Kematianku yang Tanpa Aku
belum ia mampu “mati bahagia” karena karya itu sendiri ialah “pe- ngalaman akan kematian”. Maka maksim Kafka adalah: “menulis agar
dapat mati—mati agar dapat menulis” write to be able to die—die to be able to write.
50
Ini nampak berbeda dari konsepsi Gide dan kebanyakan seniman lain. Bagi mereka, menulis adalah upaya untuk menjadi aba-
di dalam karya, menjadi tak terjamah oleh kematian karena dirinya senantiasa dipreservasi di dalam karyanya. Karya, bagi mereka, adalah
tempat untuk bersembunyi dari kematian, untuk menjaga jarak dari kematian. Namun perbedaan antara Kafka dan Gide ini hanya ada
dalam level penampakan saja; keduanya mengairmasi hal yang sama, yaitu bahwa kematian itu mungkin. Kini persoalannya: bagaimana ke-
matian itu mungkin?
Blanchot memaparkan paradoks dari upaya untuk meresolu- sikan kematian dan ketakterhindaran dari kematian. Ia menulis:
Tak seorang pun yang yakin dengan kematian. Tak ada yang meragukan kematian, tetapi tak seorang pun yang dapat me-
mikirkan kematian yang niscaya selain secara meragukan. Sebab memikirkan kematian adalah mengintrodusir yang
sepenuhnya meragukan ke dalam pemikiran […] Seolah un- tuk memikirkan keniscayaan kematian secara otentik, kita
mesti membiarkan pemikiran tenggelam dalam keraguan dan ketakotentikan […] jika orang secara umum tak berpikir ten-
tang kematian, jika mereka menghindar dari konfrontasi atas- nya, itu untuk lari dari kematian dan bersembunyi darinya,
tetapi pelarian-diri ini mungkin karena kematian itu sendiri adalah gerak pelarian yang abadi di hadapan kematian […]
Maka bersembunyi darinya adalah, secara niscaya, bersembu- nyi di dalamnya.
51
Jadi setiap gestur untuk menghindar dari kematian itu niscaya meli- batkan paradoks karena sikap lari dari kematian mengandaikan adanya
kematian yang senantiasa menghadang. Dan bagaimana mungkin kita dapat memikirkan kematian alias memikirkan yang tak terpikirkan?
Kematian adalah kemungkinan murni yang merentang tak terhingga,
50. Ibid. hlm. 94. 51. Ibid. hlm. 95
dan persis karena itu, ia juga merupakan ketakmungkinan absolut un- tuk dipecahkan lewat kalkulasi pemikiran. Lantas bagaimana mesti
menghadapi ketakterhindaran kematian ini? Kirilov memberikan jawabnya: bunuh diri. Jika bersembunyi
dari keniscayaan kematian adalah bersembunyi dari kemahakuasaan Tuhan, maka bunuh diri adalah suatu laku membunuh Tuhan. Dengan
bunuh diri, manusia melakukan penyangkalan atas kemungkinan tak terhingga yang memuakkan dari kematian, manusia membuat kema-
tian menjadi bagian dari kehendak-nya serta mendekapnya dalam reng- kuhan. Dengan demikian, kematian tak lagi menjadi hak Tuhan me-
lainkan manusia dan, oleh karenanya, hilanglah kemahakuasaan Tuhan alias matilah Tuhan. Kini, manusia lah Tuhan itu: melalui laku bunuh
diri yang ia jalani, manusia menjadi Tuan atas hal yang sebelumnya paling misterius dan tak terprediksi.
52
Itulah sebabnya, Kirilov percaya bahwa tindak bunuh dirinya akan “menginaugurasikan sebuah era baru
[serta] menandai titik balik dalam sejarah kemanusiaan,” yaitu bahwa “setelah dia manusia tak perlu lagi membunuh dirinya sendiri.”
