Restropeksi dan Konsekuensi martin suryajaya imanensi transendensi

Rakyat Prancis, aku ulangi Eropa sedang menantimu un- tuk membebaskan dia dari tongkat kuasa [scepter] dan dupa [incense]. Ingatlah bahwa kau tak mungkin membebaskannya dari tirani kerajaan tanpa secara sekaligus menghancurkan kekangan yang ditimbulkan oleh takhayul religius: terlalu erat ikatan antara tirani kerajaan dan agama. Dengan membiarkan salah satu dari kedua kekuatan tersebut lolos, kau akan segera tergelincir kembali di bawah dominasi dari ia yang kau lupa untuk hancurkan. 104 Untuk melihat hal ini kita hanya perlu menengok ke Derrida: apa yang awalnya merupakan dekonstruksi atas metaisika justru berakhir pada airmasi akan kerapuhan manusia di hadapan Yang Maha Lain. Berakhirnya ilsafat pada etika teologis inilah yang dikecam habis- habisan oleh Badiou—sesuatu yang baginya bersumber dari Levinas. Bagi Badiou, “Levinas tak memiliki ilsafat” sebab ilsafatnya “telah dianulir oleh teologi” menjadi etika—yakni, “etika sebagai agama yang membusuk”. 105 Badiou juga menyinggung hal ini dalam kata pengantarnya bagi edisi bahasa Inggris dari L’être et l’événement tatka- la ia mendeskripsikan situasi ilsafat kontemporer: “Tren yang se- dang berlaku adalah ilsafat moral yang disamarkan sebagai ilsafat politik. Kemanapun Anda menoleh, seseorang sedang membela hak asasi manusia, penghormatan bagi yang-lain, dan kembali ke Kant. Protes penuh kemarahan tengah diusung melawan ‘totalitarianisme’ dan front terpadu tengah diorganisir melawan Kejahatan radikal.” 106 Semuanya ini merupakan konsekuensi dari destruksi atas transen- densi yang masih menyisakan ruang bagi manusia sebagai representasi yang rapuh dari Allah. Tatkala kerapuhan manusia initude of Dasein dijunjung tinggi, maka transendensi akan tetap menghantui sebab kerapuhan selalu merupakan kerapuhan-di-hadapan-Sesuatu. Itulah sebabnya Badiou menulis bahwa “kita tidak memiliki persedian yang diperlukan untuk menjadi atheis sejauh tema keterhinggaan [ initude] 104. Marquis de Sade, Philosophy in the Boudoir diterjemahkan oleh Joachim Neugros- chel New York: Penguin Books, 2006, hlm. 106-107. 105. Lih. Alain Badiou, Ethics, Op.Cit., hlm. 22-23. 106. Alain Badiou, Being and Event diterjemahkan oleh Oliver Feltham London: Continuum, 2005, hlm. xi. masih mengatur pemikiran kita.” 107 Ini pulalah yang menjadi alasan mengapa Badiou mendeskripsikan proyeknya sebagai “sebuah pembe- laan bagi anti-humanisme tahun 60-an”. 108 Singkatnya, hanya melalui atheisme dan anti-humanisme yang konsisten lah, konstruksi ontologi imanensi dapat dijalankan. Selain kedua posisi tersebut, tentu saja konstruksi ontologi imanensi mesti menghindarkan diri dari primasi atas mediasi yang bertumpu pada sejenis konsep tentang “kekurangan” dalam bentuk apapun, sebab “kekurangan” memang memiliki banyak nama sama- ran: keterhinggaan initude, hasrat sebagai presensi dari absensi dalam Kojève, lubang pada subyek dalam