Différance atau Mediasi sebagai Kontaminasi

gis dari bahasa kebenaran sebagai kehadiran, sebagai kejelasan dan keterpilah-pilahan, sebagai ketidakterkontaminasian makna. Derrida, dalam bagian introduksi ini, juga menunjukkan kem- bali tegangan yang bermain dalam fenomenologi. Di satu sisi, fenom- enologi adalah ilsafat kehidupan karena pemaknaan selalu berang- kat dari aktivitas dalam “dunia-kehidupan” Lebenswelt; di sisi lain, fenomenologi adalah metaisika idealitas karena pemaknaan dalam Lebenswelt selalu ditujukan pada idealitas murni yang transendental 96 . Tegangan inilah yang mendorong Husserl untuk mendasarkan pema- haman akan makna pada suatu asal-usul yang self-identical, yaitu “ke- sadaran” sebagai “kehadiran-diri” dalam momen kehidupan mental yang soliter 97 . Itulah yang merupakan lapisan pengalaman yang “pra- ekspresif” dimana yang berperan adalah, dalam bahasa Derrida, “liv- ing vocal medium” la vive voix yang adalah solilokui 98 . Hasrat untuk mendamaikan tegangan dan memberikan pendasaran logis sebagai “ilmu yang rigorus” inilah yang memaksa Husserl untuk tidak men- gakui peran “kontaminasi” dalam tanda walaupun ia sebenarnya telah menyinggungnya. Peran “kontaminasi” inilah, atau apa yang disebut oleh Derrida sebagai diffërance, yang diradikalisasikan oleh Derrida se- hingga berbalik menghancurkan cita-cita fenomenologi itu sendiri. Pada bab pertama hingga ketiga dari Speech and Phenomena, Derrida memaparkan argumentasi Husserl mengenai distingsi antara “ekspresi” dan “indikasi” serta perlunya momen “monolog batin” alias solilokui. Indikasi hanya berfungsi untuk menandai sesuatu, ia seperti sebuah simbol yang merepresentasikan sesuatu. Pada dirinya, indikasi tak memiliki makna karena ia hanyalah medium untuk menunjuk pada sesuatu. Bagi Husserl hanya ekspresi lah yang memiliki makna. Dalam investigasi pertama, chapter pertama, seksi pertama, paragraf pertama, dari Untersuchungen, Husserl menulis: “Ekspresi berfungsi secara ber- makna bahkan di dalam kehidupan mental yang terisolir ketika mereka tak lagi membantu untuk mengindikasikan sesuatu pun.” 99 Jadi hanya ekspresilah 96. Ibid. hlm. 10 97. “[…] “consciousness” means nothing other than the possibility of the self-pres- ence of the present in the living-present.” Ibid. hlm. 9. 98. Ibid. hlm. 15. 99. Edmund Husserl, Logical Investigations: Vol I, Op.Cit. hlm. 269. yang mampu merengkuh idealitas “makna” Bedeutung. Dalam Ideas I, Husserl menulis bahwa “logical meaning Bedeutung is an expression”. 100 Selain dengan “makna”, Husserl juga mengaitkan “ekspresi” ini de- ngan “tuturan” Sprache 101 . Namun Husserl menyadari bahwa dalam komunikasi sehari-hari, indikasi selalu mengkontaminasi ekspresi se- hingga mendistorsi relasi unik antara ekspresi dan idealitas makna. Setiap ekspresi adalah indikasi karena ekspresi selalu menunjuk pada sesuatu namun tidak setiap indikasi adalah ekspresi karena indikasi hanyalah medium untuk menunjuk sesuatu dan, oleh karenanya, tidak memiliki relasi esensial dengan idealitas sesuatu itu, yakni makna 102 . Dengan demikian, indikasi membantu namun sekaligus meng- halangi yaitu dengan mengkontaminasi relasi langsung antara ekspresi dengan idealitas makna. Sedangkan makna, bagi Husserl, hanya dapat muncul alias hadir secara langsung hanya melalui “ekspresi murni”. Untuk mendasarkan kemurnian ekspresi itu, Husserl menganalisa mo- men bahasa tanpa distorsi komunikasi alias momen bahasa sebelum separasi antara penutur dan pendengar yaitu momen “solitary men- tal life” im einsamen Seelenleben 103 . Dan memang itulah upaya fenom- enologi: