Kantianisme Terselubung Kategori-Kategori Dasar Posmodernisme a. Problem Legitimasi sebagai Titik Tolak

juis, posmodernisme rentan tergelincir ke dalam airmasi atas ideologi pasar bebas yang merayakan pluralitas komoditi. Sejalan dengan ini, Hardt dan Negri menambahkan dalam karya populernya, Empire, bah- wa penerimaan atas segala partikularitas merupakan salah satu prose- dur dasar kapitalisme global. 188 Deleuze dan Guattari jauh-jauh hari juga telah menunjukkan bahaya yang sama dalam perayaan atas plu- ralitas, yakni bahaya bahwa pluralitas itu dapat direteritorialisasi alias direngkuh kembali oleh ordo kapital melalui komodiikasi atas pel- bagai atribut dari pluralitas “subkultur” tersebut. Airmasi posmo- dern atas pluralitas ini juga menimbulkan bahaya lain: suatu resiko tercebur ke dalam gestur viktimisasi-diri. Inilah yang diperingat- kan oleh Alain Badiou kepada para multikulturalis yang memberi- kan penekanan yang ekstrem bagi perbedaan. Badiou memberikan contoh: jika seseorang menyatakan bahwa dirinya ditindas karena kulit hitamnya, maka “kekulit-hitaman” itu sendiri tak lagi memi- liki makna selain sebagai kategori politis tentang diri sebagai ko- rban; dengan kata lain, kulit hitam jadi dimaknai hanya sebagai tanda ketertindasan dan tidak lagi sebagai identitas partikular yang unik. 189 Keberatan yang lain dinyatakan oleh kritikus utama pos- modernisme, Terry Eagleton, yakni bahwa posmodernisme, dalam upaya distansiasinya terhadap modernisme, justru terjatuh ke dalam skema modern: karena posmodernisme berupaya menolak modern- isme tanpa bertopang pada titik tolak yang transenden di luar sejarah, maka posmodernisme pun terpaksa memakai kategori modern. 190 188. Lih. Antonio Negri, Time for Revolution diterjemahkan oleh Matteo Mandarini London: Continuum, 2003, hlm. 5. 189. “When I hear people say ‘We are oppressed as blacks, as women’, I have only one problem: what exactly is meant by ‘black’ or ‘women’? […] Can this identity, in itself, function in a progressive fashion—that is, other than as a property invented by the oppressors themselves? […] [W]hat does ‘black’ mean to those who, in the name of the oppression they suffer, make it a political category?” Alain Badiou, Eth- ics: An Essay on the Understanding of Evil diterjemahkan oleh Peter Hallward London: Verso, 2002, hlm. 107-108. 190. “This is why the idea of postmodernism as the negative truth of modernity is a necessary manouvre, since it allows one to reject modernity without claiming that you do not so from some loftier vantage-point of historical development, which would of course be to fall prey to modernity’s own categories.” Terry Eagleton, The Illusions of Postmodernism Oxford: Blackwell Publishers, 1997, hlm. 31. Contoh lain dari kekeliruan ini telah kita lihat dari posisi Kantian modern yang mengeram dalam posmodernisme. 191 Dan karena asumsi-asumsi modern yang masih melekat dalam posmodernisme merupakan problem dari modernisme sendiri yang memang belum tuntas, maka benarlah jika Eagleton mencatat bahwa “posmodern- isme pada akhirnya lebih merupakan bagian dari problem ketimbang merupakan solusi.” 