Žižek, luka azali dari bahasa dalam Derrida, objet petit a dalam Lacan, penanda kosong dalam Laclau, demokrasi sebagai ruang kosong dalam Lefort dan konsep- konsep semacamnya. Dapat dikatakan bahwa segala bentuk kekuran- gan tersebut adalah hasil sekularisasi atas konsep “dosa”: suatu lubang azali yang senantiasa menuntut untuk diisi dengan harapan akan penebusan absolut yang terus tertunda. Struktur formal dari metaf- isika kekurangan ini adalah determinasi atas Ada sebagai mediasi, se- bagai negativitas, sebagai relasi substitusi suplementer, sedemikian se- hingga menciptakan transendensi yang eksesif. Implikasi politis dari primasi atas kekurangan ini jelas: kapitalisme global. Itu karena kapital adalah lack itu sendiri: ketiadaan yang senantiasa haus pemenuhan, atau lebih tepat, rasa haus itu sendiri—rasa haus yang membuatmu besar, kata Hyppolite. Keberadaannya jadi mungkin justru karena ia tak sepenuh- nya ada, justru karena ia selalu kurang ada dan oleh karenanya selalu mendorong proses peng-ada-an baca: presensi dari absensi. Dengan lain perkataan, kapital adalah lack yang memproduksi ekses. Seluruh sistem kapitalistik ini digerakkan oleh sejenis paranoia-akan-ketiadaan yang terkristal dalam pengalaman-akan-kekurangan; seperti seorang pembunuh yang senantiasa mencuci tangannya karena ia selalu mera- sa ada darah di sana, karena ia selalu menganggap dirinya kurang ber- sih, sedemikian sehingga menghasilkan ekses kebersihan. Dalam hal ini, benarlah apa yang dikatakan oleh seorang dokter Jerman di ilm The Constant Gardener, yakni bahwa “seluruh sistem ini [tatanan opre- 107. Alain Badiou, Theoretical Writings, Op.Cit., hlm. 28. 108. Alain Badiou, Ethics, Op.Cit., hlm. liv. sif kapitalisme global] digerakkan oleh rasa bersalah [guilt].” Dan rasa bersalah itu tak lain daripada kekurangan itu sendiri—terus-menerus merasa bersalah, terus-menerus merasa berdosa, terus-menerus merasa kurang. Itulah sebabnya kita terus-menerus mengkonsumsi: mengkon- sumsi pelbagai berita tentang betapa kasihannya negara dunia keti- ga, mengkonsumsi surat pengampunan dosa, mengkonsumsi viagra. Airmasi atas mediasi dan kekurangan ialah airmasi atas pluralitas opini, kemajemukan kampanye dan keberagaman komoditi. Melihat keadaan ini—baik secara ontologis maupun politis—kita jadi sadar betapa pentingnya mengkonstruksi suatu ontologi imanensi yang kon- sisten. Secara politis, problem terbesar dari ilsafat imanensi adalah posibilitas emansipasi, dengan kata lain, menjelaskan bagaimana airmasi atas imanensi tidak boleh dipahami sebagai sekedar airmasi atas status quo sebagaimana, secara ontologis, kritik atas mediasi tidak boleh ber- henti sebagai sekedar primasi atas imediasi klasik. Namun apa yang saya uraikan di sini tidaklah selesai dengan sendirinya. Ia memerlukan kerja konstruktif yang lebih telaten lagi. Kerja-kerja semacam ini tak boleh lupa pada problem-problem sulit yang inheren pada konsep imanensi absolut itu sendiri.