deskripsi obyektif atas obyek yang hadir dengan bertolak dari interioritas yang self-proximate dimana aku berbicara pada diriku dan memahami diriku sendiri dalam momen “kini” yang langsung tanpa mediasi apapun. Husserl, catat Derrida, tidak mempertanyakan “se- suatu” yang memungkinkan distingsi itu terjadi; dengan kata lain, Husserl tidak mempertanyakan “tanda” secara umum sebelum dis- tingsi antara ekspresi dan indikasi 104 . Derrida kembali menunjukkan paradoks fenomenologi: di satu sisi, reduksi atas ontologi naif menuju problem konstitusi kesadaran yang selalu dimediasi oleh tanda, tapi, di sisi lain, masih terjebak pada metaisika kehadiran dalam upayanya 100. Sebagaimana dikutip dalam Jacques Derrida, Speech and Phenomena, Op.Cit. hlm. 20. 101. Dalam Ideas I, ia menulis: “We, however, are exclusicely concerned with the “to mean” or “bedeuten” and the “meaning” Bedeutung. Originally, these words relate only to the sphere of speech sprachlice Sphäre that of “expressing” des Ausdrückens.” Sebagaimana dikutip dalam ibid. hlm. 19. 102. Ibid. hlm. 21. 103. Ibid. hlm. 22. 104. Ibid. hlm. 23. menemukan suatu momen yang murni dan bebas dari kontaminasi mediasi, yaitu momen solilokui 105 . Demi pencapaian cita-cita fenomenologi, Husserl terus beru- paya menunjukkan bahwa indikasi adalah sesuatu yang sekunder, ha- nya bersifat membantu ekspresi namun juga berbahaya bagi kemurni- an ekspresi. Indikasi hanya dikaitkan dengan fakta empiris yang diru- juk dan bukan eidos nya. Tanda indikatif tidak dapat merengkuh eidos ataupun idealitas makna. Oleh karena itu, indikasi diposisikan sebagai sesuatu yang eksterior dari relasi dengan idealitas makna. Batas indi- kasi adalah materialitas tanda bentuk simbol, frekuensi suara, dsb dan rujukan di dunia empiris 106 . Sementara itu, ekspresi adalah tanda yang “mau mengatakan sesuatu”, ia adalah tanda yang memiliki mak- na; maka judul seksi kelima investigasi pertama adalah “Expressions as Meaningful Signs” Ausdrücke als bedeutsame Zeichen. Dalam ekspresi “suara” yang diutarakan tetap internal dalam momen solilokui maka tak termediasi oleh materialitas tanda dan yang diutarakan bukanlah sesuatu yang eksternal melainkan idealitas makna yang tak terkon- taminasi oleh rujukan di dunia empiris. Distingsi ekspresi sebagai yang interior dan indikasi sebagai yang eksterior ini, menurut pemba- caan Derrida, menjadi dasar bagi segala reduksi dan konseptualisasi fenomenologi 107 . Peminggiran atas fungsi indikasi dalam Husserl, menurut pembacaan Derrida, juga didorong oleh motif untuk menjaga in- tensionalitas kesadaran dari distorsi yang tidak di-kehendak-i. Der- rida mencatat, “Husserl regards intentional consciousness and voluntary consciousness as synonymous.” 108 Makna yang diinten- sikan adalah makna yang dikehendaki. Mari kita ambil contoh. Jika makna simbol “A” sebagai indikasi menurutku adalah “api” dan ketika aku mengutarakan “A” padamu yang menurutmu memiliki makna “perempuan” maka “A”, sebagai indikasi, telah mendistor- sikan makna yang kuintensikan, dengan kata lain, yang kukehen- daki. Semangat yang sama pulalah yang mendasari Husserl untuk 105. Ibid. hlm. 25-26. 106. Ibid. hlm. 33. 107. Ibid. hlm. 30. 108. Ibid. hlm. 34. mengesampingkan “ekspresi wajah” dan “gestur” sebagai indikasi dan bukan ekspresi 109 . Maka sebenarnya, bagi Husserl, esensi bahasa adalah ketercapaian tujuannya. Derrida menulis tentang Husserl ini: “Esensi bahasa ada pada tujuannya; dan tujuannya adalah kes- adaran volunter sebagai makna [comme vouloir-dire].” 