53
De- ngan tindak bunuh diri yang dilakukannya secara sadar, Kirilov telah
mengakhiri rezim ketakmungkinan dan ketakterhinggaan dari kema- tian yang sebelumnya dikuasai oleh Allah Bapa; ia telah mengguling-
kan Si Tua Bangka dengan menunjukkan bahwa kematian itu adalah milik manusia dan bahwa dengan demikian manusia merupakan raja
atas kehidupan dan kematian. Inilah privilese yang hanya dimiliki oleh manusia, sang makhluk mortal: Tuhan tak bisa bunuh diri, hanya
manusia yang mampu melakukannya dan dengannya, membunuh Tu- han.
Namun Kirilov tidak mengantar kita menuju impersonalitas kematian, ia hanya semakin mengukuhkan personalitas kematian, me-
negakkan kemanusiawian dari kematian. Kematian yang ia bicarakan adalah kematian yang voluntaristik voluntary death, yang dikehendaki
oleh manusia. Namun, demikian Blanchot, mungkinkah bunuh diri itu? Mungkinkah kematian itu “dilakukan” maksudnya, lewat bunuh
52. “Why suicide? If he dies freely, if he experiences and proves to himself his liberty in death and the liberty of his death, he will have attained the absolute. He will be
that absolute.” Ibid. hlm. 97. 53. Ibid.
diri jika kematian itu sendiri merupakan pasivitas yang tanpa laku? Tidak. Ia yang bunuh diri tidaklah sungguh mati sebab, menurut
Blanchot, ia masih terikat pada harap akan suatu akhir yang menan- dai sebuah permulaan baru.
54
Harapan akan suatu penyelesaian dalam kematian inilah yang justru berlawanan dengan sifat pasif yang es-
ensial dari kematian. Dalam kaitan dengan inilah, Blanchot berkata bahwa orang yang melakukan bunuh diri adalah airmator atas keki-
nian dan penyangkal atas masa depan, atas kemisteriusan dari masa depan, sedemikian sehingga masa depan tak lagi punya rahasia dan
sepenuhnya terantisipasi.
55
Lebih dalam lagi, Blanchot menulis bahwa kematian selalu “ganda” double death. Di satu sisi, kematian sebagai
posibilitas yang terkait dengan situasi subyektif-personal; di sisi lain, kematian sebagai sesuatu yang impersonal dan terlepas dari subyektivi-
tas ataupun konteks sosio-historis. Baik narasi atheistik Kirilov atau- paun narasi teologis yang dilawannya masih berada pada aras yang
pertama. Mereka yang membunuh dirinya menerakan rencana pada sesuatu yang secara hakiki tak terencana. Itulah mengapa Blanchot
berkata, “ketika aku membunuh diriku [...] ‘aku’ lah yang melakukan pembunuhan”
56
Dengan lain perkataan, dalam laku bunuh diri, ‘aku’ masih tetap menjadi subyek pelaku dan konsekuensinya itu bukan-
lah sebuah kematian yang hakiki. Padahal, bagi Blanchot, kematian senantiasa terkait dengan “kealpaan” negligence yang pasif “di mana
segalanya dipertaruhkan [...] di mana kekuatan-untuk-mati diperjudi- kan.”
57
Persis seperti kealpaan yang menjadi atmosfer karya seni. Blanchot mengupayakan observasi lanjutan atas aras kedua
dari kematian. Untuk itu, ia menganalisis meditasi Rilke mengenai kematian dalam karyanya,
The Notebooks of Malte Laurids Brigge. Pada lazimnya, semua orang menghendaki kematian dengan caranya: mati
secara terhormat, dikuburkan secara layak. “Orang tak ingin mati sekadar seperti kematian yang lain-lain yang biasa-biasa saja. [...] Orang
54. “Whoever kills himself could, then, go on living: whoever kills himself is linked to hope, the hope of inishing it all, and hope reveals his desire to begin, to ind the
beginning again in the end”. Ibid. hlm. 103. 55. Ibid. hlm. 104.
56. Ibid. hlm. 107. 57. Ibid.
senang mati: luhur lah mati itu, tetapi bukan membusuk,” demikian Blanchot.
