Subyek sebagai Subyek Partikular yang Privatif
bahasa Lyotardian sementara poststrukturalisme mengkaji bahasa dalam level ontologis inilah alasan mengapa différance dari Derrida
menjangkau problematika Ada. Kini kita akan memasuki kriteria kelima dari posmodernisme
yang jarang diakui namun sesungguhnya menjadi irama dasar dari se- luruh kriteria yang lain. Kriteria kelima tersebut adalah Kantianisme.
Ini menjadi kriteria terdasar tak hanya karena Lyotard menaruh perha- tian besar terhadap kritik ketiga Kant. Persoalannya jauh lebih dalam
ketimbang itu. Posmodernisme bermula dari reduksi menuju epistemologi. Ia berawal dari suatu reduksi atas segala problem ke dalam persoa-
lan “syarat kemungkinan” condition of possibility dari pengetahuan. Di sinilah meletak dimensi Kantian dari posmodernisme. Ini dapat di-
buktikan lewat titik tolak Lyotard. Apa yang menjadi problem dasar dari dunia posmodern bagi Lyotard adalah soal legitimasi pengetahuan.
Dengan kata lain, yang jadi persoalan adalah tentang apa-apa saja syarat yang mesti dipenuhi agar sebuah pengetahuan dapat dikatakan
legitim. Melalui upaya mempersoalkan legitimasi pengetahuan inilah Lyotard sampai kepada kesimpulan bahwa yang ada hanyalah plurali-
tas permainan bahasa. Ini, kita tahu, adalah gestur Kantian: pencar- ian atas syarat kemungkinan dari pengetahuan berikut dengan batas-
batasnya. Sampai di sini, Lyotard bermain dalam aras epistemologi. Namun problemnya muncul ketika ia melancarkan klaim tentang
tiadanya metanarasi
186
—di sini ia melakukan suatu shift ke ontologi: yang tadinya asersi epistemologis kini menjadi asersi ontologis. Ini
sangat bermasalah. Berdasarkan fakta bahwa pengetahuan manusia selalu terdeterminasi oleh partikularitasnya, kita tak dapat menyimpul-
kan tiadanya Pengetahuan Absolut. Dan ini bukan soal “kontradiksi performatif” seperti yang kerap dituduhkan para kritikus terhadap
posmodernisme misalnya Habermas. Ini soal kekeliruan logis yang dikenal sebagai
metabasis ēis allo genos, yakni menarik kesimpulan yang salah dari premis yang benar karena luas kesimpulan yang ditarik itu
melebihi luas premisnya. Ini sejajar dengan problem dari atheisme Feuerbach: fakta bahwa manusia dapat melakukan proyeksi antropo-
moris secara eksternal dalam wujud entitas super-manusia atau Al-
186. Misalnya, bahwa “rekonsiliasi akhir di antara permainan-permainan bahasa” hanyalah “ilusi transendental dari Hegel”. Ibid, hlm. 81.
lah yang merupakan asersi epistemologis tidaklah berarti Allah an sich niscaya tidak ada. Analog dengan itu, dari fakta bahwa pengeta-
huan manusia dimungkinkan dan dibatasi oleh permainan bahasa di mana ia tersituasikan secara partikular tidak dapat ditarik kesimpulan
bahwa tak ada metanarasi umpamanya Keadilan; kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa metanarasi itu mungkin ada atau mungkin tak
ada. Dengan kata lain, reduksi menuju epistemologi yang menandai posmodernisme sesungguhnya merupakan suatu reduksi atas ontologi
menuju epistemologi. Konsekuensi logis dari gestur ini tak lain adalah bahwa posmodernisme, berlawanan dengan kepercayaan banyak
orang, tidaklah melakukan de-centering atas subyek. Justru sebaliknya, pada jantung posmodernisme terdapat suatu humanisme, yakni suatu
visi tentang manusia sebagai pusat yang daripadanya baca: dari keta- kutuhan pengetahuannya segala sesuatu diukur. Jika posmodernisme
kerapkali dikaitkan dengan soisme, itu tak terjadi hanya karena pos- modernisme mengumbar relativisme dari segala sesuatu melainkan
juga karena posmodernisme merekatkan titik indikator relativitas ini titik relatus est atau “tergantung kepada” ini pada manusia: homo men-
sura. Maka tertanamlah suatu epistemologi negatif pada jantung posmo- dernisme sebagai titik berangkat yang darinya segala visi tentang re-
alitas digelarkan.