2. Prolegomena bagi Seluruh Ontologi Imanensi Masa Depan

Setiap upaya konstruksi atas ontologi imanensi yang konsisten tak bisa tidak harus bergulat menemukan jalan keluar dari problem sistemik, ontologis dan politis dari imanensi. Problem-problem ini dapat dipahami sebagai upaya oto-kritik atas posisi imanensi yang digaris- kan dalam buku ini. Sebagai oto-kritik, sederet problem tersebut juga berperan sebagai sebuah persyaratan bagi seluruh ontologi imanensi masa depan. Ketiga problem itu akan kita rinci sebagai berikut.

a. Problem Sistemik

Selama ini kita memahami bahwa ilsafat imanensi absolut hanya dimungkinkan sejauh ia mengeksklusikan segala bentuk mani- festasi dari ilsafat transendensi, entah dalam bentuk transendensi kla- sik yang terejawantah dalam doktrin dua-dunia ataupun dalam bentuk transendensi relatif yang telah kita gariskan bentuk-bentuknya dalam para ilsuf yang bertolak via negativa pada buku ini. Problem muncul ketika kita melihat gestur ini secara sistemik. Jika sistem-sistem il- safat transendensi ditolak sama sekali dari ranah ilsafat imanensi, maka lantas di manakah letak dari sistem-sistem transendensi setelah ditolak. Kita tahu, problem ini disadari oleh Hegel tatkala ia, dalam pengantar buku Fenomenologi Roh, mempertimbangkan model kritik macam apakah yang mesti ia pakai terhadap sistem ilsafat sebelum- nya. 109 Dalam perspektif Hegel, kritik ini tak boleh total, dengan kata lain, ia tak boleh menjadi sebuah negasi absolut, karena kritik total macam ini justru membuat sistem-sistem ilsafat tersebut eksis di luar sistem Hegel sendiri. Konsekuensi dari eksistensi eksternal sistem- sistem itu adalah bahwa sistem Hegel sendiri lantas tak menjadi total sebab masih menyediakan sesuatu yang sama sekali di luar sistem. Kesimpulan ini jelas tidak bisa diterima oleh Hegel. Oleh karena itu, ia lantas menjalankan apa yang nantinya dikenal sebagai kritik imanen, yakni modus kritik di mana obyek yang dikritik itu tidak ditolak sepenuhnya melainkan dikoreksi dari kesalahan-kesalahannya untuk kemudian diapropriasi ke dalam sistem Hegel itu sendiri. Namun kita tak bisa serta-merta mengadopsi strategi Hegel ini sebab itu artinya imanensi mesti direkonsiliasikan kembali dengan transendensi. Ini terkait dengan problem selanjutnya.

b. Problem Ontologis

Secara ontologis, problem sistemik itu dapat dirumuskan se- bagai berikut: di satu sisi, jika imanensi menerima yang-negatif, maka imanensi itu justru akan dihantui oleh transendensi tepat pada jan- tungnya sendiri sementara, di sisi lain, jika imanensi itu sepenuhnya menolak yang-negatif dengan tujuan mempuriikasi imanensi, maka justru akan ada suatu eksternalitas yang membuat imanensi itu dihan- tui oleh transendensi di luarnya. Seolah-olah imanensi hanya mungkin ketika ia berkolaborasi dengan transendensi dan, persis dengan gestur ini, ia menjadi tidak sepenuhnya imanen. Problem berwajah ganda ini dapat pula kita bahasakan sebagai berikut: ketika imanensi ditegak- 109. Lih. GWF Hegel, Phenomenolog y of Spirit, Op.Cit., hlm. 13-14. kan sebagai sesuatu yang sama sekali menolak transendensi, ia justru tunduk pada transendensi eksternal dan ketika imanensi ditunduk- kan pada transendensi internal, ia justru tegak sebagai sesuatu yang mungkin walau menjadi relatif terhadap transendensi tersebut. Akan tetapi, pilihan apapun yang kita ambil dari kedua alternatif itu hanya akan mengarahkan imanensi sebagai efek samping ekses dari transen- densi, entah dalam arti eksternal ataupun internal. Problem ontologis ini, tentu saja, dapat dijawab dengan menggeser pengandaian tentang imanensi. Artinya, problem ini muncul karena, pertama-tama, ima- nensi diandaikan sebagai sebuah ke-satu-an totalitas yang satu dan utuh sedemikian sehingga segala sesuatu yang eksis di luar yang satu itu akan dianggap sebagai transendensi. Namun pergeseran pengan- daian ini juga tidak lepas dari problem: jika imanensi itu bukan totali- tas, jika ia terfragmentasi, maka ia justru akan dicirikan secara negatif, yakni sebagai fragmen yang kurang utuh.

