Melampaui Represi: Subyektivasi melalui Diri Sendiri
                                                                                D
alam  babak  sejarah  ilsafat  Prancis  kontemporer,  Deleuze adalah sosok yang menempati posisi unik. Ketika pada ta-
hun 60-an hampir semua ilsuf mulai Levinas hingga Der- rida  berbicara  tentang  “kritik  atas  metaisika”  ataupun  ketika  para
ilsuf dengan garis Heideggerian berbicara tentang “kematian ilsa- fat”, Deleuze justru berupaya mengkonstruksi ontologi yang baru dan
meneruskan kinerja ilsafat bahkan dalam artinya yang paling ketat.
243
Keunikan  posisional  inilah  pula  yang  mendorong  Badiou  menulis dengan nada salut bahwa “Deleuze tetaplah berbeda dari seluruh blok
opini  ilosois  yang  menyusun  panggung  intelektual  [Prancis]  sejak tahun  60-an.  Ia  bukanlah  seorang  fenomenolog  ataupun  struktura-
lis, bukan seorang Heideggerian ataupun pengimpor ‘ilsafat’ analitik Anglo-Amerika, bukan pula seorang neohumanis liberal atau Neo-
Kantian.”
244
Lantas di manakah posisi unik tersebut? Posisi yang dimaksud tak pelak lagi adalah ilsafat imanensi.
Adalah Deleuze yang pertama kali secara eksplisit mengangkat imanensi sebagai  problem  utama  ilsafat  kontemporer,  misalnya  dalam  “tesis
kecil”-nya  tentang  ekspresionisme  dalam  ilsafat  Spinoza  di  tahun 1968.  Posisi  ini  ia  konstitusikan  pertama-tama  melalui  reapropriasi
kritis atas Hegel dalam review-nya di tahun 1954 terhadap buku Logique et  existence  karya  Hyppolite.  Pada  akhir  ulasan  tersebut,  Deleuze
menunjukkan kemungkinan konsep perbedaan yang tak terkungkung dalam skema negasi dialektis Hegelian.
245
Setahun sebelumnya, dalam
243. Lih. Gilles Deleuze, Negotiations: 1972-1990 diterjemahkan oleh Martin Joughin
New York: Columbia University Press, 1995, hlm. 136. 244. Alain Badiou,
Deleuze: The Clamor of Being diterjemahkan oleh Louise Burchill Minneapolis: University of Minnesota Press, 2000, hlm. 96.
245. Lih. Gilles Deleuze, Review of Jean Hyppolite, Logique et Existence dalam Jean Hyp-
II. Deleuze dan Imanensi Absolut
buku  tentang  Hume  yang  ia  dedikasikan  bagi  Hyppolite,  Deleuze bahkan menulis secara eksplisit bahwa visi tentang relasi yang “ekter-
nal  terhadap  termnya”—sebagai  perlawanan  atas  visi  relasionalisme internal  Hegel—telah  bermula  sejak  Hume,  jauh  sebelum  Bertrand
Russell dan kaum anti-Hegelian Inggris lainnya.
246
Seorang komenta- tor  mengatakan  bahwa  seolah  melalui  buku  tersebut  Deleuze  beru-
paya menambahkan sebuah “H” yang lain Hume ke dalam “Triple H”  Hegel,  Husserl,  Heidegger  seraya  mempersembahkan  kepada
seorang Hegelian yang taat Hyppolite—gurunya sebuah kitab ten-
tang “kehebatan empirisisme” yang bagi Hegel bukanlah ilsafat.
247
Pada  bagian  ini  kita  akan  memeriksa  formulasi  posisi  ima- nensi Deleuze mulai dari fase awal termasuk Difference and Repetition
dan Logic of Sense yang masih terkontaminasi oleh sejenis konsep ten- tang  negativitas  hingga  fase  akhir  mulai  Anti-Oedipus  hingga  Imma-
nence: A Life yang menampakkan upaya pemurnian atas kategori nega- tif dan pemusatan term “imanensi” pada garis depan pemikirannya.