110 Dengan kata lain, dalam teori intensionalitas kesadaran mengeramlah “meta- isika kehendak” alias metaisika subyektivitas yang menurut Hei- degger meresapi ilsafat Barat modern 111 . Itulah sebabnya Derrida menyebut aktivitas pemaknaan dalam Husserl ini sebagai aktivitas vouloir-dire “wanting-to-tell”; volo: bahasa Latin artinya “kehendak”. Karena makna adalah makna yang diintensikan alias dikehen- daki sementara indikasi, walaupun membantu artikulasi, mendistorsi- kan intensikehendak itu, maka dalam komunikasi dengan orang lain yang selalu termediasi oleh indikasi makna tak dapat hadir penuh. Jika demikian, jika makna tak dapat hadir penuh, bagaimana cita- cita fenomenologi mesti dipertahankan? Dalam titik inilah, Husserl berupaya memberikan jaminan kepastian makna itu dengan masuk ke dalam analisa mengenai momen solitary mental life. Dengan reduksi ke dalam momen solilokui ini, mediasi isik frekuensi suara, wujud simbol dari indikasi nampak tak mempengaruhi sirkulasi makna. Derrida membaca bahwa jika momen “solitary mental life” ini masih terkontaminasi atau termediasi oleh indikasi atau apapun, maka selu- ruh teori penandaan Husserl akan runtuh 112 . Dalam monolog batin ini, menurut Husserl, ekspresi menca- pai kepenuhannya. Idealitas makna hadir secara langsung tanpa perlu diindikasikan. Itulah “living consciousness”. Dalam momen solilokui ini, aku tak perlu berkomunikasi dengan diriku karena komunikasi sudah tak perlu, karena makna hadir penuh. Eksistensi makna, pada momen ini, tak perlu diindikasikan karena hadir secara langsung pada subyek dalam waktu “kini”. Maka, ekspresi, yang mencapai kemurni- 109. Lih. Edmund Husserl, Logical Investigations: Vol I, Op.Cit. hlm. 275. 110. Jacques Derrida, Speech and Phenomena, Op.Cit. hlm. 36. 111. “[…] the concept of intentionality remains caught up in the tradition of a volun- taristic metaphysics—that is, perhaps, metaphysics as such.” Ibid. hlm. 34. 112. Ibid. hlm. 42. annya pada momen solilokui, tidak berfungsi untuk komunikasi 113 . Tak ada mediasi kata-kata dalam momen ini; kata-kata hanya mungkin dalam bentuk “imajinasi” tentang kata-kata. Tak ada distingsi subyek- obyek; distingsi ini hanya mungkin dalam bentuk “representasi” kita merepresentasikan diri sebagai subyek yang bertutur dan obyek yang dituturi 114 . Husserl menulis: “Dalam sebuah monolog, kata-kata tak menjalankan fungsi indikasi atas eksistensi laku mental, indikasi macam itu akan tak berguna. Karena laku yang tengah dipertanyakan itu sen- diri dialami oleh kita persis pada momen itu [im selben Augenblick].” 115 Hanya dalam momen monolog batin inilah, menurut Husserl, idealitas absolut dari makna dapat menampak. Derrida melihat adanya suatu metaisika yang tersembunyi dalam pandangan tentang idealitas absolut ini. Metaisika itu nampak dalam dua segi: pertama, idealitas absolut mensyaratkan adanya suatu ketetapan alias permanensi dari obyek yang hadir di hadapan subyek; kedua, kehadiran idealitas absolut itu terwujud dalam momen “kini” solitary mental life 116 . Jadi panda- ngan tentang idealitas absolut secara langsung terkait dengan keha- diran langsung subyek pada dirinya self-proximate pada momen “kini” yang langsung dan tak terbagi within the blink of an eye 117 . Momen itu mengambil tempat pada “pengalaman-kehidupan” Erlebnise yang murni yang memuncak pada solilokui. Momen kemurnian dalam solilokui selalu mengandaikan bahwa momen “kini” yang terjadi hanya “dalam satu kedipan mata” ini mesti merupakan suatu kesatuan dan tak boleh terbagi ataupun terkontaminasi. Menurut Derrida, jika Husserl gagal membuktikan ini, maka proyek fenomenologi akan terancam 118 . Walaupun Hus- serl, dalam The Phenomenolog y of Internal Time-Consciousness, mengatakan bahwa waktu selalu mengandaikan jejak dari masa lalu retensi dan jejak dari masa depan protensi, ia sendiri tetap menegaskan mo- men “kini” sebagai momen yang self-identical, sebagai “titik”, sebagai 113. Ibid. hlm. 48. 