Eksplisitasi Teologi dalam Derrida Akhir
                                                                                sianisme  tentang  Mesias,  mesianisme  tentang  Imam  Mahdi.  Me- sianitas  bersifat  universal  dalam  arti  bahwa  setiap  pengalaman  akan
yang-lain  “dan”  masa  depan  kalau  itu  bukannya  tautologi;  karena, dalam  pemahaman  Derrida,  yang-lain  “adalah”  masa  depan  itulah
yang  menjadi  struktur  umum  dari  setiap  pengalaman,  dari  setiap tindak  kognisi  ataupun  penghayatan  akan  sesuatu.  Dalam  dimensi
“universal”  inilah  Derrida  memiliki  hasrat  yang  sama  dengan  para
ilsuf Pencerahan.  Karakter khas dari mesianitas adalah suatu non- knowledge,  suatu  “iman”.  Kedatangan  yang-lain  yang  akan  terus-
menerus  datang  inilah  yang  memungkinkan  “harapan”  dan  bu- kan  kepastian  rasional-kalkulatif.  Dimensi  ketakpastian  inilah  yang
membedakan Derrida dari para ilsuf Pencerahan. Inilah iman yang tanpa dogma, tanpa isi ajaran tertentu, yang tak meletak dalam opo-
sisi  tradisional  antara  rasio  dan  mistisisme
141
.  Beriman  adalah  ber- tanggung  jawab  atas  keberlainan  yang-lain  yang  akan  terus  datang.
Dengan kata lain, tidak mematok yang-lain dalam suatu dogma ter- tutup yang diklaim benar untuk selamanya sehingga menyegel keda-
tangan  yang  lain
142
.  Tanggung  jawab  selalu  melibatkan  komitmen, suatu  “janji”  untuk  membuka  diri  terhadap  yang-lain  yang  akan
datang. Derrida menunjukkan bahwa pengalaman selalu sudah bersi-
fat  terarah  pada  masa  depan  yang  tak  terkalkulasi,  selalu  sudah  me- miliki harapan pada masa depan yang akan datang, selalu luput men-
gantisipasi  singularitas  yang-lainperistiwa.  Masa  depan,  the  to  come, adalah  pemberian  gift  yang  menarik  diri  dalam  pemberiannya  se-
hingga menyisakan kesempatan untuk pemberian berikutnya; dengan kata lain, the to come memberi dengan tidak memberikan sepenuhnya
143
. Yang  akan  datang  ini  tidak  pernah  berasal  dari  diri  sendiri  dan  tak
terengkuh  oleh  ontologi  karena  ia  selalu  datang  dari  yang-lain  yang memungkinkan  dan  membatasi  ranah  ontologi.  Derrida  menulis:
“This “Come,” I do not know what it is, not because I yield to obscu- rantism, but because the question “what is” belongs to a space ontol-
141. Ibid. 142. Ibid. hlm. 26.
143. Bdk. Jacques Derrida dan Maurizio Ferraris, A Taste of the Secret, Op.Cit. hlm.
19.
ogy opened by a “come” come from the other.”
