Reapropriasi: Teologi Imanensi martin suryajaya imanensi transendensi

dan kastrasi-diri. Kita dapat mereformulasikan “kasus Derrida” ini: dengan bertumpu pada kekurangan sebagai kausalitas imanen, terwujudlah me- diasi-kontaminasi différance yang bergerak berdasarkan teleologi imanen yang telos-nya adalah kepenuhan makna, yang-Absolut dan Idealitas. Telos ini tak akan dapat terengkuh persis karena, di satu sisi, telos itu niscaya murni dan ab-solut sementara, di sisi lain, différance itu menan- dai proses kontaminasi. Pada akhirnya, kita hanya perlu memparafra- sekan ucapan Sartre: “Différance adalah gairah yang sia-sia.” Di titik ini, apa yang diajukan Derrida tak lebih dari mengulang gestur lama Heidegger: kepasrahan di hadapan yang-Tak Mungkin, Yang Maha Lain. Dan persis di sinilah dekonstruksi secara eksplisit menjadi te- ologi : airmasi atas kerendah-dirian, atas kastrasi-diri, di hadapan suatu L’ineffable Yang Maha Tinggi. Jika pun Derrida berbicara tentang mo- men “keputusan radikal” ini tak lebih dari keputusan untuk meng- hamba pada Rahasia itu tanpa dapat merengkuh-“Nya” secara penuh. Kekeliruan yang tak kunjung disadari inilah yang melahirkan apa yang kini santer sebagai isu “kembalinya yang-Ilahi”: sejenis upaya mengoplos Derrida dan Levinas untuk kemudian menghasilkan suatu “humanisme teologis” yang mengajarkan kerapuhan manusia di hada- pan Tuhan dan sesama—singkatnya, devaluasi ilsafat sebagai moral dan teologi. T iga dekade telah berlalu semenjak “posmodernisme” diprokla- mirkan oleh Lyotard. Namun tiga dekade ini memiliki asal- mula yang jauh mendahuluinya. Pada tahun 1939, Arnold Toyn- bee telah menggunakan term historis “posmodern” untuk menandai fase yang dimulai pasca-Perang Dunia Pertama yakni sejak tahun 1918. 166 Lebih lanjut lagi, terlepas dari segi penggunaan istilah, as- pirasi mendasar dari posmodernisme yang diusung Lyotard juga telah diba- yang-bayangi oleh berbagai aliran ilsafat pada awal abad ke-20. Ambil contoh Adorno dan Horkheimer; keduanya, dalam buku Dialec- tic of Enlightenment yang mereka tulis di tahun 1944, telah menggariskan salah satu insight mendasar dari posmodernisme Lyotard, yakni penger- tian bahwa “Pencerahan itu totalitarian”. 167 Kita juga dapat melacak sumber inspirasi yang meresapi gagasan Lyotard dan para posmoder- nis lain mulai dari Nietzsche melalui relativismenya dan Heidegger melalui paradigma “kritik atas metaisika”, via Wittgenstein melalui konsep “permainan bahasa” hingga ke para pemikir tentang perbe- daan Levinas, Foucault, Deleuze, Derrida. Posmodernisme, dengan demikian, adalah kelanjutan dari problematika ilsafat yang terdahulu; ia merupakan suatu fenomena yang historis. Dan dalam arti ini posmo- dernisme adalah hasil dari suatu interpretasi yang tertentu atas berbagai varian ilsafat yang mempengaruhinya; ia bukanlah satu-satunya hasil yang muncul secara niscaya. Inilah presuposisi historis yang mendasar 166. Lih. Thomas Docherty ed., Postmodernism: A Reader New York: Columbia Uni- versity Press, 1993, hlm. 1-2 bagian Pengantar. 