114. Ibid. hlm. 49. 115. Edmund Husserl, Logical Investigations: Vol I, Op.Cit. hlm. 280. 116. Jacques Derrida, Speech and Phenomena, Op.Cit. hlm. 53. 117. Ibid. hlm. 58. 118. Ibid. hlm. 61. sesuatu yang “punctual”. Husserl menulis dalam Ideas I: “Kini yang aktual niscaya merupakan sesuatu yang punctual ein Punktuelles dan tetap seperti itu, sebuah bentuk yang bertahan melalui perubahan materi yang terus-menerus” 119 . Momen “kini” ini disebut pula oleh Husserl sebagai “bentuk primordial” Urform dari kesadaran. Memori dari masa lalu retensi dan ekspektasi atas masa depan protensi, dalam pandan- gan Husserl, menyatu dan memuncak dalam momen “kini”. Derrida bertanya: jika masa kini hanya dimungkinkan karena jejak dari ket- akhadiran modus waktu yang lain, maka mungkinkah “instant now” itu, mungkinkah im selben Augenblick itu? Mungkinkah momen “kini” yang sepenuhnya tak terkontaminasi oleh jejak? Husserl sendiri nam- paknya telah menyadari ketakmungkinan ini namun, demi kesuksesan cita-cita fenomenologi yang berupaya mendasarkan kepastian makna dalam momen solilokui di mana makna hadir langsung tanpa mediasi indikasi dan dalam “instant now”, ia mesti menampik ketidakmung- kinan itu. Dalam solilokui ini terjadilah suatu “hearing-understand- ing-oneself-speak” s’entendre parler; entendus: “mendengar” dan “mengerti”. Aku berbicara pada diriku, sekaligus mendengar diriku, sekaligus mengerti apa yang aku bicarakan dan dengarkan padadari diriku. Ini adalah oto-afeksi yang unik karena seakan tidak memer- lukan detour ke “luar” dirinya untuk mereapropriasi dirinya. Derrida menyebut momen ini sebagai “diam fenomenologis” phenomenological silence karena seakan tak ada mediasi indikasi apapun 120 . Hal ini di- mungkinkan karena idealitas obyek dapat hadir secara langsung tanpa kontaminasi. Namun, sebagaimana diakui Husserl sendiri, idealitas mengandaikan repetisi tak hingga 121 . Idealitas mesti dapat direpetisi tanpa kehilangan identitas alias kesamaannya dengan dirinya sendiri melalui repetisi tak hingga. Dengan kata lain, idealitas mengandaikan repetisi yang sepenuhnya sama. Tapi mungkinkah hal itu? Derrida menulis: “Masa-kini-yang-hidup [living present] tersibak keluar dari non-identitasnya dengan dirinya sendiri dan dari kemung- 119. Sebagaimana dikutip dalam ibid. hlm. 62. 120. Ibid. hlm. 70. 121. Ibid. hlm. 75. kinan jejak retensional. Ia telah selalu merupakan sebuah jejak.” 122 Ke- hadiran dimungkinkan karena jejak ketidakhadiran. Momen “kini” di- mungkinkan lewat relasi diferensialnya dengan modus waktu yang lain. Dengan kata lain, momen “kini” selalu di-mediasi, selalu di-kontaminasi, oleh modus waktu yang lain. Maka “instant now” yang tak terbagi, utuh dan unik pada dirinya itu tidak mungkin, selalu sudah tidak mungkin. Se- suatu tak akan memiliki kehadiran yang bermakna dan terpahami tanpa jejak memori akan masa lalu yang tak hadir 123 . Sama halnya dengan idealitas murni. Karena idealitas mensyaratkan repetisi, dan repetisi selalu merupakan repetisi dalam konteks yang lain, dalam jaringan pemaknaan yang lain, dengan kata lain, dalam relasi kontaminasi yang lain, maka repetisi tak pernah sepenuhnya merepetisi hal yang sama, dan, karenanya, idealitas absolut tak pernah ada. Relasi kontaminasime- diasi