mungkiri kegembiraan yang aneh di lubuk hatinya. “Beberapa waktu kemudian,” demikian Blanchot, “ia diketemukan mati, terbaring di
samping Nikita yang didekapnya erat-erat.”
80
Apa yang terjadi? Pada momen penghabisan itu, satu-satunya aktivitas yang dilakukan Brek-
hounov adalah pasivitas; ia tak melakukan apapun, atau lebih tepatnya, ia melakukan “tidak melakukan apapun”. Ia, dengan demikian, me-
nyerahkan diri pada kepasifan murni yang azali. Inilah yang disebut Blanchot sebagai gestur nokturnal yang “tanpa tujuan, tanpa kegunaan”.
81
Brekhounov tak dapat lari dari kematian seperti juga ia tak dapat lari dari gurun salju; kemanapun melangkah, ia selalu kembali ke Nikita
yang terbaring mati. Padang salju itu adalah nama lain dari imperson- alitas kematian, dari malam yang lain—dari keniscayaan imanensi.
Di jazirah malam hari segalanya terapung dalam kontra- diksi; tak ada yang sepenuhnya hadir secara masif, swa-identik, dan
samasekali tak paradoksal. Itulah sebabnya kita bermimpi di malam hari. “Mimpi,” tulis Blanchot, “menyentuh wilayah di mana kemirip-
an murni bertahta. Segala sesuatunya mirip; setiap igur adalah yang lain, mirip dengan yang lain dan yang lainnya lagi, dan yang terakhir
ini pun masih mirip dengan yang lainnya lagi. Kita mencari-cari mod- el yang asli, hendak mengacu pada suatu titik mula, suatu pewahyuan
azali, tetapi hal itu tak ada. Mimpi adalah kemiripan yang mengacu secara abadi terhadap kemiripan.”
82
Kontradiksi serupa itulah yang juga dialami oleh Orfeus.
Orfeus, kita tahu, turun ke Hades untuk membebaskan Eurydice, kekasihnya yang telah mati. Oleh sang dewa kematian, ia
diperbolehkan membawa pulang Eurdyice, hanya saja dengan satu syarat: Orfeus mesti berjalan keluar dari Hades tanpa menengok Eu-
rydice yang memanggil-manggilnya tanpa henti dari belakang. Jika ia melanggar, dengan menengok, maka Eurydice akan menghablur
lenyap selama-lamanya dalam dingin malam hari. Eurydice, den- gan demikian, adalah esensi dari malam hari sebagai malam yang
lain. “Ofreus mampu melakukan apapun,” Blanchot mengisahkan, “kecuali melihat wajah, kecuali melihat jantung malam di dalam
80. Ibid. hlm. 166. 81. Ibid.
82. Ibid. hlm. 268.
malam.”
83
Semua karya seninya ia ciptakan oleh rasa cinta terhadap Eurydice. Maka tengokan Orfeus adalah pengkhianatan terhadap se-
gala karya seninya, juga terhadap Eurydice. “Seluruh kejayaan dari karyanya, segala daya seninya,” tulis Blanchot, “dikurbankan untuk
satu-satunya tujuan ini: melihat di malam hari apa yang disembun- yikan oleh malam hari, malam yang lain, ketakhadiran yang hadir.”
84
Orfeus memang menoleh. Dan dalam momen inilah, dalam peng- khianatan absolut inilah, kesetiaan yang absolut dan karya seni yang
otentik menjadi mungkin. Hanya melalui transgresi atas hukum dan patokanlah, seni menjadi mungkin. Terhadap hukum kesenian
yang baku, kata Blanchot, “tatapan Orfeus membongkarnya, mem- ecahkan batas, melanggar hukum yang merengkuh dan memba-
tasi esensinya. Tatapannya oleh karenanya merupakan momen ekstrem dari kebebasan, momen di mana ia membebaskan dirinya sendiri dari
dirinya sendiri dan, lebih penting lagi, membebaskan karya seni dari kepeduliannya, membebaskan yang suci di dalam karya, memberikan
yang suci kepada yang suci itu sendiri, kepada kebebasan dari esen- sinya, kepada esensinya yang adalah kebebasan.”
85
Momen transgresif inilah yang mesti dijalani setiap seniman: hanya dengan pengkhiana-
tan atas patokan-patokan seni lah kita menjadi taat pada seni, hanya melalui yang tak mungkin lah segala sesuatu menjadi mungkin.
