Anti-Parsifal martin suryajaya imanensi transendensi

T ibalah kita pada penghujung buku ini. Jika kita hendak mer- ingkaskan apa yang telah kita upayakan sepanjang ini, maka kita dapat menyingkatnya sebagai sebuah upaya menghajar para ilsuf imanensi revisionis dengan semangat yang sama seperti ketika Lenin, pada tahun 1902, menghantam para revisionis Marxis yang bergerombol dalam kubu sosial-demokrat Rabocheye Dyelo. Imanensi tak pernah dan tak akan pernah bisa dikompromikan dengan tran- sendensi tanpa mengerdilkan imanensi itu sendiri, sebagaimana ko- munisme tak pernah bisa dikompromikan dengan demokrasi tanpa membuat komunisme itu mandek sebagai revolusi demokratik semata. Di dalam semangat Lenin inilah buku ini akan ditutup. Berdasarkan penyelidikan yang telah saya lakukan sepanjang buku ini, saya dapat menyimpulkan bahwa jika kita memang hendak mengkonstruksi suatu ontologi imanensi yang konsisten, maka kita harus membebaskan konstitusi imanensi dari anasir-anasir transen- den seperti negativitas, kekurangan dan mediasi. Inilah garis teoretik dari buku ini. Walaupun demikian, kita juga mesti memikirkan para- doks yang inheren dalam upaya tersebut sebab teori tanpa oto-kritik sama saja dengan ajaran agama. Namun sebelum itu, saya akan meng- gariskan konsekuensi yang mungkin ditarik dari ilsafat imanensi yang radikal. II. “Apa yang Mesti Dilakukan?”

1. Restropeksi dan Konsekuensi

Kita ingat bahwa titik berangkat dari perjalanan kita adalah Hegel. Kita mesti mengakui Hegel tidak hanya sebagai ilsuf yang berkontribusi besar bagi konstruksi ilsafat imanensi di era Modern sesudah Spinoza, melainkan juga sebagai Bapak Imanensi ilsafat Prancis kontemporer. Melalui tafsir sistemik atas Hegel melalui Hyp- polite kita telah melihat bagaimana Hegel menyediakan fondasi bagi konstruksi posisi imanensi dalam ilsafat Prancis sejak Sartre, Lacan, Derrida, hingga turunan terjauhnya, Žižek. Kita juga telah menyak- sikan barisan ilsuf—seperti Althusser, Foucault, Deleuze—yang re- sisten terhadap Hegel. Namun jika berhadapan dengan Hegel, resis- tensi ini tidak pernah sesederhana relasi negasi. Resistensi ini, oleh karenanya, mesti dideinisikan secara lebih positif. Tatkala memberikan pidato pada acara menggantikan Hyp- polite sebagai anggota Collège de France, Foucault mengingatkan kita: “untuk sungguh-sungguh menghindari Hegel mengandaikan apresia- si yang tepat atas harga yang mesti kita bayar untuk memisahkan diri kita darinya. Ini mengandaikan bahwa kita sadar akan seberapa jauh Hegel—seperti bahaya terselubung—dekat dengan kita; ini mengim- plikasikan pemahaman—yang mengizinkan kita berpikir melawan Hegel—tentang mana yang masih Hegelian. Kita mesti menentukan dalam derajat apa anti-Hegelianisme kita mungkin saja satu dari an- tara tipuan-tipuannya [Hegel] yang diarahkan pada kita, pada akhir di mana ia tegak berdiri, tak bergerak, menunggu kita.” 101 Foucault di sini mengingatkan kita satu hal penting: kita tak mungkin terbebas dari Hegel jika kita hanya berhenti pada penolakan atas Hegel sebab penolakan, dengan kata lain negasi, adalah modus berilsafat Hegel sendiri. Dengan demikian, apa yang mestinya kita jalankan adalah me- ngakui Hegel sebagai perumus problem imanensi kontemporer. Namun sekaligus juga menyadari bahwa teoretisasi Hegel tentang imanensi tidak memadai jika dilihat dalam konteks imanensi itu sendiri, bahwa imanensi yang ditopang oleh negativitas hanya akan mengintrodusir transendensi pada jantung imanensi. 