Sejarah Penerimaan Hegel di Prancis

ak kesadaran-diri menuju kesadaran akan diri dan yang lain dalam terang Pengetahuan Absolut. Dari sini dengan mudah Kojève me- nyamakan kesadaran-diri itu dengan manusia: “Man is Self-Con- sciousness.” 21 Maka evolusi kesadaran-diri itu, bagi Kojève, adalah juga evolusi kesadaran manusia berhadapan dengan yang lain dari- padanya, yaitu dunia yang konkret. Dengan penekanan pada antro- pologi semacam ini, tidak aneh jika penafsiran Kojève menjadi sa- ngat atheistik, mempuriikasi Hegel dari segala bentuk teologi. Dasar dari interpretasi Kojève adalah penekanan pada “Has- rat” Begierde sebagai ketiadaan dan sekaligus negasi atas ketiadaan dalam dialektika Tuan-Budak. Bagi Kojève, kesadaran-diri baru terwujud ketika manusia dapat berkata “Aku”. Ia dapat berkata demikian jika ia berhadapan dengan yang lain daripadanya, dengan obyek. Namun ke- tika manusia mengkontemplasikan obyek, memikirkannya, ia terserap ke dalam obyek dan kehilangan subyektivitasnya. 22 Satu-satunya modus untuk meresis atau menegasi absorbsi ini adalah Hasrat yang melaluinya obyek hadir sebagai obyek-bagi-subyek. Jika pengetahuan kontemplasi adalah pasivitas, maka Hasrat adalah aksi dan setiap aksi qua aksi yaitu sebagai laku terhadap yang lain adalah negasi. Dalam negasi atas obyek inilah muncul dimensi subyektif dalam obyek itu sendiri seperti pohonan yang ditebang dan diolah menjadi kursi oleh tukang kayu. Dengan demikian, melalui Hasrat, obyek diangkat ke tataran subyektif. Namun Kojève menyadari bahwa “isi positif dari Aku, yang dikonstitusikan melalui negasi, adalah fungsi dari isi posi- tif non-Aku yang dinegasi.” 23 Maksudnya, negasi dari Aku terhadap non-Aku akan membuat isi dari non-Aku itu menjadi bagian dari Aku. Jika non-Aku itu adalah alam obyektif seperti pohonan, maka Aku, dengan menegasinya, juga mewarisi sifat alam obyektif tersebut. Dengan demikian, Aku menjadi “natural” dan tak mencapai kesada- ran-diri selain kesadaran negasi akan yang-lain, yaitu alam natural. 21. Alexandre Kojève, Introduction to the Reading of Hegel disusun oleh Raymond Quenau, diedit dalam edisi bahasa Inggris oleh Allan Bloom, diterjemahkan oleh James H Nichols, Jr. Ithaca: Cornell University Press, 1996, hlm. 3. 22. Ibid: [T]he “knowing subject” “loses” himself in the object that is known. Contemplation reveals the object, not the subject. 23. Ibid. hlm. 4. Agar mencapai kesadaran-diri, Hasrat mesti diarahkan pada sesuatu yang melampaui alam obyektif. Sesuatu yang melampaui tersebut tak lain adalah Hasrat itu sendiri. Hasrat dapat dikatakan “melampaui” alam natural karena Hasrat sebagai Hasrat yaitu sesuatu yang belum terpenuhi pada dasarnya merupakan ketiadaan. Kojève menyebut ketiadaan itu sebagai “ketiadaan yang tersingkap” revealed nothingness, sebagai “kekosongan yang tak nyata” unreal emptiness. 24 Maka Hasrat mesti menghasrati Hasrat itu sendiri agar mencapai kes- adaran-diri. Hasrat, sebagai negasi dan aksi, hanya dipunyai oleh suatu entitas yang memiliki kesadaran. Dengan demikian, Hasrat akan Hasrat adalah Hasrat akan Hasrat orang lain, akan Hasrat yang-lain. Namun, bagi Kojève, Hasrat bukanlah terutama Hasrat ke- binatangan yang menghasrati alam natural-obyektif melainkan Has- rat antropogenetis. Ia memberikan contoh: jika Hasrat kebinatangan menghasrati tubuh, maka Hasrat manusiawi akan menghasrati Hasrat orang lain, misalnya hasrat untuk dicintai, untuk diakui nilai-nilainya. Hasrat yang terakhir itulah yang otentik; dan dalam arti inilah Kojève menulis: “all Desire is desire for value.” 