Ada dan Ketiadaan, atau Imanensi dan Transendensi
Itulah asal-usul transendensi. Realitas-manusia adalah pelam- pauan dirinya sendiri menuju apa yang ia kurang […] Realitas-
manusia bukanlah sesuatu yang eksis pertama-tama untuk ke- mudian kekurangan ini atau itu; ia eksis pertama kali sebagai
kekurangan dan dalam koneksi langsung-sintetis dengan apa yang ia kurang. Maka peristiwa murni di mana realitas manusia
tegak berdiri sebagai sebuah kehadiran di dunia dipahami di- rinya sebagai kekurangannya sendiri. […] Realitas-manusia
adalah pelampauan tanpa henti menuju sebuah koinsidensi dengan dirinya sendiri yang tak pernah tercapai. […] Namun
Ada yang kepadanya realitas-manusia melampaui dirinya bu- kanlah suatu Allah yang transenden; ia ada pada jantung re-
alitas-manusia; ia adalah realitas-manusia itu sendiri sebagai totalitas.
18
Dalam sepenggal paragraf yang nantinya terus menghantui dan mem- bayangi formulasi teoritis para ilsuf Prancis sesudahnya inilah Sartre
meletakkan inti argumentasi dari traktat Ada dan Ketiadaan. Manusia alias pour-soi alias hasrat alias negativitas tak lain merupakan gerak
transendensiasi imanen menuju kepenuhan yang disebut Sartre sebagai totalitas. Kita sebut sebagai transendensiasi imanen sebab gerak pelam-
pauan-diri ini tak pernah sepenuhnya mencapai obyek-hasrat yang di- maksud, ia tetap imanen dalam gerak pelampauan itu sendiri. Dalam arti
inilah Sartre secara Hegelian menyebut realitas-manusia sebagai “kesa- daran yang tak berbahagia”.
19
Intuisi ini kembali muncul sebagai ka- limat penghabisan dari bab terakhir sebelum kesimpulan:”Manusia
adalah gairah yang sia-sia.”
20
Lalu apa sesungguhnya hakikat dari telos pelampauan-diri itu, Sartre bertanya, apakah ia merupakan sesuatu
yang ada di dalam kesadaran alias pour-soi atau di luarnya? Jawaban yang Sartre berikan: ia muncul ke dunia bersamaan dengan kesa-
daran dan secara sekaligus berada pada jantung kesadaran dan di lu- arnya: “ia merupakan transendensi absolut di dalam imanensi absolut.”
21
Dengan demikian, telos realisasi hasrat itu berada di dalam manusia itu
18. Ibid, hlm. 89. 19. Ibid, hlm. 90.
20. Ibid, hlm. 615. 21. Ibid, hlm. 91.
sendiri, imanen terhadapnya, namun sebagai sesuatu yang tak per- nah dapat direngkuh sepenuhnya—ia tetap transenden. Inilah skema
formal yang menjadi panggung tempat keseluruhan drama eksistensi manusia digelar:
khōrismos antara Ada alias en-soi dan Ketiadaan pour-soi, antara imediasi dan mediasi, antara imanensi dan transen-
densi —sebuah oposisi yang masih menghantui ilsafat Prancis, lebih
dari separuh abad kemudian, sampai hari ini. Ada dan Ketiadaan
tak pelak lagi merajai jagad ilsafat di Pran- cis dan dunia hingga akhirnya digeser oleh teks-teks penulis post-
strukturalis pada akhir dekade 60-an. Ia menandai sebuah zaman, itu jelas. Namun ia juga memungkinkan sebuah zaman yang baru untuk
lahir. Walaupun para ilsuf poststrukturalis kerapkali mengesamping- kan ilsafat Sartre sebagai suatu bentuk humanisme populer, tak dapat
dipungkiri bahwa apa yang mengeram di dalam teks Ada dan Ketiadaan juga diteruskan diam-diam oleh para ilsuf poststrukturalis: penekan-
an pada transendensiasi yang bertolak dari sejenis kekurangan. Untuk mengambil contoh yang paling jelas: Derrida juga memakai skema
transendensiasi-atas-kekurangan ini di dalam elaborasinya mengenai différance yang sesungguhnya tak lain adalah gerak mediasi tanpa sin-
tesa yang bertolak dari fakta hilangnya petanda transendental, dari suatu kekurangan azali yang tak terekuperasikan.
Terdapat empat legenda mengenai Prometheus: Menurut yang pertama, ia diikat pada bebatuan
di Kaukasus karena mengumbar rahasia para dewa kepada manusia, dan para dewa mengirimkan elang-
elang untuk memakan hatinya, yang senantiasa tum- buh kembali.
Menurut yang kedua, Prometheus, yang tersayat oleh rasa sakit terpatuk paruh, menyorongkan dirinya
dalam-dalam ke bebatuan hingga ia menjadi satu de- ngannya.
Menurut yang ketiga, kejahatannya dilupakan dalam jangka ribuan tahun, dilupakan oleh para dewa,
elang-elang, dilupakan oleh dirinya sendiri. Menurut yang keempat, segalanya menjadi re-
sah oleh hal-hal tanpa arti. Para dewa menjadi resah, elang-elang menjadi resah, dan luka tertutup dengan
resah. Di sana tetap terdapat bongkahan batu yang
tak terjelaskan. Legenda mencoba menjelaskan yang tak terjelaskan. Sebagaimana itu muncul dari substrat
kebenaran yang pada gilirannya berakhir dalam keti- dakjelasan.