144
Walaupun mengkritik kecenderungan hiper-esensialis dalam wacana teologi negatif, Derrida tetap memiliki hasrat yang sama. Ia per-
caya bahwa setiap teks selalu sudah terkontaminasi oleh teologi negatif, selalu terkontaminasi oleh hasrat akan apa yang terdapat di luar baha-
sa, di seberang Ada
145
. Hasrat akan Yang Sejati selalu sudah mengeram dalam bahasa. Dalam kaitan dengan inilah, Derrida berbicara tentang
“bahasa yang terluka” oleh Yang Tak Mungkin
146
: sebuah luka selalu sudah terinskripsikan pada bahasa, luka yang tumbuh dari hasrat akan
Yang Tak Mungkin, akan sesuatu di seberang sana. Ia pun mengakui bahwa diskursus seluruh mistisisme, teologi negatif dan dekonstruksi
meletak pada suatu “ranah antara” treshold, ranah différance, di mana di seberangnya terdapat suatu ranah yang bukan ranah, suatu tempat
yang  bukan  tempat,  suatu  X  di  seberang  sana
147
.  Kita  ingat  bahwa Derrida  pernah  menulis,  dalam  Writing  and  Difference,  “to  write  is  to
have a passion of the origin.” Dekonstruksi pun, sebagaimana Derrida mengakuinya,  selalu  terarah  pada  sesuatu  yang  berada  di  luar  teks,
suatu hasrat yang tak mungkin akan Yang Tak Mungkin. Setiap tin- dak membahasa selalu menunjuk pada apa yang terdapat “di luar ba-
hasa”, pada yang tak ternamai: the name supposes to name beyond itself, the nameable beyond the name, the unnameable nameable
148
. Namun ia tetap me- nyadari bahwa tak pernah ada nada apofatik murni, tak pernah ada
teologi negatif murni yang tak terkontaminasi différance. Filter bahasa itu  niscaya  dan  membatasi  sekaligus  memungkinkan  setiap  wacana
apofatik dari teologi negatif. Ia menulis: “There is no text, above all no  sermon,  no  possible  predication,  without  the  invention  of  such
144. Jacques Derrida, Of an Apocalyptic Tone dalam Harold Coward dan Toby Foshay
ed., Derrida and Negative Theolog y, Op.Cit. hlm. 65.
145. “I trust no text that is not in some way contaminated with negative theology” Lih. Jacques Derrida, Post-Scriptum: Aporias, Ways and Voices dalam ibid. hlm. 309-310.
146. Ibid. hlm. 303. 147. “It is the place, the place of this writing, this trace left in Being of what is
not, and the writing of this place. The place is only a place of passage, and more precisely, a threshold. But a threshold… to give access to what is no longer a place.”
Lih. Jacques Derrida, How to Avoid Speaking: Denials dalam ibid. hlm. 121. 148. Jacques Derrida, Post-Scriptum dalam ibid. hlm. 302.
a  ilter.”
149
Derrida  pun  mengakui  bahwa  setiap  diskursus,  seatheis apapun, tetap selalu memiliki hasrat yang tak mungkin akan Yang Tak
Mungkin. Dan diskurus semistik apapun selalu mencapai pada suatu titik  “ketaktentuan”  undecidable  yang  mengarah  pada  kecenderun-
gan atheistik. “I pray God to rid me of God,” tulis Meister Eckhart. Pengalaman mistik memiliki nuansa yang serupa dengan pengalaman
dekonstruksi  ketika  mencapai  titik  ini:  ketaktahuan,  ketakpastian, seperti  sebuah  “gurun  pasir”  tanpa  arah  yang  pasti,  tanpa  asal  dan
tujuan yang pasti. Oleh karena itulah, Derrida menulis bahwa tindak membahasa, cepat atau lambat, akan mencapai momen ”gurun pasir”,
suatu ranah antara yang tanpa kepastian arah-tujuan, suatu
khōra. Kita selalu sudah terlempar di gurun pasir bahasa, tulis Derrida
150
. Gurun pasir, sebagaimana kita ketahui, tak pernah memiliki rute yang jelas
karena  setiap  jejak  pasir  selalu  terkubur  pasir,  mekanisme  jejak  dan penghapusan  jejak.  Dan  “Tuhan”,  tulis  Derrida,  “adalah  nama  dari
kejatuhan tanpa dasar ini, dari peng-gurunpasir-an desertiication ba-
hasa yang tanpa akhir.”