inilah yang disebut Derrida sebagai différance. Pada bab terakhir dalam buku Speech and Phenomena, yaitu bab ketujuh, Derrida memperlihatkan lebih jauh aktivitas différance ini. Dalam teks Husserl, dan dalam seluruh teks ilsafat Barat secara umum, sisi subordinatif dalam setiap oposisi logis selalu memiliki status suple- men. Indikasi dihadirkan sebagai suplemen, sebagai tambahan untuk memenuhkan kehadiran. Namun, karena suplemen selalu mengandai- kan inskripsi suatu elemen yang asing dari sistem ke dalam sistem, maka indikasi juga menghasilkan bahaya bagi keutuhan sistem. Karena kontaminasi indikasi lah, kehadiran penuh atau relasi langsung antara ekspresi dan idealitas makna menjadi terkontaminasi. Relasi suple- menter inilah yang disebut Derrida sebagai différance. Suplementasi ini terwujud melalui momen “substitusi”. Derrida menulis: “struktur ‘se- bagai ganti dari’ [in the place of; für etwas] […] terdapat dalam setiap tanda secara umum.” 124 Momen substitusi ini selalu diandaikan dalam setiap aktivitas penandaan. Tak ada tanda tanpa posibilitas substitusi. Setiap tanda, sebagai tanda, mesti bisa dicerabut dari konteks partikular dan diinskripsikan pada konteks yang lain. Dan oleh karena setiap proses substitusi ini melibatkan inskripsi pada konteks yang lain, maka dalam 122. Ibid. hlm. 85. 123. Lih. Timothy Mooney, How To Read Once Again: Derrida on Husserl dalam Philoso- phy Today Vol 47 musim gugur 2003, hlm. 308. 124. Jacques Derrida, Speech and Phenomena, Op.Cit. hlm. 88. “jantung” bahasa terdapat suatu mekanisme “alterasi”, yaitu proses kontaminasi yang lain terhadap setiap makna. Selain itu, bahasa selalu mengandaikan ketidakhadiran subyek. Bahasa, sebagai bahasa, mesti tetap dapat berfungsi bahkan ketika subyek penutur telah mati 125 . Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa tak pernah ada obyek- tivitas kebenaran, tak pernah ada idealitas absolut dari makna yang hadir penuh dalam momen solilokui. Ketakmungkinan obyektivitas total ini mengimplikasikan lebih lanjut bahwa cita-cita Husserl meng- gagas suatu pure logical grammar pun akan selalu kandas. Husserl me- mandang bahwa bahasa, pertama-tama dan secara esensial, bersifat logis. Derrida menunjukkan bahwa bahasa logis adalah bahasa on- tologis-metaisis. Rumusan formal-logis dari bahasa misalnya, “S adalah p” selalu bertolak dari pengandaian yang metaisis 126 . Aspek metaisis itu terwujud setidaknya dalam dua bentuk: pertama, konsep kebenaran sebagai “kesesuaian” adequatio yang bertolak dari, mengi- kuti Heidegger, metaisika representasi; kedua, kehadiran penuh yang tak terkontaminasi yang terwujud melalui konsep “adalah”. Pure logical grammar yang digagas Husserl pun bertumpu pada pengandaian metaisis. Dalam konteks ini, menurut Husserl, bahasa logis boleh bersifat “kontradiktif” tetapi tidak boleh bersifat “nonsense” Unsinn. Kontradiksi diperbolehkan karena dapat dipersalahkan secara logis. Pernyataan bahwa “bumi itu berbentuk kotak” bersifat kontradiktif namun dapat dicek alias dipersalahkan secara logis. Namun pernyata- an “hijau adalah dimana” bersifat “nonsense” karena sama sekali ti- dak bisa dimengerti. Dengan kata lain, pure logical grammar mengako- modasi kontradiksi dan menolak “nonsense” karena yang kedua tidak memiliki gramatika sehingga tak bisa dimengerti dan tak memiliki fungsi kebenaran sehingga tak bisa dicek sama sekali 127 . Dari sini sebetulnya kita telah dapat melihat bahwa Husserl menyamakan es- ensi bahasa dengan tujuannya. Derrida mencatat bahwa terjadi suatu “pergeseran subtil [yang] menginkorporasikan eidos menuju telos dasn bahasa menuju pengetahuan.” 