167. Ibid. hlm. 5. IV. Lyotard, Posmodernisme dan Pseudo-Imanensi dari posmodernisme yang muncul tiga dekade lampau. Sampai di sini, kita perlu melakukan distingsi. Yang pertama kali mesti dipahami adalah bahwa posmodernisme tidak sinonim dengan poststrukturalisme. Keduanya berbeda secara mendasar. Posmodern- isme adalah entitas kultural sementara poststrukturalisme adalah en- titas ilsafat. Hal ini dibuktikan oleh keluasan cakupan disiplin ilmu yang berada di bawah payung posmodernisme: arsitektur Charles Jencks, seni rupa Donald Judd, kesusasteraan Ihab Hassan, musik Michael Nyman, sinematograi Jean-Luc Godard, tata kota Paolo Portoghesi, political science André Gorz, geograi Edward Soja, sosi- ologi Jean Baudrillard, dan bahkan teologi Mark Taylor. Diband- ingkan dengan diversitas disiplin ilmu tersebut, poststrukturalisme secara spesiik berurusan dengan ilsafat. Bukan kebetulan pula jika baik Foucault, Deleuze maupun Derrida tak pernah mau disebut pos- modernis. 168 Nama ketiganya kerap masuk ke dalam kosakata para penulis posmodern sejauh ketiganya menyediakan aparatus konsep- tual yang dapat digunakan untuk membangun analisis posmodern. Namun bahwa posmodernisme merupakan fenomena kultural tidak- lah berarti ia tak memiliki problem ilosois. Dimensi ilosois ini nampak paling kentara dalam posmodernisme versi Lyotard yang di dalamnya mengeram tendensi Kantio-Wittgensteinian. Kepada posmodernisme à la Lyotard inilah kita akan mengacu tatkala kita akan memulai iden- tiikasi atas posmodernisme. Untuk mengidentiikasi posmodernisme, saya akan meng- gunakan seperangkat kategori yang sebagian memang dipakai oleh 168. Ketika ditanya dalam sebuah wawancara pada tahun 1983 mengenai posmo- dernisme, Foucault menginterupsi dengan pernyataan yang bukannya tanpa nada sinis: “What are we calling posmodernity? I’m not up to date.” Lih. Michel Fou- cault, Essential Works of Foucault 1954-1984 Vol 2 diterjemahkan oleh Robert Hurley et.al. London: Penguin Books, 2000, hlm. 447. Deleuze juga pernah menyatakan dalam wawancaranya bahwa ia tak berurusan dengan tema “matinya ilsafat” atau- pun pembubaran Totalitas, Kesatuan, dan Subyek yang menandai kecenderungan posmodernisme. Lih. Gilles Deleuze, Negotiations: 1972-1990 diterjemahkan oleh Martin Joughin New York: Columbia University Press, 1995, hlm. 88. Derrida bah- kan secara eksplisit menyatakan, dalam esainya tentang agama dan Kant, hendak mengupayakan suatu “Pencerahan Baru” dan tak ingin mengakhiri aspirasi-aspirasi dasar proyek Pencerahan. Lyotard sendiri. Kategori-kategori itu adalah problem soal legitimasi, metode soal permainan bahasa, sejarah soal kontinuitas dan patahan sejarah dan subyek soal kritik konsep subyek Cartesio-Hegelian. Itu- lah empat kategori utama yang secara eksplisit terdapat dalam posmo- dernisme. Namun saya akan mengajukan kategori kelima yang men- jadi fondasi dari posmodernisme, yakni tentang Kantianisme. Dalam kategori terakhir ini pulalah kita akan mendapatkan pemahaman tentang cacat mendasar dari posmodernisme yang membukakan jalan bagi suatu problematisasi terhadapnya berdasarkan titik pijak imanensi. Upaya problematisasi inilah yang akan kita elaborasi pada akhir esai ini.