151
Oleh karena itu, setiap tindak penamaan yang inal tetap tak mungkin. Yang bisa kita upayakan adalah: sauf le
nom, “jagalah nama dari yang rahasia”
152
. Metafor  gurun  pasir  mengimplikasikan  suatu  hal  lain.  Di
padang  gurun,  kita  tak  pernah  dapat  mengantisipasi  kedatangan yang  lain,  kita  tak  pernah  dapat  menduga  siapa  yang  tiba  di  ujung
cakrawala.  Maka,  dalam  gurun  pasir,  dalam  bahasa,  kita  selalu  sudah berkata  “Ya”,  dengan  atau  tanpa  berbicara,  dengan  atau  tanpa  ber-
pikir. Ini adalah “Ya” yang mendahului setiap pertanyaan serta me- mungkinkan sekaligus membatasinya. Dalam esainya, Nombre de Oui
“A  Number  of  Yes”,  Derrida  menulis  bahwa  “Ya”  adalah  bahasa tanpa bahasa
153
. “Ya” adalah bahasa tanpa bahasa karena ia adalah ba- hasa sebelum bahasa persis karena ia adalah bahasa dalam bahasa. “Ya”
149. Jacques Derrida, How to Avoid Speaking: Denials dalam ibid. hlm. 122 150. Jacques Derrida, Post-Scriptum dalam ibid. hlm. 298.
151. “”God” “is” the name of this bottomless collapse, of this endless desertiica- tion of language.” Lih Ibid. hlm. 300.
152. Ibid. 153. Jacques Derrida, A Number of Yes diterjemahkan oleh B Holmes dalam Martin
Mcquillan  ed.,  Deconstruction:  A  Reader  Edinburgh:  Edinburgh  University  Press, 2000, hlm. 101.
adalah bahasa dalam bahasa tidak saja karena ia merupakan suatu kata dalam horison bahasa, melainkan juga karena ia diandaikan oleh se-
tiap kata bahkan oleh kata “tidak”. “Ya” memungkinkan setiap hal terejawantah  dalam  bahasa:  ia  membuat  segala  ikhwal  menjadi  ada
dan  membiarkannya  diperkatakan.  Namun,  dengan  demikian,  “Ya” juga  merupakan  bahasa  sebelum  bahasa  karena  ialah  yang  memung-
kinkan  setiap  bahasa.  Sebagai  bahasa  sebelum  bahasa,  “Ya”  adalah “janji”  promise akan yang akan datang, akan segala bentuk artikulasi
bahasa yang terus menerus datang
154
. Namun karena “Ya” membuka setiap  “peristiwa”  dalam  bahasa,  ia  sendiri  bukanlah  “peristiwa”,  it
is never present as such, ia hadir dalam ketakhadirannya, ia bukan meru- pakan bahasa
155
. “Ya”, dengan demikian, adalah juga bahasa tanpa ba- hasa.  Lebih  jauh  lagi,  “Ya”  selalu  bermakna  ganda.  Di  satu  sisi,  ia
merupakan  “janji”  akan  datangnya  bahasa  yang  lain;  di  sisi  lain,  ia juga merupakan “tanggapan” response terhadap janji tersebut
156
. Seb- agai “tanggapan” atas janji, “Ya” merupakan “ingatan” memory akan
janji. Sebagai “janji” atas tanggapan, “Ya” merupakan “janji” akan i- ngatan. Promise of memory and memory of promise. Namun, karena “janji”
akan yang akan datang, “tanggapan” harus terus-menerus membuka diri  terhadap  “Ya”  yang  baru  yang  akan  datang.  Dengan  demikian,
diperlukan suatu pembaruan absolut, memulai untuk “pertama kali”
nya lagi. Derrida menulis, “It must act as if the ‘irst’ were forgotten, far enough past to require a new, initial yes.”
157
Maka kita mesti melu- pakan untuk mengingat. Agar yang-lain tetap dapat datang sehingga
ingatan  akan  janji  dipertahankan,  kita  mesti  bisa  melupakan  “Ya” yang telah datang. Keterbukaan, pada ranah gurun pasir, akan sesuatu
yang terus menerus datang inilah, dalam paradoks antara mengingat dan melupakan, antara ingatan akan janji dan janji akan ingatan, yang
disebut Derrida sebagai “syarat utama keimanan” the very condition of
idelity
158
. Iman selalu merupakan iman akan yang akan datang, akan
154. Ibid. 155. Ibid. hlm. 103.
156. Ibid. hlm. 104. 157. Ibid. hlm. 105.
158.  Derrida  menulis:  “a  yes  can  never  be  counted.  Promise,  mission,  emission,  it always sends itself off in numbers.” Ibid.
