Permainan Bahasa sebagai Metode
imanen dalam sejarah entah itu berupa Roh yang berperan sebagai List der Vernunft ataupun perjuangan kelas. Lantas bagaimana posmo-
dernisme menggarap tema tersebut? Mengenai konsepsi sejarah ini, kita akan beralih pada esai Lyotard yang berkutat dengan persoalan
makna awalan “pos-” dalam frase posmodernisme.
Lyotard memaparkan tiga arti awalan “pos-“ tersebut. Arti yang pertama diartikulasikan dalam wacana arsitektur modern 1910-
1945 dalam oposisinya dengan arsitektur posmodern. Arsitektur pos- modern tak pernah lepas dari gaya modern yang menjadi sumber atau
obyek dari modiikasinya. Ini, kata Lyotard, seperti strategi brikolase bricolage, yakni suatu metode pragmatis mempergunakan unsur-un-
sur lama secara baru dengan kesadaran bahwa unsur-unsur yang digu- nakan itu pun pada dasarnya tak memadai dan siap digantikan kem-
bali. Teknik brikolase arsitektural ini terwujud dalam pencomotan elemen-elemen arsitektur modern dan klasik, misalnya, dalam suatu
bangunan arsitektural yang sama. Bagi Lyotard, dalam konteks arsi- tektur posmodern ini awalan “pos-” hanya dipahami sebagai sekedar
suksesi, perwujudan yang baru dari yang lama, dengan kata lain, suatu kontinuasi.
180
Dengan kata lain, awalan “pos-“ di sini dimengerti se- cara modern.
Arti kedua dari awalan “pos-“ tersebut adalah kemajuan. Dalam koridor ini, posmodernisme dimengerti sebagai suatu fase yang lebih
maju dari modernisme, entah menuju kompleksitas ataupun simplisi- tas. Ide ini terkait dengan ide emansipasi tradisional yang menandai
baik liberalisme maupun Marxisme. Dan ide kemajuan ini, beserta ide emansipasi, merupakan anak dari semangat-zaman Zeitgeist Modern.
Arti yang terakhir adalah arti yang diakui oleh Lyotard send- iri, yakni “pos-“ yang tak dimengerti sebagai repetisi ataupun gerak
kembali melainkan sebagai suatu “pelupaan” yang radikal.
181
Dalam arti ini, posmodernisme merupakan proyek yang mesti terus dijaga
180. Lih. Jean-François Lyotard, Note on the Meaning of “Post-“ dalam Thomas Do-
cherty ed., Op.Cit. hlm. 47-48. 181. “[T]he ‘post-’ of ‘postmodern’ does not signify a movement of
comeback, lash- back, or feedback—that is, not a movement of repetition but a procedure in ‘ana-’: a
procedure of analysis, anamnesis, anagogy, and anamorphosis that elaborates an ‘initial forgetting.’” Ibid, hlm. 50.
dan dilanjutkan; ada suatu “tanggung-jawab” yang mesti diemban, yakni suatu tanggung jawab untuk terus-menerus mempertanyakan
asumsi-asumsi dasar dari proyek modernisme. Dalam arti yang terakhir inilah umumnya konsepsi sejarah
posmodern dipahami. Kita tak menemukan penjelasan lebih lanjut dari Lyotard sendiri. Dan perlu kita ingat, konsepsi tentang sejarah se-
bagai yang tersusun oleh patahan coupure tidaklah berasal dari Lyotard sendiri. Nosi “patahan” ini justru bersumber dari Georges Canguil-
hem, seorang ilsuf Prancis di paruh pertama abad ke-20 yang berku- tat dalam disiplin ilmu sejarah ilmu pengetahuan—sebuah disiplin ilmu
yang sentral dalam tradisi akademik Prancis sejak Comte.
182
Jadi kon- sepsi tentang patahan pertama kali terdapat dalam konteks periodisasi
sejarah gagasan, bukan sejarah dalam arti luas dan analisis Foucault tentang formasi diskursif dalam sejarah juga berada dalam batasan
yang sama: patahan dalam level periodisasi formasi pengetahuan dan bukan patahan sejarah. Dalam Derrida lah kita menemukan kon-
sepsi yang serupa—dan, perlu ditekankan, tidak sama—yakni dalam apropriasi kritisnya atas Heidegger bahwa sejarah ontologis tidaklah
sepenuhnya utuh dan univok melainkan senantiasa “dihantui” oleh elemen-elemen yang direpresinya. Namun Derrida pun tak pernah
mengatakan bahwa sejarah tersusun oleh “patahan-patahan”. Hanya para penulis posmodern lah yang menafsirkan konsepsi sejarah Der-
rida sebagai sejarah yang ditandai oleh patahan dan bukan Derrida sendiri.
183