Problem Sistemik Prolegomena bagi Seluruh Ontologi Imanensi Masa Depan
lumnya: bagaimana mengkonstruksi tatanan imanensi yang, di satu sisi, dapat terhindar sama sekali dari transendensi dan, di sisi lain, mampu
mengakomodasi atau memungkinkan emansipasi yang dicirikan oleh keterputusan radikal? Dua sisi problem ini dapat kita pecah. Poin
pertama—persoalan konstruksi tatanan imanensi politik yang tak ter- kontaminasi transendensi—meliputi genesis subyek soal apakah subyek
perlawanan mestilah mereka yang ditindas ataukah kita mampu me- lancarkan perlawanan tanpa mengandaikan stimuli berupa penin-
dasan. Dengan kata lain, mampukah kita melawan kapitalisme tanpa pola pikir “kami tertindas, maka kami menindas” alias mengartikula-
sikan suatu perlawanan yang
airmatif, yang tidak bertumpu pada lack serta negasi? dan topologi perlawanan soal bagaimana kita mensituasi-
kan perlawanan pada ranah status quo yang nyata-nyata eksis. Dengan kata lain, dapatkah kita memikirkan ranah perlawanan sebagai ranah
imanensi yang mana status quo atau kapitalisme global hanyalah noktah transendensi yang dapat dibersihkan daripadanya, dan bukan seba-
liknya?. Sementara poin kedua—pemungkinan bagi emansipasi se- bagai keterputusan radikal—terkait soal bagaimana kita melihat
emansipasi tidak sebagai fenomena mesianistik yang selalu tertunda, seperti dalam Derrida, ataupun koeksistensi antara rezim imanensi
dan rezim transendensi yang ditopang oleh kesamaan struktural di an- tara keduanya negativitas sebagai benang merah antara yang-Simbo-
lik dan yang-Riil dalam Žižek, atau model imanensi homogen seperti pada Negri-Hardt.
Tiga problem yang saya sebut di atas bukanlah problem ter- akhir dari imanensi. Masih terdapat banyak problem yang lain jika kita
masuk ke detil, misalnya soal pemikiran kembali atas konsep imediasi berikut dengan derivatnya pada level politik, yakni konsep masyara-
kat tanpa kelas dan negara. Namun setumpuk problem ini, betapa- pun sulit, tidak pernah menutup jalan bagi konstruksi ontologi politik
imanensi sebab ontologi ini adalah satu-satunya ontologi dan politik yang mungkin jika kita tak hendak terjatuh ke dalam kekeliruan yang
inheren dalam model imanensi yang terkontaminasi transendensi se- bagaimana telah kita periksa sepanjang buku ini.
Sederet problem yang menghadang ini bukanlah jalan buntu.
Kesulitan-kesulitan itu justru menunjukkan bahwa ilsafat memang bukan hafalan atas apa yang dikatakan para ilsuf sebelumnya. Filsa-
fat itu berpikir—artinya, ia memformulasikan problem, memetakan jalinan halus antar konsep, dan mengorek kemungkinan bagi suatu
alternatif. Dan justru karena problem itu sulit—tidak seperti mena- nak nasi—maka ia layak diperjuangkan, bahkan jika ia memakan se-
luruh usia kita. Tak terkecuali Deleuze yang sejak karya pertamanya ketika ia masih 23 tahun hingga kematiannya pada usia 70 digerak-
kan oleh satu pertanyaan fundamental: bagaimana cara mengairmasi imanensi?
Alternatif jawaban terhadap ketiga problem yang saya sebut di atas sebetulnya telah terdapat dalam pemikiran para ilsuf imanensi
via positiva. Bentuk paling jelas dari jawaban ini dapat kita saksikan dalam Deleuze.
Dalam tesis kecil-nya tentang Spinoza, Deleuze membeda- kan kausalitas imanen dari kausalitas emanatif. Keduanya memang
memiliki kesamaan, yakni ketika memproduksikan sesuatu keduanya tetap berada pada diri mereka sendiri remaining in themselves; bdk. akar
kata Latin dari imanensi, yakni manere yang artinya “tetap” atau “re- main”.
110
Bedanya, jika penyebab emanatif menghasilkan efek yang tidak berada di dalam ranah penyebaban emanatif itu sendiri, maka
penyebab imanen menghasilkan efek yang juga imanen pada ranah penyebab itu sendiri.
111
Dengan kata lain, emanasi akan menghasil- kan eksternalitas efek yang eksis di luar penyebab dan konsekuensinya
tercipta hierarki efek: semakin eksternal efek tersebut dari penyebab utama, maka semakin degradatif lah ia. Dan sejauh instansi penyebab
selalu eksternal terhadap efeknya, maka Yang-Satu, sebagai titik to- lak emanasi tersebut, tak pelak lagi bersifat transenden. Inilah alasan
mengapa Deleuze menyebut Neoplatonisme Plotinos hanya berhen- ti pada hipotesis pertama dalam dialog Parmenides-nya Platon, yakni
110. Gilles Deleuze, Expressionism in Philosophy: Spinoza diterjemahkan oleh Martin Joughin New York: Zone Books, 1990, hlm. 171.
111. “While an emanative cause remains in itself, the effect it produces is not in it, and does not remain in it. […] A cause is immanent, on the other hand, when its effect is ‘immanate’
in the cause, rather than emanating from it. What deines an immanent cause is that its effect is in it”. Ibid., hlm. 171-172.