25 Lebih lanjut lagi, jika Hasrat kebinatangan adalah Hasrat akan preservasi, akan hidup, maka Hasrat manusiawi selalu meresikokan hidup demi mencapai suatu tujuan yang non-vital, yang non-alamiah, suatu tujuan yang bernilai. Karena Hasrat akan nilai ini pada dasarnya adalah Hasrat untuk diakuinya nilai yang ia pegang oleh setiap orang, maka setiap Hasrat manusiawi adalah Hasrat akan pengakuan, akan rekognisi Anerkennung. 26 Jika setiap manusia memiliki hasrat untuk diakui nilainya oleh seluruh manu- sia lain, maka pola relasi antar manusia adalah ight to the death demi universalisasi nilai tersebut. Inilah yang terjadi dalam momen dialek- tika Tuan-budak pada chapter IV dari Fenomenologi Roh dimana suatu kesadaran-diri berhadap-hadapan dengan kesadaran-diri yang lain. Dalam pertarungan hingga mati demi rekognisi-diri ini kedua 24. Ibid. hlm. 5. 25. Ibid. hlm. 6 26. Kojève menulis, “Man from the start seeks Anerkennung, Recognition. He is not content with attributing a value to himself. He wants this particular value, his own, to be recognised by all men, universally.” Ibid. hlm. 58. belah pihak mesti tetap hidup setelah pertarungan usai. Jika salah satu pihak mati, maka tak akan ada rekognisi-diri dan seluruh pertarungan itu menjadi absurd. Oleh karena itu, dalam pertarungan ini pastilah ter- dapat dua sikap yang berbeda: yang satu berani meresikokan hidupnya demi nilai alias rekognisi-diri, sementara yang lain, karena takut akan kematian, tak berani meresikokan hidupnya dan akhirnya menyerah di hadapan yang berani. Yang pertama adalah Tuan dan yang kedua adalah budak. Dan inilah yang terjadi dalam sejarah; sejarah adalah sejarah dialektika Tuan-budak, atau seperti kata Kojève, “sejarah ma- nusia adalah sejarah Hasrat yang dihasrati.” 27 Namun setelah kemena- ngan itu, Sang Tuan akan mengalami apa yang disebut Kojève sebagai “jalan buntu eksistensial” existential impasse: di satu sisi, ia adalah Tuan karena Hasratnya ditujukan kepada Hasrat yang lain dan bukan kepada benda yang pasif, dengan kata lain, Hasrat Tuan adalah untuk diakui oleh yang lain; sementara di sisi lain, budak yang semestinya mengakui Sang Tuan ternyata kini menjadi sekedar binatang atau benda pasif yang patuh di hadapan Tuan. Dengan kata lain, kini Sang Tuan malah diakui oleh “benda”. Persoalannya lain dari sudut pandang budak. Karena budak tersubordinasi di bawah Tuan, maka budak dapat me- ngagumi otonomi alias kebebasan yang dinikmati Tuan. Kojève menulis: “jika Sang Tuan tak memiliki hasrat untuk melampaui […] dirinya se- bagai Tuan […], si budak memiliki segala alasan untuk berhenti men- jadi budak.” 28 Oleh karena itu, sementara Sang Tuan mandek dalam dekadensi, si budak justru memiliki potensi akan negasi. Potensi ini terwujud melalui Kerja. Sementara Tuan bermalas-malasan, budak mengobyektivasikan dirinya alias merealisasikan dirinya ke dalam kerja yang ia jalani sehari-hari. Melalui kerja ini, si budak merepresi Hasratnya dan mensublimasi Hasrat itu ke dalam hasil karya yang obyek- tif. Secara tak disadari, si budak mentransformasi dunia dan dengan- nya dia menjadi otonom, sementara Sang Tuan justru menjadi dependen terhadap kerja budak. Dengan kata lain, si budak kini menjadi Tuan dalam arti yang otentik dan bebas. Itulah sebabnya, Hegel menulis 27. Ibid. hlm. 6. Kojève juga menulis bahwa “history must be the history of the in- teraction between Mastery and Slavery: the historical “dialectic” is the “dialectic” of Master and Slave.” 28. Ibid. hlm. 21