1. Kategori-Kategori Dasar Posmodernisme a. Problem Legitimasi sebagai Titik Tolak

Dalam laporan yang berjudul La Condition postmoderne: rapport sur le savoir kepada Conseil des Universitiés pemerintah Quebec, Kanada, Lyotard menunjukkan bahwa problem utama yang tengah dihadapi dunia ilmu pengetahuan kontemporer adalah problem legitimasi. Ia me- nyatakan bahwa “pengetahuan ilmiah tidak merepresentasikan totalitas pengetahuan”. 169 Pengetahuan ilmiah atau sains hanyalah sebuah “nar- asi” récit di antara “narasi” pengetahuan lainnya, seperti sastra dan seni rupa. Ini soal “status pengetahuan” dalam kaitan dengan representasi atas kenyataan. Dengan kata lain, ini adalah soal apakah ada suatu pe- ngetahuan yang secara persis merepresentasikan kenyataan di atas ber- bagai “pengetahuan” yang lain. “Suatu pengetahuan” macam itulah yang disebut Lyotard sebagai “narasi agung” grand récit yang dicon- tohkannya semisal dalam gagasan tentang dialektika Roh, hermeneu- tika makna dan emansipasi subyek rasional. 170 Narasi sejenis itu juga Lyotard sebut sebagai “metanarasi” méta-récit, yakni suatu narasi yang memiliki posisi melampaui meta narasi-narasi yang lain. Contoh yang 169. Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge diter- jemahkan oleh Geoff Bennington dan Brian Massumi Manchester: Manchester University Press, 1992, hlm. 7. 170. Ibid. hlm. xxiii. disodorkan Lyotard mengenai metanarasi ini adalah narasi menge- nai keadilan dan kebenaran. Keduanya menjadi metanarasi tatkala ked- uanya dijadikan tujuan telos yang mesti direngkuh walaupun dengan mensubordinasikan narasi-narasi yang lain, misalnya narasi tentang perbedaan kultur dan etnik. Dengan menjadi metanarasi, keadilan dan kebenaran menjadi tolok ukur untuk mengevaluasi benar-salah, baik-buruk, layak-tidaknya segala narasi yang lain. Dengan kata lain, metanarasi memiliki dua ciri konstitutif: mengatasi dan menjadi tolok ukur. Metanarasi adalah dasar legitimasi bagi narasi-narasi yang lain. Maka itu, Lyotard memakai kata modern untuk menandai “semua ilmu pengetahuan yang melegitimasi-diri dengan mengacu pada sebuah metadiskursus [yang] secara eksplisit bertumpu pada sejenis narasi agung”. 171 Sebagai anathema terhadap konsep modern tersebut, Lyotard mengajukan istilah posmodern yang ia deinisikan sebagai “ketakpercay- aan teradap metanarasi.” 172 Namun demikian, posmodernisme tidak- lah identik dengan suatu upaya delegitimasi; ia memiliki ciri konstruk- tif, yakni suatu elaborasi mengenai sumber operativitas legitimasi. Melalui pertanyaan tentang operativitas inilah kita memasuki dimensi metodis dari posmodernisme.

