dalam proyek fenomenologi yang menurutnya “bebas dari pe- ngandaian” itu. Analisanya mengenai tanda selalu dipimpin oleh suatu
telos bahwa bahasa mesti bersifat logis. Dengan kata lain, Husserl men- subordinasikan bahasa di bawah logika. Derrida membaca bahwa Hus-
serl tak pernah melakukan releksi mengenai bahasa, mengenai relasi oposisi-metaisis dalam bahasa yang ia gunakan
94
. Husserl membahas bahasa selalu dalam domain rasionalitas yang metaisis, yaitu de-
ngan memandang logika sebagai inti bahasa tanpa menyadari bahwa logika “adalah” metaisika
95
. Hal ini semakin nampak nantinya ketika ia berbicara tentang perlunya suatu “pure logical grammar”. Analisa
tentang “pure logical grammar” ini bertujuan untuk mencari “hukum logis a priori” yang memungkinkan bahasa atau diskursus dapat di-
mengerti. Dengan pembatasan ini Husserl telah terarah pada suatu tujuan tertentu, suatu konsep kebenaran tertentu, yaitu kebenaran lo-
92. Jacques Derrida, Speech and Phenomena, Op.Cit. hlm. 5. 93. Philip J Maloney,
Ininity and The Relation: The Emergence of a Notion of Ininity in Derrida’s Reading of Husserl dalam
Philosophy Today musim gugur 1996, hlm. 423. 94. Jacques Derrida, Speech and Phenomena, Op.Cit. hlm. 8.
95. “[…] being interested in language only within the compass of rationality, deter- mining logos from logic, Husserl had, in a most traditional manner, determined the
essence of language by taking the logical as its telos or norm. […] this telos is that of being as presence”. Ibid.
gis dari bahasa kebenaran sebagai kehadiran, sebagai kejelasan dan keterpilah-pilahan, sebagai ketidakterkontaminasian makna.
Derrida, dalam bagian introduksi ini, juga menunjukkan kem- bali tegangan yang bermain dalam fenomenologi. Di satu sisi, fenom-
enologi adalah ilsafat kehidupan karena pemaknaan selalu berang- kat dari aktivitas dalam “dunia-kehidupan” Lebenswelt; di sisi lain,
fenomenologi adalah metaisika idealitas karena pemaknaan dalam Lebenswelt selalu ditujukan pada idealitas murni yang transendental
96
. Tegangan inilah yang mendorong Husserl untuk mendasarkan pema-
haman akan makna pada suatu asal-usul yang self-identical, yaitu “ke- sadaran” sebagai “kehadiran-diri” dalam momen kehidupan mental
yang soliter
97
. Itulah yang merupakan lapisan pengalaman yang “pra- ekspresif” dimana yang berperan adalah, dalam bahasa Derrida, “liv-
ing vocal medium” la vive voix yang adalah solilokui
98
. Hasrat untuk mendamaikan tegangan dan memberikan pendasaran logis sebagai
“ilmu yang rigorus” inilah yang memaksa Husserl untuk tidak men- gakui peran “kontaminasi” dalam tanda walaupun ia sebenarnya telah
menyinggungnya. Peran “kontaminasi” inilah, atau apa yang disebut oleh Derrida sebagai diffërance, yang diradikalisasikan oleh Derrida se-
hingga berbalik menghancurkan cita-cita fenomenologi itu sendiri.
Pada bab pertama hingga ketiga dari Speech and Phenomena, Derrida memaparkan argumentasi Husserl mengenai distingsi antara
“ekspresi” dan “indikasi” serta perlunya momen “monolog batin” alias solilokui. Indikasi hanya berfungsi untuk menandai sesuatu, ia seperti
sebuah simbol yang merepresentasikan sesuatu. Pada dirinya, indikasi tak memiliki makna karena ia hanyalah medium untuk menunjuk pada
sesuatu. Bagi Husserl hanya ekspresi lah yang memiliki makna. Dalam investigasi pertama, chapter pertama, seksi pertama, paragraf pertama,
dari Untersuchungen, Husserl menulis: “Ekspresi berfungsi secara ber- makna bahkan di dalam kehidupan mental yang terisolir ketika mereka tak
lagi membantu untuk mengindikasikan sesuatu pun.”
99
Jadi hanya ekspresilah
96. Ibid. hlm. 10 97. “[…] “consciousness” means nothing other than the possibility of the self-pres-
ence of the present in the living-present.” Ibid. hlm. 9. 98. Ibid. hlm. 15.
99. Edmund Husserl, Logical Investigations: Vol I, Op.Cit. hlm. 269.