Sejarah tanpa Unilinearitas Teleologis

lis Lyotard dalam Postmodern Condition tentang subyek. Selebihnya kita mesti melakukan rekonstruksi sendiri berdasarkan implikasi-implika- si dari gagasannya. Jika pengetahuan manusia hanya dapat diartiku- lasikan dalam horison permainan-permainan bahasa yang partikular dan spesiik, maka subyek posmodern selalu merupakan subyek yang terposisikan secara lokal dalam permainan bahasa yang tertentu. Den- gan kata lain, tak ada subyek yang a-historis dan memegang kontrol sepenuhnya dalam proses generasi pengetahuan. Jika bagi Descartes adanya aku ditentukan oleh keberpikiran dari aku tersebut, maka bagi kaum posmodern adanya aku ditentukan oleh ketersituasian dari aku di dalam permainan bahasa yang tertentu. Persis inilah yang din- yatakan oleh seorang posmodernis lain, Richard Rorty. Bagi ilsuf posmo yang satu ini, kita tahu, subyek tak lain ketimbang efek dari determinasi kultural. Itulah sebabnya, baginya, yang paling mungkin kita upayakan untuk menangkal sektarianisme adalah suatu “perlua- san rasa kekitaan”. Walaupun Lyotard tidak pernah menulis seperti Rorty ini, posisi dasarnya tetaplah sama: subyek hanya eksis “dalam jaringan relasi”. Untuk memperjelas poin tentang subyek ini, kita juga dapat merekonstruksinya berdasarkan implikasi dari analisis Lyotard atas “kritik ketiga” Kant Critique of Judgement. Sebagaimana kita pelajari dalam sejarah ilsafat modern, dalam kritik ketiganya, Kant berupaya memediasi dua unsur yang bertentangan dalam kritik pertama dan keduanya. Jika kritik pertama memuat dimensi keterhinggaan dan ke- terbatasan soal batasan formal yang memotong akses ke “benda itu sendiri”, dan kritik kedua memuat dimensi ketakhinggaan dan ketak- terbatasan soal posisi Allah serta imortalitas jiwa sebagai postulat etis yang bersifat regulatif, maka dibutuhkan suatu kritik ketiga yang ber- fungsi memediasi kedua kutub itu agar ilsafat Kant tak terjatuh dalam antinomi yang dikritiknya sendiri. Untuk itulah Kant menulis kritik ketiga yang berurusan dengan putusan estetis. Titik tekan yang terdapat di sini adalah konsep yang-sublim the sublime, yakni suatu pengalaman estetis yang merangkum kedua poros keterhinggaan dan ketakter- hingaan. Persis di sinilah Lyotard meletakkan titik tekannya. Bagi Lyotard, setiap pengalaman estetis pada dasarnya merupakan pengal- aman akan yang-sublim. Yang-sublim itu sendiri ia tafsirkan sebagai situasi kontradiktif antara kognisi dan imajinasi yang tak terpecah- kan dalam sebuah sintesis; yang-sublim selamanya meninggalkan luka yang menganga, suatu perasaan disposesi privation. 185 Pengalaman ini- lah yang bagi Lyotard mencirikan semangat avant-garde yang tak lain adalah semangat posmodern untuk melakukan interogasi kritis atas tradisi modern. Dari sini dapat disimpulkan bahwa subyek posmodern versi Lyotard adalah para avant-gardis dan, jika ditarik lebih lanjut, sub- yek ini ditandai oleh satu ciri dasar: pengalaman akan yang-sublim. De- ngan kata lain, subyektivitas posmodern adalah subyektivitas yang terus-menerus tak utuh, terfragmentasi dan senantiasa kekurangan akan sintesa inal. Hanya melalui rekonstruksi inilah kita dapat men- emukan konsep subyek dalam Lyotard yang cocok dengan doxa atau opini umum tentang subyek dalam posmodernisme.