1. Fase Awal: Negativitas Relatif 1.1. Tujuh Kriteria Imanensi
A  quoi  reconnaît-on  le  structuralisme?—itulah  pertanyaan  yang diajukan  oleh  Gilles  Deleuze  di  tahun  1967.  Kita  dapat  mengubah
pertanyaan  itu  tanpa  mengubah  jawaban  yang  diberikan  Deleuze: Bagaimana  kita  mengenali  ilsafat  poststrukturalisme?  Tujuh  kriteria  yang
disodorkan  Deleuze  untuk  mengidentiikasi  strukturalisme  adalah juga kriteria yang dapat kita gunakan untuk mengidentiikasi ilsafat
poststrukturalisme.  Esai  yang  dimaksud  tak  lain  adalah  How  Do  We Recognize Structuralism?
polite, Logic and Existence, Op.Cit., hlm. 195 bagian Appendix. 246.  Gilles  Deleuze,
Empiricism and Subjectivity:An Essay on Hume’s Theory of Human Nature diterjemahkan oleh Daniel W Smith New York: Columbia University Press,
hlm. 101. 247. Lih. Daniel W Smith,
Deleuze, Hegel, and The Post-Kantian Tradition dalam Philoso- phy Today Vol. 442000 SPEP Supplement, hlm. 121.
We are in 1967, tulis Deleuze. Dalam ilsafat kontinental per- nyataan  itu  berarti:  kita  berada  dalam  medan  problematika  bahasa.
Interpretasi Hyppolite atas Hegel yang menekankan persoalan bahasa telah tersebar luas, Lacan menemukan ranah simbolik, Foucault telah
berkutat  dalam  persoalan  artikulasi  kegilaan,  interogasi  Heidegger atas makna Ada telah diterima sebagian besar akademisi sebagai prob-
lem sentral ilsafat kontemporer, semiolog seperti Barthes serta antro- polog seperti Lévi-Strauss telah terjun dalam analisis makna “mitos”,
dan  elaborasi  linguistik  Saussure  telah  diperbincangkan  di  mana- mana—itulah  atmosfer  dari  apa  yang  disebut  sebagai  “tahun  1967”
dalam dunia ilsafat. Tentu saja, cakupan bahasan dari para pemikir era  60-an  ini  sangat  luas.  Untuk  itulah  Deleuze  memakai  pendeka-
tan formal untuk menjaring keseluruhan argumentasi mereka ke dalam skema pokok.
248
Dalam rimba bahasa yang mereka geluti ini apa yang menjadi pokok persoalan adalah makna. Itulah kenapa, jika diagnosa
Deleuze ini dapat disebut sebagai topologi imanensi, maka diagnosa itu adalah juga suatu topologi makna.
Pada masa itu, kedua topologi tersebut tak dapat dipisahkan. Imanensi  selalu  berarti  imanensi  makna,  entah  itu  artinya  imanensi
segala sesuatu—bahkan non-makna—di dalam makna seperti yang digagas  Hyppolite  ataupun  imanensi  makna  di  dalam  non-makna
seperti  yang  Deleuze  pikirkan.  Kekelindanan  ini  tak  hanya  meru- pakan  titik  berangkat  dari  strukturalisme  dan  poststrukturalisme
melainkan  juga,  pada  hemat  saya,  merupakan  titik  problematis  dari keduanya. Jika imanensi dipandang sebagai imanensi makna, konsekuensinya
imanensi akan selalu tersubordinasikan terhadap persoalan makna atau, untuk mengatakan  hal  yang  sama,  tertambat  pada  persoalan  kekurangan—inilah
poin  yang  akan  kita  elaborasi  pada  bagian  awal  ini.  Untuk  itu,  kita perlu mencermati keseluruhan detail dari esai Deleuze ini.
248. Lih. Gilles Deleuze, How Do We Recognize Structuralism? diterjemahkan oleh Me- lissa McMahon dan Charles J Stivale dalam Charles J Stivale,
The Two-fold Thought of Deleuze and Guattari: Intersections and Animations London: The Guilford Press, 1998,
hlm. 259.
a. Kriteria Pertama: Yang-Simbolik Strukturalisme hadir dengan masuknya yang-simbolik dalam
oposisi  antara  yang-imajiner  dan  yang-Riil.  Berabad-abad  kita  telah terbiasa dengan dikotomi antara esensi atau yang-Riil dan represen-
tasi atas esensi itu alias yang-imajiner. Sejarah ilsafat bergerak dalam nafas dualitas ini. Terkadang kedua kutub itu menghablur jadi satu ke-
satuan yang kabur. Ini terjadi dalam momen-momen seperti Roman- tisisme,  Simbolisme  dan  Surealisme.  Deleuze  melihat  bahwa  dalam
momen  kesatuan  macam  ini  terwujudlah  sejenis  “titik  transenden” yang melampaui dikotomi real-imajiner.
249
Titik ini tak lain daripada ilusi yang muncul dari polaritas tersebut. Itulah hasil yang niscaya kita
peroleh jika kita tak keluar dari dikotomi Riil-imajiner. Dikotomi ini- lah pula yang terdapat dalam interpretasi tertentu tentang Freudian-
isme, yaitu dengan penekanan pada dua prinsip dikotomis Riil-imajin- er: prinsip realitas di satu sisi, dan prinsip kesenangan yang memiliki
“daya halusinatif” atau imajiner demi meraih kenikmatan di sisi lain.