b. Permainan Bahasa sebagai Metode

Bagi Lyotard, wacana posmodernis dicirikan oleh aspek prag- matisnya. Ciri dasar ini ia terangkan melalui konsep Wittgenstein akh- ir 173 tentang “permainan bahasa” language game. Untuk menerangkan ini, Lyotard memakai contoh mengenai tiga jenis pernyataan. Pertama, pernyataan denotatif “Universitas ini bangkrut” yang merupakan per- nyataan pendapat dalam konteks pembicaraan umum; kedua, pernyata- an performatif “Dengan ini, universitas saya buka” yang merupakan deklarasi tentang sesuatu dengan kemampuan untuk melakukan pu- tusan efektif berdasarkan “hak” yang inheren dalam posisi artikula- 171. Ibid. 172. “I deine postmodern as incredulity toward metanarratives.” Ibid, hlm. xxiv. 173. Kita ingat, terdapat dua fase yang secara umum membagi pemikiran Wittgen- stein: fase awal yang terkristalisasi dalam buku Tractatus Logico-Philosophicus di mana ia masih melihat bahasa sebagai representasi atau lukisan atas realitas dan fase akhir yang ditandai oleh terbitnya buku Philosophical Investigations di mana ia melihat ba- hasa sebagai fenomena yang lebih kontekstual. tor; ketiga, pernyataan preskriptif “Berikan sumbangan kepada univer- sitas” yang merupakan pernyataan dengan efek imperatif. 174 Ketig- anya, menurut Lyotard, merupakan permainan bahasa yang berbeda: yang satu bukan yang lain, yang satu tak dapat direduksikan pada yang lain, dan yang satu tak bisa dijadikan standar bagi yang lain. Tak ada suatu “metabahasa” yang merangkum seluruh diversitas permainan- permainan bahasa ke dalam satu corpus sistemik. Permainan bahasa inilah yang merupakan “metode” posmo- dernisme. Lyotard lebih lanjut menspesiikasi tiga aspek permainan bahasa. Yang pertama adalah bahwa aturan permainan bahasa itu tidak melegitimasi dirinya sendiri melainkan didasarkan pada kon- trak antar pemain. Itulah sebabnya, bagi Lyotard, setiap seniman dan sastrawan posmo adalah seorang ilsuf: karya yang dihasilkan oleh mereka tidak diatur oleh suatu regulasi yang telah ada seolah diimposisikan secara azali oleh suatu entitas yang transenden me- lainkan dideinisikan oleh aturan yang dicari dan dikreasikan dalam karya itu sendiri. 175 Yang kedua adalah bahwa permainan niscaya mensyaratkan adanya aturan, bahwa perubahan sekecil apapun ter- hadap aturan akan berdampak merubah inti permainan itu send- iri. Perubahan aturan permainan kartu black jack menjadi aturan permainan poker niscaya merubah permainan itu sendiri walau- pun kartu yang digunakan persis sama. Aspek yang ketiga adalah bahwa setiap pernyataan dalam permainan bahasa merupakan “ge- rakan” dalam permainan. “Gerakan” yang dimaksudkan tak lain adalah paralogi, yakni suatu aliran silang-sengkarut gagasan baru yang meru- pakan tujuan dari setiap diskursus. Dalam hal ini, Lyotard bertentangan dengan Habermas yang menempatkan konsensus sebagai tujuan akhir yang mesti dicapai setiap diskursus. 176 Apa yang jadi tujuan akhir itu, 174. Lih. Ibid, hlm. 9-10. 175. “The artist and the writer, then, are working without rules in order to formu- late the rules of what will have been done. Hence the fact that work and text have the characters of an event; hence also, they always come too late for their author, or, what amounts to the same thing, their being put to work, their realization misse en oeuvre always begin too soon. Post modern would have to be understood according to the paradox of the future post anterior modo.” Jean-François Lyotard, Answering the Question: What is Postmodernism? dalam ibid, hlm. 81 bagian Appendix. 176. Bagi Lyotard, “[c]onsensus is a horizon that is never reached.” Ibid, hlm. 61. dalam pandangan Lyotard, adalah suatu disensus yang berujung pada paralogi, suatu kondisi kebaruan yang non-konklusif, yang bukan ino- vasi 177 , yang tersusun oleh kesilang-sengkarutan gagasan ketimbang kesatuan sintesa. Ketiga aspek permainan bahasa ini merajut suatu prinsip utama dari permainan bahasa sebagai metode, yakni bahwa “bertutur adalah bertarung, dalam arti bermain”. 178 Dan permainan ini, bagi Lyotard, tak mesti mengimplikasikan suatu hasrat untuk menang melainkan dilan- dasi oleh suatu kenikmatan akan kreasi paralogis. Itulah sebab kenapa posmodernisme, dalam kacamata Lyotard, mestinya memusatkan per- hatian lebih kepada parole ketimbang langue 179 dan, dengan demikian, merayakan pluralitas “narasi-narasi kecil” petit récits. Dengan pera- yaan atas narasi-narasi kecil serta penolakan atas narasi agung, Lyotard pada dasarnya tengah melancarkan suatu kritik atas totalitas. Setelah merobohkan totalitas wacana, masih tersisa setidaknya dua totalitas lain yang mesti ia hantam. Dua totalitas tersebut menjadi tema dari dua kategori selanjutnya. Yang pertama adalah totalitas historis.

c. Sejarah tanpa Unilinearitas Teleologis

Sejarah adalah tema besar dalam wacana modernisme. Dalam lingkup tersebut, sejarah kerapkali dikaitkan dengan suatu “gerakan bertujuan” purposive movement, dengan suatu telos atau tujuan yang akan digapai sebagai ujung dari proses historis. Tak jarang pula ger- akan historis ini dijelaskan melalui analogi igur lingkaran—lebih te- patnya, spiral: titik akhir dari sejarah adalah titik berangkatnya sendiri plus pemenuhannya. Ini nampak paling kentara dalam ilsafat sejarah Hegel. Inti dari kerangka konseptual ini adalah adanya suatu teleologi 177. “Paralogy must be distinguished from innovation: the latter is under the com- mand of the system, or at least used by it to improve its eficiency; the former is a move […] played in the pragmatics of knowledge.” Ibid. 178. Ibid. hlm. 10. 179. Baik parole maupun langue merupakan dua konsep linguistik yang berasal dari pe- mikiran Ferdinand de Saussure. Dalam teori linguistiknya, bahasa langage tersusun oleh dua aspek: langue yang merupakan aspek ideal bahasa sebagaimana terbakukan dalam seluruh aparatus tata bahasa dan parole yang merupakan aspek partikular- keseharian dari bahasa sebagaimana dipergunakan, dengan segala ketakbakuannya, dalam bahasa sehari-hari.