“Ya” yang tak terhingga yang terus menerus datang yang tak mungkin dibatasi dengan dogma, sekte ataupun rasio.
“Bahasa telah dimulai tanpa kita, dalam kita dan sebelum kita,” tulis Derrida
159
. Kita selalu sudah terlempar dalam gurun pasir. Kita selalu sudah terekspos pada yang akan datang. “Tanggapan” atas janji
berarti “pertanggung jawaban” atas janji. Bertanggung jawab atas janji berarti terbuka terhadap manifestasi yang akan datang dari janji den-
gan  demikian,  membiarkan  yang  lalu  berlalu  namun  juga  menjaga “nama”, menjaga “rahasia”, dari janji itu dengan tidak melakukan klaim
atas rahasia berdasarkan dogma, rasio ataupun sekte. Yang terakhir ini dimungkinkan karena rahasia selalu sudah tidak rahasia. Ketika para
agamawan, ilsuf ataupun mistikus berkata bahwa rahasia alam semesta adalah X, maka rahasia itu bukan lagi rahasia, bukan lagi misteri, bukan
lagi Yang Tak Terpahami, bukan lagi Yang Sejati. Ketika mereka berbi- cara, ketika mereka mengumbar rahasia, mereka selalu sudah berbicara
dalam  bahasa.  Rahasia  menghapus  dirinya  saat  menampakkan  diri- nya
160
.  Maka:  rahasia  hanya  mungkin  ketika  kita  tidak  tahu  apakah ada  rahasia  ataukah  tidak  ada  rahasia.  Rahasia  dari  yang-sepenuh-
nya-lain  ini,  menurut  Derrida,  bersifat  “absolut”.  Ab-solutum  artinya terlepas  dari  segala  ikatan  tertentu.  Kerahasiaan,  keabsolutan,  yang
tak tertematisasi dan tak terobjektiikasi inilah yang memungkinkan setiap  laku  etis  dan  religius
161
.  Dan  rahasia,  sebagai  syarat  kemung- kinan  bagi  tiap  laku  etiko-religius,  adalah  nama  lain  dari  Yang  Tak
Mungkin. It is necessary to do the impossible, it is necessary to go there where one cannot go
162
. Itulah sebabnya, Derrida menulis bahwa “gurun” des- ert adalah nama lain dari “hasrat” desire
163
. Apa artinya hasrat jika ia menghasrati yang mungkin dihasrati? Hasrat hanya mungkin sebagai
159. “Language, has started without us, in us and before us.” Jacques Derrida, How to Avoid Speaking dalam Harold Coward dan Toby Foshay ed., Derrida and Negative
Theolog y, Op.Cit. hlm. 99. 160. “secret […] cannot even appear to one alone except in starting to be lost, to
divulge itself, hence to dissimulate itself, as secret, in showing itself: dissimulating its dissimulation.” Lih. Ibid. hlm. 95.
161. Lih. Jacques Derrida dan Maurizio Ferraris,
A Taste of the Secret diterjemahkan oleh Giacomo Donis Cambridge: Polity Press, 2001, hlm. 57.
162. Jacques Derrida, Post-Scriptum dalam ibid. hlm. 302. 163. Ibid. hlm. 318.
hasrat ketika ia menghasrati yang tak mungkin dihasrati: hasrat hanya mungkin sejauh ia tak mungkin untuk merengkuh sepenuhnya apa
yang dihasrati—ia hadir sebagai ketakhadiran presensi dari absensi. Itulah “gurun dalam gurun”: ketakmungkinan hasrat yang tak mung-
kin akan Yang Tak Mungkin.
                