c. Problem Politis

Problem tersebut juga dapat dirumuskan secara politis. Per- tama-tama, kita akan klariikasi terlebih dahulu term transendensi dalam konteks politik. Yang dimaksud transendensi di dalam ranah politik ini, sebagaimana secara ontologis, memiliki dua arti. Dalam arti klasik, transendensi ini mewujud dalam model negara yang dia- tur berdasarkan hukum Tuhan—sesuatu yang memang telah lama di- tinggalkan. Namun di dalam model negara sekuler-kapitalistik seperti sekarang ini, transendensi itu tidak sungguh-sungguh hilang. Tran- sendensi ini eksis secara internal dalam ranah imanensi dimengerti sebagai kolektivitas itu sendiri, yakni sebagai prinsip konsumsi yang bertumpu pada kekurangan abadi yang diatur oleh manajemen kapi- talisme global menuju suatu jouissance yang terus tertunda. Transen- densi, dalam tata kapitalisme global, telah dijadikan prinsip transen- densiasi yang internal dalam imanensi kolektivitas itu sendiri. Maka itu, setiap kritik atas kapitalisme yang sesungguhnya niscaya juga merupakan kritik atas transendensi. Seperti pula Marx, dalam kritik atas ilsafat hukum Hegel, mengupayakan transformasi dari kritik surga menjadi kritik dunia, dari kritik teologi menjadi kritik politik. Namun muncul pula problem serupa dengan kedua problem sebe- lumnya: bagaimana mengkonstruksi tatanan imanensi yang, di satu sisi, dapat terhindar sama sekali dari transendensi dan, di sisi lain, mampu mengakomodasi atau memungkinkan emansipasi yang dicirikan oleh keterputusan radikal? Dua sisi problem ini dapat kita pecah. Poin pertama—persoalan konstruksi tatanan imanensi politik yang tak ter- kontaminasi transendensi—meliputi genesis subyek soal apakah subyek perlawanan mestilah mereka yang ditindas ataukah kita mampu me- lancarkan perlawanan tanpa mengandaikan stimuli berupa penin- dasan. Dengan kata lain, mampukah kita melawan kapitalisme tanpa pola pikir “kami tertindas, maka kami menindas” alias mengartikula- sikan suatu perlawanan yang airmatif, yang tidak bertumpu pada lack serta negasi? dan topologi perlawanan soal bagaimana kita mensituasi- kan perlawanan pada ranah status quo yang nyata-nyata eksis. Dengan kata lain, dapatkah kita memikirkan ranah perlawanan sebagai ranah imanensi yang mana status quo atau kapitalisme global hanyalah noktah transendensi yang dapat dibersihkan daripadanya, dan bukan seba- liknya?. Sementara poin kedua—pemungkinan bagi emansipasi se- bagai keterputusan radikal—terkait soal bagaimana kita melihat emansipasi tidak sebagai fenomena mesianistik yang selalu tertunda, seperti dalam Derrida, ataupun koeksistensi antara rezim imanensi dan rezim transendensi yang ditopang oleh kesamaan struktural di an- tara keduanya negativitas sebagai benang merah antara yang-Simbo- lik dan yang-Riil dalam Žižek, atau model imanensi homogen seperti pada Negri-Hardt. Tiga problem yang saya sebut di atas bukanlah problem ter- akhir dari imanensi. Masih terdapat banyak problem yang lain jika kita masuk ke detil, misalnya soal pemikiran kembali atas konsep imediasi berikut dengan derivatnya pada level politik, yakni konsep masyara- kat tanpa kelas dan negara. Namun setumpuk problem ini, betapa- pun sulit, tidak pernah menutup jalan bagi konstruksi ontologi politik imanensi sebab ontologi ini adalah satu-satunya ontologi dan politik yang mungkin jika kita tak hendak terjatuh ke dalam kekeliruan yang inheren dalam model imanensi yang terkontaminasi transendensi se- bagaimana telah kita periksa sepanjang buku ini. Sederet problem yang menghadang ini bukanlah jalan buntu.