101. Seperti dikutip dalam Stuart Barnett ed., Hegel After Derrida, Op.Cit., hlm. 3. Mengatakan bahwa kita menolak negativisasi atas imanensi tidak sama dengan mengatakan bahwa kita anti-Hegel per se. Intensi buku ini sepenuhnya positif. Ini bukanlah buku anti-Hegel, melain- kan buku yang hendak mengkonstruksi imanensi secara konsisten. Proyek destruksi atas sejarah ontologi kontemporer mesti dimaknai secara positif sebagai langkah pendahuluan bagi teoretisasi atas on- tologi imanensi sebagaimana Heidegger melancarkan destruksi atas se- jarah metaisika untuk mengkonstruksi suatu ontologi yang konsisten. Dalam ilsafat, tak ada yang lebih berbahaya ketimbang destruksi yang berhenti pada destruksi—sesuatu yang umumnya berjalan dengan logika macam ini: karena Hegel adalah pemikir transendensi maka kita mesti berhenti membaca Hegel sama sekali. Logika Stalinistik ini mesti ditolak. Buku ini hendak menyatakan yang sebaliknya, justru karena konsep imanensi Hegel masih terkontaminasi transendensi maka kita mesti kembali membaca Hegel secara lain, misalnya dengan mencari benih-benih dari konsep imanensi absolut di dalam teks Hegel sen- diri. Hal ini, pada derajat tertentu, telah kita lakukan, yakni dengan mengairmasi Hegel yang menyatakan bahwa ilsafat hanya mungkin sejauh ia berbentuk Sistem, artinya sirkuler atau imanen, jika ia tak hen- dak turun derajat menjadi teologi. Jika ada ilsuf Prancis kontemporer yang mencurahkan energi yang paling besar demi airmasi atas imanensi, ilsuf itu tak pelak lagi adalah Gilles Deleuze. Di dalam ilsafatnya lah kita mendapati suatu kesadaran bahwa imanensi, jika memang kon- sisten, tak pernah dapat dikompromikan dengan transendensi tanpa merusak hakikat imanensi itu sendiri. Begitu yang-Tran- senden diintrodusir ke dalam eksposisi ilosois tentang ima- nensi, di situlah imanensi menjadi budak bagi transendensi dan ilsafat kembali menjadi “hamba sahaya teologi” ancilla theologia: Otoritas religius menghendaki imanensi ditoleransi hanya secara lokal atau pada level intermedier, seperti sebuah air mancur bertingkat di mana air dapat imanen secara singkat pada setiap tingkat namun dengan syarat bahwa ia datang dari sumber yang lebih tinggi dan turun ke bawah transasenden dan transdesenden, kata Wahl. Imanensi dapat dikatakan se- bagai isu membara dari segala ilsafat sebab ia membawa se- gala bahaya yang mesti dihadapi ilsafat, segala pengutukan, penganiayaan, dan penyangkalan yang dialaminya. 102 Dengan kata lain, Deleuze hendak mengatakan bahwa sejauh kon- struksi atas ontologi imanensi masih dipimpin oleh sejenis intuisi akan transendensi, maka imanensi itu pun akan bersifat relatif terhadap transendensi. Itulah sebabnya, Deleuze dan Guattari menulis bah- wa “kapanpun imanensi ditafsirkan sebagai imanen terhadap Sesuatu, kita boleh yakin bahwa Sesuatu ini mengintrodusir kembali transen- densi.” 