58
Dalam pengalamannya, sebagaimana dinarasikan Rilke, Malte senantiasa menemui “keberadaan dari yang-mengerikan di se-
tiap partikel udara”, dalam ketidakbermaknaan sehari-hari, yaitu ke- tika mati tak ubahnya seperti “minum air atau memotong kubis.”
59
Deskprisi singkat Blanchot berikut ini barangkali akan membantu kita menangkap atmosfernya.
Di segala waktu, kita semua mati seperti lalat yang terdorong oleh musim semi untuk masuk ke dalam rumah, ke dalam ru-
angan-ruangan di mana mereka melingkar-lingkar secara membuta dalam kepusingan yang tanpa daya, dan tiba-tiba
menabrak tembok dengan kematian mereka yang tanpa otak.
60
Semua orang menghendaki kematian yang luhur, tidak yang banal seperti lalat itu. Bahkan Nietzsche pun, dalam perspektif Blanchot,
masih terjebak dalam model kematian voluntaristik macam ini.
61
Dan setiap kematian yang luhur atau proper selalu digerakkan oleh suatu
obsesi-akan-aku, oleh suatu obsesi untuk mati tanpa berhenti menjadi “aku”, oleh suatu hasrat akan keabadian.
62
Tak ada seorang pun yang menginginkan kematian yang asing seperti kematian seekor lalat, ke-
matian yang cuma itu, yang tanpa bumbu. Namun, sebagaimana akan Blanchot tunjukkan, justru kematian yang “cuma itu” inilah yang seb-
etulnya meletak pada dasar setiap kematian yang luhur dan subyektif. Kematian macam itulah yang menyerupai sebuah karya seni yang ter-
hadapnya kita tak mampu menjadi Tuan, yang darinya kita ada.
63
Ketika Rilke berkata, melalui Malte, bahwa ada suatu ngeri yang koeksis dengan hidup sehari-hari, ia sebetulnya tengah mem-
perlakukan kematian sebagai sesuatu yang lekat pada kehidupan. Ia,
58. Ibid.hlm. 122. 59. Ibid. hlm. 123.
60. Ibid. hlm. 124. 61. Lih. Ibid. hlm. 122. “Nietzsche too wishes to die his own death. Hence the excel-
lence which he sees in voluntary death.” 62. Ibid. hlm. 128.
63. Ibid. hlm. 126.
dalam arti ini, mengairmasi “imanensi kematian dalam kehidupan”.
64
Namun, dalam Rilke, hal ini mengimplikasikan suatu hal lain, yaitu bahwa imanensi ini bukan sesuatu yang terberi melainkan sebagai ses-
uatu yang mesti diupayakan. Upaya ini adalah suatu laku mencecap “yang sepenuhnya asing” serta bersikap “patuh pada yang melampaui
kita”.
65
Dengan kata lain, imanensi hanya dapat dicapai melalui laku transendensi.
Lantas apakah yang dimaksud dengan impersonalitas kema- tian itu? Ia merupakan kematian yang anonim dan menimbulkan ngeri
yang koeksis dengan hidup persis karena anonimitasnya mengisi seisi udara dengan atmosfer ketanpa-artian. Hal ini hanya dapat diselami
jikalau kita dapat melepaskan ilusi tentang persistensi “aku” dalam kematian. Blanchot mengambil analogi dari khazanah kebijaksanaan
Timur. Dalam kitab kematian orang Tibet,
Bardo Thödol, dikisahkan bahwa ruh orang yang mati akan memasuki suatu ranah di mana ia
mesti bertemu dengan cahaya, para dewa yang baik hati, dan pada akhirnya dengan para dewa yang mengamuk dalam igur-igur yang
mengerikan. Jika sang mati gagal menyadari bahwa seluruh igur tersebut merupakan proyeksi dari ke-aku-annya, maka ia justru akan
memberikan kepada igur-igur itu eksistensi yang nyata sedemikian sehingga terjatuhlah ia kembali kepada eksistensi duniawi.
