26 27
halnya dalam pengertian code of law. Namun demikian, yang dina- makan code of counduct kode perilaku itu sendiri memang seharusnya
berkenaan dengan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk mengatur perilaku warga atau para anggota dan pengurus organisasi
itu. Karena itu, fungsi ‘code of conduct’ itu dapat pula dilihat sebagai dokumen normatif yang berada di tengah-tengah antara code of law
dan code of ethics. Dalam organisasi yang lebih kompleks seperti Dewan Perwakilan Rakyat maka yang dapat disebut sebagai code of
conduct
adalah peraturan tata tertib dewan, sedangkan code of ethics ditetapkan setara tersendiri seperti yang sudah disahkan oleh DPR-
RI. Sementara itu yang disebut code of law adalah segala peraturan perundang-undangan mulai dari UUD, TAP MPR dan UU tentang
Susunan dan Kedudukan DPR.
Berbagai aspek berkenaan dengan bentuk-bentuk dokumen hu- kum di atas dapat dijelaskan secara rinci satu per satu. Akan tetapi,
untuk kepentingan buku ini, yang akan dijelaskan secara terbatas hanya dokumen-dokumen hukum yang berupa i produk legislatif
dan regulatif, ii penetapan-penetapan administratif sebagai produk lembaga eksekutif, dan iii putusan-putusan lembaga judikatif yang
berbentuk vonis pengadilan. Ketiganya tidak cukup dipahami secara luas dan seringkali tidak dibedakan secara tegas penggunaannya
sehingga menimbulkan kesulitan dan kekisruhan dalam praktek. Karena itu, ketiganya sangat penting diuraikan tersendiri dengan
membedakan secara jelas antara satu sama lain.
Ketiganya memiliki struktur dan hirarki sendiri-sendiri. Per- aturan perundang-undangan mestilah disusun mulai yang paling
tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar sampai ke tingkatan yang pal- ing rendah, yaitu Peraturan Daerah KabupatenKota atau bahkan
Peraturan Desa. Pada prinsipnya, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan materi peraturan yang lebih tinggi. Un-
tuk menjamin konsistensi antar peraturan ini dimungkinkan adanya mekanisme judicial review atau pengujian materi peraturan terhadap
peraturan yang lebih tinggi. Dalam sistem checks and balances yang di dasarkan atas doktrin pemisahan kekuasaan separation of power,
kegiatan pengujian materi peraturan ini biasanya dikaitkan dengan fungsi tambahan yang diberikan kepada lembaga pengadilan, yaitu
Mahkamah Agung. Namun dalam perkembangan modern, muncul kecenderungan di berbagai negara demokrasi baru untuk membentuk
A. BENTUK-BENTUK dOKUMEN HUKUM
Ada beberapa bentuk dokumen yang biasa disebut sebagai hu- kum, yaitu i dokumen yang berbentuk peraturan, ii dokumen yang
berbentuk penetapan, iii dokumen yang berbentuk keputusan, dan iv dokumen yang berbentuk akta perjanjian, atau persetujuan. Ke-
empat bentuk dokumen itu dikeluarkan oleh atau terkait erat dengan empat jenis fungsi yang dikenal dalam jabatan hukum yang resmi,
yaitu: i legislativeregulative body seperti parlemen, ii administrative body
seperti badan eksekutif pemerintahan, iii judicial body seperti pengadilan atau adjudicative body seperti arbitrase, dan iv dokumen
jabatan notaris berupa akta resmi. Dokumen lain yang juga diakui sebagai dokumen hukum yang bersifat menunjang dalam proses
pembuktian hukum adalah v persetujuan tertulis antar para pihak yang tidak bersifat notarial, vi terjemahan resmi hasil public inter
preter
, dan vii laporan keuangan hasil public accountant serta viii berbagai dokumen yang berupa kode hukum dan kehormatan yang
berlaku internal dalam aneka bentuk perkumpulan dan organisasi yang hidup dalam kegiatan masyarakat, seperti Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, dan Kode Etika Profesional. Ketiga yang terakhir ini dapat disebut mencakup pengertian ‘code of law’, ‘code of
conduct’
dan ‘code of ethics’ dalam setiap organisasi. Berkenaan dengan code of conduct, memang terdapat pandangan
yang berbeda-beda penerapannya dalam praktek. Jika Anggaran Dasar suatu organisasi diidentikkan dengan konstitusi, maka Angga-
ran Rumah Tangga berisi penjabaran lebih operasional norma-norma dasar yang tercantum dalam Anggaran Dasar itu sehingga dapat
dijadikan pegangan prosedural dalam penyelenggaraan kegiatan organisasi tersebut. Karena itu, isinya masih bersifat hukum seperti
PERANGKAT PERATURAN PERUNdANG-UNdANGAN
BaB 8
28 29
sistem yang baku, termasuk dalam soal nomenklatur yang digunakan oleh tiap-tiap kementerian dan badan-badan pemerintahan setingkat
Menteri. Sebagai contoh, produk hukum yang dikeluarkan Bank Indonesia
yang dimaksud untuk memberikan aturan terhadap dunia perbankan menggunakan istilah Surat Edaran yang tidak dikenal dalam sistem
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beberapa kementerian mengeluarkan peraturan di bidangnya dengan menggunakan sebu-
tan Keputusan Menteri, dan beberapa lainnya menggunakan istilah Peraturan Menteri. Keputusan Presiden yang bersifat mengatur den-
gan Keputusan Presiden yang bersifat penetapan administratif biasa tidak dibedakan, kecuali dalam kode nomernya saja, sehingga tidak
jelas kedudukan masing-masing sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur.