103 Contoh paling umum dari kekeliruan ini adalah penafsiran atas imanensi sebagai imanen terhadap kesadaran Descartes, Kant, Husserl. Pada analisis terakhir, interpretasi atas imanensi sebagai imanen terhadap sesuatu ini berakibat menjadikan imanensi itu imanen terhadap sejenis transendensi—sebuah kekeliruan fatal yang telah kita singkapkan dalam ilsafat Derrida. Persyaratan dari setiap ilsafat imanensi yang sungguh konsisten adalah imanensi itu tidak imanen kepada apapun kecuali dirinya sendiri. Itulah yang dimaksud Deleuze dengan “ranah imanensi”. Segala bentuk transendensi Allah, ego, ataupun kesadaran hanyalah hal-hal yang tercipta sebagai efek optik, sebagai ilusi, dari mekanisme yang terjadi dalam ranah imanensi ini. Bagaimana persisnya cara untuk mengkonstruksi ontologi imanensi yang konsisten—pada hemat saya, pertanyaan inilah yang menjadi tugas ilsafat hari ini. Jika kita hendak mengairmasi imanensi secara konsisten, kita mesti kembali pada intuisi dasar setiap ilsafat imanensi, yakni atheisme dan anti-humanisme. Teologi dan humanisme merupakan dua sisi dari satu mata koin yang sama: destruksi atas ke- duanya mesti dijalankan secara bersamaan sebab jika hanya yang satu mati ia akan membonceng dalam yang lainnya. Pada sebuah pamlet politik panjang dalam novel Philosophie dans le boudoir-nya, Marquis de Sade telah mengingatkan kita akan hal ini: 102. Gilles Deleuze dan Félix Guattari, What is Philosophy? diterjemahkan oleh Hugh Tomlinson dan Graham Burchell New York: Columbia University Press, 1994, hlm. 45. 103. Ibid. Rakyat Prancis, aku ulangi Eropa sedang menantimu un- tuk membebaskan dia dari tongkat kuasa [scepter] dan dupa [incense]. Ingatlah bahwa kau tak mungkin membebaskannya dari tirani kerajaan tanpa secara sekaligus menghancurkan kekangan yang ditimbulkan oleh takhayul religius: terlalu erat ikatan antara tirani kerajaan dan agama. Dengan membiarkan salah satu dari kedua kekuatan tersebut lolos, kau akan segera tergelincir kembali di bawah dominasi dari ia yang kau lupa untuk hancurkan. 104 Untuk melihat hal ini kita hanya perlu menengok ke Derrida: apa yang awalnya merupakan dekonstruksi atas metaisika justru berakhir pada airmasi akan kerapuhan manusia di hadapan Yang Maha Lain. Berakhirnya ilsafat pada etika teologis inilah yang dikecam habis- habisan oleh Badiou—sesuatu yang baginya bersumber dari Levinas. Bagi Badiou, “Levinas tak memiliki ilsafat” sebab ilsafatnya “telah dianulir oleh teologi” menjadi etika—yakni, “etika sebagai agama yang membusuk”. 105 Badiou juga menyinggung hal ini dalam kata pengantarnya bagi edisi bahasa Inggris dari L’être et l’événement tatka- la ia mendeskripsikan situasi ilsafat kontemporer: “Tren yang se- dang berlaku adalah ilsafat moral yang disamarkan sebagai ilsafat politik. Kemanapun Anda menoleh, seseorang sedang membela hak asasi manusia, penghormatan bagi yang-lain, dan kembali ke Kant. Protes penuh kemarahan tengah diusung melawan ‘totalitarianisme’ dan front terpadu tengah diorganisir melawan Kejahatan radikal.” 106 Semuanya ini merupakan konsekuensi dari destruksi atas transen- densi yang masih menyisakan ruang bagi manusia sebagai representasi yang rapuh dari Allah. Tatkala kerapuhan manusia initude of Dasein dijunjung tinggi, maka transendensi akan tetap menghantui sebab kerapuhan selalu merupakan kerapuhan-di-hadapan-Sesuatu. Itulah sebabnya Badiou menulis bahwa “kita tidak memiliki persedian yang diperlukan untuk menjadi atheis sejauh tema keterhinggaan [ initude] 104. Marquis de Sade, Philosophy in the Boudoir diterjemahkan oleh Joachim Neugros- chel New York: Penguin Books, 2006, hlm. 106-107. 105. Lih. Alain Badiou, Ethics, Op.Cit., hlm. 22-23. 106. Alain Badiou, Being and Event diterjemahkan oleh Oliver Feltham London: Continuum, 2005, hlm. xi.