Jalan Deleuzio-Foucaultian 1. Antonio Negri dan Michael Hardt: Imanensi Homogen

lah seluruh daya Kekaisaran bersumber. Terkait soal strategi perlawanan, Negri dan Hardt mengkri- tik apa yang mereka anggap sebagai kekeliruan gerakan Kiri di era posmodern. Kekeliruan yang dimaksud ialah memiksasi perjua- ngan pada level lokal, misalnya dengan bertarung dalam aras politik identitas lokal atau kultural. Bagi Negri dan Hardt, strategi ini naif karena telah mengabaikan mekanisme kuasa Kekaisaran, yakni se- bagai rezim yang memproduksi identitas dan perbedaan sebagai agen homogenisasi dan heterogenisasi. 88 Adalah naif, bagi keduanya, un- tuk memperjuangkan identitas lokal-spesiik yang diasumsikan eksis di luar kuasa reteritorialisasi Kekaisaran. Dengan kata lain, kita mesti berangkat dengan mengasumsikan perjuangan sebagai fenomena yang imanen dalam jantung Kekaisaran itu sendiri. Artikulasi perlawanan ini mesti memahami dulu bahwa “yang-jamak adalah daya produktif yang riil dari dunia sosial kita, sementara Kekaisaran hanyalah suatu aparatus penangkapan [appara- tus of capture] yang hidup dari vitalitas yang-jamak—seperti dikatakan Marx, sebuah rezim vampir dari akumulasi kerja mati [dead labor] yang bertahan hanya dengan menghisap darah dari yang hidup.” 89 Apa yang hendak ditunjukkan Negri dan Hardt melalui pernyataan tersebut adalah bahwa Kekaisaran hanya eksis sejauh ia memanipulasi daya hidup dari yang-jamak. Dengan demikian, Kekaisaran bertumpu pada suatu “kekurangan ontologis” ontological lack: ia tak memiliki eksistensi yang substantif, ia eksis sejauh ia bertopang dan memper- gunakan daya eksistensi dari yang-jamak. Kekaisaran adalah suatu “kekurangan akan ada” privation of being, hanyalah “jejak dari yang-ja- mak”. 90 Yang-jamak, dengan demikian, tidak hanya merupakan syarat kemungkinan dari Kekaisaran melainkan juga syarat ketakmungki- nannya: tanpa kooperasi yang-jamak, Kekaisaran tak akan berjalan sama sekali. Namun bagaimana yang-jamak tersebut dapat menem- pati posisi politiknya sebagai subyek perlawanan dan bukannya ting- gal diam menonton eksploitasi Kekaisaran atas diri mereka? Terhadap pertanyaan ini, Negri dan Hardt hanya mampu memberikan jawaban 88. Ibid., hlm. 46. 89. Ibid., hlm. 62. 90. Ibid., hlm. 62-63. yang terkesan mengambang: “aksi dari yang-jamak menjadi politis ter- utama ketika mereka mulai melawan langsung, dan dengan kesadaran yang cukup, pusat operasi represif dari Kekaisaran. Ini adalah persoa- lan mengenali dan menghadapi inisiatif imperial dan tak membiarkan mereka untuk secara terus-menerus mendirikan kembali tatanan”. 91 Negri dan Hardt sendiri mengakui corak abstrak dari preskripsi bagi yang-jamak sebagai subyek perlawanan ini. 92 Walau demikian, mereka tetap menetapkan apa yang mesti diperjuangkan pertama kali: kewarganegaraan global. Apa yang Negri dan Hardt tuju dengan ini adalah perluasan ruang gerak yang-jamak demi melawan politik spasial Kekuasaan yang memfragmentasi yang- jamak untuk kemudian mendominasinya. 93 Tuntutan kedua yang disu- arakan oleh Negri dan Hardt terkait soal waktu. Kekaisaran bekerja dengan menjalankan homogenisasi waktu, yakni waktu sebagai waktu produksi waktu kerja, sementara waktu reproduksi atau waktu seng- gang diabaikan begitu saja. Padahal waktu reproduksi itu juga berguna bagi produksi, sejauh reproduksi dipahami dalam konteks efektivitas produksi. Maka itu, yang-jamak mesti memperjuangkan hak untuk di- upah bahkan dalam waktu senggangnya. 94 Tuntutan ketiga adalah hak untuk reapropriasi. Reapropriasi di sini dimaknai Negri dan Hardt dalam arti yang fundamental, tidak sebagai reapropriasi alat produksi material, melainkan sebagai reapropriasi atas akses kepada pengeta- huan, informasi, komunikasi dan afeksi. 95 Tatkala ketiganya dipenuhi maka, bagi Negri dan Hardt, terbukalah jalan bagi peristiwa politik yang sejati—sesuatu yang bentuknya sepenuhnya tergantung pada praktik yang-jamak dalam menyuarakan ketiga tuntutan tersebut. 96 Ketiga tujuan perjuangan dari yang-jamak itu memang ter- lihat tidak radikal sama sekali. Ketiga tuntutan tersebut, jikapun terpenuhi, tak akan menumbangkan Kekaisaran itu sendiri karena, sejauh dianalisis Negri dan Hardt, ketiga obyek tuntutan tersebut bu- 91. Ibid., hlm. 399. 92. Ibid. 93. Ibid., hlm. 400. 