66
Dan apa yang dialami Malte adalah kematian yang tanpa aku tersebut—ses-
uatu yang tak dapat dikata menyenangkan. Kengerian dari imperson- alitas kematian yang dialami Malte itulah yang tereleksikan pada be-
berapa entry catatan harian Rilke sesudah ia menulis buku itu: “Dalam keputusasaan yang konsisten, Malte telah sampai pada yang di balik
segala sesuatu, dan dalam arti tertentu di balik kematian, sedemikian sehingga tak ada yang mungkin lagi bagiku, bahkan mati”, atau “Bi-
sakah kau mengerti bahwa sehabis buku itu aku telah tertinggal persis seperti seorang survivor; mengalami kehilangan di wilayah terdalam
dari diriku, tak tertempati, tak dapat ditempati?”, atau “Selama lima tahun, semenjak Malte selesai, aku menjalani hidup seperti seorang
64. Ibid. hlm. 127. 65. Ibid. hlm. 128.
66. Ibid. hlm. 129.
pemula dan, persisnya, seperti seseorang yang tak memulai.”
67
Hanya pada Rilke akhir lah impersonalitas itu tak lagi diterima dengan keterpaksaan melainkan dengan kelegaan. Kini doa yang di-
lantunkannya, dalam bahasa Blanchot, menjadi: “Berikanlah kepada- ku kematian yang bukan milikku, kematian dari tak seorang pun, kese-
karatan yang sungguh muncul dari kematian, [...] yang bukan meru- pakan sebuah peristiwa [...] melainkan ketidaknyataan dan absensi di
mana tak ada sesuatu pun yang terjadi, di mana tak ada cinta atau makna ataupun tekanan batin yang menyertaiku, selain pengabaian
murni atas segala sesuatu itu.”
68
Namun impersonal dalam Rilke bu- kan berarti di bawah level personal, justru sebaliknya. Dalam Rilke im-
personalitas adalah suatu ideal yang mengatasi manusia, suatu ranah yang mesti dicari karena menjadi dasar bagi setiap personalitas. Rilke
membicarakannya sebagai ranah Terbuka the Open yang tak lain adalah
karya seni itu sendiri.
69
Namun keliru jika kita memandang ranah ini sebagai sesuatu yang transenden melampaui dunia. Ranah ini jus-
tru merupakan dunia itu sendiri: dunia pra-relektif dan pra-rasio di mana segala benda intim satu sama lain, suatu ”ranah-dalam dunia”
Weltinnenraum.
70
Blanchot menyebutnya sebagai “ranah Oris” Orphic space di mana sang seniman, senantiasa sebagai Orfeus, hanya bisa
hadir di dalamnya sebagai ketakhadiran, hanya bisa ada sebagai yang tiada, sebagai yang tak lagi memiliki aku. Dan airmasi atas ranah
yang sepenuhnya murni ini, secara paradoksal, mengandaikan bahasa yang pada hakikatnya tak murni. Ranah-dalam dunia yang merupakan
wilayah pra-kognisi di mana segala benda hadir dalam keintimannya satu sama lain memerlukan pengejawantahannya yang sesungguh-
nya. Dan seniman lah yang dapat membantu proses itu, yaitu dengan mengambil peran sebagai mediator melalui laku pembahasaan benda-
benda ke dalam karya seni. Dalam arti ini, Blanchot sepakat dengan Hölderlin yang percaya bahwa tugas seorang penyair adalah mewujud-
kan mediasi melalui sajak atas dunia yang terapit antara Tuhan yang telah pergi no longer dan Tuhan yang belum datang not yet. Dengan
67. Ibid. hlm. 132. 68. Ibid. hlm. 149.
69. Ibid. hlm. 142. 70. Ibid. hlm. 136.
demikian, syair menjadi kidung airmatif akan yang-tak mungkin, akan suatu ranah yang juga disebut Rilke sebagai “Tidak-dimanapun
tanpa tidak” Nowhere without no.