e. Kantianisme Terselubung

Setelah melihat empat kriteria dasar yang diatribusikan ke- pada posmodernisme, kini kita dapat melakukan pembedaan se- cara lebih jelas antara posmodernisme dan poststrukturalisme. Saya katakan pada awal tulisan bahwa distingsi ini sangat penting. Ini jadi penting tidak hanya karena lingkup kajian di antara ked- uanya berbeda sama sekali melainkan juga karena pencampur-adu- kan antara keduanya hanya akan menghasilkan kekacauan baik dari segi penerimaan ataupun penolakan. Dengan memukul rata ilsa- fat Derrida, keyakinan New Age, dan segala ideologi populer lain- nya, kita tak pelak lagi akan terjerembab dalam keruwetan berpikir yang menutup kemungkinan bagi penerimaan atasnya secara ma- suk akal ataupun bagi penolakan atasnya secara fair. Dalam keru- wetan inilah mulai tumbuh jargon dan doxa semisal kepercayaan bahwa “semua yang datang dari Prancis itu posmodern” yang tak hanya menghantui para penerima tetapi juga para pengkritik posmo- dernisme. Lagipula, kalaupun ada kemiripan antara posmodernisme dan poststrukturalisme misalnya sentralitas problem bahasa, kemi- ripan ini menipu: posmodernisme mengkaji bahasa hanya dalam level sosio-kultural persis di sanalah locus restriktif dari semua permainan 185. “The sublime feeling is the name of this privation.” Jean-François Lyotard, The Sublime and the Avant-Garde dalam Thomas Docherty ed., Op.Cit., hlm. 256. bahasa Lyotardian sementara poststrukturalisme mengkaji bahasa dalam level ontologis inilah alasan mengapa différance dari Derrida menjangkau problematika Ada. Kini kita akan memasuki kriteria kelima dari posmodernisme yang jarang diakui namun sesungguhnya menjadi irama dasar dari se- luruh kriteria yang lain. Kriteria kelima tersebut adalah Kantianisme. Ini menjadi kriteria terdasar tak hanya karena Lyotard menaruh perha- tian besar terhadap kritik ketiga Kant. Persoalannya jauh lebih dalam ketimbang itu. Posmodernisme bermula dari reduksi menuju epistemologi. Ia berawal dari suatu reduksi atas segala problem ke dalam persoa- lan “syarat kemungkinan” condition of possibility dari pengetahuan. Di sinilah meletak dimensi Kantian dari posmodernisme. Ini dapat di- buktikan lewat titik tolak Lyotard. Apa yang menjadi problem dasar dari dunia posmodern bagi Lyotard adalah soal legitimasi pengetahuan. Dengan kata lain, yang jadi persoalan adalah tentang apa-apa saja syarat yang mesti dipenuhi agar sebuah pengetahuan dapat dikatakan legitim. Melalui upaya mempersoalkan legitimasi pengetahuan inilah Lyotard sampai kepada kesimpulan bahwa yang ada hanyalah plurali- tas permainan bahasa. Ini, kita tahu, adalah gestur Kantian: pencar- ian atas syarat kemungkinan dari pengetahuan berikut dengan batas- batasnya. Sampai di sini, Lyotard bermain dalam aras epistemologi. Namun problemnya muncul ketika ia melancarkan klaim tentang tiadanya metanarasi 186 —di sini ia melakukan suatu shift ke ontologi: yang tadinya asersi epistemologis kini menjadi asersi ontologis. Ini sangat bermasalah. Berdasarkan fakta bahwa pengetahuan manusia selalu terdeterminasi oleh partikularitasnya, kita tak dapat menyimpul- kan tiadanya Pengetahuan Absolut. Dan ini bukan soal “kontradiksi performatif” seperti yang kerap dituduhkan para kritikus terhadap posmodernisme misalnya Habermas. Ini soal kekeliruan logis yang dikenal sebagai metabasis ēis allo genos, yakni menarik kesimpulan yang salah dari premis yang benar karena luas kesimpulan yang ditarik itu melebihi luas premisnya. Ini sejajar dengan problem dari atheisme Feuerbach: fakta bahwa manusia dapat melakukan proyeksi antropo- moris secara eksternal dalam wujud entitas super-manusia atau Al- 186. Misalnya, bahwa “rekonsiliasi akhir di antara permainan-permainan bahasa” hanyalah “ilusi transendental dari Hegel”. Ibid, hlm. 81.