Hegel. Dampak ini kian terasa terutama ketika kita membaca eksposisi Sartre mengenai hasrat yang tak lain merupakan nama lain dari pour-soi
alias manusia. Seakan seperti merepetisi paparan Kojève dalam kuliah- kuliahnya tentang Hegel, Sartre mendeinisikan hasrat sebagai kekura-
ngan manque alias sebagai presensi dari absensi.
9
Dalam Sartre, seb- agaimana dalam Kojève, manusia pour-soi dalam bahasa Sartre; kes-
adaran-diri dalam istilah Kojève hanya eksis sejauh ia menghasrati ses- uatu, sejauh ia merasa kurang akan sesuatu. Sebab ketika kekurangan
itu dilunasi, terpenuhi, maka ia tak lagi merupakan manusia melain- kan Tuhan. Berdasarkan basis presuposisi kekurangan à la Kojève ini-
lah Sartre menggelarkan ilsafat eksistensialnya tentang manusia yang mendeinisikan-dirinya melalui laku transendensiasi tanpa akhir untuk
membuat impas kekurangan azali yang inheren di dalamnya.
2. Ada dan Ketiadaan, atau Imanensi dan Transendensi
L’Être et le Néant terbit pertama kali pada tahun 1943. Karya ini, sebagaimana kita ketahui, sangat dipengaruhi oleh proyek ontologi
fundamental Heidegger. Namun, mesti diingat, Sartre tidak pertama- tama berurusan dengan “pertanyan akan Ada” seperti yang menjadi
perhatian Heidegger; apa yang lebih Sartre perhatikan ialah “perta- nyaan akan Ada-nya manusia”. Dengan kata lain, manakala Heidegger
berurusan dengan eksistensi manusia sebagai Da-Sein ada-di sana se- jauh ini mampu memberikan terang bagi persoalan Ada itu sendiri, Sar-
tre justru berhenti pada persoalan eksistensi manusia dalam kaitan de- ngan keber-ada-annya eksistensi. Sartre, dengan demikian, telah se-
9. Kojève misalnya menulis: “Hasrat adalah kehadiran dari sebuah absensi.” Alexan- dre Kojève, Introduction to the Reading of Hegel disusun oleh Raymond Quenau, diedit
dalam edisi bahasa Inggris oleh Allan Bloom, diterjemahkan oleh James H Nichols, Jr. Ithaca: Cornell University Press, 1996, hlm. 134. Sartre juga menulis: “Thus
nothingness is this hole of being, this fall of the in-itself toward the self, the fall by which the for-itself is constituted. […] Human reality is being in so far as within its
being and for its being it is the unique foundation of nothingness at the heart of being.” Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontolog y
diterjemahkan oleh Hazel E Barnes New York: Philosophical Library, 1956, hlm. 78-79.
dari mula memelintir apa yang ontologis menjadi antropologis. Pelin- tiran ini ia jalankan dengan aparatus konseptual Hegelian. Pembacaan
Hegelian versi Kojève atas problematika Heideggerian ini jadi kasat mata dalam penerjemahan atas Dasein menjadi la realité humaine re-
alitas-manusia
10
yang satu-satunya modus eksistensinya, bagi Sartre, adalah être-pour-soi ada-bagi-dirinya. Yang terakhir inilah yang men-
jadi aktor dalam keseluruhan eksposisi teoretis Ada dan Ketiadaan. Keseluruhan buku tersebut dapat diterangkan dengan ber-
tumpu pada oposisi terdasarnya, yakni être-en-soi ada-pada-dirinya dan être-pour-soi ada-bagi-dirinya. Secara kasar dapat dikatakan
bahwa yang pertama ialah alam obyektif sementara yang kedua meru- pakan manusia. Kita mulai dari yang pertama. Ada-pada-dirinya
adalah “positivitas penuh” full positivity tanpa sebersitpun negativi- tas dan oleh sebab itu ia juga tak mengenal keberlainan otherness.
11
Bagi Sartre, ia tak lain merupakan imanensi: “Ia merupakan yang tak dapat merealisasikan dirinya, suatu airmasi yang tak mampu men-
gairmasi dirinya, sebuah aktivitas yang tak bisa beraksi, sebab ia terlekat [glued] pada dirinya sendiri.”
12
Ia hadir penuh, begitu saja. Oleh sebab itu, Sartre menyebut bahwa “yang pada-dirinya tak me-
miliki rahasia; ia solid massif .”
13
Karena ia, pada dirinya, tak ter- penetrasi oleh negasi—yang tak lain merupakan aktivitas kesada-
ran—maka ia pun dapat disebut sebagai alam yang pra-relektif. Tak
mengandung negativitas, tak mengenal keberlainan, ada-pada-di- rinya ini “tidak eksis sebagai suatu kekurangan”; justru sebaliknya, ia
“berlebih” superluous; de trop.
14
Jika benar bahwa drama eksistensial dalam Ada dan Ketiadaan berfokus pada pour-soi ini, maka pemaparan Sartre pada bab II bagian
“Immediate Structure of the For-Itself” adalah titik tumpu dari ke- seluruhan teks itu sebab di sana lah terletak pencirian dasar dari ada-
bagi-dirinya. Sepenuhnya berkebalikan dengan ada-pada-dirinya, ter-
10. Penggunaan istilah ini telah membayangi teks Ada dan Ketiadaan sejak halaman- halaman awalnya. Lih. Misalnya ibid, hlm. xlviii.