128 Bahasa mesti mengatakan sesuatu, 125. Ibid. hlm. 93. 126. Ibid. hlm. 74. 127. Ibid. hlm. 91-92. 128. Ibid. hlm. 98. mesti mengartikulasikan makna yang jelas dan terpilah-pilah, mesti memiliki satu makna yang pasti—semua ini adalah pengandaian Hus- serl. Dengan demikian, pure logical grammar bertumpu pada konsep ke- benaran sebagai obyektivitas 129 . Dan sebagaimana telah kita lihat tadi, konsep ini bersifat metaisis dan obyektivitas sendiri tak pernah dapat terjadi karena mekanisme kontaminasi. Sistem oposisi-dikotomis yang terdapat dalam fenomenologi Husserl, sebagaimana dalam setiap teks ilsafat Barat, selalu memi- liki struktur teleologis 130 . Segala konseptualisasi oposisi-logis selalu diarahkan kepada suatu tujuan yang hadir penuh dan identik dengan dirinya sendiri entah itu Tuhan, Roh, Kebenaran, Kemanusiaan, dsb. Menjelang akhir buku, Derrida merangkum analisanya: Kita telah mengalami interdependensi sistematis antara kon- sep makna, idealitas, obyektivitas, kebenaran, intuisi, persepsi dan ekspresi. Matriks umum mereka adalah ada sebagai ke- hadiran: kedekatan absolut dari swa-identitas, ada-di-hadapan dari obyek yang tersedia bagi repetisi, pertahanan dari masa kini, yang bentuk idealnya adalah kehadiran-diri dari kehidu- pan transendental, yang identitas idealnya mengijinkan idealiter dari repetisi tak hingga. Kini-yang-hidup […] dengan demiki- an merupakan fondasi konseptual dari fenomenologi sebagai metaisika. 131 Metaisika kehadiran—itulah nama yang Derrida berikan pada pan- dangan ilosois yang menyangkal fakta kontaminasi, yang meman- dang bahwa makna, kebenaran, dapat hadir penuh, murni, langsung, pada dirinya, pada momen “kini” yang tak terbagi lagi. “ The history of metaphysics,” demikian Derrida, “therefore can be expressed as the unfolding of the structure or schema of an absolute will-to-hear-oneself-speak.” 132 Sejarah 129. Ibid. hlm. 99. Juga lihat misalnya keterangan Husserl bahwa, “in the pure logic of meanings,” tujuan utamanya ialah “the laws of objective validity of meanings” dalam Edmund Husserl, Logical Investigations: Vol II diterjemahkan oleh JN Findlay London: Routledge Kegan Paul, 1976, hlm. 518. 130. “[…] t he whole system of “essential distinctions” is a purely teleological structure.” Jacques Derrida, Speech and Phenomena, Op.Cit. hlm. 101. 131. Ibid. hlm. 99. 132. Ibid. hlm. 102. metaisika adalah sejarah kelupaan akan kontaminasi, sejarah kelu- paan akan différance, sejarah kelupaan akan yang lain yang selalu sudah menginterupsi kehadiran-diri yang identik dalam momen “kini” yang langsung, sejarah kelupaan akan fakta bahwa “the thing itself always escapes.” 133

2. Eksplisitasi Teologi dalam Derrida Akhir

Menjelang akhir dekade 80-an, Derrida merubah nada tulisan- nya. Warna Nietzscheo-Heideggerian tentang kritik atas metaisika surut ke belakang, tergantikan dengan warna Levinasian tentang air- masi atas keabsolutan Yang-Lain, baik dalam arti etis maupun teolo- gis. Namun ini tetaplah hanya sebuah perubahan atmosfer dan kita tak bisa menyebutnya sebagai suatu “Balikan” katakanlah, suatu “Balikan Teologis” sebab apa yang ia uraikan pada periode akhir ini tetaplah konsisten dengan formulasi teoritisnya dulu pada dekade 60-an. De- ngan kata lain, apa yang dipaparkan Derrida tentang agama dan Tuhan sepenuhnya kompatibel dengan apa yang ia tuliskan pada awal karirnya tentang différance dan kritik atas metaisika. Melalui perubahan atmos- fer ini, elemen teologis dalam ilsafat Derrida awal menjadi lebih eksplisit. Kita akan melihat ini, secara