4. Reapropriasi: Teologi Pasivitas
Blanchot memang melakukan suatu terobosan. Tidak hanya karena ia telah berjasa mengangkat kembali wacana tentang ranah
impersonal dan memberinya posisi yang krusial tidak seperti Sartre yang, setelah menemukannya pada dekade 40-an dalam
Transcendence of the Ego, lantas mengebawahkannya pada aktivitas kesadaran subyek-
tif. Wacana ini terdengar seperti wacana strukturalis di era eksistensi- alisme alias wacana tentang impersonalitas struktur di tengah-tengah
era yang meluhurkan subyektivitas-personal dan motif-motif pilihan
83. Ibid. hlm. 171. 84. Ibid. hlm. 172.
85. Ibid. hlm. 175.
eksistensialnya. Juga tidak hanya karena ia telah mengintrodusir habis- habisan kosakata dan problematika Heideggerian seperti otentisitas,
pertanyaan akan ada, kritik atas kehadiran dan modus waktu kini yang semenjak itu jadi jamak dipercakapkan oleh para ilsuf generasi 60-an.
Melainkan juga, dan terutama, karena Blanchot, di tahun 50-an, telah menunjukkan bagaimana setiap wacana ontologis yang berpangkal
pada Hegelianisme pada lack, mediasi dan negasi akan berujung pada
airmasi imanensi sebagai mid-way antara imediasi dan transendensi. Poin yang terakhir inilah yang perlu kita klariikasi lebih lanjut sebab di
sanalah terletak seluruh problem dari ilsafat Blanchot dan, bersama- nya, juga suatu cacat yang menghantui seluruh Blanchotian legacy, yaitu
ilsafat Prancis kontemporer sampai hari ini. Blanchot adalah salah seorang inspirator utama poststruk-
turalisme. Oleh karena itu, setiap serangan terhadapnya merupakan juga serangan terhadap jantung poststrukturalisme. Uniknya, dalam
Blanchot kita juga dapat menemukan titik yang menjadi kelemahan wacana poststrukturalisme. Titik itu adalah proses bagaimana Blan-
chot mentrasformasi wacana Hegelian ortodoks menjadi suatu speku- lasi dialektis tentang non-dialektika, suatu mediasi posibilitas menuju
imposibilitas. Seolah dalam “bengkel Blanchotian” ini kita dapat me- lihat seluruh proses assembly yang mengubah besi tua Hegelianisme
ortodoks menjadi mesin perang modern poststrukturalisme yang nantinya memenangi pertempuran wacana hingga paruh abad beri-
kutnya.
Pada hemat saya, terdapat setidaknya empat cacat utama dalam ilsafat Blanchot. Keempatnya bertumpu pada persoalan pa-
sivitas: imanensi dimengerti sebagai ketereksposan yang tanpa daya pada transendensi. Nuliikasi-diri atau pengosongan-diri impersonalitas
di hadapan yang-Tak Mungkin ini sesungguhnya tak lain daripada te- ologisasi atas imanensi alias imanensi yang diperbudak oleh gairah
akan yang-Tak Hingga yang sepenuhnya transenden. Kita akan mem- bedah kecacatan itu dalam poin-poin berikut.
a.
Airmasi imanensi Blanchot adalah suatu pseudo-airmasi ima- nensi. Imanensi diairmasi demi tujuan membukakan jalan menu-
ju transendensi absolut. Dengan kata lain, imanensi diberikan
primasi untuk kemudian disubordinasi diam-diam lewat asersi tentang adanya sesuatu yang menggerakkannya dan memegang
status yang menjadi prasyarat dasar sekaligus mengatasinya. Contohnya adalah ketika Blanchot mengatakan bahwa imanensi
itu tidak terberi melainkan mesti diupayakan melalui suatu laku transgresif akan apa yang sepenuhnya asing, melalui suatu laku
transendensiasi.