—Franz Kafka, Prometheus
22
22. Franz Kafka, The Complete Stories diedit oleh Nahum N Glatzer New York:
Schocken Books, 1995, hlm. 432.
II. Blanchot dan Imanensi Sebagai Pasivitas:
Membaca The Space of Literature
M
aurice Blanchot 1907-2003 adalah seorang kritikus sastra sekaligus sastrawan yang menjadi sumber inspirasi banyak
ilsuf Prancis kontemporer. Jean-Paul Sartre, Georges Ba- taille, Emmanuel Levinas, Michel Leiris, Pierre Klossowski, Michel
Foucault, Jaqcues Derrida, Jean-Luc Nancy, Philippe Lacoue-Lab- arthe—mereka semua adalah ilsuf yang berhutang budi pada Blan-
chot.
23
Posisinya pada sejarah pemikiran imanensi dalam tradisi Pran- cis kontemporer cukup sentral. Imanensi memang bukan kata kunci
pemikiran Blanchot. Kalau kita hendak mencari kata kunci tersebut kita akan menemukannya: pasivitas. Namun demikian, ia tetap mem-
berikan kontribusi besar bagi formulasi teoritis ilsafat imanensi se- jauh pasivitas dapat kita baca sebagai nama lain dari imanensi à la
Blanchot. Untuk itu, kita akan memfokuskan diri pada teks The Space
of Literature L’Espace Littéraire; 1955 yang menjadi locus eksoposisi ten- tang pasivitas. Seiring dengan perjalanan analisis, kita akan menemu-
kan bahwa apa yang menjadi persoalan dalam pasivitas adalah relasi topologis antara imanensi dan transendensi, antara “pagi” dan “malam
hari”.
The Space of Literature merupakan sebuah upaya memperta- nyakan kembali hakikat seni serta prakondisi tertentu yang memung-
kinkan terciptanya sebuah karya seni. Untuk mengelaborasi kedua hal itu, Blanchot melakukan observasi atas karya dari pelbagai sastrawan
mulai dari Hölderlin, Rainer Maria Rilke, Franz Kafka, Stephane Mal- larmé, André Breton, hingga Paul Valéry. Pembacaan atas pelbagai
karya sastra tersebut bertumpu pada dua poros analisis: insight tentang negativitas atau mediasi dari Hegel dan “eksistensialisme” Heidegger.
Di tangan Blanchot, Hegel tampil sebagai seorang eksistensialis konsep negasi dan negativitas yang ditempatkan pada aras eksistensi konkret
dan Heidegger hadir sebagai seorang Hegelian otentisitas eksistensi yang dimungkinkan melalui pengalaman negatif. Dua sumbu analisis
yang digamit Blanchot dalam elaborasinya ini mencerminkan kecen- derungan umum dari era ketika buku itu ditulis: setting intelektual Paris
pada pertengahan abad ke-20 yang memang didominasi oleh wacana
23. Daftar nama ini diperoleh dari tulisan Ann Smock dalam Translator’s Introduction
atas buku Maurice Blanchot, The Space of Literature diterjemahkan oleh Ann Smock
Lincoln: University of Nebraska Press, 1989, hlm. 1.
Hegelian dan Heideggerian. Dari pilihan piranti analisis ini sebetulnya telah terlihat apa yang akan diarah Blanchot, yaitu problem eksistensi
konkret seorang seniman lengkap dengan pengalaman negatifnya seb- agai prakondisi atas lahirnya seni dan karya seni. Namun apakah dengan
demikian Blanchot mereduksi persoalan ontologis dari seni menjadi sekedar problem ontis-psikologis-antropologis dari subyek seniman?
Pada titik inilah Blanchot memendarkan sebuah pesona. Ia tidak ter- jatuh ke dalam reduksi naif menuju humanisme semacam itu; ia justru
menunjukkan batas-batas dari subyektivitas dan mengerucutkan ela- borasinya hingga tiba pada suatu insight tentang impersonalitas ontolo-
gis dari seni dan karya seni. Impersonalitas ini adalah suatu momen, sekaligus ranah, di mana sang seniman tak bisa lagi berkata: “Inilah
aku, sang seniman” melainkan mencapai titik indeterminasi atau ketaktentuan radikal sebagai seorang seniman. Dalam momen atau
ranah ini, tak ada lagi kepastian distingtif antara seni dan bukan seni
atau antara ilsafat dan non-ilsafat, antara seniman dan bukan seni- man, antara karya seni dan bukan karya seni. Ini tergambar dalam
momen paradoksal yang dialami Orpheus ketika ia hendak menoleh ke Eurydice, sumber inspirasi estetisnya, namun menyadari pula bah-
wa Eurydice akan lenyap pada momen ketika Orfeus menatapnya. Im- personalitas inilah juga yang muncul dalam tulisan Blanchot tentang
karya Rilke sebagai momen “kematian yang bukan merupakan kema- tian seorang pun” alias momen “kesekaratan abadi”. Dan Blanchot
menunjukkan bahwa justru hanya melalui momen impersonal inilah, melalui pengalaman negatif dan “ketakberdayaan” powerlessness ini-
lah, seni dan karya seni yang otentik menjadi mungkin. Dengan kata lain, hanya dalam momen imanensi total lah, transendensi yang oten-
tik dimungkinkan.
Argumentasi Blanchot itulah yang akan kita ikuti secara agak mendetail dalam tulisan ini. Kita akan menguraikannya dalam tiga
bagian. Lantas kita akan melakukan reapropriasi atasnya dalam hori- son problematika imanensi.