Masuknya yang-simbolik dalam dikotomi real-imajiner perta- ma kali diintrodusir oleh Lacan. Tripartisi Riil-imajiner-simbolik me-
mang ciptaan Lacan. Namun bukan berarti kita tak dapat menemukan skema yang sama dalam para strukturalis lain bahkan jika mereka tak
pernah  membaca  Lacan  ataupun  bergerak  pada  wilayah  kajian  yang sama sekali lain. Dalam karya dari seluruh strukturalis itu, yang-sim-
bolik memiliki  peran sebagai “prinsip asal-usul” the principle of a gen- esis: melalui yang-simbolik inilah struktur mengemuka.
250
Hadirnya struktur ini terjadi lewat terejawantahnya seri namun adanya seri tidak
niscaya berarti adanya struktur. Struktur hanya terbangun melalui ko- munikasi  suatu  seri  dengan  seri  yang  lainnya.  Medium  interkoneksi
seri itulah yang disebut sebagai yang-simbolik. Deleuze menerangkan relasi Riil-imajiner-simbolik ini dengan angka 1, 2 dan 3. Ia menulis
bahwa  yang-real  itu  “pada  dirinya  tak  terpisahkan  dari  sejenis  ideal
tentang  uniikasi  atau  totalisasi:  yang  Riil  cenderung  terarah  pada
249. “In so doing, we invoke at once the transcendent point where the real and the imaginary interpenetrate and unite, and their sharp border, like cutting edge of their
difference.” Ibid. 250. Ibid. hlm. 260.
satu, ia adalah satu dalam ‘kebenarannya.’”
251
Ini nampak dalam Neo- Platonisme,  misalnya,  yang  memandang  yang-Satu  to  Hen  sebagai
hakikat segala hakikat alias yang-Riil. Yang-imajiner muncul ketika “kita melihat dua dalam ‘satu’,” atau ketika “kita mulai menduplika-
si”. Dengan kata lain, yang-imajiner muncul ketika kita menciptakan gambaran  tentang  yang-Riil.  Walaupun  Deleuze  tak  menyebutnya,
kita dapat menyebut bahwa yang-imajiner merupakan nama lain dari representasi,  sesuatu  yang  merupakan  obyek  kritik  Deleuze  pada  fase
awal  pemikirannya.  Yang-imajiner  ini,  kata  Deleuze,  selalu  berada dalam modus pencerminan mirroring atau penggandaan doubling.
252
Namun di antara kedua kutub ini terdapatlah posisi ketiga: yang-sim- bolik. Yang terakhir ini disebut-sebut memiliki peran sebagai “prinsip
asal-usul” karena di dalamnya lah terjadi sirkulasi antar seri. Deleuze menulis: “struktur selalu setidaknya triadik, yang tanpanya ia tak dapat
‘bersirkulasi’.”
253
Setiap struktur niscaya membutuhkan variabel ketiga yang  menjadi  medium  komunikasisirkulasi  bagi  dua  variabel  sebe-
lumnya. Singkatnya: karena struktur mengandaikan eksistensi seri-seri yang berelasi, dan karena relasi antar seri itu terjadi dalam yang-simbo-
lik, maka yang-simbolik merupakan asal mula struktur.
Yang-simbolik  ini,  tulis  Deleuze,  “tak  tereduksikan  pada tatanan  yang-Riil  dan  yang-imajiner,  serta  lebih  dalam  ketimbang
keduanya.”
254
Petunjuk  yang  terakhir  itu  penting—yang-simbolik “lebih  dalam”  deeper  ketimbang  tatanan  yang-Riil  ataupun  imaji-
ner. Ini terkait dengan alasan mengapa Deleuze mengatakan bahwa yang-simbolik tidaklah “di seberang” yang-Riil dan imajiner.
255
Yang- simbolik  dapat  kita  ibaratkan  sebagai  ranah  tempat  terartikulasinya
yang-imajiner ataupun yang-real dalam relasinya satu sama lain. Sebagai ranah artikulasi seri, yang-simbolik ini tidak memiliki bentuk sensi-
251. Ibid. 252. “The imaginary is deined by games of mirroring, of duplication, of reversed
identiication and projection, always in the mode of the double.” Ibid. hlm. 261. 253. “There is always a third to be sought in the symbolic itself; structure is at least
triadic, without which it would not “circulate”—a third at once unreal, and yet not imaginable.” Ibid.
254. Ibid. 255. “the symbolic is […] not merely the third beyond the real and the imaginary.”
Ibid.
                                            
                