berurutan, dalam wacana Derrida ten- tang etika dan agama walaupun, perlu kita pahami, dalam ilsafatnya etika dan teologi senantiasa berkelindan. Dalam makalahnya yang ia presentasikan pada suatu perte- muan di pulau Capri, Italia, Derrida mengulas mengenai kemungkinan memperdamaikan rasio dan kepercayaan religius. Ia mencita-citakan suatu “Pencerahan Baru” New Aufklärung dengan mengambil alih harapan Pencerahan mengenai kemajuan ke arah yang lebih baik. Wa- laupun demikian, ia tetap kritis terhadap tradisi Pencerahan yang cen- derung mereduksi segalanya pada fakultas rasio manusia. Pencerahan selalu ditandai dengan sekularisme, pemisahan radikal antara agama dan rasio. Dengan iman akan rasio, para ilsuf Pencerahan mengem- bangkan pelbagai teori saintiik-ilosois dengan mengesampingkan 133. Ibid. hlm. 104. atau setidaknya melakukan “toleransi represif” atas iman. Kant, mis- alnya, hanya mengakui agama sebagai “agama moral” yang membina kehendak baik dan bukan agama sebagai “agama dogmatik” yang, menurut Kant, berupaya memberikan pengetahuan tentang benar dan salah karena pengetahuan ini adalah domain ilsafat 134 . Melalui pengutamaan atas rasio, para ilsuf Pencerahan seringkali melakukan antisipasi atas masa depan yang lebih baik Comte dan Marx, misal- nya. Derrida mencermati kecenderungan evaluasi yang muncul atas fenomena yang terkenal sebagai “kembalinya agama-agama” the return of religions. Seringkali fenomena ini dievaluasi sebagai tanda dari kega- galan cita-cita rasional Pencerahan, Sains dan Kritisisme; dengan kata lain, agama selalu diperbandingkan secara oposisional dengan ilsafat dan sains 135 . Derrida ingin menunjukkan bahwa keduanya agama dan ilsafat tak bisa dipisahkan karena keduanya bertolak dari suatu “pon- dasi” yang sama, yaitu apa yang ia sebut sebagai “gurun pasir dalam gurun pasir” desert in the desert. Ketika segala pondasi kehilangan kepastiannya, itulah “gurun dalam gurun” 136 . Hilangnya segala kepas- tian entah itu kepastian rasional ataupun kepastian iman selalu sudah terjadi karena hilangnya kepastian pondasi atau keterlemparan kita di “gurun dalam gurun” inilah yang memungkinkan sekaligus membatasi setiap agama. Derrida menulis: “Tanpa gurun dalam gurun ini, tak akan ada laku iman, ataupun janji, ataupun masa depan […] ataupun relasi dengan singularitas yang lain.” 137 Persis ketika kita tak tahu “esensi” yang-lain, maka kita membiarkannya datang dan tidak mengokupasi- nya. Persis ketika kita tak tahu “apa itu iman”, maka kita bisa beri- man. Ketika iman identik dengan segala dogma dan teologi, maka iman itu bukan lagi iman 138 . Dengan demikian, “gurun dalam gurun” adalah suatu pengalaman ketakmungkinkan mengantisipasi Yang Tak 134. Jacques Derrida, Faith and Knowledge: The Two Sources of ‘Religion’ at the Limits of Reason Alone diterjemahkan oleh Samuel Weber dalam Jacques Derrida dan Gianni Vattimo ed., Religion California: Stanford University Press, 1998, hlm. 10. 135. Ibid. hlm. 5. 136. Ibid. hlm. 19. 137. Ibid. 138. Ibid. hlm. 8. Mungkin. Pengalaman “ketaktahuan” atau pengalaman “gurun dalam gurun” inilah yang bagi Derrida mendahului agama Yahudi, Kristen dan Islam, yang mendahului, memungkinkan sekaligus membatasinya. Pengalaman akan “topos aporetik” ini mendahului serta memungkin- kan ketiganya karena dalam pengalaman ketaktahuan ini manusia ter- buka terhadap Yang Lain yang akan datang hingga termanifestasikanlah ketiga agama itu. Pengalaman ini membatasi ketiganya karena keterbu- kaan akan yang akan datang yang menjadi syarat kemungkinan keti- ganya tak pernah tertutup dan