94. Ibid., hlm. 403. 95. Ibid., hlm. 406-407. 96. Ibid., hlm. 411. kanlah sumber hidup Kekaisaran. Dengan demikian, menjadi tak be- gitu jelas bagaimana yang-jamak dapat mengakhiri kuasa Kekaisaran dan menumpasnya hingga ke akar-akarnya. Paling banter realisasi atas ketiga tuntutan tersebut hanya akan mewujudkan suatu koeksistensi da- mai antara yang-jamak dan Kekaisaran. Jika demikian, seluruh aksi yang-jamak malah tampak sebagai aksi korektif terhadap manajemen kuasa Kekaisaran. Ia menjadi koreksi internal dari Kekaisaran itu sen- diri. Pada akhirnya, Negri dan Hardt cenderung terjatuh pada sejenis model sosialisme utopis pra-Marx. Lantas di mana problemnya? Dalam teori Negri dan Hardt kita menyaksikan tergelarnya kesadaran bahwa perjuangan politik mesti dilakukan dengan tujuan untuk membebaskan imanensi yang- jamak dari segala bentuk transendensi pelbagai mekanisme represi Kekaisaran. Persoalannya terletak pada konsep imanensi yang me- reka olah dari Deleuze. Negri dan Hardt masih memahami imanensi sebagai ranah yang sinambung continuous. Artinya, ranah imanensi se- bagai totalitas yang melingkupi baik titik imanensi yang-jamak seka- ligus inleksi transendensi Kekaisaran. Permasalahan utama dari konsepsi tentang imanensi yang utuh dan sinambung ini meletak pada persoalan kemungkinan bagi keterputusan radikal radical break. Jika kita tadi menyebut bahwa konsep perlawanan Negri dan Hardt hanya berhenti sebagai sejenis sosialisme utopis, itu karena model imanensi mereka tidak membuka kemungkinan bagi adanya suatu keterputu- san radikal. Keterputusan radikal terhadap apa? Tentu saja, terhadap Kekaisaran sebagai transendensi. Jika hendak dibahasakan secara lain, koeksistensi damai antara yang-jamak dan Kekaisaran yang bertumpu pada imanensi sebagai totalitas yang utuh dan sinambung tersebut justru tergelincir pada suatu bahaya: imanensi itu sendiri identik de- ngan transendensi. Artinya, sejauh Negri dan Hardt tak berhasil mem- formulasikan keterputusan radikal atas Kekaisaran sebagai transen- densi, maka konsepsi imanensi mereka yang-jamak koeksis dengan transendensi Kekaisaran itu sendiri. Suatu koeksistensi damai antara imanensi dan transendensi. Ini terkait dengan problem lainnya, yakni visi imanensi yang naturalistik dan spontan. Visi yang dimaksud nampak pada titik tolak perlawanan yang dilancarkan yang-jamak. Negri dan Hardt tidak menspesiikasi munculnya perlawanan ini berdasarkan prakondisi il- miah tertentu. Apa yang mereka andaikan hanyalah tendensi alamiah rakyat tertindas untuk melawan dan membentuk suatu front bersama menentang ekspansi Kekaisaran. Dalam hal ini saya sepakat dengan kritik Laclau atas keduanya, yakni soal postulat tentang tendensi natural dari yang-jamak untuk melawan Kekaisaran. 97 Apa yang seo- lah diabaikan oleh Negri dan Hardt adalah bahwa Kekaisaran dapat menjalankan fungsi subyektivasi melalui kanalisasi hasrat atas yang- jamak sedemikian sehingga membuat yang-jamak itu terpuaskan se- cara parsial berdasarkan hukum kesenangan yang diadministrasi oleh Kekaisaran melalui multimedia, obat anti-depresi, dan sebagainya. Ironisnya, dengan penekanan pada spontanitas perlawanan yang-ja- mak ini, Negri dan Hardt justru menyuntikkan dimensi reaktif pada yang-jamak: reaksi spontan yang jamak atas administrasi Kekaisaran. Kedua corak imanensi inilah—sinambung dan naturalistik— yang mesti diakhiri jika kita hendak memikirkan imanensi sebagai opsi ontologis untuk emansipasi politik. Dibahasakan secara positif, persoalan yang kita hadapi adalah: bagaimana mengkonstruksi model imanensi yang memungkinkan radical break terhadap rezim kuasa tan- pa terjebak pada model keterputusan yang transenden dan mampu menjelaskan kemunculan subyek perlawanan yang aktif secara ilmi- ah tidak secara alamiah sebagai tendensi spontan untuk bereaksi? Dengan kata lain, selama “imanensi absolut” masih dipahami sebagai homogenisme absolut, maka tak akan ada emansipasi. “Imanensi ab- solut” itu, karena tak mewujudkan emansipasi, justru belum absolut: ia masih mengandaikan koeksistensi antara imanensi yang-jamak dan transendensi Kekaisaran. Imanensi barulah sungguh-sungguh ab-solut tatkala ia menyediakan ruang bagi keterputusan radikal, bagi emansi- pasi. 97. Ernesto Laclau, On Populist Reason, Op.Cit., hlm. 241.