Sementara itu, setelah lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, sangat dirasakan adanya kebutuhan untuk mengadakan perubahan
terhadap pasal-pasal dalam UUD 945 yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Namun, timbul persoalan apabila perubahan
UUD itu ditetapkan dalam produk hukum berupa Ketetapan MPR, sementara dalam tata urut perundang-undangan ditentukan bahwa
Ketetapan MPR itu lebih rendah kedudukannya daripada UUD. Bagaimana mungkin perubahan terhadap konstitusi dituangkan
dalam peraturan yang derajatnya lebih rendah. Oleh karena itu, perlu diperkenalkan bentuk hukum yang sama sekali belum dikenal dalam
sistem peraturan perundang-undangan Indonesia selama ini, yaitu bentuk Perubahan UUD.
Ditambah lagi dengan munculnya kebutuhan untuk mewadahi perkembangan otonomi daerah di masa depan, dapat mendorong
tumbuh dan berkembangnya dinamika hukum adat di desa-desa yang cenderung diabaikan atau malah sebaliknya dikesampingkan
dalam setiap upaya pembangunan hukum selama lebih dari 50 ta- hun terakhir. Dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah itu,
mulai diperkenalkan adanya perangkat Peraturan Desa yang harus pula dimasukkan ke dalam sistem dan tata urut peraturan perun-
dang-undangan yang baru. Dengan perkataan lain, banyak alasan yang mendorong sehingga Ketetapan MPRS No. XXMPRS966
yang menjadi acuan dalam mengembangkan susunan peraturan pe- rundang-undangan Republik Indonesia selama lebih dari 0 tahun
Mahkamah Konstitusi Constitutional Court yang dapat difungsikan sebagai lembaga peradilan terhadap peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Konstitusi inilah yang idealnya menjadi tempat untuk melaksanakan fungsi judicial review tersebut secara penuh dan utuh,
sedangkan Mahkamah Agung lebih memusatkan perhatiannya pada upaya mewujudkan keadilan bagi setiap warga negara.
Di samping peraturan perundang-undangan, ketetapan yang bersifat administratif dan keputusan judikatif juga berstruktur sesuai
dengan hirarki lembaga yang membuatnya. Di lingkungan badan peradilan dikenal adanya tiga tingkatan upaya hukum, yaitu vonis
pengadilan tingkat pertama, vonis pengaturan tingkat banding, dan vonis kasasi oleh Mahkamah Agung. Sedangkan di lingkungan
eksekutif, jabatan-jabatan administratif mulai dari tingkat yang ter- tinggi sampai yang terendah berwenang membuat ketetapan yang
bersifat administratif. Misalnya, di tingkat yang tertinggi dikenal ada produk hukum yang sekarang masih menggunakan istilah Keputusan
Presiden. Di bawahnya ada Keputusan Menteri, Keputusan Direktur Jenderal, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Kantor, Kepu-
tusan Gubernur, Keputusan Bupati, Walikota, dan bahkan Keputusan Lurah, dan sebagainya. Tingkatan-tingkatan itu menunjuk kepada
pengertian-pengertian yang didasarkan atas prinsip-prinsip hirarki hukum, yaitu yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
yang lebih tinggi, dan yang lebih tinggi dapat mengesampingkan atau membatalkan yang lebih rendah.