192 Dengan hunjaman kritik yang tak henti-hentinya diarahkan kepada posmodernisme, kini hingar-bingar posmodernisme telah mu- lai surut. Bukannya tak mungkin posmodernisme akan menjadi sebuah babak yang telah berlalu dalam sejarah gagasan. Namun, adalah perlu bagi kita untuk tidak membiarkan kesurutan ini berlalu begitu saja, dengan kata lain, selesai tanpa bisa kita tarik suatu pelajaran tertentu darinya untuk lantas memberikan kepada kita visi tentang jalan yang mesti ditempuh oleh ilsafat selanjutnya. Kita perlu mengupayakan suatu penyudahan atas posmodernisme yang tak berhenti pada kritik anta- gonistik yang non-konstruktif. Untuk itu kita mesti melihat problema- tika dasar dari posmodernisme dan membacanya dalam konteks kela- hirannya. Daripada menggunakan pendekatan kritik yang telah ada seperti itu, di sini kita akan mengupayakan pembacaan kritis yang berbeda dengan bertolak dari hasil diagnosa yang telah kita temukan sebelumnya, yakni bahwa ada Kantianisme pada jantung posmodern- isme. Posmodernisme merupakan gerakan penolakan umum ter- hadap transendensi. Penolakan atas totalitas dalam wujud metanarasi merupakan suatu penolakan atas sesuatu yang melampaui relasi-relasi partikular, suatu penolakan atas transendensi. Ini diupayakan dengan memberikan penekanan ekstra pada sifat auto-referential dari setiap na- rasi. Ciri “swa-acuan” ini nampak dalam pengandaian Lyotard bah- wa aturan dari setiap permainan bahasa tidaklah ditentukan secara eksternal dan a priori melainkan diciptakan melalui proses permainan itu sendiri; dengan kata lain, tak ada acuan yang bersifat transenden ter- 191. Dalam arti ini, Eagleton juga benar ketika ia menulis bahwa “postmodernism escapes what it sees as one specious form of transcendentalism only to land up with another.” Ibid, hlm. 35. 192. Ibid, hlm. 135. hadap permainan; setiap aturan atau acuan diproduksikan dari dalam permainan yang sedang berlangsung. Pengandaian inilah yang mel- atar-belakangi penolakan atas metanarasi yang tak lain merupakan acuan eskternal yang mengatasi seluruh narasi. Dibahasakan secara lain, aspirasi terdasar dari posmodernisme adalah airmasi atas imanensi; posmodernisme hendak menjadi suatu ideologi imanensi. Sampai di sini kita mesti berhenti sejenak dan kembali pada isu Kantianisme yang tadi telah kita singgung. Kant, dalam upayanya mencari basis legitimasi dari pengetahuan, terhenti pada batas pen- getahuan, yakni eksistensi “benda-pada-dirinya-sendiri” das Ding an sich yang tak pernah kita ketahui karena pengetahuan selalu mengan- daikan skema kategoris a priori. Dengan kata lain, Kant menyisakan ruang dalam epistemologinya bagi suatu jenis transendensi, sesuatu yang senantiasa luput dari jerat akal budi. Lyotard mengawali traktat- nya tentang posmodernisme persis dengan awalan seperti Kant, yaitu problem legitimasi pengetahuan. Ia pun juga, seperti Kant, berhenti pada airmasi tentang ketakmungkinan kepenuhan pengetahuan. Itu- lah sebabnya Lyotard, lagi-lagi seperti Kant, mengakui adanya sesuatu yang tak dapat direpresentasikan, sesuatu yang tak ternamai. 193 Ses- uatu itu jelas bersifat transenden terhadap pengetahuan. Dan apa yang mesti kita lakukan, bagi Lyotard, adalah memberi ruang dan tabik hormat bagi yang-tak-ternamai itu. Jika kita kembali pada poin yang kita artikulasikan sebelumnya, maka kita menemui suatu kondisi paradoksal: di satu sisi, posmodern- isme adalah airmasi atas imanensi, namun di sisi lain, posmodernisme yang sama juga menerima transendensi. Tegangan antara imanensi dan transendensi inilah yang, pada hemat saya, menjadi problem sentral dalam posmodernisme. Jika Lyotard memang sengaja memasukkan kedua unsur yang berlawanan ini ke dalam visinya tentang posmo- dernisme tentu ia tengah mengulang sebuah gestur lama. Lyotard bu- kan ilsuf pertama yang mengambil langkah ini. Dua abad sebelum- nya, Hegel, ilsuf modern yang menjadi “musuh” para posmodernis itu, telah memainkan gestur yang sama. Demi menghapus transen- densi eksternal eksistensi das Ding an sich yang menjadi batu san- dungan dalam sistem ilsafat Kant, Hegel menempatkan transendensi 193. Lih. Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition, Op.Cit., hlm. 82.