86
Inilah “skandal imanensi” zaman kita. Inilah cacat yang tak terelakkan ketika kita memilih Hegel sebagai ti-
tik berangkat kita. Setiap airmasi yang ditopang oleh mediasi negasi hanya akan mengintrodusir transendensi pada jantung
imanensi. Namun ada yang baru dalam wacana transendensi di era post-Hyppolitean di mana Blanchot turut mengambil ba-
gian ini, yaitu bahwa transendensi tidak lagi merupakan suatu kepenuhan di luar sistem sebagaimana terjadi dalam wacana
transendensi klasik tentang Tuhan, misalnya. Transendensi itu kini telah diselundupkan ke dalam ranah imanensi sebagai
candu yang tanpanya sistem imanensi menjadi lumpuh. De- ngan kata lain, transendensi telah disuntikkan ke dalam jaringan
imanensi sedemikian sehingga transendensi itu kini menjadi conditio sine qua non dari imanensi. Skema Blanchot ini bekerja
pula dalam ilsafat Derrida. Tak ada sesuatu di luar teks karena selalu ada différance, misalnya. Argumentasi ini bisa dibalik pula,
ada différance karena telah selalu tak ada sesuatu di luar teks. Na- mun pembalikan ini tak dapat meluputkan diri dari persoalan-
nya karena argumentasi siklis atau sirkuler ini, walaupun seolah menunjukkan imanensi total, sebetulnya justru menunjukkan
bahwa lingkaran itu disokong oleh mediasi pengandaian. Ilusi tentang Yang Absolut atau Yang Tak Hingga ini, sejak Hegel
hingga era poststrukturalis, telah mengambil wujudnya dalam imaji lingkaran. Singkatnya, transendensi kini berada di dalam
imanensi dan mewujud dalam mekanisme suplementasi, aktivitas pemindah-tempatan elemen yang di sisi lain dalam ranah un-
tuk menyumpal “kebocoran” di suatu sisi dengan bermodelkan pada sesuatu yang tidak ada dalam ranah. Dan suplementasi ini
terkait dengan suatu kondisi lain.
86. Lih. Ibid. hlm. 127-128.
b.
Imanensi yang diairmasi melalui transendensi alias suple- mentasi adalah imanensi yang diairmasi melalui “kekurangan”
lack. Ini nampak dalam catatan Blanchot macam ini: “agar adaan eksis, Ada mestilah kekurangan”
87
atau yang lebih pan- jang, “penampakan mengatakan persis bahwa ketika segalanya
telah menghilang, di sana masih ada sesuatu: ketika segalanya kekurangan, kekurangan membuat esensi dari Ada menampak,
dan esensi Ada adalah untuk ada di sana di mana ia kekurangan— ada sejauh tersembunyi...”
88
Catatan Blanchot ini tidak mungkin aksidental karena memang itulah konsekuensi yang niscaya dari
titik tolak yang ia pilih. Suplementasi ada di mana ada kekura- ngan. Wacana kekurangan ini cocok dengan tema “keterhing-
gaan” initude yang ia ambil alih dari Heidegger yaitu tema
initude of Dasein. Kita tahu airmasi initude ini juga meru- pakan bagian dari airmasi atas impersonalitas alias kritik
atas antropologisme. Namun berapa harga yang mesti kita bayar untuk gestur ini? Apakah airmasi
initude adalah satu- satunya cara untuk mengairmasi impersonalitas? Problem
politis dari airmasi initude adalah airmasi atas garis politik
ultra-kanan, yaitu dengan mengakui keterbatasan diri-indi- vidual di hadapan massa atau Führer, namun kita tidak akan
membahasnya pada kesempatan ini. Kini kita akan fokus pada problem ontologis dari
initude dan lack. Benang merah argumentasi Blanchot adalah bahwa kesenian, kematian dan
inspirasi ditentukan oleh ketereksposan subyek di hadapan ses- uatu yang melampauinya secara absolut, yang menunjukkan
bahwa subyek itu terhingga serta rapuh di hadapan ketak- hinggaan; tanpa ketelanjangan yang tanpa daya ini, bagi Blan-
chot, kesenian, kematian dan inspirasi yang otentik tak akan mungkin ada. Kekurangan, dengan demikian, telah dijadikan
sine qua non dari imanensi: segala sesuatunya imanen jika dan
87. “in order for there to be beings, being must lack.” Ibid. hlm. 252. 88. “And the apparition says precisely that when everything has disappeared, there
still is something: when everything lacks, lack makes the essence of being appear, and the essence of being is to be there still where it still lacks, to be inasmuch as it is
hidden...” Ibid. hlm. 253.