Khusus berkenaan dengan produk-produk peraturan perundang- undangan, maka dalam rangka pembaruan hukum nasional, penataan
kembali susunan hirarkis peraturan perundang-undangan tersebut sangat dirasakan pentingnya. Hal ini terkait erat dengan kenyataan
bahwa susunan hirarkis peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dewasa ini dirasakan tidak sesuai lagi dengan perkem-
bangan kebutuhan. Di samping itu, era Orde Baru yang semula berusaha memurnikan kembali falsafah Pancasila dan pelaksanaan
UUD 945 dengan menata kembali sumber tertib hukum dan tata- urut peraturan perundang-undangan, dalam prakteknya selama 2
tahun belum berhasil membangun susunan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan bagi upaya memantapkan sistem perun-
dang-undangan di masa depan. Lebih-lebih dalam prakteknya, masih banyak produk peraturan yang tumpang tindih dan tidak mengikuti
240 24
Dasar, Undang-Undang atau Undang-Undang Federal, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu atau Undang-Un-
dang Darurat
206
, dan Peraturan Pemerintah. Penyebutan hanya atau 4 bentuk peraturan termasuk UUD
tersebut dalam Undang-Undang Dasar bersifat enunsiatif dalam arti tidak menutup kemungkinan untuk mengatur bentuk-bentuk
lain yang lebih rinci sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, setelah periode kembali ke UUD 945 maka berdasarkan Surat Presiden
No.2262HK959 tertanggal 20 Agustus 959 yang ditujukan ke- pada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, dinyatakan bahwa
di samping bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dipandang perlu dikeluarkan bentuk-bentuk peraturan yang
lain, yaitu:
. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit PresidenPan- glima Tertinggi Angkatan Perang tanggal 5 Juli 959 tentang
Kembali Kepada UUD 945. 2. Peraturan Presiden, yaitu peraturan yang dikeluarkan untuk
melaksanakan penetapan Presiden, ataupun peraturan yang dikeluarkan berdasarkan Pasal 4 ayat UUD 945.
. Peraturan Pemerintah, yaitu untuk melaksanakan Peraturan Pres- iden, sehingga berbeda pengertiannya dengan Peraturan Pemer-
intah yang dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat 2 UUD 945. 4. Keputusan Presiden yang dimaksudkan untuk melakukan atau
meresmikan pengangkatan-pengangkatan. 5. Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang dibuat oleh
kementerian-kementerian negara atau Departemen-Departemen pemerintahan, masing-masing mengatur sesuatu hal dan untuk
melakukan atau meresmikan pengangkatan-pengangkatan.
Dalam susunan tersebut di atas, jelas terdapat kekacauan an- tara satu bentuk dengan bentuk peraturan yang lain. Bahkan dalam
praktek, bentuk yang paling banyak dikeluarkan adalah Penetapan
206
Meskipun berbeda sebutan, akan tetapi pengertian Undang-Undang Darurat dalam Konstitusi RIS 949 dan UUDS 950 dapat diidentikkan dengan pengertian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menurut UUD 945.
terakhir, harus dikaji ulang dan disempurnakan untuk kepentingan masa depan hukum dan sistem hukum nasional.
Sebelum membahas lebih rinci masalah-masalah dan usul-usul penyempurnaan mengenai sumber tertib hukum dan sistem serta tata
urut peraturan Republik Indonesia di masa depan, perlu diperjelas dulu pengertian kita mengenai sumber tertib hukum, dan mengenai
bentuk-bentuk serta tata urut peraturan yang kita gunakan dalam tu- lisan ini. Pengertian tentang sumber tertib hukum memuat pengertian
yang lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup aneka putusan legislatif dan eksekutif yang dapat dijadikan sumber hukum, tetapi mencakup
pula putusan-putusan pengadilan dalam lingkungan kekuasaan judikatif. Sedangkan bentuk-bentuk dan tata-urut peraturan hanya
mencakup putusan-putusan cabang kekuasaan legislatif dan ekse- kutif yang isinya dapat bersifat mengatur regeling, dan karena itu
disebut dengan ‘per-ATUR-an’. Akan tetapi, pengertian peraturan dalam arti luas dapat pula mencakup putusan-putusan yang bersifat
administratif yang meskipun tidak bersifat mengatur tetapi dapat dijadikan dasar bagi upaya mengatur kebijakan yang lebih teknis.
Karena itu, dalam tulisan ini, peraturan dalam arti sempit dan luas itu digunakan secara silih berganti.
B. PERATURAN PERUNdANG-UNdANGAN PASCA KEMERdEKAAN