3. Anti-Parsifal

Alkisah pada suatu musim di Spanyol Abad Pertengahan, terdapat seorang raja yang berkuasa atas puri Montsalvat: Amfortas, raja dari segala ksatria penjaga Cawan Suci. Sang raja mewarisi ber- sama Cawan Suci itu sebilah lembing yang pernah digunakan untuk menusuk Sang Penyelamat di kayu salib. Suatu ketika Amfortas ber- jalan memasuki taman indah yang dicipta secara magis oleh Kling- sor, seorang penyihir jahat. Tergoda oleh Kundry, budak perempuan Klingsor, Amfortas pun tak sadar ketika Klingsor mendekat dan mencuri lembing suci itu. Dengan lembing itu, Klingsor melukai paha Amfortas—sebuah luka yang tak akan sembuh kecuali oleh lembing itu sendiri. Sementara itu, terdapat seorang ksatria pengembara muda yang sedang melewati wilayah Montsalvat. Parsifal, nama ksatria muda itu, mengetahui penyebab penyakit sang raja. Ia lantas berang- kat menuju kastil gaib Klingsor. Karena ia tak tergoda oleh Kundry yang merayunya di muka kastil, maka Parsifal pun dapat berhadapan dengan sang penyihir jahat. Klingsor melemparkan lembing itu untuk menghujam si ksatria namun, karena tak takluk pada rayuan Kundry, Parsifal sanggup menangkap lembing suci tersebut. Dengan membuat tanda salib absolusi dengan lembing itu, Parsifal mematahkan sihir Klingsor dan kastil gaib itu pun lenyap jadi padang pasir. Sepulangnya Parsifal ke puri Montsalvat, ia membaptis Kundry dan menghadap sang raja. Dengan mencucukkan lembing suci itu ke luka Amfortas, Parsifal menyembuhkan luka sang raja dan pada akhirnya Parsifal sendiri diangkat sebagai raja puri Montsalvat dan seluruh ksatria pen- jaga Cawan Suci. Ini merupakan opera tiga babak karya Wagner yang dipentas- kan di Bayreuth pada 1882, setahun sebelum sang komponis wafat dan sekaligus juga merupakan karya terakhir Wagner. Apa yang menjadi alasan saya untuk mengangkat ilustrasi ini adalah untuk menunjukkan bagaimana orientasi ilsafat imanensi yang bertumpu pada negativitas internal mulai dari Kojève, Hyppolite, Sartre, Derrida, hingga Žižek berhasil terumuskan dengan gamblang dalam penggalan kisah ini. Opera Parsifal ini dapat dikristalkan pada sebaris formula: “Lukamu hanya dapat disembuhkan oleh lembing yang mencabikmu.” Bukan kebetulan belaka jika Žižek menggunakan frase itu untuk menggam- barkan logika Lacanian. 98 Dengan frase ini, negativitas dimaklumi se- bagai dimensi yang konstitutif dari diri. Hasilnya adalah kesadaran akan kerapuhan diri, sebuah etika kedhaifan, di hadapan sesuatu yang tak terpikirkan, yang tak ternamai, yang senantiasa luput dari kita. Inilah yang telah kita eksplisitkan dalam pembacaan kita atas para ilsuf negatif seperti Blanchot, Lyotard dan Derrida. Bahkan pada Žižek—ilsuf yang terkenal menolak konsepsi initude macam itu— kita mendapati kategori negatif seperti kekurangan dan lubang yang dijadikan konstitutif bagi segala laku emansipasi. Apa yang ditampilkan melalui frase Wagnerian itu ialah se- buah logika negatif: jika kita mengalami represi oleh kekuasaan, maka represi lah diri kita sendiri sekali lagi, dan kita akan mencapai pem- bebasan. Karena ketika kita—yang sudah direpresi di sana-sini oleh kapitalisme global—merepresi diri kita sendiri, maka represi ekster- nal itu tak akan terasa lagi, dan inilah emansipasi. Dari sinilah kita lalu merasa—tak pelak lagi merupakan sebuah fantasi—bahwa ketika kita menghantam diri kita sendiri, kita sebetulnya secara heroik telah menghantam yang lain tatanan kapitalisme global, ortodoksi agama. Inilah pelajaran politik dari gestur “berdiam dalam yang-negatif” tarrying with the negative. Logika kastrasi-diri macam inilah yang akan terus membimbing pikiran kita selama kita masih mengandaikan “koeksistensi damai” antara imanensi dan transendensi. Sejauh ima- nensi masih diandaikan mungkin eksis hanya dengan topangan tran- sendensi—dalam bentuk negasi, negasi atas negasi dan transenden- siasi—maka yang kita peroleh adalah ketundukan pada Yang Maha Lain. Lebih dari seabad yang lalu, Nietzsche telah mengingatkan kita akan hal ini. Dalam The Case of Wagner, ia meringkaskan logika Wagnerian ini dengan sangat tepat: Bene navigavi, cum naufragium feci— Ketika aku mengalami kapal karam, maka aku telah berlayar dengan 98. Lih. Slavoj Žižek, Tarrying with the Negative: Kant, Hegel, and the Critique of Ideolog y, Op.Cit., hlm. 165-199. baik. 99 Nietzsche sadar bahwa negativitas adalah sumber moralitas bu- dak. Melalui tesis tentang kematian Allah, Nietzsche telah menetapkan arah yang mesti diambil ilsafat abad kita: ilsafat imanensi absolut. Dan itu artinya, kita mesti menyudahi segala bentuk transendensi, bahkan jika transendensi itu telah diselundupkan ke dalam imanensi sebagai negativitas internal yang mendorong transendensiasi atas ranah ima- nensi. Itulah sebabnya Deleuze, dalam tafsirnya atas Nietzsche, dapat berkata: “Kita tahu apa yang dimaksud dengan transformasi Hegelian yang terkenal: mereka tak lupa untuk mengkonservasi secara saleh [ pious]. Transendensi tetap transenden pada jantung yang-imanen.” 100 Menyadari keidentikan logika Wagnerian dan logika Hegelian, Ni- etzsche lantas menulis secara eksplisit bahwa Wagner adalah “pewaris Hegel” the heir of Hegel . Dan Nietzsche tahu, logika ini mengkristal pada Parsifal sebagai “fatalitas romantisisme”—yakni, primasi pada kefanaan, kerapuhan diri, yang berharap pada penebusan—, sebagai puncak dari “absurditas moral dan religius”: “Lukamu hanya dapat disembuhkan oleh lembing yang mencabikmu.” Puncak dari logika ini tak lain adalah harapan akan penebusan redemption : airmasi atas keterhinggaan diri dan airmasi atas ketakterhinggaan Sang Penebus. Singkatnya, penghambaan imanensi pada transendensi. 99. Friedrich Nietzsche, The Case of Wagner dalam Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche diterjemahkan dan diedit oleh Walter Kaufmann New York: The Modern Library, 2000, hlm. 620. 100. Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy diterjemahkan oleh Hugh Tomlinson New York: Columbia University Press, 1983, hlm. 161. T ibalah kita pada penghujung buku ini. Jika kita hendak mer- ingkaskan apa yang telah kita upayakan sepanjang ini, maka kita dapat menyingkatnya sebagai sebuah upaya menghajar para ilsuf imanensi revisionis dengan semangat yang sama seperti ketika Lenin, pada tahun 1902, menghantam para revisionis Marxis yang bergerombol dalam kubu sosial-demokrat Rabocheye Dyelo. Imanensi tak pernah dan tak akan pernah bisa dikompromikan dengan tran- sendensi tanpa mengerdilkan imanensi itu sendiri, sebagaimana ko- munisme tak pernah bisa dikompromikan dengan demokrasi tanpa membuat komunisme itu mandek sebagai revolusi demokratik semata. Di dalam semangat Lenin inilah buku ini akan ditutup. Berdasarkan penyelidikan yang telah saya lakukan sepanjang buku ini, saya dapat menyimpulkan bahwa jika kita memang hendak mengkonstruksi suatu ontologi imanensi yang konsisten, maka kita harus membebaskan konstitusi imanensi dari anasir-anasir transen- den seperti negativitas, kekurangan dan mediasi. Inilah garis teoretik dari buku ini. Walaupun demikian, kita juga mesti memikirkan para- doks yang inheren dalam upaya tersebut sebab teori tanpa oto-kritik sama saja dengan ajaran agama. Namun sebelum itu, saya akan meng- gariskan konsekuensi yang mungkin ditarik dari ilsafat imanensi yang radikal. II. “Apa yang Mesti Dilakukan?”