selesai tak pernah mencapai kepenu- han sehingga terus-menerus membuka dan menerima kedatangan yang-lain yang sepenuhnya unik dan tak tergantikan. Dalam kaitan dengan inilah Derrida membedakan antara mesianitas atau juga the messianic dan mesianisme messianism. Me- sianisitas adalah “kedatangan keadilan” the advent of justice, sebagai “peristiwa unik” singular event, yang tak dapat dikalkulasi ataupun di- antisipasi. Derrida menulis: […] yang mesianik [the messianic], atau mesianitas tanpa me- sianisme. Inilah yang merupakan pembukaan menuju masa depan atau kedatangan yang-lain sebagai kedatangan keadi- lan, namun tanpa horison ekspektasi dan tanpa peramalan kenabian [ prophetic preiguration]. Kedatangan yang-lain hanya dapat muncul sebagai peristiwa singular ketika tak ada an- tisipasi yang melihatnya datang, ketika yang-lain dan kema- tian—dan kejahatan radikal—dapat datang secara mengejut- kan pada setiap saat. 139 Ketakpenuhan pengalaman, ketakmampuan untuk mengkalkulasi yang akan datang, keterkejutan akan yang datang, semua inilah yang Der- rida sebut sebagai “struktur umum pengalaman”. 140 Mesianitas ini, se- bagai pengalaman yang tak mungkin akan yang akan datang, meru- pakan suatu “struktur umum” yang tak terikat dengan segala bentuk pengalaman kontingen. Oleh karena itu, mesianitas berbeda dengan mesianisme yang selalu tertentu mesianisme tentang Ratu Adil, me- 139. Ibid. hlm. 17. 140. Ibid. hlm. 18. sianisme tentang Mesias, mesianisme tentang Imam Mahdi. Me- sianitas bersifat universal dalam arti bahwa setiap pengalaman akan yang-lain “dan” masa depan kalau itu bukannya tautologi; karena, dalam pemahaman Derrida, yang-lain “adalah” masa depan itulah yang menjadi struktur umum dari setiap pengalaman, dari setiap tindak kognisi ataupun penghayatan akan sesuatu. Dalam dimensi “universal” inilah Derrida memiliki hasrat yang sama dengan para ilsuf Pencerahan. Karakter khas dari mesianitas adalah suatu non- knowledge, suatu “iman”. Kedatangan yang-lain yang akan terus- menerus datang inilah yang memungkinkan “harapan” dan bu- kan kepastian rasional-kalkulatif. Dimensi ketakpastian inilah yang membedakan Derrida dari para ilsuf Pencerahan. Inilah iman yang tanpa dogma, tanpa isi ajaran tertentu, yang tak meletak dalam opo- sisi tradisional antara rasio dan mistisisme 141 . Beriman adalah ber- tanggung jawab atas keberlainan yang-lain yang akan terus datang. Dengan kata lain, tidak mematok yang-lain dalam suatu dogma ter- tutup yang diklaim benar untuk selamanya sehingga menyegel keda- tangan yang lain 142 . Tanggung jawab selalu melibatkan komitmen, suatu “janji” untuk membuka diri terhadap yang-lain yang akan datang. Derrida menunjukkan bahwa pengalaman selalu sudah bersi- fat terarah pada masa depan yang tak terkalkulasi, selalu sudah me- miliki harapan pada masa depan yang akan datang, selalu luput men- gantisipasi singularitas yang-lainperistiwa. Masa depan, the to come, adalah pemberian gift yang menarik diri dalam pemberiannya se- hingga menyisakan kesempatan untuk pemberian berikutnya; dengan kata lain, the to come memberi dengan tidak memberikan sepenuhnya 143 . Yang akan datang ini tidak pernah berasal dari diri sendiri dan tak terengkuh oleh ontologi karena ia selalu datang dari yang-lain yang memungkinkan dan membatasi ranah ontologi. Derrida menulis: “This “Come,” I do not know what it is, not because I yield to obscu- rantism, but because the question “what is” belongs to a space ontol- 141. Ibid. 142. Ibid. hlm. 26. 143. Bdk. Jacques Derrida dan Maurizio Ferraris, A Taste of the Secret, Op.Cit. hlm. 19.