11. Ibid, hlm. lxvi 12. Ibid, hlm. lxv.
13. Ibid, hlm. lxvi. 14. Lih. Ibid.
dapatlah ada-bagi-dirinya. Yang terakhir ini tak lain daripada negativitas itu sendiri. Ia mendeterminasi dirinya, menjadikan dirinya eksis, se-
cara negatif sebagai bukan pada-dirinya. Aksinya, dengan demikian, adalah mediasi-diri via negasi atas yang-lain; eksistensi ada-bagi-di-
rinya sepenuhnya dikonstitusikan oleh negasi internal. Dan terhadap pertanyaan tentang apa yang memungkinkan mekanisme ini, Sartre
memberikan antisipasi jawaban: kekurangan manque.
15
Itulah nucleus dari manusia realité humaine alias Dasein Sartrean dan segala bentuk
negativitas. Ada-pada-dirinya itu sendiri tak pernah kekurangan; alam pra-relektif cuma hadir penuh secara positif. Manusia lah yang
mengintrodusir kekurangan ke dalam dunia. Namun, tulis Sartre, “re- alitas-manusia yang mana kekurangan muncul di dunia mestilah pada
dirinya merupakan suatu kekurangan. Sebab kekurangan hanya mun- cul melalui kekurangan.”
16
Atau, untuk mengatakan hal yang sama: kekurangan mengandaikan dan diandaikan oleh manusia.
Ekuasi antara manusia dan kekurangan ini dijalankan Sartre dengan mengacu pada fakta tentang eksistensi hasrat. Hasrat adalah
hasrat sejauh ia kekurangan akan obyek-hasrat; ia eksis sejauh ia ti- dak sepenuhnya eksis; atau, untuk memparafrasekannya dalam termi-
nologi Kojève: hasrat adalah presensi dari absensi. Mendahului Lacan, Sartre bahkan telah menulis bahwa “hasrat adalah kekurangan-akan-
ada lack of being.”
17
Jika manusia yang bagi Sartre sinonim dengan hasrat senantiasa kekurangan, maka apa yang kurang itu tak lain
adalah ada-pada-dirinya yang tak lain adalah positivitas absolut alias kepenuhan. Terdapat suatu “pada-dirinya yang hilang” missing in-itself
yang melekat di jantung bagi-dirinya, sesuatu yang konstitutif terha- dap ada-nya bagi-dirinya qua bagi-dirinya. Dengan semangat inilah
Sartre lantas membuka paragraf selanjutnya:
15. “Of all internal negations, the one which penetrates most deeply into being, the one who constitutes in its being the being concerning which it makes the denial along
with the being which it denies—this negation is lack.” Ibid, hlm. 86. 16. Ibid. hlm. 87.
17. Ibid, hlm. 88. Bdk. Lacan yang mengatakan bahwa modus eksistensi hasrat adalah manque-à-être kekurangan-akan-ada.
Itulah asal-usul transendensi. Realitas-manusia adalah pelam- pauan dirinya sendiri menuju apa yang ia kurang […] Realitas-
manusia bukanlah sesuatu yang eksis pertama-tama untuk ke- mudian kekurangan ini atau itu; ia eksis pertama kali sebagai
kekurangan dan dalam koneksi langsung-sintetis dengan apa yang ia kurang. Maka peristiwa murni di mana realitas manusia
tegak berdiri sebagai sebuah kehadiran di dunia dipahami di- rinya sebagai kekurangannya sendiri. […] Realitas-manusia
adalah pelampauan tanpa henti menuju sebuah koinsidensi dengan dirinya sendiri yang tak pernah tercapai. […] Namun
Ada yang kepadanya realitas-manusia melampaui dirinya bu- kanlah suatu Allah yang transenden; ia ada pada jantung re-
alitas-manusia; ia adalah realitas-manusia itu sendiri sebagai totalitas.
18
Dalam sepenggal paragraf yang nantinya terus menghantui dan mem- bayangi formulasi teoritis para ilsuf Prancis sesudahnya inilah Sartre
meletakkan inti argumentasi dari traktat Ada dan Ketiadaan. Manusia alias pour-soi alias hasrat alias negativitas tak lain merupakan gerak
transendensiasi imanen menuju kepenuhan yang disebut Sartre sebagai totalitas. Kita sebut sebagai transendensiasi imanen sebab gerak pelam-
pauan-diri ini tak pernah sepenuhnya mencapai obyek-hasrat yang di- maksud, ia tetap imanen dalam gerak pelampauan itu sendiri. Dalam arti
inilah Sartre secara Hegelian menyebut realitas-manusia sebagai “kesa- daran yang tak berbahagia”.
19
Intuisi ini kembali muncul sebagai ka- limat penghabisan dari bab terakhir sebelum kesimpulan:”Manusia
adalah gairah yang sia-sia.”
20
Lalu apa sesungguhnya hakikat dari telos pelampauan-diri itu, Sartre bertanya, apakah ia merupakan sesuatu
yang ada di dalam kesadaran alias pour-soi atau di luarnya? Jawaban yang Sartre berikan: ia muncul ke dunia bersamaan dengan kesa-
daran dan secara sekaligus berada pada jantung kesadaran dan di lu- arnya: “ia merupakan transendensi absolut di dalam imanensi absolut.”
21
Dengan demikian, telos realisasi hasrat itu berada di dalam manusia itu
18. Ibid, hlm. 89. 19. Ibid, hlm. 90.
20. Ibid, hlm. 615. 21. Ibid, hlm. 91.